Senin, 22 Juni 2015

Seharusnya Aku Malu, Dengan Segala Misuhku

  Seharusnya aku malu, benar-benar malu. Memang momen-momen kuliah lalu berubah menjadi momen kerja begitu sulit untuk diterima. Tapi, waktu memang menunjukkannya, walau begitu tetap saja sulit menerimanya menimbulkan efek negatif.

  Sejauh memandang, mungkin aku pernah membuat postingan tentang sebuah kerjaan dan sejenisnya. Mungkin belum lama dan sedikit mirip. Tapi, siang tadi sungguh-sungguh menjengkelkan. Bagiku seperti itu.

  Di puasa ini, matahari seperti sedang menguji para umat Allah, begitu terik, tak berangin, sekalinya berangin pun, itu seperti tiupan teman yang sesaat. Betapa dahaganya siang itu, dan apalagi harus terjun ke lapangan.

  Ya, perpindahan posisi kerja membuatku terus misuh-misuh tadi siang. Bagaimana panasnya menyengat tubuhku, aku tidak berhenti mengutuk panas itu dalam otakku secara tidak langsung. Aku dan temanku misuh-misuh sepanjang siang itu, padahal tugas kamu hanya melihat orang bekerja. Hanya itu saja.  Tapi, kami serasa habis membuat kapal laut di atas gurun pasir.

  Sorenya, kami masih kerja, dan bahkan untuk pertama kalinya kami kerja hingga magrib menjelang. Meski begitu, aku sedikit mendapatkan ketenangan dan merasakan hidup ini perlu renungan. Agar kita tahu maknanya.

  Sore itu, sebelum buka puasa, aku mendapatkan seorang costumer yang tak lain seorang nenek yang memiliki satu anak belum nikah dan satu cucu di rumahnya. Nenek itu sangat baik, begitu pula anaknya, dan cucunya yang masih bocah.

  Sore itu, aku mengingat sehari sebelum dimana aku berdiam diri dan nenekku menjadi jengkel. Di situ, aku merasa seperti aku dan nenekku beserta sepupuku. Ya, apalagi yang dibutuhkan nenek seorang diri itu? Kecuali perhatian dari cucuk dan anak-anaknya yang sudah ia besarkan.


  Di situ aku merasa malu, ya, sangat malu. Seharusnya aku bisa membahagiakan nenekku yang sudah benar-benar merawatku, menolongku dari ancaman pukulan kakek, dan banyak lagi tak terbayangkan ataupun terjelaskan.

  Di situ aku terasadar, aku perlu merenung, agar aku tahu, bahwa hidup ini tak sebatas menikmati, tapi terus berpikir akan kenikmatan itu sendiri. Sudah berapa banyak aku mengurangi kenikmatanku sendiri dengan sikap kekanak-kanakkanku ini? Begitu banyak menurutku.

  Selepas buka puasa di sana, aku langsung balik dan merasa sedikit legaan. Pertama, karena dahagaku telah hilang, kedua karena aku seperti dapat hidayah kepada nenekku. Dan sebelum aku tiba sampai rumah, ternyata sebuah renungan kembali terjadi.

  Renungan akan apa? Misuh-misuhku tentang pekerjaanku yang hanya melihatin orang di tengah teriknya matahari harus kujilat sebersih mungkin, sungguh harus aku lakukan. Bagaimana tidak, aku hanya melihat dan kepanasan, lalu aku merasa manusia paling menyedihkan?

  Sementara itu aku melihat seorang pria berusia sekitar 50-an menurutku, berdagang koran dari rumah ke ruman dengan pakian nyentrik dan kaos kaki bola yang unik, wajahnya yang pekat dengan debu, kakinya yang kokoh karena kalau tidak salah, ia sering berjalan jauh, mungkin lebih dari 10km, aku tidak tahu pasti, yang terpasti pasti aku akan mengutuk hidupku jika aku mengalami pekerjaan seperti dia.

  Di zaman yang sudah canggih ini, berapa uang yang ia dapat dari penjualan koran? Aku tak pernah tahu berapa, yang terbayang mungkin tak seberapa dibanding yang lain. Tapi, pantang menyerahnya dan tidak meminta-minta adalah sebuah martabat baginya. Mungkin ia menikmatinya dan kita tidak bisa menyalahkan usahanya, aku pikir orang seperti itulah yang bisa disebut pahlawan.

  Entah pahlawan untuk siapa, setidaknya untuk dirinya sendiri. Sekarang aku benar-benar malu telah misuh-misuh tentang siang itu, jika seandainya aku melihat sedikit kebawah, sungguh penderitaan siangku tak sebanding setitik pun dengan mereka.

Selasa, 09 Juni 2015

Ketika Senggang

  Hari-hari berlalu, sudah kurang lebih lima hari aku bekerja. Dan tanpa terasa, sudah hampir satu semester aku membaca novel Tere Liye yang Rindu dan akhirnya selesai. Semua berlalu tapi tak begitu saja terjadi, ada proses menarik di dalam semua itu.

  Bicara pekerjaan, aku sungguh menikmatinya, berbeda dengan waktu SMK, pekerjaanku terbilang lebih ringan, dan bahkan aku lebih banyak tidak ada kerjaannya atau biasa anak muda bilang gabut. Maka dari itu, akhirnya aku bisa benar-benar menyelesaikan bacaanku yang satu semester aku lalui.

  Setiap pagi, aku sengaja masuk setengah jam lebih cepat, walau ngantuk melanda, tapi pendirian teguh terhadap penyelesaian pembacaan novel itu membuatku terus berupaya membaca selama kerjaan belum menghampiri.

  Beratus-ratus halaman kubaca, pada awalnya aku pikir aku akan membaca sebuah cerita perjalanan orang-orang di atas kapal untuk pergi haji. Ceritanya begitu sederhana, tidak ada konflik berat yang terlihat, aku kesal sendiri. Apalagi setelah empat ratus halaman berlalu dan aku tidak menemukan sesuatu yang membuatku setuju tentang sandangan Best Seller di novel ini.

  Karena rasa penasarannya, aku mau tidak mau harus menyelesaikannya. Maka dari itu segala upaya aku lakukan agar novel ini terlampaui. Perlahan demi perlahan, aku sedikit menikmatinya, ketika beberapa konflik bermunculan dan pertanyaan-pertanyaan besar di keluarkan.

  Aku terus membacanya, lembar demi lembar, aku mencoba memaknainya. Dan, sungguh ajaib rasanya, setiap aku membaca jawaban-jawaban dari lima pertanyaan di atas kapal itu, aku seolah tersihir. Aku terdiam, aku merenung, aku mengangguk, dan terus memikirkannya.

  Sungguh, semua itu mungkin sering kudengar, sering kupahami, tapi yang menakjubkannya, seolah aku dituntun lebih dalam, dan aku pun meresapinya. Setiap pertanyaan sederhana tentang kehidupan, membiat aku terus mengangguk. Dan membuatku terus membalikan halaman demi halaman.

  Aku seolah kesal sendiri, bukan, bukan karena butuh empat ratus halaman lebih untuk menemukan permasalahan yang kuinginkan. Tapi, dari semua cerita sederhana itu, aku seolah menemukan berbagai macam tipe dan makna kehidupan. Aku sungguh menikmatinya.

  Terkadang aku kesal dengan Tere Liye, bahkan setiap orang bertanya padaku siapa penulis favoritmu, aku tidak perlu jauh-jauh membicarakan orang diluar sana. Tere Liye terus terlintas di pikiranku, dan terucap dimulutku.

  Entah penulis seperti apa dia, begitu produktif, Islam yang kuat, pembawaan yang sederhana dan bermakna, berbagai genre ia tulis, dan tentu saja, berpuluh buku yang terbilang semuanya best seller. Terkadang aku kesal dengannya, bagaimana bisa? Bagaimana bisa?

  Mungkin Tere Liye tidak terlalu umum didengar oleh orang-orang layaknya Andrea Hirata yang booming karena novel Laskar Pelanginya, tapi, tulisan-tulisan Tere Liye seperti ada ruang sendiri di hati pembaca. Sederhana dan berkelas.

  Jika aku ingin bermimpi, kuharap, aku bisa menjadi rivalnya. Tentu saja, aku akan berusaha. Seberapa besar niatku? Mungkin nanti akan terjawab. Jika besar, mungkin itu terjadi, jika tidak, aku akan menjadi penikmatnya seperti lalu-lalu.

  Dan satu orang juga yang sering kuucap walau aku tak pernah membaca novel atau tulisan cetaknya. Tapi sering kusebut di blog ini juga, ya, dia, Hoeda Manis, aku tak tahu siapa dia, info yang minim terhadap dia, membuat seperti sosok misterius dengan kata-kata yang tenang namun penuh makna juga.

  Dan ketika senggang, merekalah yang menemani hari-hariku. Membuatku terus  terpacu dalam merangkai kata, walau entah orang berkata apa. Entah menganggap apa. Tapi, kuharap aku menjadi rival mereka.