Ini soal tersenyum, kupikir senyum yang ikhlas akan menghadirkan sebuah senyuman balik. Tapi, pelajaran itu tidak serta merta begitu saja. Hidup ini penuh dengan jutaan pandangan. Dan senyuman yang kini ku tahu, bisa membuat orang yang menerimanya kesal dan benci.
Dear senyuman, kini dirimu berjuta makna dan mengerikan.
Rabu, 28 Oktober 2015
Sabtu, 24 Oktober 2015
Menyumpahi Diriku Sendiri Untuk Mati
Tengah malam telah tiba, bukan, bukan hantu yang ingin kugambarkan. Tapi rasa sesak dan tidak nyamannya di tengah malam ini, aku merasa ada yang berbeda malam ini dengan malam-malam lainnya.
Perasaan itu muncul lewat indra penciuman, malam ini terasa ada yang menganggu udara-udara malam. Setelah ditelusuri, asap-asap yang entah dari mana belum diketahui asalnya lah yang tengah mengganggu warga sekitar tempatku.
Dan beberapa temanku pun membagikan berita tentang asap-asap di kota-kota lain yang bukan di kota yang benar-benar sedang mengalami bencana asap yang sangat parah layaknya di Riau dan Borneo.
Aku tidak mengerti apa yang tengah terjadi, tapi aku merasakan sedikit asap saja hidupku sudah sangat sengsara, napas begitu sulit dan tidak nyaman. Dan saat itu aku mencoba membayangkan jika posisiku ada di Riau atau Borneo, Aku pasti akan menyumpahi diriku sendiri untuk lebih baik mati daripada tersesak dan menderita akan pernapasan.
Ya, itu memang pikiran yang pendek. Tapi, asap itu benar-benar membuatku emosi. Betapa tersiksanya, dan aku tidak tahu lagi yang mereka--orang-orang Riau dan Borneo--rasakan, mereka yang tak bersalah harus menderita oleh ulah manusia, ya sekali lagi manusialah yang berulah.
Apakah ini bencana alam? Aku tidak tahu definisi bencana alam yang pasti, tapi ini semua ulah manusia tak bertanggung jawab yang membuat orang lain menderita, dan lihat, ini sungguh menyiksa bung. Anda, siapapun anda, dalang dibalik semua ini harus merasakan dan mengganti rugi oleh ulahmu bung.
Apakah aku kesal? Tentu saja, bagaimana bisanya semua itu terjadi, aku tidak tahu hukum yang tertera aku hanya seorang bocah, tapi, perasaan sesak itu sungguh mengesalkan. Aku hanya bisa berdoa dari sini, semoga hujan turun lebat, asap itu lenyap seiring waktu dan semua kembali seperti semula.
Dan untuk pembuat ulah, semoga ada kebaikan yang ia dapatkan setelah ini.
Perasaan itu muncul lewat indra penciuman, malam ini terasa ada yang menganggu udara-udara malam. Setelah ditelusuri, asap-asap yang entah dari mana belum diketahui asalnya lah yang tengah mengganggu warga sekitar tempatku.
Dan beberapa temanku pun membagikan berita tentang asap-asap di kota-kota lain yang bukan di kota yang benar-benar sedang mengalami bencana asap yang sangat parah layaknya di Riau dan Borneo.
Aku tidak mengerti apa yang tengah terjadi, tapi aku merasakan sedikit asap saja hidupku sudah sangat sengsara, napas begitu sulit dan tidak nyaman. Dan saat itu aku mencoba membayangkan jika posisiku ada di Riau atau Borneo, Aku pasti akan menyumpahi diriku sendiri untuk lebih baik mati daripada tersesak dan menderita akan pernapasan.
Ya, itu memang pikiran yang pendek. Tapi, asap itu benar-benar membuatku emosi. Betapa tersiksanya, dan aku tidak tahu lagi yang mereka--orang-orang Riau dan Borneo--rasakan, mereka yang tak bersalah harus menderita oleh ulah manusia, ya sekali lagi manusialah yang berulah.
Apakah ini bencana alam? Aku tidak tahu definisi bencana alam yang pasti, tapi ini semua ulah manusia tak bertanggung jawab yang membuat orang lain menderita, dan lihat, ini sungguh menyiksa bung. Anda, siapapun anda, dalang dibalik semua ini harus merasakan dan mengganti rugi oleh ulahmu bung.
Apakah aku kesal? Tentu saja, bagaimana bisanya semua itu terjadi, aku tidak tahu hukum yang tertera aku hanya seorang bocah, tapi, perasaan sesak itu sungguh mengesalkan. Aku hanya bisa berdoa dari sini, semoga hujan turun lebat, asap itu lenyap seiring waktu dan semua kembali seperti semula.
Dan untuk pembuat ulah, semoga ada kebaikan yang ia dapatkan setelah ini.
Rabu, 21 Oktober 2015
Rabu, 07 Oktober 2015
Terpuruk
Semakin banyak orang yang bilang aku penulis, justru disitu aku merasa bersalah. Tidak, aku bukan penulis. Nyatanya aku lebih suka main dota dibanding menulis kata demi kata untuk ketentraman pembaca.
Langganan:
Postingan (Atom)