Kamis, 24 Oktober 2013

Pelajari Semua Atau Menyesal

  Sebuah pelajaran sangat berharga baru saja saya dapati. Sebuah cobaan (ujian) tengah semester berlangsung empat hari. Namun, apa daya, segala usaha telah terupaya tapi masih ada kata penyesalan. Kenapa? Persetan dengan kemungkinan.

  Saya terlalu memikirkan kemungkinan demi kemungkinan. Saya seharusnya tidak memperhitungkan kemungkinan itu. Dimana saya percaya suatu hal akan dan tidak akan keluar.

  Walau waktu saya untuk tidur telah dihabisi dengan segala upaya. Tapi, masih ada pelajaran yang harus saya dapatkan. Terlalu banyak.

  Ya, pertama, janganlah menunggu ajal jika kamu tidak ingin ditelannya. Entah kenapa, saya selalu bertindak bodoh. Belajar ketika cobaan datang.

  Walau itu takzim pada banyak orang. Tapi, tetap itu kebiasaan yang bodoh. Pada akhirnya saya diburu oleh ajal itu. Dan semua berantakan. Meski pada akhirnya aku mengerti, juga. Tetap saja terlambat. Tapi, lebih baik dari pada tidak. Namun, pasti masih ada kata penyesalan.

  Selain itu, ada satu hal yang ingin membuat saya meminta ajal "tolong renggut saja saya!" Yaitu, pelajari semuanya! Ya, pelajari saja semuanya tak usah mencoba meramalkan kemungkinan.
  Saya begitu menyesal, selepas cobaan semua berantakan. Seperti kepingan orang patah hati. Pengalaman ini begitu berharga.

  Ketika kamu hanya mempelajari hal yang kamu kira keluar pada cobaan itu. Maka terjerumuslah kamu pada ajal itu. Pada akhirnya saya hanya bisa pasrah kepasa Tuhan.

  Semoga diberikan terbaik. Aamiin. Saatnya mengisi waktu tidur.

Sabtu, 19 Oktober 2013

Nyaman

  Ketika berada disebuah posisi dan aku bahagia. Maka, itu, akan hanya membuatku bersedih ketika melepas posisi kebahagiaanku. Entah itu bersama atau tidak. Kenyamanan ini sudah kudapatkan. Aku takut jika kehilangan posisi ini. Tolong, kali ini saja Tuhan.

Rabu, 16 Oktober 2013

Perihal Pikiran

  Dari segala hal yang indah di dunia ini. Aku malah lebih memilih memikirkan hal yang begitu menyulitkan. Meski berkutat berjam-jam bersama segala hal dalam pikiranku itu. Aku tetap tak mampu memahaminya dengan baik.

  Beruntungnya, tidak butuh waktu lama sebelum aku benar-benar dibunuh oleh hal yang ada dalam pikiranku itu. Hal yang kalian--mungkin saja--sudah duga. Tapi, apa boleh buat? Semua seketika, di luar skema pertempuran yang ada.

  Bagai Naga yang kembali hidup setelah ratusan abad lamanya bersedekap dengan kematian. Lalu menyemburkan napas apinya ke segala arah di setiap area pertempuran. Tanpa setitik yang tersisa, semua menjadi abu semata. Ya, seperti itulah hal yang sedang dan mungkin sampai kapan terus aku pikirkan.

  Ini bukan bicara cinta, atau mungkin ini harus dilakukan dengan cinta? Hal itu begitu rumit. Bahkan kamu enggan untuk menyentuhnya jika kamu tak benar-benar terjerumus dalam hal itu. Ya, mungkin kamu semakin penasaran akan hal itu. Tapi, ini rahasia diantara kita.

  Aku sedikit muak sebenarnya. Namun, hidup ini terkadang memaksa kita melakukan sesuatu yang tidak kita suka dan bahkan tak ingin sedetik pun kita memikirkan hal tersebut. Hidup ini memang pilihan, tapi terkadang kamu harus menerima risikonya.

  Setelah semua pilihanku, aku tersadar risiko itu. Dan kini risiko itu menjadi perihal yang terus berkutat dalam benak tak bersalah. Aku berjanji selepas masa ini, aku akan meminta begitu banyak maaf kepada otak, atas nama kebebasan. Otak ini mulai merasa terkekang.

  Sekali lagi, hal itu benar-benar membuatku ingin memuntahkan semua isi perut ini.

Selasa, 15 Oktober 2013

Nanar

  Jeritmu, tangismu, berontakmu, dan segala upaya yang kamu lakukan benar-benar memiluhkan. Semua mata menatapmu. Ada kebahagiaan seraya menatapmu. Ada pula rasa iba dibalut ketidak relaan namun terpaksa memperhatikannya dengan segala sedu.

  Selamat tinggal kawan-kawan. Semua sudah tiba. Dimana saatnya dagingmu lebih berguna dari pada segala rasa yang kamu ingin ceritakan kepadaku. Tanpa sedikit pun kerelaan, sejatinya aku menatapmu dengan nanar.

  Perpisahaan, ingat perpisahaan bukanlah akhir dari segalanya. Meski kamu telah tiada di bumi ini. Meski semua orang bersorak gembira dengan ketiadaaanmu. Tapi, sejatinya mereka sangat berterima kasih kepadamu.

  Akan apa? Akan hal kericuhan yang baru saja dimulai. Kamu lihat, mereka juga tak menghargaimu. Kenapa? Bahkan untuk mengantri saja mereka enggan. Tapi, semaunya menertawakan kematianmu dengan hawa nafsu bak musang licik.

  Aku tak tahu, zaman ini sudah begitu kacau. Tapi, akan kehadiran dirimu dan sejenisnya. Membawakan arti yang berbeda. Karenamu aku bisa tahu apa itu kata 'mahal' dan apa itu 'murah'. Tentu saja, kamu termasuk kategori mahal. Dan aku bangga itu. Para sapi.

Senin, 14 Oktober 2013

Penderitaan

Aku takut sakit maka dari itu aku ingin mati.
Jika aku mati aku tak akan merasa sakit.
Beruntungnya aku pun tak akan merasa sehat.
Selepas suara raungan pelan, aku pikir aku memang bodoh.
Tak ada pilihan yang harus kuambil.
Selain, hadapi semua.

Parkir

"Seandainya ada uang selembar bernilai sejuta. Aku akan memberi uang itu dan meminta kembalian kepada tukang parkir dadakan."

Sistem

"Malaikat sekalipun jika masuk ke dalam lingkaran setan--sistem yang buruk. Cepat atau lambat malaikat itu berubah wujud." - unknown

Roda Berputar

Sejatinya hidup ini tak membawa kita ke suatu tempat.
Seperti yang sering orang lain ucap.
Hidup kita bak roda berputar.

Sayangnya roda itu sama sekali tak bergerak.
Diam di tempat.
Seperti kehidupan ketika kamu bayi yang diurus orang tuamu penuh perhatian.

Lalu kamu beranjak tua dan hal serupa terjadi.
Kamu diurus anakmu.

Pada saat itu aku tersadar.
Hidup ini seperti diam di tempat.

Seperti berputar dari suatu titik lalu kembali.
Tapi, nyatanya aku benar-benar salah.

Hidup ini memang roda, namun disaat ingin kembali ketitik semula.
Terdengar sebuah kata mengerikan.

Kematian.

Penguasa

Aku tak butuh uang.
Apalagi sekadar menjadi penguasa.
Cukup berikan aku seluruh kepemimpinan media.
Maka aku menjadi penguasa dunia.

Semua orang akan percaya padaku.
Dengan kamuflase, kehebatanku seolah menjadi nyata.
Dan para lawanku hanyalah omong kosong.
Berikan juga aku seluruh kepolosan masyarakat yang menelan mentah-mentah media.
Maka aku adalah orang baik yang patut dibangga.

Semua orang akan mencintaiku.
Tak ada ragu atau omong kosong.
Semua benar-benar akan memaksaku menjadi pemimpin mereka.

Sabtu, 12 Oktober 2013

Lentera

  Cahayanya redup. Namun, memberikan harapan.

  --

  Aku tahu, itu kamu.

Takut

Kamu tahu rasa takut?
Seperti berjalan dengan mata tertutup.
Kamu hanya membayangkan ketakutan itu.
Sehingga memaksamu membuka mata kembali.

Saat kamu berjalan dengan kedua mata tertutup.
Kamu hanya membayangkan ketakutan itu
Tak peduli hal yang ingin kamu capai.

Sejatinya kamu tak melihat ketakutan itu.
Sama sekali tidak.
Namun, kamu memaksa dirimu untuk melihatnya.

Jadi, apakah ketakutan itu terletak dalam pikiran semata?
Entah.
Apakah kamu takut melangkah ketika mata terpejam?
Apa yang kamu takuti?

Terjatuh? Menabrak?
Oh, sungguh mustahil melangkah tanpa pengelihatan dan alat bantu, bukan?
Seperti menyelam ke sumur beribu kilometer dalamnya.

Gelap. Sangat gelap.
Dan saat itu. Kita takut.
Takut akan apapun yang terjadi.
Semula hanyalah sebuah gagasan dari otak--akan ketakutan itu.

Lalu kamu terjebak.
Dari diri itu sendirilah ketakutan untuk melangkah menyebar dalam akal serta pikiran.

Saat itu pula kamu menjadi seorang yang selalu gagal.
Karena di kepalamu hanya tergagas akan hal itu.
Gagal dan gagal.

Lantas apa? Aku tak tahu, itu urusanmu dengan isi kepalamu.

Bedebah.
Aku akan remas otak ini menjadi asupan gizi.
Lalu kupikir rasa takut itu telah hancur bersama kepingannya.

Ya, kupikir tindakan itu lebih baik dibanding menjual dirimu sendiri, Nak.

Jumat, 11 Oktober 2013

Pulang

  Tak ada yang bisa saya antar ke rumah selain keluh kesah larut marut cerita perjalanan saya yang membosankan. Kalian tahu, dua monster biadab itu. Ya, kalkulus dan fisika. Banyak sekali yang harus saya bahas.

  --

  Lalu, setiba dirumah. Saya redam semua itu. Cerita disini ternyata lebih memprihatinkan. Tersadar saya harus lebih tahu diri lagi. Orang bodoh ini akhirnya bungkam setengah mati dengan peluh mengucur ke sekujur tubuh.

Kamis, 10 Oktober 2013

Musibah

  Sekarang saya tahu apa itu musibah yang kecil namun berdampak jangka panjang. Apa itu? Ketika kamu seorang anak perantau dan tinggal di sebuah kamar petakan untuk keseharianmu dan kamu memasuki sebuah rumah makan dengan biaya yang cukup mahal. Itu musibah.

Kunjungan Si Anak Kucing

  Sejatinya saya bukanlah pecinta hewan yang baik. Bukan berarti saya membenci hewan. Saya suka hewan dengan segala keindahannya. Namun, nyali saya tak cukup besar untuk meraba atau menyentuh lebih lama keindahan hewan itu.

  Entah kenapa, sejak kecil saya paling takut sama namanya hewan. Ya, entah kenapa. Saya juga tak mengerti. Berulang kali saya tinjau diri saya sendiri. Saya merasa seperti seorang banci yang lupa akan harga diri.

  Namun, apa boleh buat? Itu diluar kendali. Hati saya yang berkehendak. Walau otak saya berusaha keluar dari segala situasi yang mengerikan ini. Pada akhirnya banyak orang sering mengejek saya akan hal ini. No problem, terkadang saya senang merasa berbeda--atas kekurangan ini.

  Saya tak pernah paham kenapa para wanita sebagian besar menggilai kucing. Ok, pria pun banyak yang menyukai kucing. Tapi, saya tidak tahu kenapa. Lucukah? Indahkah? Unikkah? Mungkin jika bicara unik, kecoa lebih unik.

  Saya sering kali menjumpai kucing serta anak-anak kucing. Entah di pinggir jalan, di teras rumah orang, di dekat tong sampah, di atas permukaan tanah yang sekiranya cocok ia hinggapi, dan yang pasti bukan di tempat prostitusi. Itu kucing garong namanya.

  Ya, saya terkadang tertarik untuk melihatnya lebih lama sebelum para kucing itu mencoba mencabik-cabik saya dengan cakarannya seperti yang pernah dilakukan seekor kucing ketika saya mencoba menyalakan sebuah sepeda motor.

  Tak sengaja, saya menginjak ekornya. Lantas apa? Dengan kuku runcingnya kucing itu tak pandang bulu mencabik kulit saya secepat mungkin. Saya memaklumi hal itu, ia memang pantas melakukan itu. Saya pun terlihat kurang ajar.

  Tapi, siapa yang salah? Saya pun tak sengaja. Oke, kita tak perlu mempermasalahkan hal sepele ini. Sekarang saya mendapati seekor anak kucing berada di indekos saya sedang asyik mengacak-ngacak tempat persedian makan yang begitu kusam.

  Saya akhirnya tahu dari mana anak kucing itu masuk. Ternyata keteledoran saya yang memaksanya masuk dan menikmati persedian makan saya yang malang itu. Akhir-akhir ini saya begitu malas membuka dan menutup jendela.

  Sebenarnya saya memiliki alasan, biar udara di indekos saya tak begitu pengap. Tapi, kalau begini ceritanya. Saya tak tahu dari mana lagi angin berhembus masuk menusuk kamar ini ketika malam. Apalagi saya tak memiliki kipas angin. Mulai saat kunjungan anak kucing itu, saya merasa akan kepanasan disaat malam semakin menjadi.

  Setelah saya dengan enggan mengusir anak kucing yang menyeringai dan menyoroti mata tajamnya ke arah saya itu keluar dari kamar saya. Saya membawa makanan yang mungkin tak ia--anak kucing--sadar itu ke tempat sampah dengan tujuan dimakan olehnya.

  Tak lama setelah kunjungan anak kucing. Saya tak mengerti, sebenarnya ada apa dengan kucing-kucing di luar sana? Pintu saya terketuk tiba-tiba. Lalu ketika saya membuka saya hanya mendapati seekor kucing bercorak hitam-putih.

  Saya hanya tersenyum. Dengan bodohnya saya seakan-akan berbicara kepada itu kucing dengan tujuan memberi tahu sisa makanan yang begitu banyak berada di tong sampah. Dan saya akhirnya tahu, itu tak pernah membantu saya untuk membantunya menemukan makanannya.

  Saya tak mau ambil pusing. Setelah dua kucing berkunjung ke kamar saya. Saya pergi ke atas untuk menjemur di malam hari. Karena, besok saya harus pulang ke rumah penuh kenang. Saat itu pula beberapa ekor kucing berlarian dihadapan saya.

  Saya tak mengerti, benar-benar tak mengerti. Ada apa dengan para kucing lucu itu? Jangan salahkan saya tak menyukai kalian. Karena sejatinya saya bukanlah pecinta hewan yang baik.

  Selain curhat tentang kunjungan si anak kucing, sebenarnya saya ingin bercerita tentang kehilangan celana futsal saya. Tapi, saya tarik kembali niat itu. Entah kenapa.

Senin, 07 Oktober 2013

Api

  Jika kamu menyulutkan api di tepi batu bara berlapis minyak. Maka kamu tahu sendiri akibatnya.

  --

  Akhirnya saya tersadar. Saya yang membuat semua api itu melahap segalanya. Dari merah yang padam menjadi hijau yang liar. Saat itu pula, saya sekali lagi tersadar. Bahwa saya harus menerima kesedihan itu. Dari semangat yang begitu amat dibanggakan, menjadi terdiam sedu di bawah awan gelap pekat bergumpal.

  Saya pikir air pun tak sudi memberi tetesannya untuk saya. Api itu sudah terlanjur besar. Rasa sesal sama dengannya. Berkobar-kobar pada saat mata berkaca-kaca. Saya tahu saya salah. Lalu apa? Hardik saya semaunya. Biarkan saya tenang di dalam semua cercaan antah berantah itu.

  Jangan biarkan saya kembali hidup. Terus pendam saya dalam kata-kata penuh masalah. Saya memang penyebab semua kebodohan api yang berkobar-kobar itu. Hanya terakhir kali saya melihat perilaku saya itu. Bodoh. Api. Tak seharusnya saya bermain benda semengerikan itu.

  Siapa yang tahu? Benda itu mampu membuat saya bertekuk lutut bersedu meminta maaf tanpa henti. Menjadi seorang bodoh sendiri. Selalu menyesal dan menyesal. Kenapa saya menyulut api rasa ini? Tinggal menunggu waktu saatnya akan tiba. Saya benar-benar terbakar oleh api itu.

Sabtu, 05 Oktober 2013

Sekarang Saya Tahu Arti Kata 'Sibuk'

  Ketika kamu mendapati dua jadwal yang sama pentingnya dan kamu harus memilih salah satu darinya karena sebuah hal yang orang bilang "Pada waktu yang bersamaan."

  --

  Lalu apa yang dirasa? Saya merasa diajak nikah oleh dua wanita yang sama baiknya pada waktu yang sama.

Selasa, 01 Oktober 2013

Menepi Ketika Hujan Lalu

  Membeli pulsa, setelah sekian minggu enggan untuk itu. Memberi pesan untuk seseorang. Lalu tak ada balasan. Apa yang harus dikatakan? Hanya keengganan yang tersemat.