Sabtu, 09 Maret 2019

Malu Saat Kebaikan Datang

"Rasanya aku malu, saat aku mendapati kebaikan." Kata teman sebelahku.

"Kok?" tanyaku heran.

"Rasanya aku sering berbuat maksiat, tapi kenapa aku tetap diberi kebaikan?"

"Mungkin Allah memaafkanmu."

Dia menggeleng. "Aku tak tahu, kebaikan kecil mana yang diri-Nya terima, sedikit sekali kebaikan yang ku buat. Aku merasa tak pantas menerima kebaikan dari-Nya."

"Mungkin, Allah menerima keikhlasanmu."

Dia menatapku. "Aku tidak mengerti, kenapa diri-Nya memberikanku istri yang sholehah, sementara akunya seperti ini. Sungguh tidak adil bukan bagi istriku?"

"Mungkin, Allah ingin memberi petunjuk kepadamu, melalui istri sholehahmu, dan menjadikan istri sholehahmu memiliki banyak pahala karena telah menerimamu dan menuntunmu ke kesholehahnnya."

Dia menertawakan dirinya sendiri. "Aku merasa diri-Nya terlalu cepat memberi semua kebaikan itu, kalau begini aku bisa saja menjadi semakin lalai."

"Allah tahu waktu yang tepat untuk sesuatu yang tepat."

Dia mengusap dagu-dagunya. "Tapi, aku benar-benar merasa tidak pantas akan semua kebaikan yang datang kepadaku. Aku benar-benar malu, begitu banyak maskiat yang ku buat, ibadah yang masih tidak khusyu, dan masih menjadi mahluk yang benar-benar egois lantas tidak melibatkan diri-Nya pada setiap perjuanganku. Aku, malu jika kebaikan itu datang terlalu cepat."

Aku tersenyum kepadanya. "Mungkin, Allah ingin kamu mensyukuri. Coba bayangkan, kamu yang masih banyak maksiat, ibadah tidak khusyu, pikiran masih egois, tapi Allah berikan kebaikan untukmu. Bagaimana jika kamu jarang maksiat, ibadah sangat khusyu, menjadi manusia yang tidak egois, nikmat seperti apa yang Allah berikan kepadamu? Luar biasa sekali, kupikir."

Dia terdiam, seperti bingung. "Tapi, ini benar-benar seperti kamu meludahi seseorang dan orang itu justru memberimu uang dan segala macamnya."

Aku memincingkan mata. "Apa yang telah kamu perbuat memangnya?"

Dia tidak mau menjawab. "Intinya, aku benar-benar telah membuat diri-Nya harus marah denganku, sungguh sebuah kesalahan besar."

Aku berusaha mencairkan suasana, dirinya semakin kalut. "Beruntunglah kita menjadi umat nabi Muhammad, hitung-hitungan siksaannya masih ditangguhkan, kita masih bisa meminta ampun dan bertaubat, masih ada waktu untuk memulai lagi."

Dia berusaha untuk tersenyum. "Aku masih malu, kebaikan itu datang, saat aku merasa tidak pantas mendapatkannya."

Aku mulai jengkel. "Bisa jadi, itu bukan karena amal baikmu, bukan karena ibadahmu, tapi doa dari ibumu yang sholehah dan juga istrimu yang sholehah. Kamu jangan terlalu kege-eran." Kataku ketus.

Akhirnya dia tertawa lepas. "Aku suka itu, aku merasa tidak terbebani sekarang."

***

Waktu ditanya, kenapa kamu memilih seseorang? Saat aku bilang, aku seperti melihat sebuah cermin. Aku pikir aku asal bicara, pas membaca banyak hal, kok aku seperti membaca sebagian kisahku? Walau tentu saja, kisahku masih lebih banyak buruknya.

Aku suka tulisan ini, soal jiwa dua insan yang menyatu seolah satu, sebuah keterhubungan yang telah ditakdirkan. Kuasa Allah Maha Luas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu