Sabtu, 12 April 2014

Belum Usai Ternyata

"Punya sesuatu, hanya membawa suatu masalah. Mungkin lebih baik tak punya apa-apa."

*

  Hidup ini masih berlanjut, mungkin itu yang pantas direnungkan. Suatu waktu aku pikir semua sudah selesai. Semua sudah menjadi bahagia, selamat dari bencana, kupikir itu sudah cukup membuatku tersenyum lega.

  Tapi, ternyata aku salah besar. Setelah bencana itu, mungkin terlihat secercah cahaya, tapi belum sampai kugapai cahaya itu. Sebuah awan menutupinya, menjadikan semua gelap. Masalah muncul, ya, seperti itulah bisa diartikan.

  Seperti postingan sebelumnya, aku nyaris saja ditipu. Setelah kejadian itu, aku merasa lega. Aku mencari lagi barang yang aku inginkan. Dan akhirnya aku mendapatkan, saat itu kami memutuskan untuk bertemu di sebuah Mall di Jakarta.

  Bersama teman-temanku dan salah seorang yang ahli benar dengan barang yang aku inginkan, aku menemui seorang pria yang menjual barang keinginanku. Aku sumringah sangat itu, temanku memeriksanya. Dan semua sangat baik.

  Walau ada kendala, ada kesalahan spesifikasi yang orang itu bilang sebelumnya dengan apa yang sebenarnya ada. Akhirnya kami nego, dan harga turun lumayan. Teman-temanku bersorak, bilang aku sangat beruntung mendapatkan barang itu dengan harga murah.

  Waktu itu kamu menyimpulkan, sepertinya orang yang jual barang keinginanku itu tak mengerti tentang barang itu. Sehingga main jual dan menurunkan harga seenaknya saja. Itulah pikiran kami saat itu, aku hanya tersenyum saja.

  Dua hari, aku menggunakan barang itu, sungguh luar biasa gembiranya. Gesit dan sangat membantu. Tapi, senyumanku tak bertahan lama, ada kendala pada barang itu. Awalnya tak terasa, aku kira hanya hal sepele. Begitu pula temanku kira.

  Akhirnya pas di otak-atik, sepertinya kembali menjadi lebih baik. Tapi, aku benar-benar salah, sehari setelahnya. Barangku semakin tak bisa digunakan, aku panik, dan sepertinya aku baru saja tertipu. Sepertinya begitu, saat aku mau konfirmasi barangnya, orangnya sudah tak bisa dihubungin.

  Seolah-olah orang itu melarikan diri dariku. Akhirnya aku hanya bisa meratapi barangku yang tak bisa diapa-apakan lagi. Dan aku merasa keburuntunganku adalah kehancuranku, mungkin berlebihan, tapi rasanya sangat mengerikan, tak bisa dibayangkan. Betapa kesalnya.

  Saat itu aku berpikir, semakin banyak aku punya sesuatu, semakin banyak masalah yang datang. Sebaiknya aku tak punya apa-apa biar hidupku tenang dan tentram. Seperti itulah pikiran pesimisku. Teman-temanku hanya bisa memberikan puk-puk saat itu.

  Namun, aku tidak tinggal diam. Pasti selalu ada cara melewati benteng yang kokoh. Akhirnya aku searching dengan masalah itu. Dan ternyata banyak yang mengalami kejadian sama denganku. Aku sedikit lega, berarti aku tak sendirian.

  Keesokannya, aku memutuskan ke tempat servis pusatnya. Aku harap ada harapan, walau harapannya--saat itu yang aku ketahui--mengganti komponen yang rusak. Dan kalian tahu berapa harganya? Harganya seperti aku membeli barang itu.

  Sampai di sana, ternyata benar. Aku harus menggantinya. Aku semakin tak semangat, hanya senyum tipis rasa kecewa yang kuwujudkan. Namun, operator servisnya mencoba memberi harapan, ia bilang bisa saja ada program penggantian komponen, karena ini sepertinya kesalahan perusahaannya.

  Aku akhirnya hanya bisa menunggu, aku kembali searching-searching. Sampai-sampai permasalahan ini ada grup di facebook. Dan aku dapati itu, dan ada cara alternatif ternyata. Malam itu juga aku dan temanku membenahinya, dan, viola~

  Barangku kembali berfungsi, walau masih bermasalah dengan kegesitannya yang dulu kudambakan, tapi setidaknya tidak menjadi bangkai. Dan sekarang aku masih menunggu, sepertinya orang di luar sana sedang memprotes persoalaan ini agar ditinjau perusahaannya. Syukur-syukur ada program perbaikannya.

  Ya, beginilah hidup, kita tak pernah tahu kapan selesai. Apa pun itu, kita tak pernah tahu. Hanya Tuhan yang tahu. Dan besok Almarhum kakekku ulang tahun yang ke-72. Semoga urusan di alam sana di permudah dan masuk surga. Aamiin. :)

  

Minggu, 06 April 2014

Masalah Sebenaranya

"Mereka tak peduli, lalu menyalahkan."

*

  Tidak kerasa, empat tahun sudah berlalu. Dari zaman masih bocah yang hanya melongo-longo, dan sekarang sudah mahasiswa, sunggu tak terasa, kini aku sudah punya kartu kependudukan. Ya, waktu emang terjadi begitu cepat. Namun, jika ditilik, tak ada yang berubah dari bangsa ini.

  Aku mungkin tidak tahu banyak tentang politik, tapi aku punya pandangan sendiri. Jika tidak setuju, itu hak kalian. Atau pun sebaliknya. Jika salah mohon dibenarkan, karena aku memang tidak tahu banyak tentang politik.

  Detik-detik semakin dekat, pesta negeri ini akan pemilihan umum sudah gembor-gembor dari jauh-jauh hari. Para kandidat sudah memadatkan jalanan. Dari bendera, flyer, banner, poster, baliho, dan banyak cara lainnya yang mereka kerahkan untuk pesta empat tahunan ini.

  Dulu aku penasaran sekali dengan pemilu, rasanya ingin ikut nyoblos. Tapi, semakin banyak tahu, semakin banyak cerita terdengar. Semangat itu seolah pudar. Seolah menunjukkan, ini loh wujud asli pemilu. Ini loh kebobrokan yang kita pelihara selama ini.

  Dahulu aku memang tak peduli, tapi aku dengan bodoh menyalahkan. Sekarang, semua dimulai dari peduli. Jika kita peduli, maka kita akan tahu, jalanan mana yang tepat untuk bangsa ini. Dan jalan mana yang sengsara untuk bangsa ini.

  Sayangnya, seperti posting sebelumnya, semua orang tahu kebenaran. Tapi, tak semua orang memilihnya. Beginilah realita yang ada di negara ini. Kita tahu sesuatu itu bobrok, sesuatu itu tak mengubah apapun, tapi apa? Kita tetap melanjutkannya.

  Pemilu, banyak orang antusias akan hal itu. Sebuah harapan mereka tanam, sebuah masa depan mereka impikan. Semua itu pada sebuah pilihan. Hidup memang penuh pilihan, begitu kata orang bijak. Tapi, kita harus bijak dalam memilihnya.

  Aku nggak mau ngebahas tentang caleg atau capres atau siapalah. Bukan salah kita memilih mereka. Kita tidak salah, atau mungkin saja salah besar? Siapa yang tahu? Mereka manusia, begitu pula kita. Manusia yang tak ada apa-apanya dan selalu khilaf.

  Sebenarnya kesalahan terbesar kita adalah memilih sistem yang bobrok untuk bangsa ini. Mereka bilang demokrasi, nyantanya berbaur liberal dan banyak macamnya. Sistem bobrok ini lah yang kita pilih terus. Sistem inilah yang terus menampakan kebobrokannya sehingga membuat kita kesal setiap kali melihat berita di televisi, bukan?

Percuma kita memilih orang terbaik di negeri ini jika sistemnya seperti ini. Bagaimana kita analogikan? Mungkin seperti ini, kita memilih orang terbaik untuk masuk ke tong sampah. Pada akhirnya bau sampah pula orang itu. Karena apa? Karena wadahnya kotor. Air sejernih apapun jika di masukan ke wadah kotor, ia kelak akan keruh. Lalu bukan tak mungkin menjadi menghitam.

  Ya, semua itu presepsiku. Sekali lagi, itu hanya presepsiku. Sisanya terserah kalian. Jadi, solusinya apa? Menurut saya pribadi, kita cari sebuah sistem yang jelas dan sudah teruji kebenarannya. Maksudku, sistem yang tak bercelah, yang sempurna. Sistem yang bukan di buat oleh tangan manusia yang banyak khilafnya. Ya, kalian pasti tahu. Mungkin.

  Dan beberapa kesempatan aku sempat melihat sebuah slogan-slogan yang membuatku tersenyum-senyum. Begini tulisannya. "Mari kita memilih, memilih untuk tidak memilih. Karena tidak memilih adalah sebuah pilihan." kurang lebih begitu maksudnya.

  Aku juga tidak mengajak kita golput, aku hanya ingin membuka pikiran kita dari setoples acar kosong yang ditutup rapat-rapat. Kita sudah besar, kita tahu politik itu penting. Bahkan rasullulah sendiri pun berpolitik. Untuk apa? Untuk bangsa ini. Dan juga kita, warga bangsa ini.

  Mari kita berpikir, masa depan kita ada di tangan sendiri. Masa depan kita ada di kepedulian kita. Dan jika kamu tak peduli, jangan mencoba untuk menyalahkan kelak. Gali informasi sedalam mungkin. Lalu tentuhkan pilihan. Hati-hati, media itu suka bermuka dua. Bukankah hidup menarik bukan?

  Dan sekarang, gara-gara aku ngirim sebuah link berita. Aku sedang adu argumen dengannya, temanku sendiri. Karena masalah sederhana. Ia kurang suka berpolitik. Ya, mungkin ada yang tak suka. Tapi, suka tak suka juga untuk kita, bukan?

  Untuk tanggal sembilan nanti, aku pun sudah punya pilihan. Dan kalian pasti tahu. ;)

  

Jumat, 04 April 2014

Menurutku Kebenaran

"Semua orang tahu yang benar, tapi tak semua orang memilihnya."

*

  Terkadang aku terus memikirkan kalimat itu. Bahkan melakukannya. Aku tahu apa yang benar, hanya saja terkadang aku takut tentang kebenaran itu. Apalagi saat kebenaran itu membuatku jauh dari rasa kebahagiaan--yang semu itu.

  Dan tak banyak orang pula yang terjebak dengan keadaan itu. Ya, aku bisa menjamin sebagian besar orang tahu apa yang benar dan tahu apa yang tidak benar. Tapi, apa? Aku tidak bisa menjamin orang suka dengan yang benar. Walau dia tahu apa yang terjadi ke depannya.

  Itulah manusia. Mereka tahu, tapi mencoba untuk tidak tahu. Mereka mengerti tapi mencoba untuk tidak mengerti. Terkadang mereka enggan peduli, dan hanya memenuhi kepuasaan diri. Tak pernah berpikir yang ia lakukan kebenaran atau kebaikan.

  Benar sudah pasti baik. Namun, tidak untuk baik sudah pasti benar. Kebaikan terkadang bersifat semu, mencoba berbaik hati pada diri sendiri dengan melakukan sesuatu yang tidak benar. Entahlah, mungkin seperti itu.

  Oh ya, itu hanya menurutku. Jangan ambil pusing dengan apa yang kupikirkan. Kalian bebas setuju atau tidak. Tapi, belakang ini, semua itulah yang menghantui pikiranku. Aku terus berpikir, aku tahu apa yang benar, tapi terkadang aku mengabaikannya. Malah aku melakukan apa yang membuatku senang.

  Pernah suatu saat badanku merasa kurang enak. Dan yang benar adalah aku harus istirahat. Tapi apa? Teman-temanku mengajak nonton ke bisokop, seolah-olah aku langsung sembuh dan ikut dengan mereka. Padahal besoknya aku pun harus ujian dan belum sama sekali belajar.

 Tidak hanya itu, hingga beberapa hari aku terserang meriang, terkadang tubuh sedikit meriang terkadang sembuhan. Nah, saat sembuhan itu aku berulah kembali. Waktu itu, aku tahu tenggorokkan meradang. Aku dengan tega minum es begitu saja di tengah siang bolong yang terik.

  Setelah itu, aku mendapati diriku pusing dan kembali meriang. Belum kapok, aku malah dengan tak berdosa pergi ke lapangan basket untuk main basket dengan kondisi yang benar-benar kacau. Apa yang aku lakukan? Aku tahu istirahat adalah yang benar, tapi hasratku memilih untuk melakukan itu semua. Kebaikan untuk memenuhi hasratku itu.

  Semua orang tahu kebenaran, tapi semua orang takut tersakiti dengan kebenaran itu. Maka dari itu, sebagian orang lebih memilih untuk tetap tidak mau tahu apa itu kebenaran. Dan melakukan apa yang mereka cari--kesenangan dan kebahagiaan semu itu.

Selasa, 01 April 2014

Ambisi dan Waktu

  "Waktu dan ambisi akan membunuhmu, entah perlahan atau tiba-tiba."

*

  Waktu itu aku nyaris saja menjadi orang bodoh. Bukan karena otak ini tak berfungsi. Semua karena ambisi. Ambisi yang memaksa bergerak lebih cepat dari apapun. Tak peduli situasi, tak peduli apapun. Terpenting ambisiku terpenuhi.

  Aku asumsikan di sini ambisi adalah keinginan. Keinginan payah yang membuat aku nyaris saja kehilangan beberapa hal penting. Keinginan memang tak salah, tapi keinginan suka membuat masalah.

  Begini kronologinya, aku punya sebuah laptop yang sudah kadarluasa. Tapi, masih bisa berfungsi dengan baik. Sayang saja aku punya ambisi dengan laptop baru--baru dalam artian laptop kepunyaanku yang baru. Nah, hal itu yang nyaris menghantar aku menuju petaka.

  Sebenarnya sudah dari jauh hari aku mencari laptop, tapi karena materinya pas-pasan aku nyari yang bekas. Dapatlah, dengan harga yang timpang. Beruntungnya saat itu aku tak sadar bahwa harganya itu timpang dan janggal.

  Awal kisah aku kirim pesan dengannya, dia menjawab, baik kita sebut saja biar siapa tahu membantu banyak orang untuk tak terjadi hal ini. Dia mengaku namanya Iwan. Pertama kirim pesan tanya harga, tanya spek. Terus dia meminta pin bbm.

  Setelah saling komunikasi melalui chat bbm, dia bilang mendesak. Sampai rela menurunkan harganya. Dia bilang butuh uang untuk bapaknya yang sakit parah. Dia bahkan berani sumpah. Dan mengirim ktpnya, rekeningnya, dan fotonya bersama laptopnya.

  Aku semakin percaya. Dan semakin berambisi. Tadinya, aku ingin pergi ke tempatnya--Iwan--di Sukabumi, ke alamat ktpnya. Tapi, dia meminta hari itu juga karena suatu alasan. Alasannya yaitu untung memesan kamar untuk ayahnya yang sakit parah.

  Aku menolaknya, aku ingin langsung ke tempatnya saja. Tapi, dia terus memaksa hari itu. Aku pun membatalkannya. Namun, dia memberikan solusi lain. Ya, solusinya, aku bayar beberapa untuk sewa kamar--katanya. Lalu dia ngirim barangnya, setelah barangnya sampai, barulah aku kirim sisa uangnya.

  Karena waktu yang semakin mendesak, dan ambisi yang semakin menuju kilmaks. Aku setuju, semua senang. Aku senang begitu pula dia. Namun, dia sempat bilang jika aku tak mengambilnya ada orang yang mau ambil barang itu dengan harga lebih murah, makanya ia meminta aku yang membelinya.

  Setelah itu, aku ada kuliah sehingga menunggunya melakukan packing barangnya. Dia mengirim foto packingannya, fotonya sangat meyakinkan. Dibungkus rapih dengan solatip cokelat dan kertas cokelat.

  Lalu ia bilang minta jeda waktu dua puluh menit untuk pergi ke ekspedisi. Tak lama, dia bilang sudah beres. Nomor resi pun ia berikan. Aku semakin percaya, ambisi sudah klimaks. Beruntungnya saat itu aku tak memiliki uang di rekening. Seandainya punya uang pula aku tak mengerti cara transfernya--saat itu.

  Pada akhirnya aku meminta uang amanat dari almarhum kakek untuk di kirim segera ke orang itu. Orang itu--Iwan--memberikan nomor rekeningnya. Tapi ada yang janggal, nomor rekening yang ia beri dengan yang ada di foto beserta ktp-nya ternyata berbeda.

  Aku menanyakannya, dan dia gak masalah mau kirim ke mana saja. Aku pun percaya. Dia meminta untuk transfer lebih cepat, dia mendesak, dengan alibi untuk menyewa kamar lebih cepat. Atau tidak ayahnya akan kenapa-kenapa--tentu saja dengan bersumpah bahwa ayahnya sakit keras.

  Aku menghubungi orang tua, beruntungnya lagi di persulit sama orang tua. Aku sempat debat, dan bilang bahwa aku sudah yakin betul akan hal itu. Sayangnya ayah bersih kekeh tidak ingin mentransfer kalau tidak ketemu langsung atau tunggu barangnya sudah jadi.

  Sampai situ aku merasa kecewa, aku sempat kesal dengan mereka. Ambisiku seolah ditelan angin sore. Saat itu emang sore dan berangin. Aku ada kuliah lagi, dan aku memberikan nomor orang itu kepada ayahku.

  Saat setelah selesai kuliah, ayahku memberi pesan kepadaku untuk tidak mengirim dan sebagainnya. Katanya dia marah-marah dan berbagai halnya. Aku sudah memberi tahu orang tua bahwa dia sudah ngirim barang.

  Aku semakin tidak merasa enakan. Dia menghujatku, bahkan menyumpahiku yang tidak-tidak. Seperti saja, dia menyumpahiku bahwa dia tak rela aku mencium surga. Aku semakin panik, saat itu seolah aku tidak peduli mau ditipu atau apa.

  Aku berusaha meyakinkan kembali, tapi percuma. Mereka--orang tuaku--tak memberi kehendak. Aku pun terdiam, sampai akhirnya aku melupakannya setelah meminta maaf kepada orangnya. Tapi orangnya cuek. Aku pun menghapus kontaknya karena merasa frustasi.

  Tak lama, malam tiba. Ayahku memberikan pesan kepadaku. Memberi tahu, tentang penipuan yang pernah terjadi dengan atas nama sama dengan metode yang sama. Aku pun bersyukur uang yang diamanatkan masih selamat.

  Setelah kejadian itu, aku lebih hati-hati dan pada akhirnya aku mendapat ambisiku. Dengan waktu yang cukup lebih lamat namun meyakinkan. Dan kalian tahu? Aku mendapatkan yang lebih baik. Bukan spesifikasinya, lebih jelas dan lebih menenangkan hati.

  Ambisi terkadang membuat lupa waktu itu perlu. Waktu pun terkadang membuat ambisimu meledak-ledak. Tiba-tiba atau lambat. Waktu akan menghantarkan ambisimu, jadi bersabar tak ada salahnya.

  Dan kini aku sudah mendapatkannya, dengan harga lebih murah. Semua pasti ada berkahnya. Dan selalu berhati-hati dengan sumpah. Mulut mereka sekarang tak peduli tata krama, karena mereka tak kenal dosa.

  Orang seperti itulah yang mengerikan. Merusak dan tidak pernah peduli perjuangan. Jika saja uang yang diamanatkan hilang, entah seperti apa aku mengutuknya. Dan dua hari berikutnya kiriman dia datang.

  Kalian tahu apa? Aku tertawa hambar saat itu. Sebuah amplop yang diplastikan dan berisikan sebuah cd yang sampai sekarang enggan aku buka. Semoga Tuhan tahu yang terbaik buat orang yang tak kenal dosa. Orang yang tak kenal kasih sayang ke sesama. Seolah menghujat, padahal dirinyalah yang pantas.