Kamis, 28 Februari 2019

Pulang dan Terbenam

Pada akhirnya berada di rindu-rindu yang sulit terucap. Sekali pun itu sudah tak kuasa lagi tertahan. Tapi, tidak tersampaikan.

Hujan tiba-tiba datang, kupikir bisa pulang cepat dan terbenam dalam rutinitas keseharian, rupanya ku mesti terjebak. Oleh rindu-rindu yang tiba-tiba begitu saja menyelimuti bayang-bayang.

Kembali memutar lagu-lagu sendu mendalam, waktu-waktu semua amat terlihat secara terang benderang, saat rindu-rindu adalah sebuah nyata dan keniscayaan, bukan bayangan atau angan-angan kesedihan.

Entah apa yang diinginkan, sore ini amat teramat dingin. Menyisakan tulisan-tulisan yang tidak menentu, tidak berbentuk, hanya serpihan-serpihan kisah atau pikiran.

Ingin rasanya menyapa atau sekadar tukar pikiran, tapi tidak ada yang bisa kusapa ataupun setelahnya. Semua masih terlihat amat sibuk, di ruangan begitu amat sepi, dan aku seperti orang tengah kesepian.

Tapi, rupanya suara langit-langit meramaikan telingaku, tiada henti suara gemuruh silih beganti. Hanya saja, aku masih membingung, rasanya sudah tidak ada energi lagi hari ini.

Aku, ingin pulang, dan terbenam.

Lara

Puing-puing itu menghiasi bayang-bayangku. Tak ada sisa suara yang terdengar selain lagu penuh lara. Semua ucapan orang-orang rasanya seperti... Membisu. Tak bersuara, tak ku peduli, aku benar-benar mati.

Jika kamu lihat langit-langit di luar sana, semua tersikap oleh awan menghitam. Tak ada yang peduli, paling hanya bergumam bahwa bumi mau menghujan. Suara petir hanya seperti pekikan maki yang menyakiti hati.

Telingaku seolah tertancap pendengar suara yang amat dalam, tidak ada suara selain lara. Sedikit saja lara itu mendengarkan gegap gempita suara dirinya--seseorang--, aku mulai muak dan mengerang kesakitan.

Rasanya, amat teramat benci.

Orang banyak bilang kepadaku, kata mereka, hatiku sudah mulai membusuk. Seolah semua salah di mataku, di telingaku, dan mulutku. Aku tahu, tapi kalian sungguh tidak pernah tahu, derita itu. Erangan sakit itu.

Tapi kamu dimana? Saat semua itu menyiksaku, mengajariku, bagaimana membenci kehidupan ini. Membenci kalian semua. Dan tak acuh akan sebuah masa.

Puing-puing itu masih menghiasi bayang-bayangku. Sampai kapan akan seperti ini. Kata orang, lebih baik mati daripada menderita tiada tara tak terhingga. Aku setuju dengan mereka, jadi, biar kuakhiri...

Lara ini...

***

Rasanya keluh saat ingin berbicara.
Rasanya malu saat ingin bertingkah.
Rasanya derita saat ingin mendengarkan.
Rasanya hampa, saat melihatnya.

Seperti lara-lara sebelumnya
Ada angin yang mulanya menyejukan
Lalu menyakitkan
Seperti kisah-kisah pada umumnya

Kata mereka
Ada luka-luka di hati
Atau titik-titik hitam di hati
Atau kebencian yang membekas, di hati

Awalnya ku coba peduli
Ku coba pikir-pikir apa yang tengah terjadi
Namun, nyatanya aku hanya menutupi
Lara-lara yang silih berganti

Tiada henti, tak terhingga mungkin sampai mati
Mungkin juga sampai aku tak merasa hidup lagi
Tidak benar-benar mati
Tapi, hampa.

Kata mereka
Ada pikiran-pikiran yang belum selesai dimengerti
Atau pesan-pesan belum tersampai
Atau kisah-kisah yang belum terurai hingga selesai

Awalnya ku coba menunggu
Tapi, lambat hari aku hanya menjadi seonggok batu di laut mati
Hanya menunggu
Dan menunggu

Air menghempaskanku
Memecahkanku.
Meniadakanku.
Dan dirinya berjalan berlalu.

Bahagianya, saat lara benar-benar tiada habisnya.
Dan keputusasaan adalah teman sejatiku.

***

Pernahkah dirimu dalam keadaan yang antah berantah penuh duka dan lara? Berarti, selamat menikmatinya.

Rabu, 27 Februari 2019

Sudah Setahun Di Kehidupan Baru

Sudah setahun.

Tidak terasa ya sudah setahun berlalu, rasanya baru kemarin aku pergi meninggalkan begitu banyak masalah yang belum berakhir dan mungkin ku merasa tak akan pernah bisa berakhir.

Aku pikir, saat itu, hanya ada rasa sakit yang membekas, atau mungkin kenangan-kenangan buruk yang terngiang di kepala. Tapi, waktu rupanya berbicara, semua mungkin sudah bahagia pada waktunya, pada tempatnya, pada alasannya. Walau masih tersisa kenangan-kenangan buruk itu, lalu membuatku bertanya, kenapa yang terngiang atau teringat itu kenangan-kenangan buruknya? Kenapa tidak kenangan menyenangkannya?

Manusia tergoda setan, lebih suka keburukan.

Aku senang, semua baik-baik saja pada akhirnya.

Sudah setahun, dari anak lab di Jakarta sangat komplit, hingga sekarang, entahlah, semua punya urusan masing-masing, kebutuhan masing-masing, mimpi masing-masing, hingga akhirnya beberapa meninggalkan Jakarta ini.

Sudah setahun, aku benar-benar tidak tahu harus berbicara kepada siapa, tidak tahu harus bercerita aku sedang bahagia, atau sedang sedih, atau mungkin sedang bingung. Dimana pada akhirnya aku tuangkan semua disini, dari merasa aku seperti tidak bisa berhenti menulis, sampai malu sendiri karena tulisannya terlalu gamblang, kurang improvisasi, kurang kunikmati.

Sudah setahun pula, aku kembali aktif lagi di blog ini, bahkan lebih sangat aktif tepatnya. Mengeluhkan segala masalah, segala hal, atau sedikit berbisik beberapa cerita, yang mungkin tidak begitu penting, tidak begitu tepat untuk diceritakan.

Sudah setahun, akhirnya aku kembali tinggal dengan kedua orang tuaku. Kali ini menjadi anak tunggal lagi. Mulai belajar menjalin komunikasi dengan keluarga, mulai banyak cerita, sampai ummi heran. "Ternyata Hilmy nggak pendiem ya." Dan aku tersenyum-senyum sambil bicara dalam hati. "Nggak tahu aja gimana kelakuan anaknya di luar rumah."

Bicara setahun, aku jadi ingat dulu pernah ditolak sebuah perusahaan besar karena belum punya pengalaman kerja setahun. Terus jadi kepikiran, mau coba apply lagi? Haha, entahlah.

Sudah setahun, membuatku bertanya-tanya, seperti apa ya Hilmy versi 3? Hilmy yang beda dari zaman SMA dan Kuliah. Pikirku, aku harus lebih banyak pakai otak sekarang, harus lebih banyak mikir dan merenung, terus jadi batu. Eh, maksudnya jadi bijak gitu, tapi ya biarkan saja semua berjalan dengan sendirinya.

Sudah setahun, aku menikmatinya, mungkin, aku memaknainya lebih baik sekarang, walau banyak hal yang tidak menutup membuatku sedih dan berkutat pada kata menyerah. Tapi, kata Mas Salingga tadi. "Masa lalu itu..."

Ah, sial, aku lupa lanjutannya apa.

Haha. Intinya, tadi Mas Salingga komentar soal, penilaian terhadap masa lalu.



Tiba-Tiba Bahagia

Pernah merasa tiba-tiba bahagia? Tapi sebenarnya tidak tahu kenapa kok ada perasaan bahagia? Padahal jika ditilik ke belakang atau kondisi saat itu, rasanya tidak ada hal apapun yang membuat kita bahagia.

Semua terasa biasa saja, berjalan seperti pada biasanya seperti hari-hari sebelumnya. Tapi, kenapa tiba-tiba merasa bahagia ya? Aku iseng cari-cari di google, ini saking penasarannya, eh keluarnya soal gangguan jiwa yang biasa disebut bipolar.

Aku mengernyitkan dahiku, ah sepertinya perkara ini tidak seekstrim itu. Jika bicara bipolar ku teringat tulisan Hannan tentang bipolar, dan jika ku coba hubungkan, ah tidak, ini tidak seperti itu. Tapi rasa ini tidak hanya sekali, mungkin beberapa kali, mungkin kalian juga pernah?

Tiba-tiba bahagia tanpa sebab, tiba-tiba sedih tanpa sebab, tiba-tiba merasa senang, tiba-tiba kok rasanya hati tuh nggak enak. Sebagai orang yang suka mendahulukan insting daripada logika akan keadaan-keadaan, aku biasanya lebih menebak-nebak.

Ada apa ini? Apa ada yang tengah terjadi tapi aku tak tahu, apa ada kesedihan atau kebahagiaan yang akan menanti sebentar lagi? Karena terbiasa membawa insting, jadinya selalu bersiaga, terutama kalau perasaan lagi tidak enak-enaknya.

Sore itu, perasaan bahagia menyelimutiku, saat itu aku iseng berlaga selebrasi seperti Cristiano Ronaldo, entahlah, rasanya ingin saja. Aku hanya tidak sabar untuk futsal sore itu. Sampai aku teriak-teriak di kantor saat berlaga seperti Cristiano Ronaldo.

Aku masih tidak tahu apa yang membuatku bahagia, bahkan sampai menulis ini, apa benar bahagianya karena bermain futsal?

Tapi, pertandingan futsal hari ini adalah pertandingan terbaikku dari sekian minggu bermain futsal dengan anak-anak kantor, bahkan pernah aku begitu mandul. Hari ini, aku hampir mencetak semua gol timku dengan berbagai keadaan, dari yang keren sampai tidak disengaja, hehe.

Menyenangkannya lagi, aku banyak solo run dan ngolongin--nutmeg--beberapa orang. Lalu umpan tarik gol, lalu menendang bola dan gol, lalu mencongkel bola dan gol. Permainan tim pun sangat bagus sekali, passing-passing pendek lalu berlari kemudian passsing lagi.

Selain bermain menyerang, dalam bertahan permainan kita sangat rapih. Menutup operan-operan silang dan pergerakan, beberapa kali counter attack yang menyisakan kiper doang di sisi lawan. Ah, menyenangkan sekali futsal sore ini.

Aku benar-benar merasa puas, sore ini. Alhamdulillah. Terus jadi pertanyaanku sendiri, apa ini perasaan bahagia yang diluapkan lebih dahulu? Yang dirasa lebih dahulu? Apakah ini jawaban dari kebahagiaan itu?

Ah aku tak benar-benar tahu, tapi tentu saja Allah Maha Pengasih sekaligus Penyayang. Mungkin ini hiburan dari-Nya, atas hal-hal yang sangat luar biasa belakangan ini.

***

Hari ini, ka Amri cerita soal memaknai kegagalan untuk menjadikan sudut pandang agar mudah move on. Rasanya baru kemarin aku nulis soal memaknai hidup, eh dibahas. Ah, mudah sekali aku senang, pembahasan yang menyenangkan.

Lalu bahas juga soal ekspetasi, rupanya, diri ini bukan takut bermimpi, bukan tak punya mimpi, tapi sepertinya aku lebih takut gagal dan kemudian diam tak berekspetasi dalama kehidupan ini, diam tak bermimpi dalam kehidupan ini.

Ini knowledge sharing pertama timku, kita sudah buat jadwal sharing-sharing, walau baru dua orang yang ngisi hihi. Aku tak tahu harus sharing apa, aku cukup senang dengan perkembangan tim ini.

Hampir tiap hari tidak ada selang waktu beberapa menit pasti selalu ada saja yang bisa diobrolkan, dari diskonan yang membuat diriku menjadi sangat boros, atau soal perjodohan di ruangan karena masih banyak jomblo disini, atau soal kerjaan yang tidak ada habis-habisnya, atau apapun yang bisa kita obrolkan.

Walau, aku masih menunjukkan sikap bocahku. Dan itu membuatku berpikir, apa aku tidak bisa diam dan terlihat lebih cool gitu? Lebih berwibawa gitu deh. Lalu Mbak Dian menolah. "Jadi diri sendiri aja, biar yang cool dan diam tugasnya Bambolz."

Lalu Mbak Dian melanjutkan. "Tapi, kalau ada Hilmy dua disini, mungkin orang-orang--introvert--pada capek juga."

Aku tertawa. "Mbak, jangankan mbak, saya pun juga capek mbak."

Semoga berisikku tidak mengganggu mereka-mereka yang pada pendiem menggemaskan ini. Kalau soal yang tidak suka ruangan sepi itu jadi ingat Zaki, dia baru keluar awal bulan ini, hiks, orang ekspresif itu memang seru ya, apalagi pede, dulu aku tidak pede tapi pas tahu Zaki lebih ekspresif dan menjadi dirinya sendiri, aku seperti melihat keniscayaan untuk menjadi Hilmy 'bocah' lagi.

Jadi, Zaki itu pernah tiba-tiba ngomong apa gitu, padahal semua lagi sibuk kerja. Dia bilang, "Biar ada obrolan aja." aku terkejut saat itu dan merasa ada temannya.

Satu hal yang membuatku tetap masuk ke kantor walau semalas-malasnya diriku adalah, aku bisa ngobrol dengan orang, bisa membicarakan dari a hingga z, dari tidak penting sampai sangat-sangat-sangat tidak penting.

Dan awal perpindahkan dari tim lama ke tim baru adalah takut akan perubahan suasana, aku takut jika tim atau tempat baruku sangat senyap dan aku tercekik sesak napas tidak bisa ngobrol. Tapi, rupanya, itu fungsiku. Walau aku tidak tahu, lebih banyak positif atau negatifnya.

Aku menikmatinya, dan semoga semua menjadi lebih mudah.

Selasa, 26 Februari 2019

Basah Langit Abu-Abu

Aku menekan tuts vending machine ini, ah rasanya nikmat sekali gedung ini punya alat ini. Aku bisa kapan saja beli minuman, sungguh bisnis yang tepat.

Kleng... Kleng...

Aku mengambil minumanku. Aku menatap kaca-kaca gedung, terlihat basah langit abu-abu. Lantas duduk di sebelah temanku, sembari masih memandang basah langit abu-abu. "Hujan." Kataku dan memberi minuman yang kubeli. Aku beli dua.

"Terima kasih." Katanya dengan lembut namun masih termenung.

Cklek.

Kita sama-sama meminum minuman itu. "Ah... Sungguh nikmat." Kataku sambil mengusap mulutku. Aku menoleh ke arah temanku. "Jika kamu diizinkan menyesal, apa yang akan kamu sesali?"

Temanku menoleh, menatapku, memincingkan matanya, dan menatap ke arah kaca gedung lagi. "Berleha-leha di masa muda dan menderita sekarang." jawabnya datar.

"Oh." sahutku, meminum lagi. "Jawaban yang klise." lanjutku.

Dia meminum juga, dengan cepat lalu membalas kata-kataku. "Persetan dengan klise, tapi sekarang aku sungguh menderita. Semoga tuaku, aku bisa berleha, karena sungguh aku benar-benar menderita sekarang!" katanya dengan menahan keluhan.

Aku terbahak-bahak.

Dia menoleh menatapku heran, lalu terbahak-bahak juga.

"Aku tidak tahu, kapan kita bisa berleha-leha sehingga tak akan menyesal lagi." kataku.

Dia meminum lagi lalu ber-'ah'. "Mati, aku yakin setelah mati kita bisa berleha-leha." matanya sangat tajam kali ini, tak ada gerakan lain selain jawaban itu. Dia benar-benar serius kali ini.

"Kalau begitu, berarti seharusnya kita sekarang tidak duduk dan memandang langit abu-abu yang basah itu dengan kopi kaleng ini?"

Dia beranjak dari duduknya. "Kamu benar, kita tidak boleh buat penyesalan lagi, setelah mati."

Aku tersenyum.

***

Mungkin sebulan terakhir, oh tidak, dua bulan terakhir, atau enam bulan terakhir? Apa setahun terakhir? Atau jangan-jangan 23 tahun terakhir? Ups, itu terlalu berlebihan. Tapi, memang beberapa bulan belakangan ini membuat terpikir soal masa lalu.

Leha-leha masa lalu akan membuat derita masa kini, derita masa kini apakah akan membuat leha masa depan? Tapi, derita masa kini rupanya menjawab leha-an masa lalu. Jadi bagaimana dengan masa depan?

Sekarang, lebih hati-hati dalam memaknai hidup, dalam memilih jalan hidup, karena penyesalan itu sungguh menelan hidup-hidup, sebuah rasa. Setidaknya aku tidak mau mati karena penyesalan seperti raja Emitez.

“Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.” QS Al-Fajr, ayat 24

“Kiranya kami dikembalikan (ke dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang yang beriman.” QS Al-An’am, ayat 27

*

Seorang berkomentar tentang 'Basah Langit Abu-Abu'.

"Tulus (penyanyi) keren ya, dia mau bilang hujan aja harus pake kata-kata itu (Basah langit abu-abu)."

Aku tersenyum membacanya dan mengangguk, iya-ya, dia padahal cuman mau bilang hujan.


Minggu, 24 Februari 2019

Orang Yang Menyimpan Bahagianya

Orang itu sudah tidak terlihat bahagia lagi. Wajahnya yang berseri telah memudar. Senyumannya pun tak sesering biasanya terlihat.

Aku berjalan ke sebelahnya dan bertanya. "Kenapa kamu terlihat tidak bahagia lagi?"

Orang itu menoleh. Ia berpikir sejenak. "Aku menyimpan bahagiaku."

Aku terheran. "Maksudmu?"

Orang itu tersenyum sedikit dan berkata. "Aku menyimpan bahagiaku di dunia untuk kebahagaiaanku setelah kematianku."

Aku terdiam.

***

Waktu itu aku chattingan dengan Salma, lalu dia berkata. "Bersungguh-sungguh, Mas."

Aku tersenyum membacanya.

Jumat, 22 Februari 2019

Pria-Pria Selasar

aku duduk, di tempat ternyaman di dunia.

Sebuah selasar, dimana terik matahari yang menusuk seolah tumpul, dimana derasnya bulir-bulir hujan tertamengkan dengan baik, angin yang mendayu-dayu, lelah yang luntur. Orang bilang, ini adalah selasar Masjid.

Aku tak sendirian, di sekelilingku banyak sekali orang. Ada yang serius memegang ponselnya, ada yang duduk termenung, ada yang tertidur pulas, ada juga yang tertidur dengan wajah seperti orang berpikir.

Apa yang kamu pikirkan tentang selasar Masjid? Tentu saja, jawabanmu tidak salah. Tapi, bagiku selasar Masjid adalah sebuah pertunjukan karnaval kehidupan seorang ayah. Jika kamu ingin melihat para pria--ayah--yang sedang berjuang untuk anak istrinya, sesekali mampirlah ke selasar Masjid. Kamu bisa melihat raut wajah lelah mereka, yang tentu saja, tak akan mereka tampilkan di hadapan kalian...

Wahai anak dan istri.

Aku melihat, pria yang tertidur itu. Aku yakin, dia tidur untuk memastikan pada dirinya untuk bekerja lebih giat, lebih lama lagi. Atau agar ia bisa begadang semalam suntuk nanti malam, maka itu ia perlu energi siang ini.

Guratan wajahnya terlihat jelas, seperti sedang berpikir dan lelah. Keningnya mengkerut. Apa yang sedang kamu pikirkan di tengah tidurmu? Wahai ayah dari anak-anakmu.

Belum genap aku melihat banyak pasang mata perjuangan, seseorang berbicara kepadaku. "Mas, mau beli remote teve-nya?" tanyanya bisik-bisik sambil memperlihatkan berbagai macam remote teve di tasnya.

Aku pikir ia akan memaksa dengan memberikan kisah-kisah menyedihkan, ia hanya menunggu jawabanku. Aku hanya berpikir saat itu, seberapa orang yang membutuhkan remote teve dalam sehari? Jika ada yang membeli remote teve, seberapa untungnya pria itu? Apakah cukup untuk makan anak dan istrinya? Logika sederhanaku, untuk makan siang atau malam sendiri saja mungkin masih ketar-ketir.

Aku tersenyum. "Berapaan, Mas?"

"Tergantung mereknya, Mas. Teve Mas-nya apa?" tanya pria itu, wajahnya terlihat riang, tapi dia tidak bisa berbohong. Kantung matanya begitu tebal, matanya sudah sayup kelelahan.

Aku bingung, aku tidak punya teve sebenarnya. "Saya tidak punya teve, Mas." Sahutku, bibirku rasanya keluh, aku tidak berniat menolak orang itu, tapi aku tidak bisa berbohong. "Tapi, mungkin aku bisa beli satu?"

Pria itu tersenyum. "Ndak apa-apa, Mas kalau memang tidak sedang membutuhkannya. Jangan dipaksa. Hehe." ia menutup tas berisikan remotenya itu.

"Tapi, Mas--"

"Saya bukan hanya butuh uang, Mas. Tapi, saya juga ingin punya manfaat untuk orang lain. Kalau Mas pada akhirnya nggak pakai remote-nya, saya merasa tidak memberi manfaat apa-apa, Mas. Maaf, Mas, bukan maksud saya apa-apa." kata pria itu, menunduk, merasa tidak enak untuk bicara seperti itu.

Aku terdiam. Bekerja bukan hanya bekerja, bukan hanya perkara uang, tapi juga perihal kebermanfaatan. Saat itu, aku yang jadi termenung. Sementara pria itu sudah beranjak ke tempat wudhu, lalu masuk ke dalam Masjid.

Tapi, tempat (sekadar) ternyaman di dunia ini rupanya tak ada apa-apanya, dalam Masjid adalah tempat terbaik di dunia--tentu saja selain tanah suci.

Pria itu berbisik kepada bumi, dan langit mendengarnya. Pria itu mengadu kepada Sang Pencipta. Entah apa yang ia katakan, yang aku tahu, istri dan anaknya adalah orang yang beruntung. Tak ada yang lebih indah dengan meninggikan Sang Pencipta, dan menyerahkan akan apa yang terjadi di muka bumi kepada-Nya. Lantas percaya, tak ada satu pun mahluk-Nya yang akan kekurangan rezeki.

Aku lantas melihat tiap-tiap wajah para pria-pria di selasar ini. Pria-pria yang penuh dengan luka dan derita, tapi tak sedikit pun ia sampaikan pada anak dan istrinya. Pria-pria yang mungkin ditolak ratusan kali oleh para calon pembelinya, tapi terus meminta kepada-Nya, bahwa rezeki sudah diatur oleh-Nya. Pria-pria yang mungkin... Tidak semanis ibu, tak seperhatian ibu, tak selalu ada seperti ibu.

Tapi, pria-pria ini bak awan. Awan selalu ada, entah pagi atau malam. Walau tidak ada yang begitu peduli, kecuali saat awan-awan itu sedang dalam masalah seperti mendung menggelap, petir menyambar-nyambar, atau hujan isak hatinya.

Jadi, kapan terakhir kali kalian bercanda dengan ayah kalian? Memang susah sekali rasanya, mereka terlalu kaku, sampai aku lupa kapan bisa mengajaknya bicara lebih dulu.

Lalu, kapan terakhir kali kalian bilang sayang kepada ayah kalian? Ah, aku mungkin tidak pernah seumur hidupku. Rasanya keluh, rasanya malu, tidak bisa, karena tidak terbiasa juga. Mereka terlalu tangguh, mereka terlalu kuat walau di baliknya tersimpan kasih sayang dan cinta yang jarang dijamah oleh kita.

Pria-pria selasar ini tak lain yang tengah berjuang mengumpulkan nafkah untuk keluarganya. Melipir untuk istirahat setelah berkeliling jauh. Melipir untuk berdoa walau rasanya masih banyak yang perlu dikerjakan. Melipir untuk menikmati, sedikit saja rehat.

***

Kemarin, aku melihat motor salah satu rekan kantorku di parkiran masjid. Aku sebenarnya ingin minta bareng dengan beliau untuk berjalan ke kantor menggunakan motornya. Tapi, aku tidak menemui beliau di dalam masjid. Aku akhirnya menelusuri selasar. Aku akhirnya mendapati beliau yang sedang tertidur.

Saat itu, aku tersenyum. Aku membayangkan ketika dia harus selalu terlihat bahagia di depan kedua anaknya yang sedang aktif-aktifnya, namun di samping itu ia harus bekerja pagi, siang, dan malam agar memastikan keluarganya telah ia lindungi. Lindungi dari apapun, rasa lapar, kekurangan harta, kekurangan pendidikan, ancaman-ancaman, dan lainnya.

Bagiku, beliau adalah role model ayah yang aku impikan. Aku pernah menyampakan itu kepadanya, ia hanya tertawa. Dalam benakku, aku membayangkan betapa beruntung anak-anak beliau punya ayah yang pintar, sholeh, dan menyenangkan seperti ini.

Lalu aku bertanya kepada diriku sendiri, ayah seperti apa ya yang bisa aku tunjukkan?

Setelah mendapati beliau tertidur, aku duduk di seberang beliau tertidur--masih di selasar Masjid. Aku termenung lalu akhirnya tidur-tiduran. Menatap daun-daun yang tumbuh bermekaran menutup jari-jari matahari yang berusaha menyelusup. Saat itu, aku memikirkan orang-orang yang melipir ke selasar Masjid ini. Seperti apa ya rasa lelah mereka?

Aku hanya tahu, begini ya, rasanya, lelah bekerja.

Akhirnya aku benar-benar tertidur, hingga akhirnya beliau--teman kantorku--terbangun. Aku saat itu sadar, aku pun langsung bangun sebelum ditinggalkan. Akhirnya kita pulang bersama, dan aku cerita banyak ke dia.

Dia orang yang menyenangkan, sungguh Allah sayang kepadaku, memberikan teman kantor seperti dia.

Kamis, 21 Februari 2019

Marah Kalau Kamu Nggak Bahagia

Seorang istri bertanya ke suaminya, dengan ragu, dengan takut. Namun, ia harus bertanya. Agar hatinya tahu, bahwa akan seperti apa ke depannya. "Bang..." Sapanya, sang suami menoleh. "Abang marah nggak aku ada masalah di rahim?"

Sang suami menatap mata istrinya yang takut itu. Ia tersenyum dan memegang lembut jemari istrinya. "Aku marah kalau kamu nggak bahagia."

Si istri tersenyum, dengan memegang erat tangan suaminya. Matanya berkaca.

Tak ku berani marah akan apa yang Tuhan uji. benak sang suami memberi senyuman terbaiknya.

***

Percakapan di atas, membuat diriku tertegun, membuat aku tersenyum haru. Percakapan di atas di pos oleh kakak kelasku yang luar biasa. Beliau ku kenal di Cakrawala Baca, dahulu aku tak sadar ternyata beliau orang hebat.

Semasa di LDK beliau tidak mau membalas pesan lawan jenis di atas jam 9 malam, walau pun itu perihal penting, walau pun itu perihal divisinya. Namun, beliau harus terpukul lewat kematian ayahnya. Tapi, bukan berarti beliau kalah dengan keadaan.

Sebelum lulus, beliau menikah, dengan wanita sholehah yang amat ia cintai. Lalu sang istri lulus lebih dahulu. Sementara beliau harus berjibaku keras dengan tugas akhirnya, walau melebih standar kelulusannya tapi akhirnya beliau menaklukan amanah yang diberikan oleh orang tuanya, oleh Almarhum ayahnya.

Beliau, lulus berbarengan denganku. Kita saling memberi selamat, aku melihat dia bersama istrinya. Senang melihatnya.

Tak lama waktu berjalan, terdengar cerita akan pertanyaan-pertanyaan soal buah hati dari keluarga kecil beliau. Sudah sekitar setahun lebih tapi tak kunjung memiliki buah hati. Terdengar pula ada permasalahan terkait reproduksi. Hanya saja aku tak tahu, detilnya.

Lalu, kemarin, beliau memposting percakapan dirinya dengan istrinya. Aku tak tahu, apa yang mereka rasakan saat obrolan itu berlangsung. Seperti kisah yang pernah ku tulis beberapa hari lalu dan soal rasa takut jika harapan tak jadi nyata yang terkadang membuatku berpikir, apakah aku siap jika harus melewati hal-hal seperti itu? Allahu'alam.

Doaku, semoga beliau dengan istrinya diberikan kemudahan-kemudahan dibalik kesulitan yang sedang dihadapi. Allah tahu yang terbaik. Kembali ke titik nol, dan serahkan semuanya ke Allah.

Senin, 18 Februari 2019

Makna Sebuah Jarak

Aku memandang, punggungnya.

Melihatnya bersikap, bersenda gurau, bercerita dari kejauhan. Bukan, bukan aku membencinya, bukan pula melupakannya. Aku hanya ingin, berjarak.

Mungkin, terlalu banyak hal yang kita ceritakan, banyak juga yang kita tertawakan, atau mungkin masih ingat akan apa yang kita keluhkan? Ah, senang jika kita berhasil melewati keluhan itu. Tapi semua itu terlalu, benar-benar terlalu sering kita bersinggungan, dan seolah kita tidak, berjarak. Hingga lupa kita itu siapa, kita itu apa.

Melewati. Saat itu kamu melewatiku, atau aku melewatimu, namun tak ada kata diantara kita.

Tidak seperti dulu kala, apa saja kita berupaya, agar selalu ada cerita yang bisa kita diskusikan. Agar selalu ada alasan untuk saling bertukar sapa. Atau sekadar tukar simpul senyuman.

Hujan demi hujan kita lalui, dengan adanya jarak.

Hingga akhirnya benar-benar lupa, apa rasanya berbincang denganmu, walau sedikit saja. Hingga akhirnya lupa, bagaimana tertawa denganmu, apa yang bisa membuatmu tertawa atau membuatku tertawa? Kita pun mulai lupa untuk sekadar melempar simpul senyuman, atau sapaan, atau setidaknya melihat saat berpapasan.

Jarak itu, semakin menjauh.

Mengundang makna.

Di hujan terakhir, aku akhirnya paham apa arti jarak ini. Rindu, kata orang itu adalah rindu yang amat-amat berat. Jarak ini rupanya memberi ruang untuk merindu, dari ada menjadi tiada, dari bersama menjadi seolah tak saling mengenal.

Tapi tak apa, agar kita tidak mulai bosan, agar kita tidak mencari cerita lain. Biarkan jarak itu terus terjadi, cerita-cerita dari kejauhan yang terdengar itu sudah cukup mengobati.

Entah kapan, rindu ini akan kita terobati sebagaimana mestinya. Entah di hujan ke berapa lagi harus kita tunggu.

Tapi, biarkan... Ku berdialog dengan hujan, tentang jarak dan rindu.

***

Terinspirasi dengan tweet-nya mbah Sudjiwo Tedjo tentang politik namun puitis. Tentang kalong yang hinggap di pohon membalikan badan untuk memberikan jarak pada permukaan ibu pertiwi. Tentang sengaja membuat jarak, untuk merasakan rindu.

Sekian.




Mereka Yang Terus Tidak Peduli

Ini, percobaannya yang ke sembilan.

Aku memperhatikannya dari kejauhan, pria kecil yang terus tumbuh itu menyentuhkan jarinya pada setiap tuts laptopnya. Sesekali menatap langit-langit kamarnya, ia sedang menimang-nimang penggunaan kata yang tepat atau alur yang mengagumkan, dugaku seperti itu.

Entah sampai jam berapa ia bertahan. Aku sudah tertidur pulas.

Pagi itu tiba, aku beranjak dari tidurku. Aku menengok ke kamarnya lagi. Pria kecil yang terus tumbuh itu masih bertahan rupanya. Sudah jam berapa ini? Apa tak ada rasa lelah olehnya?

Belum genap aku berpaling, aku melihat bahunya bergidik, ia terisak rupanya. Ada doronganku untuk mendekat dan menyemangatinya. Tapi, aku menahan diriku. Biarkan, biarkan pria kecil itu menikmati yang namanya kesedihan dalam perjuangan. Biarkan, biarkan pria kecil itu tahu sedih sesedih-sedihnya perjuangan, agar kelak, ia tahu buahnya juga bisa membuat ia menangis, haru.

Siang itu, pria kecil itu duduk di hadapanku, makan dengan semangat. Eh ada apa ini? Bukankah tadi ia sangat sedih? Kenapa langsung menjadi semangat gini? Apa yang baru ia lalui? Apa yang baru ia dapatkan? Ada apa dengan pria kecilku ini?

"Mah." Katanya dengan tersenyum.

"Ya?" Jawabku lembut.

"Kalau adik gagal lagi, apa adik boleh menyerah?"

Bibirku terkatup, aku menahan tangisku, rupanya aku lebih cengeng dibandingkan pria kecilku. "Kenapa adik menyerah?"

Pria kecilku terdiam, memilih kata yang tepat. "Mungkin, memang adik tidak pandai dalam menulis, Mah. Hehe." Ucapnya dengan menunjukkan wajah bahagia, walau aku tahu getir hatinya dirasa.

"Coba Mamah tanya, kenapa adik mau menulis?"

Pria kecilku menimang-nimang. "Karena... Hmmm... Suka aja, Mah. Kayak kata Mamah dulu, kalau suka nggak perlu alasan kan?"

Aku tersenyum. "Lalu, kalau kamu gagal kali ini, apa rasa suka kamu dalam menulis itu berkurang?"

Pria kecilku kesulitan menjawab, terlihat dari diamnya yang cukup lama. Aku pun berusaha membantunya. "Percobaan ini, bukan ukuran pasti dalam kepenulisan kamu. Bisa jadi yang menilainya memang tidak cocok dengan tulisan kamu, dan bisa jadi juga masih ada miliyaran manusia yang suka dengan tulisan kamu."

"Siapa yang suka tulisan aku, Mah?" Pria kecilku penasaran.

Aku menyengir. "Setidaknya ada Mamah, Papah, dan si Kakak."

Pria kecilku terdiam, ia menunduk, meneteskan air mata.

"Bukankah... Adik sendiri yang selalu bilang untuk terus ikut setiap tahunnya? Walau adik sudah tahu rasanya gagal itu. Bukankah adik sendiri yang bilang, ingin tahu, rasanya berhasil itu seperti apa?" Kataku sambil mendekatkan diri pada pria kecilku dan mengelus lembut rambutnya.

Pria kecilku memelukku.

"Biarkan adik, punya sejuta kegagalan, asal ada satu yang berhasil, semua akan mengakui, bahwa adik telah berhasil. Mereka akan mengangkat tangan atau bertepuk untuk adik, ada banyak miliyaran manusia yang merasakan sama seperti adik. Jadi, kita tunggu hasilnya sembari berdoa ya. Siapa tahu tahun ini, adik merasakan sesuatu yang orang bilang... Berhasil."

Pria kecilku mengangguk. Menjauhkan tubuhnya dariku. Lalu beranjak pergi dari meja makan.

"Adik mau kemana?" tanyaku sebelum pria kecilku menghilang dari pandanganku.

"Berdoa..." katanya sambil mengusap-usap matanya lalu kembali berjalan.

Aku tersenyum, andai Papahnya tahu, ia pasti bangga, karena anak bungsunya ini gigih seperti dirinya. Andai Papahnya tahu, pria kecilnya ini sudah beranjak dewasa.

Semoga, kamu beristirahat dengan tenang, Pah.

***

Mungkin, ini tahun ke lima adik priaku untuk mengikuti lomba itu, yang tak terasa ia sudah menjadi pria dewasa, yang tingginya sudah melampauiku, yang ilmunya sudah jauh diatasku, . Dari tahun ke tahun ia berupaya di sela-sela liburan pondoknya yang sangat minim, komputer yang harus ia sewa di warnet.

Namun, rupanya, Allah terus memintanya tuk berjuang.

Aku terkadang sepeti terkejut sendiri, melihat adikku ini online di aplikasi chatting lalu mengupdate statusnya dengan sebuah foto dan kata-kata bersajak bak puisi. Aku seperti tidak menyangka adikku sepuitis itu, aku tidak menyangka orang yang selalu cengengesan ini terus gigih untuk menulis tiap tahunnya, di sedikit waktu senggangnya.

Jika tahun ini ia masih mengikutinya, genap lima tahun adikku memperjuangkan asanya. Aku harap Allah memberikan hadiah untukmu ya, dik. Aku tak tahu bagaimana tulisanmu sesungguhnya, aku tak tahu bagaimana kamu menatap kehidupan ini dari balik jari-jarimu.

Tapi, aku yakin, suatu waktu, kamu bisa jauh terbang, mengangkasa, layaknya satelit-satelit pada planet-planet, atau bak bintang-bintang bercahaya. Perjuanganmu, adalah ceritamu, yang mungkin akan kamu banggakan, maka itu, terus tidak peduli ya, soal gagal, soal pahitnya kehidupan.

Dari kakakmu, yang bingung menyampaikan rasa cinta kepada adiknya.

Jumat, 15 Februari 2019

Cerita Lain Dari Kasih Sayang

Saat itu aku duduk, jantungku berdebar-debar. Seorang dosen sedang memeriksa tugas secara bertahap. Satu demi satu mahasiswanya di tanyakan, ia berkeliling dari bangku ke bangku. Pergerakannya pun mulai mendekat ke arahku, dan ah, akhirnya tiba di hadapanku.

"Mana tugasmu?"

Aku yang sudah tak karuan menyerahkannya.

"Jadi, ini bagaimana prosesnya bisa sampai dapat jawaban segini?" tanyanya.

Sialnya aku, dari sekian baris hanya aku yang ditanya amat detil. "Saya... Hmm..." Aku tidak bisa menjawabnya dan menunduk.

"Kamu nyontek?"

Aku mengangguk. Pikiranku sudah jauh ke depan. Pasti aku dimarahi, pasti aku dapat hukuman, atau aku ditandai sebagai anak yang tukang menyontek terlebih lagi di cap nakal. Keringatku bercucuran, rasanya ruangan amat panas.

Dosen itu menaruh tugasku di mejanya. Lalu duduk kembali di tempatnya--di depan kelas. "Nanti kita ngobrol ya sepulang sekolah." Pinta dosen itu dengan nada yang datar.

Aku yang menatapnya penuh takut hanya bisa mengangguk. Suasana benar-benar lengang, aku yakin semua sudah menaruh rasa kasihan terdalam kepadaku. Ini benar-benar hari yang sial, kenapa dari sekian banyak yang menyontek hanya aku yang diminta menjelaskan jawabannya? Kenapa?

Kelas berjalan seperti biasanya. Hingga akhirnya para mahasiswa mulai berguguran dari ruangan, dan aku mendatangi dosen itu.

"Ambil kursi." Pinta dosen itu.

Aku menarik sebuah kursi paling dekat dengan meja dosen, lalu duduk dengan perasaan tak karuan.

"Kamu nyontek dari mana?" Akhrinya pembicaraan dimulai.

Aku bingung, aku tidak bisa menjawab jika aku mendapat contekan dari temanku. Masalahnya akan berbuntut panjang. Temanku akan terseret ke sini, dan bisa jadi pertemanan kita akan berantakan. Karena sejatinya ini salahku, meminta jawabannya dengan embel-embel persahabatan.

"Dari grup, Bu." Jawabku begitu saja.

Dosen itu menatapku. "Boleh ibu lihat grupnya?"

Rasanya jantungku ingin keluar dari dadaku. Beruntung memang jawabannya itu dibagikan pada sebuah grup. Jadi aku memberikan ponselku kepada dosen itu dengan cemas. Lalu sebuah pertanyaan menyembul di kepalaku, apakah dosen itu akan mempermasalahkan siapa yang membagikannya?

Dosen itu melihatnya dengan seksama, satu demi satu chat. "Apa kamu tidak mempelajarinya lagi?" tanyanya.

Aku yang menunduk ketakutan menatapnya dan menggeleng. "Waktu itu, saya sudah kepepet bu, tidak sempat." Jawabku penuh bersalah.

Lalu dosen itu tersenyum. "Ibu tidak mempermasalahkan kamu menyontek." katanya, membuatku terkejut. Dia kembali melanjutkan kata-katanya. "Tapi, ibu hanya minta kamu tetap mempelajari lagi jawaban yang kamu dapat, cari tahu bagaimana prosesnya, cari tahu tahap demi tahap, berdiskusi aja sama temannya ini."

"Ibu senang..." katanya lagi.  "Melihat ada grup belajar seperti ini. Ibu tidak mempermasalahkannya, terpenting kata ibu tadi. Kamu pelajari lagi jawaban kamu hingga mengerti." tutup dosen itu.

Aku, tercengang. Rasanya amat sesak, sesak haru, apakah benar ini seorang dosen yang dikesankan amat jutek itu?

Setelah itu, orang-orang bertanya tentang nasibku. Aku hanya tersenyum, kata-kata dari dosen itu amat menancap di kepalaku.

Keesok-esokannya, setiap pelajaran dosen itu, aku benar-benar belajar sendiri dan lebih serius. Tak jarang ketika penjelasan dosen itu usai, dosen itu bertanya kepadaku. "Kamu sudah mengerti?" tanyanya dengan lembut, bukan maksud memojokki atau membuatku malu.

Lalu saat aku menjawabnya dengan ragu, dosen itu menghampiriku, ia menurunkan pandangannya hingga sejajar denganku. Ia setengah jongkok. Aku masih di kursi kelas, lalu dia melihat catatanku atau terkadang tugasku, dia menjelaskan kepadaku secara langsung hingga aku merasa benar-benar...

Dihargai, dan akhirnya mengerti.

Itu terjadi beberapa kali, dan semua mahasiswa pada heran. Apa yang terjadi? Sampai dosen itu rela setengah jongkok untuk mengajariku?

Jika ada pertanyaan seperti apa pengajar yang baik itu? Aku pikir jawabannya ada di cerita ini. Dia yang tak lelah mengajari tuk anak-anaknya mengerti, bukan memberikan tugas lalu pergi dan melihat setiap hasil anak-anaknya.

Pada penghujung semester, kami berpisah dengan simpul senyum di wajah kami.

Aku mendapatkan indeks tertinggi.

***

Setelah membaca ini. Aku jadi mengingat kenangan pahit berbuah manis di masa kuliah. Ya, cerita di atas hampir sepenuhnya adalah salah satu cerita di kehidupan perkuliahanku. Beberapa kali aku ingin menulisnya di sini, tapi baru kesampaian saat ini.

Aku sudah tidak tahu kabar dosen itu, tapi karenanya aku bisa menaklukan mata kuliah yang mungkin agak menjelimet tapi asyik. Aku suka berbau matematika sebenarnya, dari SD, sebelum akhirnya pelajaran matematikaku dihancurkan oleh seorang guru yang menuntut uang dari para muridnya dengan cara ikut les untuk nilai bagus, tidak ada proses pengajaraan yang sebagaimana mestinya.

Saat itu, aku membenci matematika hingga akhirnya aku privat matematika untuk mengejar ketertinggalan. Alhamdulillah, walau tidak sempurna, tapi nilai matematika pada ujian nasionalku tidak begitu buruk.

Dan ketika kuliah, aku berjumpa dengan lebih banyak matematika. Salah satunya kuliah bersama dosen itu. Dosen yang menghargai betul mahasiswanya, berusaha menumbuhkan bukan memangkas atau bahkan menjatuhkan.

Mungkin, jika saat itu beliau--dosen itu--memaki-makiku karena menyontek, memberi hukuman kepadaku, atau lainnya yang lebih mengerikan, mungkin hatiku akan membeku untuknya, mungkin aku akan membencinya begitu pun pelajarannya.

Tapi, beliau berhasil meluluhkan hatiku, beliau berhasil merubah sudut pandangku. Darinya, menjelaskan bahwa semua ini bukan bicara hasil, tapi sebuah proses.

Itulah bentuk kasih sayang yang aku rasakan dari seorang pengajar kepada muridnya.

Asal kalian tahu, beliau sangat amat cantik. Hanya saja sudah cukup berumur, kerutan di wajahnya mulai sedikit terlihat. Wajahnya yang terkesan jutek itu amat mempesona. Hampir seluruh pria di kelas kami setuju akan pertanyaan soal wajahnya.

Kamis, 14 Februari 2019

Tak Ada Senyumku Lagi Untuknya

Hari ke tiga puluh satu.

Aku duduk di kursi seperti biasanya. Laptop di depanku, segelas kopi di sebelahnya. Hari ini aku menggunakan dua jaket, satu jaket hoodie polos berwarna biru tua dan diluarnya jaket parka cokelat yang amat tebal.

Hari ini sungguh dingin.

Aku menyesap rokok yang mungkin beberapa kali sesap lagi habis. Ku mengepulkan asapnya, disaat bersamaan temanku akhirnya datang, ia menyapaku seperti biasanya. "Lagi?" Tanyanya.

Aku mengangguk dengan senyum yang dibuat-buat.

Tepat pukul 20.00.

Wanita itu datang, duduk di seberang sana seperti biasanya. Sendirian pada awalnya, lalu tak lama teman-temannya datang. Teman-teman yang kubenci. Mereka berkumpul untuk bekerja, mereka awalnya sangat serius, amat serius, hingga akhirnya terdengar gelak tawa yang beragam. Termasuk wanita itu.

Aku melihatnya dari kejauhan. Senyum dari ketika ia datang mulai memudar. Aku sudah kehabisan senyumku. Aku menutup laptopku dengan cukup keras, membuat temanku terkejut. "Hari ke tiga puluh satu, aku gagal. Kita lupakan semua ini." Kataku sambil menaruh laptopku ke dalam tas, lantas beranjak pergi.

Saat itu, aku tak sadar, wanita itu memperhatikanku dan memasang wajah murungnya ketika aku beranjak meninggalkan kafe itu.

Temanku menyusulku, bertanya. "Kenapa kamu merasa gagal? Padahal kamu hanya mengamatinya dari kejauhan? bahkan kamu tak tahu siapa namanya?"

"Sudah tiga puluh satu hari. Aku sudah kalah."

"Kalah dari siapa?" tanya temanku heran.

Aku berhenti melangkah. "Aku telah kalah oleh diriku sendiri.."

"Kok? Bagaimana bisa? Bahkan kenalan pun belum pernah terjadi, bagaimana kamu sudah kalah?"

"Aku bilang, aku sudah kalah oleh diriku sendiri. Seandainya aku tidak kehilangan senyumku semalam saja, aku yakin, hatiku memang untuknya. Dan kini, sudah tiga puluh satu hari. Tak ada sisa senyumku."

"Tapi..."

Aku tersenyum. "Dengar, jauh sebelum aku masuk ke kehidupannya, aku harus bisa menerima kehidupannya sebelum adanya aku. Dan sekarang, aku tidak bisa menerimanya. Jika aku masuk ke dalam kehidupannya, aku hanya... Merusak segalanya."

Temanku mengangguk mengerti.

"Jadi, aku sudah kalah oleh diriku sendiri. Tak ada senyum lagi, untuknya." tutupku lantas pergi.

Tiga puluh satu hari.

Hal ini terjadi lagi, malam yang mulai memudar. Aku telah kalah lagi, dan sudah kuputuskan malam itu, bahwa tak ada senyumku untuknya.

***

Ya begitulah, sungguh tidak ada yang penting. Bukankan hidup ini hanya persinggahan sejenak?

Pria Yang Menangis

Jalanan protokol mulai tersendat, banyak mobil terperangkap dan terpaksa merayap. Perjalan amat-amat lambat. Aku benar-benar harus sabar. Sementara itu si kakak sibuk sendiri melihat-lihat di jendela mobil dengan sangat serius.

Aku tidak tahu, apa yang dia pikirkan.

Lalu si kakak mengusap-usap mata dan pipinya dengan cepat lalu menoleh ke arahku dan berkata. "Ibu, apa pria boleh menangis?"

Aku terkejut dengan pertanyaannya. Aku memberikan senyuman kepadanya. "Tentu saja, Kak. Siapa pun boleh menangis. Mau itu wanita atau pun pria." jelasku.

"Tapi, Bu."

"Ya?"

"Kenapa aku tidak pernah melihat ayah menangis?"

Aku menimbang-nimbang jawaban yang tepat. "Karena... Jika kamu sudah besar, pria itu harus terlihat tegar. Harus memberikan kesan kepada orang yang percaya dengnya bahwa semua tengah baik-baik saja. Jadi... Ayah menyembunyikan tangisnya dan selalu menunjukkan ke kita bahwa semua baik-baik saja."

Si kakak terdiam sebentar, lalu menatap ke jendela lagi. "Tapi, Bu. Aku pasti menangis jika melihat orang-orang seperti itu." Kata si Kakak sambil mengusap-usap matanya lagi yang mulai melinangkan air mata.

Aku menatap ke arah yang dimaksud si kakak. "Kamu kasihan melihatnya?" tanyaku.

Orang-orang dimaksud si kakak adalah orang yang berjalan dengan kedua penopang tubuh karena satu kakinya tiada sementara dia menggendong sebuah tempat yang berisikan sampah dan pada salah satu tangannya pun terdapat pengait sampah.

Si kakak mengangguk cepat. "Bolehkan aku menangis, Bu?"

Aku tak kuasa melihat wajahnya yang polos berlinangan air mata. Aku memeluknya, mungkin suatu hari nanti, si kakak adalah pria yang mudah menangis melihat kesedihan orang lain. Aku tak tahu itu baik atau tidak, tapi hatinya sungguh menawan.

"Kakak punya uang?" tanyaku sambil melepas pelukanku.

Si kakak kembali mengangguk lalu mengecek di setiap sakunya, ia lupa taruh dimana uangnya hingga pada akhirnya ia mendapati dan mengeluarkan uangnya lantas menunjukkan ke arahku.

"Sekarang, berdoa... Semoga uang yang kakak kasih ke orang itu menjadi manfaat yang berarti dan diberkahi oleh Allah ya. Lalu kakak kasih pas ibu bukain jendelanya ya." Pintaku.

Si kakak mengangguk. Lalu berdoa dalam hati. Kemudian aku membuka jendela ketika mobil yang kita tumpangi mendekati orang yang kakak maksud. Si kakak pun berhasil memberikan uang yang ia miliki, lalu menoleh ke arahku tersenyum sambil menangis.

Aku memeluknya, mataku berkaca.

***

Setiap hari, minimal 2 jam kulalui diriku di perjalanan. Tak sedikit aku menjumpai anak-anak yang memainkan musik beramai-ramai, menggunakan biola atau gitar, bernyanyi atau sekadar bernarasi. Aku tak tahu harus mengatakan apa, indah atau tega.

Setiap hari, minimal 2 jam kulalui diriku di perjalanan, walau terkadang sambil terkantuk-kantuk mengerikan. Tak sedikit aku jumpai pria disabilitas berjalan dengan menyeretkan tubuhnya dan beralaskan kardus, karena dia tidak memiliki kedua kakinya.

Lalu pria yang terlihat berprofesi mengambil barang bekas menggunakan dua alat bantu untuk berdiri tegak karena hanya memiliki satu kakinya. Aku tak tahu harus seperti apa, kenapa yang terlihat selalu hal yang tidak mengenakkan?

Dan... Masih banyak lagi hal serupa yang terlihat di sepanjang jalan. Terkadang otak ini berpikir, bagaimana jika aku orang yang dianugerahkan oleh Allah seperti mereka? Apakah aku sanggup? Sejatinya mereka orang-orang hebat, hanya saja keadaan (diluar perihal fisik) membuat mereka harus terlihat seperti itu.

Bukankah setiap orang itu unik? Bukankah setiap orang itu mempunyai kelebihan?

Rabu, 13 Februari 2019

Pertanyaan-Pertanyaan Sebelum Meninggalkan

Aku duduk pada sebuah kursi di pelataran rumah, memandang langit-langit yang bertabur bintang. Cerah, malam ini cerah. Tidak ada hujan seperti kemarin-kemarin. Aku tersenyum, lalu membuka botol minuman bersoda.

Seseorang ikut duduk di sebelahku, tak lain seorang pria tua yang sering ku sebut "Ayah".

Aku menyodorkan minuman sodaku, beliau menolaknya. Aku menengguknya dan ber "ah". Sungguh nikmatnya minum bersoda pada malam yang cerah ini. Hatiku benar-benar sedang sangat-sangit baik.

"Jadi..." Kata ayah tiba-tiba.

Aku menoleh, ayah tidak menatapku rupanya, ia seperti... sedang termenung. "Apa kamu sudah menjawab seluruh pertanyaannya?"

Aku memincingkan mataku, heran, apa yang dimaksud oleh ayah? "Hmm... Pertanyaan yang mana ya, Yah?"

Ayah tersenyum, mengambil botol minuman yang sedang kupegang. Lalu ayah menengguknya dan ber "ah" juga. "Setiap orang akan pergi meninggalkan, setiap orang akan tumbuh dan berubah, setiap orang tidak akan menjadi dia yang hari ini terus." Ayah menengguk minumanku lagi.

Aku mengangguk.

"Tapi, orang yang pergi meninggalkan atau berubah yang baik adalah yang sudah menjawab segala pertanyaan-pertanyaan kepergiannya."

Aku mulai tahu kemana arah pembicaraan ini. "Jadi, apa pertanyaannya, Yah?"

Ayah tersenyum, menepuk bahuku. "Pertanyaannya..." Ayah menoleh ke arah langit-langit. "Kemana kamu akan pergi? Apakah tempat itu akan mendekatkan kamu dengan Sang Pencipta? Apakah yang kamu lakukan disana adalah bentuk penghambaan kepada Sang Pencipta?"

"Itu masih sangat dasar." Lanjut ayah. "Setiap perpindahan, setiap meninggalkan, kamu harus menjawab pertanyaan itu terlebih dahulu. Baru kita berpindah ke pertanyaan berikutnya."

"Apa pertanyaan berikutnya?" tanyaku lagi.

"Kapan kamu akan menemui ayah dan ibu ketika kamu telah pergi meninggalkan?"

Mataku berlinangan begitu saja dan memeluk ayah lalu berusaha menjelaskan. "Yah, aku hanya akan menikah, dan aku hanya pergi tak jauh dari sini, aku pun pasti tidak akan lupa kembali ke sini. Tentu saja, kesini bersama pria yang akan menyayangi ayah dan ibu juga."

Ayah mengelus kepalaku dengan lembut dan tersenyum. "Kebahagiaanmu, adalah kebahagiaan ayah."

Tangisku, semakin tak kuasa.

***

Tiba-tiba di kepalaku terbayang-bayang pertanyaan, seberapa yakin kamu bisa membuat simpul senyuman di bibirnya seperti apa yang ayahnya sering lakukan?

Pertanyaan lainnya, apa kamu bisa membayar jarak yang memisahkan mereka dengan mimpi-mimpi yang hebat? Atau cerita-cerita yang menawan? Atau kesederhanaan yang mengesankan? Atau-atau paling tidak, kata-kata yang terus menghadirkan tawanya?

Pertanyaan terakhirnya, apa kamu bisa membimbingnya? Tetap pada syariatnya? Bahkan lebih dari itu, menyiapkan prajurit-prajurit peradaban yang tangguh?

Tentu saja, sang ayah selalu ingin anak wanitanya terus bahagia. Tidak hanya di dunia, begitu pun akhirat.

Dan itu, sungguh indah.

Seorang Ibu Tanpa Anak

Saat itu aku menatap matanya, mata yang penuh harap. Dia mengambil jeda sejenak, lalu bertanya. "Kenapa kamu ingin menikahi anakku?"

Aku menelan ludah, aku sudah tahu pertanyaan itu akan keluar, tapi tetap saja rasanya seperti dikejutkan. Aku berusaha membuka bibirku yang terkatup rapat ini. "Karena aku melihat seorang ibu dari matanya."

Dia memandangku heran.

Aku lebih jauh menjelaskan. "Matanya yang teduh, senyumnya yang tulus, dan suaranya yang lembut. Aku seperti bertemu dengan kapas. Kapas yang akan menutup luka-luka. Aku pikir, dia seorang ibu yang akan menjadi pelipur lara anak-anakku kelak. Begitu pun kesedihanku."

Dia terdiam. Berganti pertanyaan lain. "Lalu, apa mimpimu?"

Aku semakin kikuk, kakiku bergoyang-goyang resah. Aku berpikir, apa? Apa yang harus aku katakan? Ah, sepertinya aku belum selesai dengan diriku sendiri. Benakku sepintas. Lalu aku kembali membuka bibirku.

"Menjadi pembimbing anak-anakku nanti. Aku punya berjuta masa lalu yang bisa menjadi pelajaranku. Aku terlalu sulit menemukan mimpiku, aku terjebak oleh kedilemaan pilihan. Banyak, terlalu banyak. Bahkan aku tak sanggup melangkah lagi."

"Tapi..." Sambungku sebelum dibalas oleh dia. "Bukan berarti aku belum selesai dengan diriku sendiri, aku hanya ... ingin memiliki anak yang ahli, sangat ahli. Tidak perlu pusing dengan banyak pilihan. Biarlah tidak pandai akan lainnya, tapi satu saja sangat cukup bagiku. Ah tentu saja, perihal agama, si anak itu harus pandai." Aku melepas senyum, lega.

Aku menikah.
10 tahun berlalu.

Aku mendapati istriku termenung di tepi jendela, mengusap-usap kaca yang tertutup embun. Matanya berkaca-kaca. Hampir setiap pagi dia seperti itu, selepas berkata. "Ayo anak-anak, kita sarapan dulu, ibu telah menyiapkan."

Sementara itu, hanya aku yang datang menghampiri, yang hatinya selalu teriris bingung. Dia tertawa saat menemani sarapan, seolah berbicara dengan banyak orang, sejatinya hanya aku yang mendengarkan.

Hampir 2 tahun ini berlalu.

Semenjak keguguran--setelah kami menunggu bertahun-tahun untuk sebuah kehamilan--mata teduh nan lembutnya itu berubah. Berubah menjadi mata yang selalu menitikkan air mata. Sesekali terisak, sesekali bersama senyum tulusnya. Tapi, tak lama senyum tulusnya berubah menjadi murung tak berkesudahan.

Ujian ini, sungguh menyakitkan kami. Mimpi-mimpi kami.

Sesekali aku cerita kepada ayahnya, soal apa yang pernah aku katakan jauh sebelum menikah. Ayahnya menepuk bahuku, memaafkan diriku atas mimpi yang belum terwujud, atas kebahagiaan yang tertunda untuk anaknya.

Lalu ayahnya berkata. "Teruslah bermimpi, teruslah mengejarnya. Hingga putus asa lelah menyambangi kalian berdua."

Saat itu, aku tergugu dan mataku tak bisa berbohong. Aku, pria yang menangis. Dipeluklah diriku.

***

Hanya usaha yang dapat memberikan jawaban terindah. Sayangnya jawaban terindah itu terkadang sungguh menyakitkan. Sakit yang menguatkan. Tapi, seperti apa yang sering kita dengar. Hanya usaha yang baiklah yang akan berakhir baik.

Akhir cerita bukanlah berkata soal kematian. Kehidupan ini tidak sependek itu. Dan perjuangan kita tak secemen itu.

Karena, kita kan terus saling menguatkan.

Selasa, 12 Februari 2019

Langit Senja Yang Cerah Kelabu

Hujan memberi belas kasih saat itu. Membiarkan ratusan atau mungkin jutaan orang keluar dari kantornya untuk berpulang ke peraduannya.

Hujan di kala itu tidak membekaskan pelangi seperti beberapa hari sebelumnya. Waktu itu beberapa orang teriak, kupikir apa, ternyata pelangi telah jatuh ke bumi. Memberikan imajinasi berjuta-juta kali, membiarkan cerita-cerita fiksi menghampiri.

Sementara itu beberapa hari sebelumnya, saat waktu memasuki masa senjanya, langit-langir berwarna oranye atau agak sedikit ke merahan. Orang-orang pun tak pelak memfoto setiap sudut langit-langit. Mereka bilang itu sungguh indah, sangat indah bahkan. Bagaimana tidak? Langit-langit yang biasa di hiasi biru atau hitam atau kuning terik siang hari, kini berwarna oranye kemerahan.

Tapi, hari ini, selepas hujan, rupanya awan-awan tidak ikut pergi. Ia tetap menggelapi langit-langit menjelang senja. Hari ini, aku tidak memikirkan apa-apa, aku pun ikut dengan beratusan orang atau mungkin jutaan orang untuk keluar dari keseharian rutinitas dan berburu pulang menuju peraduan.

Ku menengadah. Langit gelap benar-benar menyelimuti kota ini. Tapi, seperti senter yang ditembak ke sebuah sudut lalu ada tangan yang menghalangi beberapa cahayanya sehingga terlihat beberapa tempat saja yang bersinar. Sore itu seperti itu. Awan gelap yang menggumpal itu menghalangi beberapa cahaya matahari senja yang menyusup ke bumi. Lalu sebagian tempat lainnya terkena sinar matahari itu, namun, sore itu tidak oranye atau kemerahan, rupanya kuning kelabu.

Rasanya cerah, namun sendu.

Beberapa tempat terang dari sinar matahari yang menyusup, sementara tempat lainnya gelap seperti hanya hitungan detik bahwa hujan akan menimpa tempat itu. Rasanya agak aneh dan menakjubkan. Langit senja tidak seperti biasanya, tapi mungkin tidak sefavorit langit senja oranye kemerahan.

Tapi, biar kujadikan ini langit senja favoritku.

***

Mereka yang memilih berbeda mungkin akan terlihat sangat unik, tapi peduli setan dengan unik. Tidak perlu ada alasan untuk mencintai sesuatu. Errr... tentu saja harus ada. Semua harus kembali kepada Allah.

Dan langit senja cerah nan kelabu ini pun atas kehendak Allah, terima kasih ya Allah atas pemandangan yang indah ini. Tentu saja, terima kasih telah membiarkan aku pulang lebih cepat saat itu.

Kata-Kata Sebelum Air Mata

Ku melihatnya.

Dirinya yang sedang tertawa menampakan giginya, yang matanya tertelan oleh pipinya. Aku melihatnya dia sedang bercanda dengan beberapa orang lainnya. Ia, membuat beberapa orang tertawa dengan tingkahnya yang tidak bisa kami mengerti. Bahkan, tak sedikit aku berusaha menahan tawa saat dia bertingkah. Dasar.

Aku duduk, dari kejauhan. Aku tak tahu, apakah dia akan tetap tertawa?

Tak lama, namaku dipanggil. Aku tersontak tersenyum kepada banyak orang yang tiba-tiba menatapku.

Aku membisu beberapa detik, hingga akhirnya aku mengeluarkan kata-kata itu. "Ini, hari terakhirku." Kataku seraya menatap dirinya, dirinya terkejut, lalu menunduk enggan melihat ke arahku. Aku melanjutkan kata-kataku. "Aku, minta maaf jika selama ini ada salah." Lanjutku, hingga akhirnya aku menyelesaikan pamitku.

Suasananya membisu. Tak ada kata satu pun. Aku tak tahu apakah semua sedang bersedih atau bingung harus bersikap seperti apa. Aku sesekali melihat dirinya. Dirinya membuang muka. Sebenarnya, bukan maksudku, tapi beginilah jalan yang kupilih.

Setelah semua perpisahan itu. Aku duduk di pinggir kolam bersama temanku, menyantap makan siang terakhirku. Ah, rasanya seperti tidak habis pikir. Meninggalkan banyak orang yang selama ini terlibat dalam kehidupanku, kenapa bisa aku memilih jalan itu? Terkadang aku pun bertanya-tanya pada diriku sendiri.

Tetiba pintu menuju pinggir kolam terbuka.

Aku melihat, kepala yang menyembul dari balik pintu itu. Dirinya. Terlihat tawanya yang seperti biasa, gigi yang nampak dan mata yang tertelan pipinya. Dirinya berjalan menghampiri kami--aku dan temanku.

Lalu dia memulai obrolan dengan temanku, aku mendengarnya, rasanya seperti, tidak ada suara. Sampai akhirnya dia memanggilku, aku tersentak terkejut keluar dari lamunanku. Aku menjawab sebisanya, seadanya, yang kubutuhkan agar dirinya tahu, bahwa aku benar-benar pergi.

Tapi, dia masih menampakan tawanya. Dan aku senang, berarti semua baik-baik saja bukan?

"Pamit ya." Kataku dengan penuh canda.

Dirinya tiba-tiba terdiam. Matanya mendadak teduh namun perlahan mulai melesu, sedikit berkaca. Lalu dia mulai malu dan pergi begitu saja.

Aku menatap temanku. Temanku menyalahiku karena kata-kataku itu. Mungkin pamit adalah kata-kata yang kasar ya, yang bisa melukai orang yang selalu tertawa itu. Tapi, tidak ada kata yang dapat mewakili selain itu.

Aku hanya melihat pintu yang terbuka. Saat itu, aku benar-benar telah pergi.

***

Genap seminggu ada 3 orang yang melanjutkan petualangannya di tempat lain--tidak di kantor lagi. Dan ketiganya wanita-wanita tangguh yang tengah berjuang memilih jalan takdirnya untuk tidak bersama-sama lagi, untuk ambisi yang telah mereka impi-impikan.

Sungguh, wanita-wanita luar biasa.

Bahkan aku pun masih bingung, mimpi besar apa yang bisa mengubah hidupku.

Mereka pun mau tidak mau meninggalkan apa yang telah mereka bangun di sini--kantor. Aku tak tahu apa rasanya saat mereka meninggalkan. Tapi yang aku bisa rasakan adalah orang-orang yang ditinggalkan.

Padahal, katanya kalau perpisahan itu bicara tentang yang pergi meninggalkan.

Ah, tapi aku benar-benar tak pandai. Kuhanya berharap, terbaik pada setiap pilihan besar yang telah kalian tentukan. Tentu saja, aku tahu pilihan kalian pasti yang mendekatkan diri kepada Allah. Semoga Allah memberkahi dan meridhai jalan baru yang kalian pilih ya.

Salam dari orang-orang yang telah kalian tinggalkan.


Pria Yang Menulis Dikala Hujan

Sore ini hujan lagi, pria itu langsung melenggang pergi dari pandanganku. Aku sungguh penasaran, kenapa dia begitu bergegas ketika hujan mulai turun. Dari kejauhan aku mengikutinya, alih-alih tak terlihat olehnya.

Tak lama, dia berhenti, masuk ke sebuah ruangan lalu membuka buku yang tergeletak di sebuah meja. Dia mengambil pulpen lalu dengan amat terburu-buru menulis di buku itu. Entah dia menulis apa, sungguh cepat, sangat cepat, terlihat seperti membabi buta. Terlihat seperti orang gila.

Aku hanya bisa mengintip dari balik jendela ruangan itu. Suara hujan yang semakin lebat memenuhi telingaku. Dan aku masih menatap orang itu, namun pria itu terlihat sangat aneh. 

Perlahan hujan terus melebat.

Pria itu seperti orang kesakitan, tangannya tidak berhenti menulis. Sesekali mengusap hidungnya yang mulai berdarah. Atau mengusap matanya yang mulai berkaca-kaca. Namun, pria itu terlalu bersemangat menulis, hingga darah dari hidungnya dan air matanya tumpah begitu saja ke buku yang sedang ia tulis.

Lalu ia berhenti menulis, ia terkejut melihat bukunya yang tertetes darah dan air matanya. Air mukanya tiba-tiba seolah mendidih, kesal, amat kesal. Ia menengadah sambil terisak-isak. Lalu dia melempar pulpen di tangannya ke sudut ruangan. Badannya bergoyang seperti orang tengah tersengal-sengal, dia membanting bukunya dan berteriak kesal.

Saat itu, aku beranjak memasuki ruangan itu dengan penuh ketakutan. Membuka pintu dengan amat pelan, alih-alih agar tidak menjadi perhatiannya. Aku terus melangkah, semakin dekat dan semakin dekat. Panas tubuhnya bisa kurasakan. Begitu pun kesedihannya.

Tiba-tiba, pria itu menoleh ke arahku.

Aku terkejut, kebingungan.

Pria itu lantas menghampiriku dan memelukku. Aku, hanya bisa meneteskan air mata. 

Aku bisa merasakan, pada pria itu. Sebuah rasa kesepian yang amat mendalam.

***

Untuk sesuatu yang terpendam, bicaralah sedikit, agar sedikit tahu, maksud hati.

Dan terima kasih untuk setiap orang yang bertanya. "Ada apa? Coba cerita." Ada beberapa, atau mungkin banyak sekali yang ingin mendengarkan kata itu.

Senin, 11 Februari 2019

Mereka Yang Saling Menguatkan

Hei, jangan bersedih. Jika kamu bersedih, malam akan semakin pekat. Bukankah kamu bilang ingin terus berjalan hingga fajar menjelang?

Kamu bak bintang ditengah malam, cahayamu menjadi sumber cahaya bulan. Dan kamu tahu? Malam yang pekat akan sirna dengan adanya bulan. Orang-orang bisa tahu kemana harus melangkah, cahaya bulan itu menunjukkan.

Ah tentu saja, itu karenamu, sumber cahayanya.

Jadi, jangan bersedih, usap sedikit pipimu. Besok-besok ingat ini, bahwa kita harus saling menguatkan.

***

Masih keinget kisah pasangan suami istri yang saling menguatkan, karena sang istri adalah sumber kekuatan bagi suami, untuk suami itu mengarungi mimpi keluarganya.

Maka dari itu, sang istri selalu memberikan segala kebahagiannya.

Dia Yang Menunggu dan Tak Tahu

Kupikir pertemuan adalah tujuan, rupanya aku salah. Otakku terlalu sempit, tolong maafkan. Kesekian kalinya aku harus pergi meninggalkan, bukan maksud apa-apa, tapi sejauh apapun aku melangkah, sederita apapun ku dalam perjalanan, kuyakin, jika memang kita ditakdirkan akan berjumpa, maka tidak ada yang bisa menghalangi itu.

Senyap, ku berjalan dalam senyap. Melewati dirimu yang terlelap sebelum hujan tiba, sebelum aku meninggalkan pertemuan itu. Mungkin dirimu akan bertanya-tanya setelah terbangun, dan kubiarkan itu terjadi, agar aku paham, bahwa jika itu takdirku, maka itu tak akan melewatkanku, barang sedetik pun.

Biarkan, keyakinan itu yang mempertemukan kita kembali.

Sesungguhnya, pergiku adalah memperjuangkan. Mungkin sepulang ini aku tak akan bilang jika aku telah melewati badai, atau melawan beruang, atau lebih menakutkan lagi seperti diujung darah penghabisan yang mungkin saja bisa membinasakan.

Aku tak akan bilang, karena pertemuan kita sangat berharga, masih banyak yang perlu kita bangun. Karena sekali lagi, pertemuan itu bukanlah tujuan. Pertemuan itu melebarkan jalan, setidaknya bagiku begitu, kita tidak berakhir di pertemuan, tapi kita harus berjalan bersama saat pertemuan itu terjadi.

Mungkin, belum sekarang. Kuyakin ada waktunya, dan ah tentu saja, jika memang kita ditakdirkan mengarungi semua itu bersama.

*

Untuk dia yang berani mengambil langkah besar, jangan biarkan keadaan dunia merenggut senyumnya. Tersenyumlah, arungi semua itu, dan biarkan takdir yang menjawab atas segala jeri payahmu.

Sekali lagi, tentu saja, semua tengah berjuang.

Dia Yang Pergi dan Meninggalkan

Hari ini hujan lebat, dia pergi untuk kesekian kalinya, tanpa sedikit cerita atau sekadar pamit. Dia pergi, bahkan jejak tilas kakinya tak terlihat. Apakah perginya ini benar-benar terakhir kalinya? Apakah tak akan datang kembali?

Hari ini hujan lebat. Aku menatap dari awal rintikan itu seraya menengadah di tepi jendela. Lalu rintikan itu terus bertambah dan melebat. Tapi, aku masih tak tahu apakah dia pergi membawa arti? Apakah kepergiannya memiliki maksud yang tak terlintas dipikiranku?

Dulu, waktu dia memegang erat tanganku dan berkata. "Tetap disini." Kupikir itu memiliki arti, kita akan selamanya di sini, tapi rupanya itu perintah untuku, hanya untukku. Tidak dengannya. Apakah dia memang hidup dalam ketidak tetapan? Apakah dia memang bisa seenaknya pergi dan kembali?

Tidak-tidak, aku tidak muak dengan semua itu. Aku hanya memiliki pertanyaan. Apakah hujan ini akan reda dan aku bisa mencari dia? Apakah aku perlu mencari dia? Atau mengikuti seperti apa yang dia bilang?

Tetap disini, menunggu, harap-harap ia kembali datang. Di tempat peraduan.

*

Teruntuk, orang yang sabar dan menanti. Kuharap tersimpul senyuman di akhir penantian kalian. Bukankah penantian itu adalah sebuah perjuangan tersendiri?

Semua orang berjuang, tentu saja. :)

Sabtu, 09 Februari 2019

Membangun Tim #3

Apresiasi. Komunikasi. Kolaborasi.

Tim itu berjuang bersama.

Setelah mengalami pasang surut percaya diri akan pekerjaan yang aku lakoni, rupanya Allah punya sekenario lain. Hal sederhana yang aku lakukan dengan salah satu rekan kerjaku yang baru ku kenal beberapa bulan ini berbuah manis, walau mungkin tidak memberi dampak besar, tapi ada sebuah sensasi yang membuatku tersenyum.

Sejatinya rekan kerjaku ini jauh lebih senior dan lama dariku, karena saking pendiemnya dan jarang keluar ruangan bahkan berdiskusi dengan orang selain timnya membuatku merasa seperti baru bertemu dengannya saat waktu pertama kali bergabung dengan tim ini.

Mungkin, itu berdasarkan apa yang aku lihat saja.

Aku, entah kenapa senang sekali deketin orang yang pendiem, rasanya aku selalu penasaran, apa sih yang mereka pikirkan? Apa sih yang mereka rasakan? Dari SD hingga sekarang aku sering melakukan itu.

Begitu pun ke rekan kerjaku ini.

Sebelum aku bergabung dengan tim ini, aku melihat mereka dari luar, aku melihat sebuah tempat sunyi. Aku sampai takut sendiri, aku takut kalau kebutuhanku akan obrolan tidak terpenuhi. Dengan segala asumsiku, aku mencoba menolak untuk bergabung ke tim ini, tapi karena sebuah keharusan, aku pun tidak bisa mengelak.

Aku masuk ke ruangan yang benar-benar sepi, aku sampai bingung sendiri. Tapi aku ingat kata seseorang kepadaku yang isinya kurang lebih. "Mungkin kita tidak bisa mengubah orang lain, tapi kita bisa mengubah diri kita sendiri." Dari situ aku mencoba dengan segenap tenaga sok asyik kepada setiap orang.

Aku, sungguh, cerewet. Melebihi wanita malah. Aku ngobrol dengan masing-masing orang, aku tanya ini itu, aku coba celetuk-celetuk apapun yang bisa membuat obrolan di ruangan itu. Alhasil, sekarang banyak yang bisa kita obrolkan, walau masih tetep pemicunya dariku, tapi tak mengapa.

Salah satu yang ku upayakan adalah bagaimana aku bisa komunikasi dengan baik kepada rekan kerjaku yang super pendiem ini. Karena, aku tahu, sebuah tim, sebuah kerja sama, nomor satu adalah komunikasi. Tanpanya, semua bisa jadi semakin sulit.

Perlahan kita berbicang, sepintas, berdasarkan kerjaan saja. Sampai akhirnya aku minta duduk di sebelahnya. Karena kerjaan kita memang sangat ketergantungan, aku mengupayakan bisa di sebelahnya.

Perlahan-lahan, aku yang semakin berisik ternyata mengundang banyak celetukan darinya. Hingga akhirnya kita benar-benar berkolaborasi. Lebih dari sekadar memberikan kerjaanku kepadanya untuk dikerjakan olehnya.

Dengan segala kerendahan hatinya, dia mau membantuku merapihkan desain sesuai keinginanku sebagai desainernya. Dia bahkan ku suruh-suruh untuk merubah pixel demi pixel, dicoba, kurang pas, diubah lagi sama dia, ada yang kurang interaksinya, sama dia diprovide, tak sedikit dia memberi masukan desain. Bahkan aku sampai nyuruh-nyuruh dia merubah font yang awalnya dia bilang sangat susah, dia bilang sebelum kita kolaborasi seperti saat ini.

Kolaborasi ini dengan komunikasi yang mulai membaik membuat atasanku tersenyum merekah, dia bahkan sudah 3 kali memberi apresiasi kita. Perkaranya sederhana, karena desain di aplikasinya banyak ruang putihnya yang membuat terlihat rapih.

Aku yang demotivasi akan pekerjaanku yang payah seolah diberi sedikit senyuman oleh Allah lewat atasanku, aku tahu apresiasi ini bisa membahayakan karena membuat kita terbuai akan dunia. Tapi, bolehlah ya kita merasa dihargai?

Terus teman-teman yang lain berkomentar akan apa yang aku kerjakan dengan rekan kantorku yang super pendiem ini. Mereka berkomentar.

"Si Acing (anggap saja nama rekan kerjaku pendiem itu Acing) biasanya sering berteman sama monitor... Sekarang kaya udah ketemu Misakinya."

Inget kartun Tsubasa? Di situ Tsubasa punya pasangan emas bernama Misaki. Dia bilang, aku seperti pasangan emasnya si Acing.

Lalu ada komentar juga. "Si Acing seperti menemukan kepingan yang hilang."

Ini cukup mengerikan jika dibayangkan ke yang lain-lain.

Atau komentar. "Chemistry kalian (terus gambar love-love)."

Aku tersenyum-senyum sendiri. Benar-benar Allah tiba-tiba memudahkan pekerjaanku dengan sedikit berubahnya si Acing ini. Tentu saja atas kehendak Allah Acing jadi agak berubah dan mau membantu pekerjaanku walau dia harus jungkir balik memikirkan bagaiman terealisasinya desain yang kubuat.

Masih banyak lagi yang sebenarnya perlu ditingkatkan dan dikerjakan, aku optimis bahwa tim ini bisa terus berkembang, dan semoga aku salah satu diantaranya yang berkembang.

By the way, aplikasi kita berhasil naik ke epringkat 4 trending di Google Play kemarin. Alhamdulillah, semoga memberi manfaat buat pengguananya! Aamiin.

Kamis, 07 Februari 2019

Membangun Tim #2

"Saya sebagai Introvert adalah penjaga perasaan abang yang Extrovert. Jangan sampai buruknya perasaan saya atau emosi yang tidak stabil mempengaruhi abang yang tipe mengambil semangat dari lingkungan. Sebagai Introvert yang menikah dengan Extrovert saya merasa terpacu untuk terus bahagia. Sebab kini saya adalah dunia kecilnya :) semangatnya, pencipta bahagia dalam hatinya." - Alizetia 

 *

Belakangan ini pikiranku sedikit terganggu perihal Extrovert, Introvert, dan Ambivert. Mungkin aku belum pernah tes kepribadian secara resmi, tapi dugaan kuatku aku adalah orang yang condong ke Extrovert.

Aku benar-benar kepikiran setelah membaca tulisan Mbak Alizetia. Btw, itu tulisannya manis lho, suaminya benar-benar membutuhkan Mbak Alizetia sebagai sumber energinya, oleh karena itu Mbak Alizetia harus mengumpulkan energinya sendiri dan memancarkan energi baiknya untuk suaminya.

Perihal energi itu aku mulai merasa... ini pun terjadi olehku. Aku pria extrovert yang sangat senang sekali bisa berjumpa dengan cukup orang. Tidak terlalu banyak dan juga tidak sendirian. Tentu saja bagiku ada kadar yang benar-benar bisa membuatku berenergi atau membuatku aku kelebihan energi hingga tak mampu berbuat apa-apa, atau sendirian yang membuat aku benar-benar merasa enggan untuk berbuat apa-apa.

Aku memang mudah sekali terpengaruh hal sekitar--lingkungan. Contoh sederhana, setiap kali ada agenda pergi ramai-ramai, aku sangat senang sekali, terlebih jika semua orang ikut dengan bersemangat, tapi jika satu orang saja tidak jadi ikut, aku seperti takut, rasanya kayak udah lah gak usah jadi aja, habis ada yang gak ikut jadinya gak seru. Apalagi kalau yang nggak ikut itu yang ngajakin atau orang yang kupikir cukup penting. Atau mungkin contohnya kalau ada yang memandang sinis agenda perginya itu, aku jadi merasa, ada yang salahkah? Apa aku membuat kesalahan sehingga ada yang sinis?

Selain karena semua itu menjadi energi untukku sendiri, perihal orang perasa itu membuat semuanya semakin rumit. Jadi banyak prasangka dan tidak enakan, hingga akhirnya jika ada satu orang saja yang memandang sinis sesuatu itu, aku langsung lemes dan males, bahkan rasanya ingin tak ikut campur, apa lagi mengganggu orang itu.

Begitu pun jika dalam sebuah tim. Ah betapa menyenangkan sekali belakangan ini semua orang terlihat gembira, terlebih salah satu orang di tim kami akan menikah dua minggu lagi. Banyak hal yang bisa dibicarakan, semua memiliki senyuman yang kurang lebih sama.

Aku pun sangat bersemangat, saking semangatnya aku mengoceh terus bahkan aku sampai tidak pakai headset dalam bekerja karena terus-terusan ada saja yang bisa diobrolkan. Tapi, aku bisa menduganya, ini akan menjadi bom waktu sendiri.

Aku ingat sebuah kata-kata, "semakin banyak bicara, semakin banyak kesalahan yang tercipta" kurang lebih intinya begitu. Terkadang pun aku ngomongnya sangat susah dikondisikan, apalagi sedang semangat-semangatnya begini.

Tapi, beberapa waktu yang lalu, ada satu orang yang jika aku lihat kok masang wajahnya tuh cemberut mulu ya, aku ingin nanya tapi takut ikut campur, tapi pas rapat atau apapun aku benar-benar merasa terganggu, aku takut berbuat apa-apa akhirnya membuat masalah semakin panjang.

Sehingga aku lebih memilih tidak terlalu berisik, aku bercanda ke orang yang dekatku dan tidak ingin mengganggu orang itu. Sampai akhirnya orang itu heran, ketika kerjaan yang harus melibatkannya tapi aku tidak datang kepadanya, aku benar-benar bingung. Energi yang dipancarkan dari wajah yang cemberut itu benar-benar mengusik pikiranku, dan aku berusaha keras untuk bodo amatan, tapi malah aku seperti menghindari orang itu, padahal belum tentu kita berdua punya masalah.

Ah, prasangka orang perasa.

Dari perkara-perkara itu, aku akhirnya paham bagaimana extrovert itu bekerja. Aku benar-benar membutuhkan orang-orang di sekitar--lingkungan, dan semoga orang-orang disekitarku berbahagia semua, biar aku pun semangat hehe.

Satu hal terpenting, tim itu berjuang bersama, aku harus lebih pandai membuat kita semua sama-sama sedang berjuang untuk mencapai sesuatu. Aku sangat senang jika berhasil mendapat pencapaian dan merayakannya, rasanya seperti memang benar-benar telah bergerak tim ini, benar-benar ada rasa hal yang telah tercapai.

*

Sebagian besar orang-orang di timku sepertinya introvert dan pendiam.

Selasa, 05 Februari 2019

Membangun Tim #1

Kemarin aku duduk, bukan diantara timku, tapi teman-temanku, atau tepatnya timku terdahulu sebelum aku terlempar jauh. Aku melihat mereka berdiskusi terkait apa yang akan mereka kerjakan, sebuah desain baru untuk aplikasi mereka.

Aku hanya terdiam, selain karena memang aku bukan bagian dari mereka--tim mereka--aku seperti merasa aneh, aneh karena aku bukan tim mereka lagi, dan aneh karena aku seperti sendirian. Maksudku sendirian, aku seperti kabur dari timku yang sekarang, walau sejatinya tidak, tapi aku seperti orang belum bisa move on bahwa aku sudah punya tim baru, yang mungkin bisa juga berdiskusi asyik seperti tim lamaku ini.

Rasanya memang aneh, aku belakangan ini seperti terpentok oleh kerjaanku, seperti bingung. Mungkin karena aku masih belum legowo untuk sepenuh percaya dengan tim baruku, aku masih kikuk bahkan walaupun aku orang paling berisik di ruangan aku tetap saja masih merasa ragu untuk berdiskusi.

Sore itu aku hanya memerhatikan betapa riuhnya diskusi, betapa ketatnya obrolan silih berganti. Aku belakangan ini seperti merasa kerja sendiri, padahal aku yang melarikan diri dari tim, mungkin aku harus benar-benar berpaling dari tim yang lama ini, bahwa aku memiliki dunia yang benar-benar baru dan berbeda, penilaian terhadap kerjaku bukan dari mereka tapi dari tim baruku, bisa jadi juga tim baruku membutuhkanku, aku harus segera kembali pulang.

*

Beberapa hari lalu, aku membayar hutang, dompetku terbuka temanku melihat isi dompetku dan berkata. "Ih fotonya lucu banget. Adiknya ya?"

Aku menggeleng. "Itu aku lho."

Lalu dia terdiam, kuyakin dia menyesal berkata seperti itu.

Hehe.

Senin, 04 Februari 2019

Sumber Energiku

Terima kasih, kuucapkan segenap hati untuk semua teman-teman yang berada disekitarku, yang mau aku ganggu ataupun aku berisikin (sama-sama gangguya, hehe). Sungguh aku tak tahu bagaimana penilaian kalian, tapi benar-benar kalian sumber energi serta inspirasi bagiku.

Semoga kalian dilapangkan dan diberi kesabaran memiliki teman sepertiku ya...

Maaf jika diri ini terlalu banyak salah, yang mungkin menjadi beban pikiran kalian, semoga semua dilapangkan dan memaafkan serta dimaafkan.

Allah Maha Pengasih sekaligus Maha Pengampun

Mengejar Kereta

Dan sekarang aku tengah mengejar sebuah kereta yang ku tidak tahu apakah ku dapat mengejarnya dengan terus berlari? Atau lebih baik aku menyimpan energi untuk kereta selanjutnya yang tidak tahu kapan?

Aku mencoba memilih, mengejar kereta itu.

Salim

Seperti hari-hari pagi biasanya, setiap umi mau berangkat pasti salim dan cium pipi. Namun, pagi ini rasanya ada yang berbeda.

"Mi, kok muka umi lembab, pake apa Mi?" tanyaku.

"Pake apa... Keringetan ini."

"Oh." aku tergelak, rupanya pake keringat haha.

Minggu, 03 Februari 2019

Termenung Syahdu

Apakah kalian pernah merasa aneh pada diri sendiri? tidak masuk akal pada diri sendiri?

Aku pernah. Aku orang yang terbilang malas kemana-mana sendiri, tapi sekarang sangat suka sekali pergi-pergi menggunakan KRL sendirian.

Bahkan entah mau kemana, aku bersedia saja pergi naik KRL dari ujung tanggerang hingga ujung bogor. Hanya untuk menikmati keheningan di tengah keramaian.

Hanya untuk termenung di antara termenung lainnya--keramaian itu.

Rasanya nikmat nan khidmat. Rasanya syahdu, apalagi di tambah lantunan musik lembut ke dalam kepala.

Atau-atau hujan membasuh luar gerbong. Air-air yang menghinggapi jendela-jendela yang kadang tertutup kadang juga terbuka.

Ya, seindah itu rasanya. Dan tidak habis pikir, ku ingin sekali melakukannya.













































Sabtu, 02 Februari 2019

Sudut Pandang

Satu hal yang kusetujui dengan komentar para penikmat novel atau film Dilan adalah bagaimana Milea menggambarkan Dilan yang sangat istimewa, setiap perilaku Dilan selalu dibuat spesial oleh Milea. Milea pun menceritakan kepada kita dengan sangat-sangat memberi kesan, bahwa Dilan adalah pria idaman setiap wanita di masanya.

Begitu pun aku membaca tumblrnya mbak Alizetia. Jika kamu membaca tumblr dia dengan membayangkannya, kamu akan mendapati bahwa betapa beruntungnya Mbak Alizetia ini memiliki suami yang super duper sabar dan mencintainya, bahkan sang suaminya bilang "Sejak awal kan kita sudah bersepakat. Bahwa yang bertugas untuk lebih mencintai itu kan abang. Kamu pihak yang dicintai aja."

Aku yang jadi pria saja iri membacanya.

Mbak Alizetia terus menceritakan bagaimana suaminya memperlakukannya. Tidak tanggung-tanggung kata-kata itu sering berulang kali kudapati dan membuat diriku sebagai pembaca merasa seberuntung itukah Mbak Alizetia? Benar-benar betapa menghargai si Mbaknya atas setiap perilaku suaminya. Tapi, aku yakin, sang suami memang benar-benar luar biasa.

Kedua hal itu membuatku berpikir, apakah aku bisa mendapatkan pasangan seperti itu? Atau setidaknya teman seperti itu? Sahabat sebaik itu? Atau sebenarnya mereka semua yang ada di dekatku sekarang, teman atau sahabat atau keluarga sungguh amat baik, tapi diriku saja yang tidak bisa menilai kebaikan mereka? Lantas selalu mengambil sudut pandang yang tidak baik, sisi yang terkadang mengecewakan kita, atau lainnya?

Kemarin juga diceritakan temanku, dia kecewa dengan temannya, hingga akhirnya ada sebuah cerita tentang temannya itu, lebih ke cerita buruk. Aku yang merupakan temannya juga--temen dari temenku--merasa kelu sendiri mendengar kisah temanku yang terlihat buruk. Karena dalam benakku temanku yang diceritakan itu sebenarnya baik, tapi sayang beberapa yang sakit hati olehnya menilai dirinya akan keburukannya.

Tentu saja, setiap orang ada sisi baik dan buruknya. Lalu yang membuat dia "terlihat" baik dan buruk itu mungkin adalah kita-kita ini, yang hanya "pandai" menilai di suatu sisi, padahal jika kita bertingkah seperti Milea atau Mbak Alizetia kuyakin pasti hampir semua orang baik bagi kita, hanya saja terkadang yang terlintas sangat kuat di kepala kita adalah keburukannya, dan kita sulit sekali menghargai atau menyanjung kebaikannya atas kita.

Sudut pandang, penilaian.

Jumat, 01 Februari 2019

Dramatisir

Hari ini

Banyak yang terjadi, dari berhasil mengungkapkan sebuah rahasia karena clue yang dibuat sendiri. Diberi tahu rahasia yang menggelitik, memberitahukan rahasia yang sebentar lagi jadi umum. Sepertinya banyak lagi.

Aku tidak menyangka melihat wajah pria yang terkesan cuek itu agak berkaca saat mendapati teman kantornya akan pergi, aku tidak yakin dia bersedih, tapi wajahnya tidak bisa berbohong, ekspresi terkejutnya tidak bisa menutupi, bahwa kepergian memang menyedihkan.

Sayangnya, saat dia tahu, esok itu hari terakhir teman kantor yang lekas pergi itu. Rasanya amat mendadak bukan? Dan banyak kisah, beberapa lagi akan pergi, dengan mimpi yang dibawa masing-masing. Luar biasa ya.

Aku pun terkejut dengan ekspresi pria itu begitu juga dengan cerita lainnya.

Akankah kepergian yang lainnya akan memutuskan sebuah asa perjuangan dari seorang pria? Aku pun tidak tahu sejauh mana ia berjuang. Doa kami terbaik untuk kalian. Walau masih belum tahu terjadi kapan, tapi mendengarnya sedih sendiri...

Oke, maaf terlalu mendramatisir tulisan di atas.

Jadi hari ini, banyak sekali hal terjadi. Dari bahagia hingga membongkar rahasia sendiri dengan clue-clue yang bahkan dibuat sendiri hehe, gak salah bikin permisalan nama orang kemarin-kemarin. Ya, Alhamdulillah deh, tahun ini ada dua setidaknya hehe.

Obrolan selepas maghrib yang berfaedah, banyak informasi xixixixixi

Web Series Tamat.

Tidaaaak~ Web Series Hijab Alila tamat. Diakhiri pula dengan kisah yang, mindblown... Tapi sepertinya memang sengaja diambil plot yang bisa mengedukasi, kayak wanitanya yang memulai duluan, terus tentang mengikhlaskannya.

Dari awal nonton udah mesem-mesem sendiri lihat tuh web series, tapi diakhiri dengan hmmm tidak tragis sih, tapi sedih aja gitu ya Allah... Salah satu yang kejutan lagi adalah, ceritanya itu pemerannya pada wisudaan, eh toganya pake toga Telkom University synergy bangoen negry kebangganku, ku ketawa-tawa sendiri jadinya.

Jumat ini di akhiri dengan Web Series Hijab Alila, di awali dengan Web Series Multimedia Lab (MM) di channel SMB Telkom University. Ya begitulah, semua berawal dan berakhir. Ini kenapa jadi aku suka nonton web series ya...