Minggu, 31 Maret 2019

Hari-Hari yang Telah Terlampaui

4.20 WIB, Ahad.

Menjaga malam dari hari ke hari
Dengan amunisi bekal dari sang istri
Atau video call bersama sang buah hati
Tetap terjaga, hingga pagi menghampiri

Untuk Ramadhan yang lebih baik tahun ini
Untuk pribadi lebih hebat pada Umat kini
Dari Yawme yang akan mengiringi hari-hari
Yang senantiasa hanya mengharapkan ridho Illahi.

Teruntuk Back-End-Fillah.
Semoga setiap uap yang tertahan
Semoga setiap baris kode yang terukir
Menjadi amal baik yang Allah ridhoi.

***

Saat itu hujan turun, kita bicara, tentang masing-masing kita, tentang dunia ini, menatap langit-langit yang menggelap di selasar masjid menanti Isya datang.

Tentang mimpi yang besar, maka mimpi yang kecil akan terlampaui begitu saja. Tentang semua (ikhtiar) untuk Satu (Allah), dan Satu (Allah) untuk semua (kebaikan-kebaikan-Nya).

Tentang menjadi diri yang lebih serius. Tentang fase-fase kehidupan yang tidak bisa dihindarkan. Tentang pasrah akan kehendak Tuhan (Allah). Tentang sebuah perjuangan dengan segala hadiahnya, tentang perjuangan dengan segala hasilnya.

Bukankah dari dunia ini yang terpenting adalah perjuangannya? Karena hasil hanyalah hadiah dari-Nya. Hanya Diri-Nya yang tahu apa yang terbaik. Dari semua perjuangan itu.

Sabtu, 30 Maret 2019

Heu...

Tidak ada makan siang gratis kawan.

Jumat, 29 Maret 2019

Sudahi Asumsi Untuknya

Aku tidak mengerti lagi cara kerja manusia, lebih khususnya diriku sendiri. Terkadang manusia tahu itu buruk, tapi terus tetap menghampirinya dan bahkan melakukannya. Sebagaimana banyak orang tahu narkoba adalah hal mengerikan tapi banyak sekali pecandunya. Sebagaimana banyak orang tahu riba adalah jeratan, tapi orang berlomba-lomba melakukannya. Dan juga sebagaimana banyak orang tahu jatuh cinta adalah menyakitkan, dan aku pun melakukannya.

Aku masih menyesap rokokku, di hari yang mulai tampak menggelap. Matahari telah runtuh dari peraduan, dan aku di sini, duduk di tengah cafe setelah dua bulan lalu aku memutuskan untuk menghentikan semua ini.

Tapi, sekali lagi, aku tidak mengerti cara kerja manusia, dan aku menjebak diriku sendiri lagi.

Akhirnya temanku datang. Namanya Jo. Biasa kupanggi Ji, kalian bayangkan dengan logat makasar. Dia memang orang makasar, tapi dia dari kecil sudah tinggal di ibukota. Dan dialah penyebab aku kembali lagi duduk di tengah cafe dan mengulangi semua ini.

Ketika aku memutuskan untuk mengulangi semua ini, aku pikir aku adalah pesakitan. Aku tahu ini akan menjadi suatu yang rumit dan menyakitkan lagi, tapi herannya kakiku tergerak dan viola, aku di sini menanti senyum seseorang yang belum untukku. Tapi senyumnya masih untuk teman pria-pria yang selalu membersamainya, dan aku hanya melihat dari kejauhan. Kalian pikir itu menyenangkan? Tentu saja itu sangat menyakitkan bagiku.

"Coffee?" tanya Ji sesampainya dan ingin segera menuju tempat pemesanan.

"Cukup, aku ingin tidur malam ini." sahutku.

Akhirnya Ji berlalu, mengantri untuk memesan. Aku masih menunggu dan menatap sebuah meja yang telah dipesan. Aku akan kembali melihatnya, bersama dengan teman-temannya. Benakku.

Beberapa menit pun berlalu. Ji telah duduk di hadapanku dan berkata. "Kamu tahu?"

Aku mengepulkan asap rokokku dan bertanya lewat gerakan kepalaku.

"Kamu pria bodoh yang tidak mengerti apa-apa."

Aku memincingkan mata. "Jadi, kenapa dirimu kembali menyuruhku ke sini?"

Ji mendekatkan kepalanya ke arahku. "Sekarang, sudahi semua asumsimu. Tutup semuanya, dan jangan kamu terjatuh lagi oleh namanya cinta."

"Ha?" tanyaku semakin heran.

Dia semakin mendekatkan kepalanya dan sekarang berbisik. "Beberapa lama setelah kamu menghilang, wanita itu bertanya kepadaku."

Ya Tuhan, jantungku berdegub kencang. "Lalu?"

"Kita mulai dan kita akhiri segera."

Aku terdiam sejenak, mengingat-ingat kembali waktu-waktu pahit itu. "Tapi, bagaimana mungkin dia menanyakan aku? Sementara aku bisa melihat betapa bahagiannya dia dengan teman pria yang ada di sekelilingnya? Bahkan tak sedikit ia bilang temannya itu lucu, gemas, menyebalkan, atau apalah itu." Tanyaku dengan sedikit jengkel, ah tentu saja mengingat momen itu sungguh menyakitkan kawan.

Ji tertawa. "Karena manusia itu terbatas sekali tahu akan dunia ini."

Aku memukul ringan bahu Ji. "Itu bukan jawaban yang aku inginkan, aku pun tahu itu."

Ji semakin tertawa. "Maka dari itu, aku pun tidak mengerti. Terkadang kita memang tidak mengerti jalan pikir wanita. Seolah menyukai A tapi memendam rasa ke B--"

"Menyebalkan sekali." kataku memotong perkataan Ji.

"Dan asumsi-asumsilah yang membuat semuanya runyam. Sebagai pria, kita harus memastikan asumsi-asumsi itu, agar tidak menjadi balon udara yang siap meledak hebat."

"Aku setuju." Kataku seraya mengepul asap, dan itu kepulan terakhir hari ini. "Tapi, hmm, aku tidak yakin dengan wanita yang terlalu terbuka seperti itu, maksudku, mudah bicara dengan pria lain. Kamu sendiri bisa lihat, senyumku telah habis hanya semalam karena itu. Dan setiap malam itu, hatiku berkeping."

"Hei-hei, sudah kubilang, asumsi akan membuat semuanya runyam." katanya.

"Itu fakta bukan? Kamu melihatnya sendiri, setiap malam selama 30 hari. Jika memang dia tidak seperti itu, seharusnya..."

"Hei, kamu tidak boleh egois. Bisa jadi memang itu melalui waktu yang panjang. Siapa tahu mereka adalah teman yang sudah bersama belasan tahun. Kamu bayangkan, tidak mungkin kita akan menutup diri dengan orang terdekat kita bukan? Walau tentu saja ada batasannya."

Aku mengehela napas, pembicaraanku sudah tercampur dengan kisah lampau. "Baiklah, aku tidak akan berasumsi seperti itu. Walau aku tetap tidak mengerti di kepalaku."

Ji tersenyum, pesanannya telah datang. Ia menyeruput kopinya dan ber-ah seperti biasanya. "Oke, kita tenangkan pikiran dulu. Jangan terjatuh oleh cinta oke? Kita tutup dulu kisah yang berlalu, kita mulai dari nol, dan kita bangun itu cinta."

Aku tersenyum kecut.

"Kamu tahu apa rahasia membangun cinta?" tanya Ji dengan gaya-gaya orang sedang berteka-teki.

"Apa?"

"Mulai karena Allah."

Aku tertawa terbahak-bahak. "Whoo, ada apa dengan Ji sekarang?"

Ji memasang wajahnya serius. "Aku serius. Begini pun, aku sudah tiga bulan menikah. Aku rela menemanimu, karena kamu sudah terlalu lama membujang dan aku ingin segera kamu menikah. Bukan bermain-main seperti dahulu."

Aku menelan ludah, mukaku pasti terlihat pucat. Wajah Ji menjadi menakutkan. Terkadang pun aku heran, kenapa Ji mau menemaniku 30 hari untuk duduk di sini, sementara istrinya di rumah. Ada hal-hal yang tidak bisa kumengerti, salah satunya seperti itu.

Saat itu pintu cafe terbuka, beberapa orang masuk bersamaan dengan senda gurau mereka. Pandangku dan Ji pun beralih ke arah pintu masuk, dan itu dia... telah datang.

***

Lanjutan dari kisah Tidak Ada Senyumku Lagi Untuknya.

Hei pria, berhenti terus berasumsi dan mulai lah mencari jawaban. Dari diri-Nya hingga dari mahluk-mahlu-Nya. Sebenarnya aku sedang bicara ke diri sendiri... ha ha ha ha

Kamis, 28 Maret 2019

Aku, Pria Cemburu

Walau adikku terhitung banyak, aku tetap biasa saja saat ibuku (ummiku) lebih perhatian dengan adik-adikku. Mungkin juga itu karena bertahun-tahun aku tidak pernah diberi perhatian sebagaimana ibu pada umumnya. Terkadang jika aku memikirkan kembali, aku masih tidak habis pikir aku tumbuh tidak dengan kedua orang tuaku hingga SMA.

Ya, aku tidak terlalu iri atau peduli jika adikku diberi perhatian lebih sementara aku tidak. Hingga akhirnya aku justru lebih terbiasa tanpa perhatian atau apapun terkait orang tua, aku lebih nyaman apa-apa dengan temanku.

Tapi, rupanya tidak untuk nenekku. Sedari kecil aku diasuh oleh nenek dan kakekku. Rupanya rasa iri dan cemburu itu berpengaruh dari betapa seringnya kasih sayang itu menghampiri. Tidak memandang itu siapa, hemat kesimpulanku saat itu.

Aku selalu senang setiap adik sepupuku main ke rumah nenekku. Aku akhirnya jadi punya temen, aku bisa bercandain orang-orang selain nenekku--karena kakekku galak, aku jadi tidak suka bercandain kakekku. Tapi, rupanya ketika adik sepupuku pada di rumah nenek, nenekku rupanya menaruh perhatian dan kasih sayang kepada mereka. Itu yang membuat diriku seketika hancur lebur seperti di duakan. Hiks.

Aku cemburu dan iri. Rasanya aku tidak rela jika nenekku itu sayang kepada mereka, tidak terima kalau nenekku bermain dengan mereka, tidak terima jika aku disampingkan. Walau sebenarnya tidak disampingkan. Tapi, rasanya diriku menjadi tak acuh, aku jadi mengurung diri dan berharap nenekku menyadari aku sedang ingin perhatian dan kasih sayangnya, atau bisa dibilang aku tidak ingin nenekku memberi perhatian dan kasih sayangnya ke orang lain selain aku.

Betul, aku sungguh egois sekali memang. Karena terlalu lama jadi anak tunggal, sifat apa-apa adalah milikku jadi terbawa-bawa dan rasanya saat aku merasa memiliki lalu apa yang kumuliki itu berpaling, rasanya hancur... Aku berusaha bagaimana menarik perhatiannya lagi, pada akhirnya aku biasanya mengurung diri atau ngambek.

Tentu saja, itu tidak elegan. Tapi, saat itu, aku merasakan kehilangan perhatian dan kasih sayang yang biasa kudapati. Padahal itu lebih tepatnya terbagi sementara. Beruntung, lambat tahun aku mulai menyadari, kalau aku memang bukan cucuk satu-satunya, dan itu hak adik sepupuku juga untuk mendapatkan kasih sayang dari nenekku.

Waktu dulu, aku selalu dibilang anak bontot, alias anak terakhir dari nenek dan kakekku. Anaknya Mbahbu (sebutan nenekku) dan Mbahkung (sebutan kakekku). Atau terkadang aku dibilang anak bersama, karena aku terlalu luwes untuk bisa ikut dan tinggal di rumah siapapun saudaraku. Bahkan aku hampir mau diadopsi oleh adiknya nenekku.

Namun, rupanya rasa-rasa menjadi anak tunggal suka sekali menghampiri. Terlebih akan apa-apa adalah milikiku dan yang lain tidak. Pekerjaan rumah tentang berbagi memang harus terus dibenahi. Semoga Allah memudahkannya.

***

Semalam aku bilang ke ummi. "Mi, masa Mimi dengar suara mbahkung manggil Mimi."

Terus ummiku menjawab spontan. "Itu minta didoain kali."

Aku pun tersadar, iya-ya, sepertinya sudah lama tidak mendoakan kakekku secara khusus. Bahkan sudah lama tidak menengok nenek yang dulu suka aku cemburui itu.

Peluk Erat Ayah

Nak, peluk badan ayah erat. Agar jika kamu terlelap, kamu tidak terjatuh nak.
Biarkan ayah memegang erat tangan-tangan mungil yang melingkari tubuh ayah.

Ayah minta maaf nak, jikalau nanti sepanjang perjalanan belum bisa senyaman temanmu lainnya. Tidak bisa terlelap dengan khidmat tanpa takut jatuh atau apa. Ayah minta maaf ya, nak. Mungkin kita bisa memulai perjalanan dengan pembicaraan sederhana. Mungkin dengan begitu kamu tidak bosan dan tidak jatuh terlelap.

Mulai darimana kita bicara? Atau kamu mau mendengarkan cerita ayah? Baiklah, biar ayah ceritakan sedikit dengan sesosok wanita yang luar biasa, nak. Ya, kamu benar, itu ibumu, nak. Ayah jamin, kamu akan terkagum dan menyesal jika kamu tertidur.

Kalau kamu bosan menatap kanan dan kiri atau punggung ayah, kamu bisa melihat ke langit-langit, nak. Dahulu ayah sering berbincang pada langit-langit. Tentang dunia ini, tentang Sang Pencipta dan segala rahasianya, ah tentu saja nak, selalu ada tentang ibumu.

Bersabar ya, nak. Perjalanan kita masih cukup panjang. Walau terik menyelimuti kulit dan tak sedikit keringat bercucuran, itu tandanya kita tengah berjuang, nak. Karena suatu hari jika kamu berhasil melewatinya dan mendapatkan apa yang kamu inginkan, maka kamu akan tersenyum mengingat momen-momen seperti ini.

Nak, tumbuh menjadi hebat dan sholeh ya. Karena dunia dan seisinya tidaklah amat penting, mungkin sekarang kamu belum mengerti. Tapi, kamu tidak akan menyesal jika mendengar perkataan-perkataan ini.

***

Sepanjang perjalanan berangkat, aku melihat seorang ayah yang membawa dua anaknya di satu sepeda motor. Anak perempuan di depan dan anak laki-laki di belakang.

Anak lelaki itu memeluk erat ayahnya. Namun, kepalanya yang terkantuk-kantuk membuatnya beberapa kali hampir terjatuh dari motor. Aku yang berada di belakangnya pun ketar-ketir. Tapi, ayahnya memegang erat tangannya agar si anak bisa terus tertidur dan tidak terjatuh.

Aku pun jadi ingat, ketika waktu-waktu penjemputan aku dari rumah nenek menuju rumah abi dan umi serta adik-adikku. Saat itu, aku diboncengi dibelakang. Aku mudah kantuk, dan aku sering tertidur. Akhirnya abi menyuruhku memeluknya, dan abi memegang tanganku erat. Kadang-kadang abi mengelus tanganku. Sentuhan yang tak akan ku lupakan, dan mungkin sudah sangat sulit terjadi lagi.

Surat Cinta dari Pria Yang Telah Memilihmu

Dari suami.

Ku hanya ingin mendengar segala ceritamu sehari ini, walau kamu ceritakan berulang-ulang kali tak mengapa. Walau cerita yang kamu utarakan hanya itu-itu saja pun tak masalah. Aku akan mendengarkan dari berbagai macam ekspresimu, dari segala sebal dan gemasmu, dari tawa dan tangismu.

Walau kamu pasti tahu, mungkin aku tak pandai mengomentari kisahmu atau memberikan saran untuk kisahmu. Tapi yang kutahu, kamu hanya butuh waktuku, perhatianku, dan diriku untuk berada di sisimu. Kuharap itu benar.

Jika kamu ingin tahu apa yang kuingin lakukan untukmu? Akan aku ceritakan sedikit. Sebagai pria yang telah memilihmu, bagiku tidak ada waktu yang mampu mengaburkan isi kepalaku akan dirimu. Akan betapa hebatnya dirimu untuk membantuku, yang mencurahkan segala usaha untuk membuatku merasa tenang setiba pulang dari berpetualang.

Aku pun tidak habis pikir, bagaimana kamu menghabiskan waktumu untuk mengerjakan yang mungkin bagiku sungguh menyebalkan, aku mungkin akan menjadi gila jika melakukan apa yang telah kamu lakukan itu. Berulang-ulang kali, setiap hari, tapi kamu selalu menghadirkan senyuman indah setibanya aku di persinggahan, dan aku paham betapa banyak kata-kata terbenak di kepalamu, jadi aku akan selalu ingin mendengarkan kisah-kisah yang tertahan sepanjang fajar hingga senja terbenam.

Sebagai pria yang telah yakin untuk melanjutkan hidup bersamamu, aku ingin jadi sahabatmu, aku ingin selalu berada di sisimu. Kemana pun kamu ingin pergi, aku ingin akulah yang akan mengantarmu bak cinderella dengan kereta kencananya. Dimana pun kamu berada, aku ingin yang selalu menyediakan payung saat hujan datang, atau memberikan jaket saat dingin mulai menyelimuti. Kapan pun kamu butuh bantuan, aku ingin akulah orang yang pertama membantumu, bahkan sebelum kamu berpikir kamu butuh bantuan, aku ingin lebih dahulu membantumu. Apa pun keresahanmu, aku ingin selalu tersedia mendengarnya dan membuatmu tenang, walau terkadang tidak memberi jawaban, setidaknya izinkan aku memberikan pelukan hangat dan satu kecupan. Kuharap itu membuatmu lebih baik. Bagaimana pun yang terjadi, aku ingin selalu menjadi pria yang berdiri tegak di depanmu, menepis semua beban berat yang mungkin akan menerpamu, atau lelah yang mungkin menyelimutimu.

Tapi, kamu pasti tahu, aku belumlah sehebat itu. Jadi, sebelum semua itu, aku ingin meminta maaf, jika aku masih memiliki terlalu banyak kekurangan. Mungkin aku tidak selalu bisa menjawab pikiran-pikiranmu yang belum terungkap itu. Sebagaimana orang bilang, mungkin aku masih belum peka akan apa yang kamu inginkan. Jadi, ceritakan sedikit agar aku mengerti.

Sebagai pria yang telah setuju akan mimpi-mimpimu, aku ingin terus berupaya akan apa yang kamu impikan itu tercapai. Karena aku tahu, betapa beratnya menunda mimpimu itu dengan menjadi pendamping hidupku, untuk membantu diriku, untuk selalu menyemangati saat mimpi burukku tiba, untuk selalu tertawa di saat sedih berkepanjangan menghinggapiku, dan untuk selalu mendorongku saat aku merasa telah kalah.

Aku tahu betapa inginnya kamu. Betapa banyak waktu yang kamu pupuk untuk semua mimpi-mimpimu. Dan aku, orang yang baru hadir dalam kehidupanmu belum lama ini tak mungkin mampu menggugurkan bunga ketika musim semi datang. Jadi, ceritakan sedikit mimpimu, biar aku tahu, biar aku bisa membantumu, biar aku bisa mendampingimu dalam mewujudkan mimpimu.

Sebagai pria yang telah memilihmu sebagai ibu dari anak-anaku. Ah, aku tidak tahu lagi kata yang tepat untuk bagian ini. Kamu adalah ibu terbaik yang bahkan melebihi bayanganku. Bagaimana kamu bisa betah menghadapi si kecil itu hingga sekarang? Bagaimana kamu tetap menggendongnya di tengah malam yang berkepanjangan itu. Bahkan tak sedikit kamu tertidur lelah dan harus terbangun saat si kecil merengek di tengah malam.

Mungkin, aku belum terlalu bisa bantu banyak untuk mengurangi bebanmu dalam mengurus anak-anak kita. Tapi, izinkan dan berikan aku kesempatan itu. Ajarkan aku bagaimana cara menggendong hingga membuat anak-anak kita menjadi manusia-manusia yang tangguh.

Terkadang, pria itu cukup kikuk saat harus berhadapan dengan anak-anak. Tapi, dengan kebesaran hatimu, kamu selalu mengingatkan aku betapa pentingnya seorang ayah bagi anak-anak kita. Dan kamu selalu mendorongku untuk selalu ada dan memberikan yang terbaik kepada anak-anak kita. Untuk menjadi ayah yang teladan bagi anak-anak kita.

Aku pun, ingin selalu membersamai dirimu saat anak-anak kita perlahan mulai tumbuh hebat.

Aku tak pandai menutup suatu hal dengan baik, tapi mungkin ini sedikit dari jutaan hal yang ingin aku sampaikan, jika suatu waktu aku diizinkan menulis ini lagi, aku harap isinya berbeda dan tentu saja membuat senyummu merekah-rekah.


Salam Cinta.

Suami.


***

Malam itu aku bertanya, apa sih yang ada di pikiran seorang pria sebagai suami terhadap istrinya? Akan apa yang ingin suami lakukan atau suami diperlakukan oleh istrinya. Ku pikir, jawabannya terlalu sederhana. Jadi izinkan aku menguraikannya.

Dan kamu tahu apa jawaban sederhana itu?

Ingin selalu mendengar ceritanya dan ingin selalu ada untuknya.



Perihal Kepastian

Kemarin dapat pertanyaan, apakah aku orang yang panikan?

Aku memutar kembali waktu-waktu yang telah kulalui. Aku pikir aku panikan, tapi setelah kucoba telaah lagi, konteks-konteks yang sering terjadi di diriku lebih ke ... selalu ingin memastikan dan memastikan lagi.

Setiap aku minta tolong ke orang, untuk aku yakin dia akan menolongku, aku bisa bertanya dua hingga lima kali. Mungkin sampai yang ku tanya muak dan jadinya malah tidak jadi menolongku.

Terkadang, aku merasa tidak cukup dengan jawaban yang hanya sekali, aku selalu bertanya, jika berkali-kali jawabannya sama, maka aku bisa lega. Jika tidak dijawab-jawab aku akan stress ... Makanya aku paling tidak suka percakapan yang berhenti di tengah-tengah atau semacamnya.

Dan tentu saja, selalu ada gelisah di setiap kepastian yang belum kunjung datang. Bagaimana tidak? Perihal yang sudah dijawab saja aku masih gelisah sampai benar-benar yakin, apalagi sebuah jawaban yang belum terlihat, otakku pasti bertanya-tanya lebih keras dan jadilah aku selalu gelisah serta tidak sabar.

Pada akhirnya, perihal ini, kuncinya adalah sabar. Lagi-lagi masih sangat harus belajar melapangkan dada ini dan meredakan otak ini atas pikiran-pikiran dan asumsi yang terjadi selama kepastian itu belum kunjung datang. Sekali lagi, kepastian yang sudah datang pun masih membuat kepalaku berasumsi dan terus ingin memastikan bahwa jawabannya tidak berubah.

Sebenarnya hal ini cukup merepotkan, ku hanya berharap Allah membantuku untuk memberikan segala jawaban-jawaban dengan segera (tentu saja yang terbaik dari-Nya) atau membantuku untuk belajar bersabar dan bersabar lagi.

***

Sebelum menulis ini, aku bertanya-tanya. Kenapa seseorang yang kagum dengan seseorang lainnya belum tentu mencintainya? Ah, ternyata kagum dan mencintai adalah dua hal yang berbeda.

Rabu, 27 Maret 2019

Akan Tekad Yang Terus Diupayakan, Akan Mimpi Yang Terus Diwujudkan

Aku percaya, dibalik orang-orang hebat atau cerita-cerita hebat pasti ada lumuran darah yang menyesakkan hati. Walau tak semuanya yang menyentuh hati, tapi tetap saja patut diapresiasi.

Hal itu tak kusangka juga terjadi oleh beberapa hal-hal viral belakangan ini, kupikir mereka memang beruntung saja bisa menjadi viral, tapi oh ternyata cara kerja kehidupan tidak selucu itu.

Aku benar-benar tertawa puas melihat tiga anak kecil dengan bahasa jawa ngapaknya yang sering beredar di instagram, facebook, atau pun youtube. Pertama aku melihatnya, kupikir ini lelucon sesekali saja, tapi ternyata mereka buat banyak dan luar biasa aku tidak habis pikir mereka membuat semua lelucon itu dengan usia masih kecil-kecil begitu.

Penasaran membuat diriku menonton beberapa talkshow ketiga anak kecil itu. Ternyata mereka tidak hanya bertiga, ada seorang dewasa yang biasa disebut pak RT, pak RT itu yang membimbing mereka bertiga. Lalu kisah demi kisah terurai dengan merdu, dan tentu saja haru.

Jika kamu tinggal di desa, apakah kamu terpikir untuk pergi ke kota dan mengikuti audisi akting? Ah, tentu saja itu tidak di kepalaku. Tapi, pak RT ini rupanya sungguh spesial. Beliau ke kota untuk menjadi seorang artis.

Singkat cerita, rupanya beliau masih belum dijodohkan untuk menjadi seorang artis. Akhirnya dia pulang ke kampungnya, tapi rupanya namanya mimpi selalu memercikkan asa sekecil apapun. Ia terus mencari orang-orang untuk direkam atau dia pun ikutan berakting.

Namun, semuanya masih belum berhasil. Walau beliau harus ke kota untuk mengupload semua video yang telah ia buat, karena di desanya sinyalnya tidak memadai. Beliau tetap melakukannya dengan jumlah puluhan mungkin ratusan video yang sudah dibuat.

Saat bercerita itu, beliau menangis. Salah seorang anak kecil yang beliau didik itu pun menangis. Mereka paham betul getirnya perjuangan itu, hati-hati yang telah dipupuk sedemikian kokohnya pun runtuh oleh kisah-kisah masa lalu yang terurai kembali.

Akhirnya beliau cerita, berhasil mengumpulkan ketiga anak itu, dengan berniat menunjukkan kehebatan Indonesia lewat pemandangan yang indah dan keasrian budaya-budaya yang ada, beliau membuat potongan-potongan komedi yang unik.

Beberapa kalimat yang terulang-ulang belakangan ini dari host talkshow itu adalah "Kita tidak akan mampu mengalahkan film-film hollywood, karena itulah kelebihan mereka. Tapi, kita, kelebihan kita ya keindahan Indonesia dan segala budayanya. Seharusnya, kita menggunakan kelebihan kita untuk menunjukkan kepada dunia." Kurang lebih, yang kutangkap seperti itu.

Benar saja, beberapa kali aku menatap film-film Indonesia yang berusaha untuk meniru film Hollywood rasanya seperti nanggung, bahkan tak banyak yang terkesan memaksa. Terkadang mungkin kita memang tidak tahu apa yang ada di diri kita sendiri, sehingga kita terlalu sibuk mengikuti orang lain yang mungkin bagi kebanyakan orang itu keren.

Kita mungkin lupa kelebihan apa yang mampu kita suguhkan pada dunia, lalu kita fokus untuk bisa hebat seperti orang lain. Kita pun lupa diri, dan tidak menjadi apa-apa selain pengikut sejati. Pengikut yang tidak akan pernah lebih hebat dari apa yang diikuti.

Bicara tiga bocah jawa ngapak itu, aku pun bertanya-tanya, dari manakah keberanian mereka untuk melakukan semua itu? Sudah banyak video mereka beredar, tak sedikit yang viral. Penontonnya sudah berjuta-juta dan sekarang mereka tayang di salah satu stasiun televisi swasta.

Jika mereka hanya kebetulan, ku pikir mereka tidak akan bisa sejauh ini. Apa ini yang dimaksud ditakdirkan untuk menjadi sesuatu itu? Mungkin memang itu jalan hebat mereka. Terpasti, mereka memang mempunyai bakat, juang, dan asa untuk semua itu. Mereka layak mendapatkan semua itu.

Termasuk pak RT yang telah membimbing ketiga anak itu, telah tidak putus asa akan asanya. Hingga akhirnya dengan sangat pantas menerima apa yang dituainya. Langit-langit dan gunung-gunung mungkin telah menjadi saksi bisu perjuangannya.

Dan sekali lagi, aku tidak pernah habis pikir orang yang memberanikan diri untuk pergi dari desanya menuju kota dengan tujuan untuk menjadi artis, untuk melakukan audisi. Izinkan aku bertepuk tangan akan tekad-tekad yang terus diupayakan, akan mimpi yang terus diwujudkan.

Minggu, 24 Maret 2019

Sabar Ya

Belakangan ini aku merasa lelah, bukan, bukan maksud menyerah akan apa-apa yang telah diperjuangkan. Tapi, rasanya lelah saja. Rasanya seperti, bolehkah aku istirahat sebentar? Setidaknya untuk merebahkan tubuhku ke hamparan rerumputan seraya menatap langit-langit yang sedikit tertutup pepohonan rindang, yang anginnya sepoi-sepoi menenangkan.

Belakangan ini aku merasa mulai kewalahan, rasanya terlalu banyak yang harus kulakukan dan juga kupikirkan. Sampai-sampai, aku berhenti sejenak, dan lebih banyak merenungkan. Namun, rupanya semua-semua yang membuatku kewalahan itu tidak tinggal diam, semua-semua itu masih menghantui.

Bolehkah aku sedikit keluar dari apa yang ku jalani berhari-hari tiada henti? Seperti tamasya bersama orang-orang yang kucintai, entah ke pantai atau pun gunung. Entah menatap deburan ombak atau juntaian ribuan bintang.

Bahkan, untuk terlelap saja aku ragu. Seperti... apakah aku sudah layak untuk terlelap sekarang? Untuk menikmati malamku sekarang? Bukankah masih banyak semua-semua itu? Tapi, pada akhirnya aku terjatuh dalam lelapku. Tubuhku tak bisa berbohong kalau aku sudah mencapai batas.

Jadi, bisakah aku sedikit tenang sekarang? Tak perlu memedulikan atau memikirkan banyak hal.

Rupanya, ketika dewasa, bisa tidur siang saja itu adalah harga yang sangat berharga. Ketika dewasa, bisa bertemu teman-teman yang ingin ditemui saja rasanya seperti pencapaian terbaik. Ketika dewasa, bisa tidak memikirkan hal-hal besar rasanya seperti sedang liburan sekolah.

Mungkin, memang aku yang harus perlahan menyelesaikannya. Dengan sabar dan syukur. Dengan sabar dan syukur. Dan sekali lagi, dengan sabar dan syukur.

Sabar kalau semuanya belum memberikan senyuman yang amat berarti, kalau semuanya masih sangat merumitkan, kalau semuanya masih terlihat sebuah masalah.

Bersyukur, karena ada janji manis di setiap perjuangan-perjuangan itu. Sabar ya, mungkin dikit lagi fajar datang, dan langit-langit menjadi terang benderang. Menyenangkan bukan?

Jumat, 22 Maret 2019

Letak Kebahagiaan

Tanpa ku sadari, aku telah meletakkan kebahagiaan-ku pada mahluk-Nya, membuatku merasa sedih saat mahluk-Nya itu tidak berada di sekitarku. Saat mahluk-Nya itu menjauh dariku, atau mungkin tidak lagi se-asyik dahulu pertama kali aku meletakkan kebahagiaan-ku padanya.

Rasanya benar-benar hambar sekali, saat mahluk-Nya tidak bisa membersamai ku, bahagia ku benar-benar terampas. Ingin sekali aku mengumpat, memaki-maki keadaan, tapi aku lupa, keadaan tidak bersalah.

Rasanya benar-benar sakit sekali, saat mahluk-Nya ternyata bahagia dengan orang lain selain diriku, bahagia ku kali ini lebih dari kata terampas, bagiku kebahagiaan-ku telah dihak milik oleh orang lain. Ingin sekali aku menghempaskan orang-orang itu, atau memberi peringatan kepada orang-orang itu, tapi aku lupa, mereka semua punya hak akan apa yang mereka perbuat itu.

Karena, mahluk-Nya itu tidak akan pernah menjadi milikku. Karena semua kita adalah milik-Nya, mungkin ada masa kita dititipkan mahluk-Nya, tapi sekali lagi, ada keadaan dan waktu atau berbagai macam hal yang akan menjadi perantara untuk pengembalian titipan mahluk-Nya dari kita lantas kembali kepada-Nya.

Malam itu, rasanya diri-Nya ingin menuntun ku, mengajarkan ku, ini loh maksud dari kata bahagia itu, ini loh seharusnya yang kamu letakkan dalam perkara bahagia.

Malam itu, aku menjumpai sebuah masjid, aku sudah menanti beberapa minggu yang lalu akan kajian ini. Salah satu pembicaranya merupakan ustadz yang aku sukai, saat pertama kali melihatnya membawakan materi aku langsung jatuh cinta dengan caranya menyampaikan.

Malam itu, aku berjumpa lagi, dan aku kembali jatuh cinta dengan caranya menyampaikan materi. Dan akhirnya aku tertampar oleh materinya. Perkara bahagia, perkara standar sebuah bahagia.

Lalu dimana kah bahagia itu? Ah, rupanya bahagia itu sangatlah sederhana, rupanya bahagia itu bisa kita letakan atau kita cari di sebuah tempat yang bernama 'taat'. Kebahagiaan itu berada di dalam ketaatan, tentu saja ketaatan kita kepada-Nya.

Dan bukankah hanya Allah lah yang tidak akan pernah mengecewakanmu?

Aku pun tersenyum, dan berusaha keras menarik kembali kebahagiaan yang telah ku salah letakkan itu. Walau tidak semudah ucapan, tapi kupikir tidak ada salahnya untuk diperjuangkan.

Kebahagiaan yang hakiki.
Kebahagiaan dalam ketaatan.

Rabu, 20 Maret 2019

Kupu-Kupu

Seharusnya aku tidak sejahat ini, setidaknya pada diriku sendiri. Mungkin memang tidak pandai, kalau begitu izinkan aku meminta maaf atas apa pun yang telah terjadi.

Yang mungkin ternyata terlenanya aku dari sabar ini bisa membuat orang lain menderita, dan aku harus menanggung pernyataan maaf agar tidak ada lagi penderitaan itu.

Dan semoga aku memang masih bisa untuk berusaha lebih sabar, terkait apa pun itu, termasuk dalam mengendalikan pikiran-pikiran dan emosi diri yang terkadang dihantui rasa takut itu.

Entahlah, mungkin keadaan seperti ini membuatku tersiksa, dan rasanya ujian ini amat berat lantas aku meronta-ronta kesakitan, ya walau aku tahu, itu tidak ada gunanya. Aku harus bisa lebih tangguh lagi, karena perjalanan ke depan mungkin lebih curam, perjuangan itu memang hanya bisa dilalui oleh orang-orang yang tangguh.

Jadi maafkanlah aku, jika aku masih belum tangguh, aku masih merasa sakit itu amat-amat menderitakan hidupku. Padahal, mungkin, penderitaanmu lebih menyakitkan. Aku hanya tidak tahu saja.

Semoga, itu tidak terjadi. Semua baik-baik saja, bukan?

Tidak perlu merasa bersalah atau apa, ini murni adalah kebodohan yang telah aku lakukan, apa pun yang terjadi, setidaknya aku tidak ingin menyesal lagi, karena melewatkan berbagai hal dengan kebodohan-kebodohan yang sama.

Dengan ketidaktangguhan untuk berjuang, dengan emosi yang tidak terkendalikan, dan kebodohan yang terus terjadi.

Sekali lagi aku minta maaf, sepertinya aku harus tahu diri dan tidak perlu lagi membayangkan hal-hal yang tidak perlu. Bukankah seharusnya aku tidak mengganggu hakmu, dan aku pun memiliki hakku sendiri?

Kita belum siapa-siapa, sampai akhirnya ulat itu menjadi kepompong dan keluarlah kupu-kupu yang indah. Dia--kupu-kupu--itu terbang mengelilingi taman dengan warna-warninya. Indah sekali bukan?

Dan mungkin sedikit ketidakpedulian cukup penting sekarang. Karena terlalu peduli cukup menyakitkan berujung cemburu, dan menjadi candu akan itu sungguh menderitakan. Bukan, bukan berarti melupakan. Sekali lagi, terkadang aku harus tahu diri.

When You Love Someone #4

"Kenapa?" tanya orang disebelah ku.

"Apanya kenapa?"

"Kenapa bahasa inggrisnya selamat tinggal itu good bye? Padahal selamat tinggal-kan, tapi ada good-nya disana."

Aku mengusap dagu sejenak, dan menyerah. "Kenapa?"

Dia menatap ke arah langit-langit sambil berkata sambil menghayati. "Karena berpisah itu tidak selamanya buruk, makanya ada good-nya di sana."

"Meeeh..." Aku pun sebal mendengar intonasi bicaranya, gayanya, dan tingkahnya yang cocokologi itu.

"Tapi, aku serius itu." Sambungnya menatapku untuk meyakinkan.

Aku hanya terkekeh kecil, masih bicara mencintai dengan cara yang lain. Dan semoga perpisahan-perpisahan yang terjadi adalah sebuah bentuk mencintai yang lebih baik.

Good Bye.

Telah Kalah

Rupanya setahun benar-benar berlalu, namun semua masih tetap sama. Aku masihlah seorang bocah, dan keadaan-keadaan seperti ini selalu membuatku kalah. Ku pun merasa sepertinya aku belum siap untuk apa-apa, dan begitu saja semua mulai membosankan.

Ku pikir jika ku cerita dengan seseorang, dia pasti akan menertawakanku. Tapi, dia benar, aku sungguh memang bocah, dan setahun sudah berlalu, aku masih tetap bocah.

Menjemput Fajar Melepas Senja

Kamu tahu salah satu yang sulit dalam kehidupan ini?
Bersabar
Dan salah satu sabar yang amat berharga
Ialah menjemput fajar dengan melawan rasa kantuk

Dari dua puluh empat jam dalam sehari
Waktu-waktu penantian fajar adalah waktu paling mengerikan
Kantuk itu amat menghantui,
Rasa sakit itu memuncak

Rasanya hampir mustahil,
Menantinya,
Fajar itu,
Hingga matahari menyembul sempurna

Namun, waktu menjemput fajar itu adalah hadiah
Karena siapa saja yang mampu bertahan saat itu
Bermunajat saat itu
Banyak sekali malaikat yang akan mendoakanmu

Menjemput fajar adalah waktu berharga sendiri
Maka tak sedikit orang bilang
Bangun segera, sebelum rezekimu dipatok ayam
Dan bangun itu adalah di kala menjemput fajar.

Kamu tahu salah satu yang sulit dalam kehidupan ini?
Bersyukur
Dan salah satu bentukku adalah
Melepas senja dan mensyukuri atas segala kehendak-Nya

Senja adalah waktu yang tepat
Untuk menyaksikan segala keindahan ciptaan-Nya
Dan saat itu, aku menyaksikan, mengingatnya lebih tepat
Atas keindahan yang diri-Nya berikan kepadaku, yang mungkin tertutup oleh nafsuku

Melepas senja adalah persiapan atas gelapnya kehidupan--malam
Waktu yang siap untuk melepas penat
Namun banyak sekali godaan saat itu
Malam bisa menjadi saksi banyaknya kerusakan di muka bumi ini

Dan melepas senja akan mengingatkan
Segala kebaikan yang diberikan oleh-Nya
Untuk tetap bersyukur dari hari ke hari
Lantas tidak tergoda oleh nafsu di kala malam

Berharap segera fajar menjelang
Tapi orang bilang
Malam itu sesuatu yang panjang
Dan terkadang amat pekat dan mencekam

Maka malam layak dipersiapkan
Dan sudah ku bilang bukan?
Waktu terbaik menyiapkannya adalah
Senja, melepas senja dengan bijak, dengan syukur atas rahmat-Nya

Hingga akhirnya malam berlalu
Dan kembali untuk menjemput fajar
Kembali bersabar, sesuatu yang susah bukan?
Lantas tiba di senja, untuk bersyukur atas hari itu

Semoga diri-Nya,
Terus memberiku kesempatan
Untuk menjemput fajar--bersabar
Untuk melepas senja--bersyukur.

Bukan Tentang Apa-Apa, Semua Perihal Kehendak-Nya

"Gue proses sampai ada yang udah saling ketemu orang tuanya, sudah oke malah..." katanya.

"Terus?" tanyaku penasaran.

"Eh nggak jadi, alasannya sederhana banget."

"Apa?" Aku berusaha menebak-nebak di kepala, tapi tak dapat.

"Beda prinsip aja padahal. Dia mau tinggal di Bandung, mau S2, gue masih mau tetap di sini, deket kantor gue."

Aku rasanya ingin menepok jidat, memangnya hal gitu nggak bisa dirundingin lebih jauh ya?

"Jauh-jauh gue mencari, proses berpanjang-panjang, eh gue sama dia (orang yang dalam waktu dekat ini ingin dinikahinya) cuman 3 minggu doang, udah langsung ngomongin tanggal nikahnya juga."

Aku terkejut. "Iya-ya, udah banyak proses dilalui, dengan waktu pun yang tidak sedikit. Tapi, ujung-ujungnya sama orang yang tidak jauh di mata, dan cuman 3 minggu... Jadi penasaran gue kok bisa cuman 3 minggu. Emang kalau dari elu gimana bisa milih dia?"

"Yakin."

Aku mengusap dagu, menunggu lanjutannya. Tapi, ternyata tidak ada lanjutannya, eh. "Maksudnya gimana tuh?"

"Waktu gue ditawarin beberapa akhwat, gue milih dia, karena gue yakin, udah itu aja. Bahkan yang ini gue nggak pakai istikhoroh kayak lainnya. Tapi, langsung jadi."

Aku tertawa, masa iya hidup selucu itu? "Tapi apa gitu yang membuat yakin? Mungkin karena udah sering ketemu juga kali ya?"

Orang itu menggumam. "Ya, kalau ketemu mah iya, tapi kalau ngobrol jarang. Tapi, ya tiba-tiba yakin aja gitu, dan ternyata keyakinan itu terjawab dengan indah."

Aku tersenyum. "Oke, gue paham rasa keyakinan itu." kataku.

"Justru gue penasaran sama dia, apa yang dia rasain ya? Kok bisa cuman 3 minggu dia langsung ngeiyain?"

Aku setuju, aku pun penasaran apa cerita dibalik 'iya'-nya calonnya orang itu. "Nanti, kalau sudah akad, sudah tahu ceritanya, berkabar ya." aku terkekeh.

Kurang lebih itu obrolan selepas menjemput fajar setelah dengan sekuat tenaga menahan kantuk. Walau banyak hal yang dilebih kurangkan--isi dialognya. Tapi, sungguh ini bukan perkara seberapa dekat dan seberapa lama berproses. Seperti sesuatu yang... entahlah, mahluk-Nya tak akan pernah tahu akan apa yang akan dikehendaki-Nya.

Pada akhirnya, hati pria itu berlabuh ke wanita yang tak jauh dari kesehariannya. Padahal jauh sebelum itu, dia mencari-cari jauh di luar sana. Rasanya lucu, seperti jauh-jauh mencari, ujung-ujungnya sama orang sekitar juga. Tapi, ya memang begitulah garis takdir yang tertulis rupanya.

Itu pun yang membuat hidup ini semakin seru, kita tidak pernah tahu bahkan untuk menebak-nebak plot kehidupan kita saja, kita tak mampu. Itu salah satu yang ku suka dari kehidupan ini, tidak seperti kebanyakan film yang plotnya mungkin bisa diduga dan benar, atau ketebak secara gamblang. Hidup ini penuh teka-teki dan plot yang amat-amat menarik.

***

Tadi, lihat undangan pernikahan salah satu teman kantor yang dibuat dari website--undangan lama. Kok lucu ya, ada tentang kedua pasangannya, foto-foto yang tidak disengaja, dan lucunya lagi tuh video kisah tentang dari awal proses mereka berdua.

Dari proses mengirim CV yang tidak sama-sama tahu, eh ternyata teman satu organisasi, dan itu mungkin salah satu plot twist kehidupan mereka berdua. Lalu dengan seiring berjalannya waktu, mereka akhirnya menikah dan sekarang sudah punya dua anak.

Jadi kepikiran, untuk segala apapun aspek dalam kehidupanku, kira-kira plot twist apa yang akan hadir ya? Semoga semua itu kelak menjadi jalan untuk menggapai ridha-Nya ya, walau terkadang untuk meluruskan niat itu amat-amat susah sekali. Nafsu terkadang sangat egois dalam diri ini.

Selasa, 19 Maret 2019

When You Love Someone #3

Setelah akhirnya aku paham kisah lain dari 'Cinta tak harus memiliki' oleh Mas Salingga, aku jadi teringat obrolan beberapa waktu silam dengan seseorang.

Seseorang itu bilang. "Di Indonesia ini, perceraian adalah sesuatu hal yang tabu, sesuatu hal yang dianggap buruk." katanya kurang lebih seperti itu.

Aku mengangguk dan masih menyimak.

"Walau di Alquran menjelaskan bahwa perceraian adalah sesuatu yang tidak disukai Allah, tapi Allah tetap memperbolehkan namanya perceraian itu."

Aku pun masih mengangguk dan tetap menyimak.

"Tapi, harus dilihat lagi, perceraiannya karena apa? Karena bisa jadi jika memang tidak bercerai justru pasangan itu jauh dari Allah, bisa saja jadi saling mendzalimi, maka kalau begitu lebih baik bercerai. Maka balik lagi apakah jika bersama itu mendekatkan kepada-Nya? Atau justru berpisah yang membuat mereka bisa mendekatkan kepada-Nya? Walau tentu saja, perceraian adalah jalan terakhir karena Allah tidak menyukainnya."

Kesekian kalinya aku mengangguk setuju, di kepalaku terbayang, bukankah sepasang suami istri itu saling membersamai karena memiliki tujuan mulia yaitu mendapatkan ridha-Nya? Lantas jika di perjalanan rupanya kebersamaan itu tidak mendekatkan diri kepada-Nya, lantas untuk apa kebersamaan itu?

Tapi, kalau saling membersamai dengan tujuan selain ridha-Nya, itu mungkin bisa lain lagi ceritanya.

Berarti perlu diperhatikan lagi tolak ukur dan tujuan kita melakukan sesuatu hal, termasuk menikah, mencintai seseorang, atau bahkan harus berpisah. Jika memang itu jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, mungkin memang itulah yang harus ditempuh, tentu saja dengan kelapangan yang amat besar.

Sajak dan Irama

Dulu kalau aku lagi sok-sokan nulis kata-kata bersajak aku selalu merasa yang kutulis seperti tidak hidup. Apalagi saat membanding-bandingkan dengan lagu band indie yang liriknya bersajak indah dan memiliki irama yang menggugah. Lalu aku kepikiran untuk bisa memainkan musik dan membuat tangga-tangga nada untuk mengiringinya.

Tapi, sayang, aku memang sudah mempatri bahwa seni musik adalah yang paling susah dalam hidupku. Aku pernah belajar bermain gitar, tapi ya begitu, jariku tuh terlalu mungil imut gitu jadi rasanya kayak tersiksa sekali (padahal ini bukan sebuah alasan), akhirnya bisa sih kunci-kunci dasar dan memainkan satu dua lagu, salah satunya lagi Elvis yang Can't help falling in love.

Kalau dulu sempat sok-sokan ngeband juga, mainnya bass biar lebih gampang. Tapi ternyata yang ku pelajari adalah bermain bass paling dasar... Karena pada hakikatnya kunci bass adalah kunci gitar juga. Namun beda cara memetik dan mainnya saja. Aku pun tidak belajar dengan serius, lebih asyik-asyikan saja bermain dengan teman-teman.

Aku paling ingat lagu yang sering kita bawain ketika di studio itu adalah lagunya Ungu yang Demi Waktu. Dulu juga aku cuman bisa memainkan gitar lagu Demi Waktu doang. Merasa tak berbakat dan tak terakomodir oleh lingkungan, akhirnya aku hanya buat iseng-iseng jari saja kalau ada gitar, tidak belajar dengan rutin atau serius kayak beberapa temanku lainnya.

Tapi, ketika aku melihat band indie sekarang, melihat beberapa puisi diiringi dengan irama petikan gitar atau semacamnya, aku merasa ingin sekali bisa membuat lagu sendiri, membuat lirik sendiri lalu memberi iramanya juga, atau paling tidak bisa diiringi dengan nada petikan yang sederhana.

Ah, tapi tidak ada waktu yang bisa ku luangkan untuk itu. Terkadang sok-sokan membuat sajak-sajak saja sudah patut aku syukuri karena masih bisa kepikiran untuk membuat hal begituan. Beruntung juga sih adanya band indie sekarang yang karyanya itu mewah-mewah.

Lirik yang indah nan menginspirasi, nada-nada yang unik nan menyenangkan, menjadi obat diri ini yang tak mampu membuat hal serupa. Salah satunya tak sengaja dengar ketika memilih kumpulan musik di sebuah aplikasi musik online, namanya Ruang Baca, entahlah nadanya unik dan liriknya itu bagus-bagus.

Sempat beberapa hari, mungkin juga minggu, mendengarkan lagu mereka-mereka saja. Rasanya lucu saja gitu, ada juga yang lainnya kayak Dialog Senja, Elegi, Sendjagurau, Matter Halo, dan masih banyak lagi!!!

Walau terkadang bertanya-tanya, itu mereka bisa survive selama ini apa emang karena ngeband aja atau gimana ya?

Tapi, sekali lagi mereka itu keren dan membuat warna musik Indonesia terlihat mewah. Karena selama ini aku merasa lagu Indonesia itu liriknya terlalu biasa dan kisahnya cinta-cinta lawan jenis mulu... Jadi pas melihat mereka-mereka, rasanya indah aja gitu...

When You Love Someone #2

"Mas, di lagu yang kemarin mas nyanyiin kenapa dia bilang 'When you love someone' ya?" Tanyaku yang masih agak bingung karena lirik yang when you love someone-nya terpisah dari lirik sebelumnya, dan membuatku bertanya love yang mana dituju? dan someone-nya itu siapa?

Lalu Mas Salingga menjawab. "Ya begitu Mi, tahu kan kata-kata kalau kita mencintai seseorang tidak harus memiliki? Nah itu kayak gitu."

Aku mengangguk dan ber-'oh'.

"Ya kalau di sini--lagu ini, kalau kita mencintai seseorang itu, nggak selamanya yang terbaik itu bersamanya atau memilikinya. Bisa jadi yang terbaik adalah berpisah, dan itu juga bagian dari mencintai seseorang itu. Siapa tahu kalau bersama justru malah bermasalah dan lainnya."

"Aku paham. Hehe."

Lalu kita ngebahas band-band emo, rock, punk dari zaman dahulu kala, berawal dari Queen, Panic at The Disco, hingga ke The Greatest Showman. Dan malam itu rasanya teringat zaman kuliah, teringat masa-masa main setiap hari. Walau banyak tugas, tapi rasanya porsi main lebih sering. Lebih banyak yang bisa diajak ngobrol, dengan latar, watak, kisah orang yang berbeda-beda.

Tetiba pun ingin kabur dari kantor dan pergi jauh ketemu teman-teman reramean dan membahas banyak hal lagi.

Kangen lab MM eh.
Kangen Bandung.

Minggu, 17 Maret 2019

Oborolan Keluarga Kecil

Siang itu, aku menumpang di sebuah mobil yang dimiliki oleh keluarga kecil yang beranggotakan ayah, ibu, dan tiga anak prianya.

Awalnya keberangkatan sang ibu tidak ikut bersama sang suami. Di mobil hanya ada sang suami, ketiga anaknya, dan aku yang menumpang. Lalu pas pulang aku dikejutkan ada sang ibu di mobil. Aku pun akhirnya menyelip diantara keluarga kecil itu.

Banyak sekali obrolan-obrolan dari anaknya, nanya ini itu, atau cerita ibunya ke anaknya yang takut tinggal di rumah yang besar, rumah yang bertingkat.

Lalu anak yang kedua menyahuti ibunya itu. "Kan, ada Allah, Bunda. Bunda nggak sendirian."

Anak yang paling kecil ikut menimpal. "Ada malaikat juga Bunda, jadi Bunda bertigaan di rumah."

Aku menahan tawa.

Si ibunya tetap pada pendiriannya. "Tapikan beda, pokoknya Bunda nggak mau tinggal di rumah besar apalagi banyak kamar kosongnya."

Sang ayah membantu kedua anaknya. "Betul tuh kata mereka (menyebut nama anaknya) kan ada Allah sama Malaikat masa Bunda takut."

"Ih... Pokoknya Bunda nggak mau." Si ibu tetep menolak dengan gemasnya.

Lalu pada ketawa semua, aku masih menahan tawa dan mendadak berimajinasi jauh ke depan. Seru ya, obrolan antara orang tua dan anaknya ketika tidak ada yang mengganggu seperti gadget atau laptop atau semacamnya.

Itu yang membuat aku suka dari berpergian. Obrolan-obrolan yang tercipta di dalam kendaraan. Obrolan yang mau tidak mau terlaksana untuk menghilangkan suasana jenuh perjalanan. Namun, berakhir menyenangkan bahkan mengundang tawa.

Semoga Allah karuniakan keluarga kecilku yang penuh obrolan manis seperti itu.

Lalu kemudian mereka ngebahas tentang mau melihara hewan, dari melihara ikan hingga ke hewan reptil, dan ada-ada saja pembahasannya. Lucunya, orang yang sudah tua harus menurunkan ego akan ilmunya yang tinggi untuk bisa menyahuti anak-anaknya yang terkadang pikirannya tak karuan menarik serta uniknya.

When You Love Someone

Selepas Isya, aku nanya ke Mas Salingga. "Mas, menurut Mas Salingga perceraian itu aib atau nggak?"

Mas Salingga diam sejenak. "Gue jawab lewat lagu ini."

Aku bingung.

Lalu Mas Salingga nyanyi, aku mencoba memahami lagunya. "Itu the best banget menurut gue." Katanya setelah menyanyi, lalu dia akhirnya memutar lagu yang dia nyanyikan tadi.


Aku menontonnya, melihat video klipnya. Lalu, aku menahan air mata. Kita menonton sangat serius. Terus Mas Salingga menjulurkan tangannya untuk toss. "We're cool?" kalau tidak salah aku mendengar itu.

Dengan masih menahan air mata, berpura-pura biasa saja, aku toss. "Cool."

Jumat, 15 Maret 2019

Keputusan Terbaik

"Kamu tahu?" tanya orang itu.

"Apa?" Aku pun penasaran.

"Menikah, adalah keputusan terbaik dalam hidupku."

---

Akan aku lanjutkan nanti, :))

Mimpi Kecil dan Masa Tua

Setiap lebaran melihat sanak keluarga kumpul dengan jumlah keluarga yang masih utuh, aku rasanya senang sekali. Terlebih berkunjung ke rumah saudara di kampung yang jika kumpul untuk tidur saja sudah tidak ada tempat lagi, tapi mereka tetap memaksakan diri untuk tinggal satu atap. Aku melihat itu rasanya seru sekali.

Tidak ada yang lebih menyenangkan selain perjumpaan.

Berjumpa dengan kakek serta nenek, atau om dan tante, atau mungkin kakak atau adik, bahkan keponakan dan lainnya. Walau sayangnya keluarga besarku tidak seramai itu, jadi aku senang saja melihat temanku jika kumpul keluarga bisa 30-an orang, seru ya.

Sampai akhirnya aku punya mimpi kecil. Aku ingin, jika tua nanti, jika sudah punya mantu atau cucu, sering kumpul keluarga beramai-ramai, disana bisa saja menceritakan masa kecil atau hal-hal perjuangan lainnya, atau mungkin berbagi pandangan berbagi cerita, rasanya menyenangkan sekali, terlebih bersama istri yang setia menemani hingga masa tua itu.

Nyatanya, tidak mudah untuk tetap utuh bersama keluarga yang pertama dibangun hingga berkembang begitu banyak. Terkadang aku melihat ayah atau ibunya yang sudah tiada, atau yang berpisahi, atau permasalahan keluarga lainnya.

Rasanya, aku tidak bisa memikirkan itu masuk ke dalam ceritaku. Aku masih benar-benar ingin kisah yang ku ukir pertama kali terus berjalan dan bersama hingga akhir hayat, mungkin salah satunya untuk mewujudkan mimpi kecil ku itu.

***

Senin nanti, mungkin aku harus bersedih, melihat sebuah perpisahan yang mungkin tidak perlu terjadi, tapi entahlah, pada akhirnya takdir yang berkata lewat ikhtiar-ikhtiar yang pernah dilakukan.

Kamis, 14 Maret 2019

Aku Cemburu

Aku cemburu, dengan bayanganmu. Selalu ada membersamaimu, selalu ada mendengarkan cerita-ceritamu, selalu ada menemani di tengah isak tangismu dan memeluk erat tubuhmu yang meringis, selalu ada dalam kebahagian dan cerita yang terbagikan.

Dari pria, yang amat takut akan kehilangan.
Padahal sejatinya tidak ada satu pun yang kita miliki di dunia ini.

***

Dulu aku selalu suka jadi orang yang tidak sedang jatuh cinta, atau menjadi teman dari kedua orang yang sedang jatuh cinta. Karena, aku bisa leluasa bicara apa saja dengan mereka berdua. Aku bisa bertindak apa saja--tentu saja yang tidak melanggar apapun. Maksudku, aku tidak harus jaim atau semacamnya.

Sementara itu, temanku yang pria, biasanya jadi kikuk, jadi malu dan benar-benar aneh. Aku melihatnya merasa kasihan. Lalu, dalam benakku, jika jatuh cinta justru membuatkan sang kasih semakin menjauh, aku lebih baik memilih menjadi teman biasa saja.

Dan akhirnya, aku lebih memilih jadi teman biasa saja ke banyak orang. Walau, mungkin, ada kisah terselip yang sebaiknya disimpan agar tidak jadi aneh.

Sabtu, 09 Maret 2019

Soal Mimpi dan Rasanya

Waktu itu aku ingat zaman SMP kelas 3, aku mulai punya buku diary terus mulai iseng tukeran biodata-biodata. Kalau dipikir-pikir kok kecewekan banget ya, tapi tak apa, herannya lagi padahal tulisanku jelek tapi kok berani ya nulis biodata pakai tangan...

Beberapa teman dekat pun berhasil ku pinta biodatanya, dari kita tuh deket banget, sampai ya yang kita anggap kita teman (ini jahat banget...) Well, di biodata kita nulis semua tentang kita, dari makan, minum, hobi, mimpi, sampai quote-quote yang mungkin sok bijak-bijak gitu.

Begitu pun aku saat diminta biodata oleh beberapa temanku. Aku menulis apa yang aku suka, apa yang aku inginkan, apa yang aku bayangkan tentang diriku sendiri. Rasanya dulu itu semua hanya buat senang-senang, tidak ada tujuan lebih selain mengisi diary dengan tulisan teman-teman dan perihal teman-teman.

Lalu, beberapa tahun lalu ketika kuliah, buku diary (binder) itu aku gunakan sebagai buku kuliah, alhasil masih ada tulisan teman-temanku dan segala mimpinya. Terus aku iseng membaca ulang, terus aku mendapati punya seorang temanku yang waktu itu di biodatanya tertulis kuliah di Universitas Indonesia. Aku membacanya tersenyum-senyum. Dahulu, ketika SMP temenku itu menulis kuliahnya di UI (Universitas Indonesia) dengan penuh percaya diri, dan sekarang dia benar-benar di UI.

Waw.

Aku iseng foto terus kirim ke temenku, dan rasanya tuh kayak... Entahlah, mungkin mimpi menjadi nyata kali ya?

Sesuatu yang kita impikan, atau kita canangkan tercapai. Rasanya memang luar biasa.

Kemarin Mas Salingga juga bilang gitu, dia nyuruh diriku membuat target dan aku berjuang untuk itu, lalu dia bilang. "Lu jangan bayangkan sekarang, tapi pas lu udah di titik target itu, lu pasti bakal takjub sama diri lu sendiri, rasanya benar-benar luar biasa, gue udah ngalamin itu!"

Benar, bagiku omongan Mas Salingga itu sangat benar. Sebuah target untuk kita capai, dan saat kita di sana, rasanya pasti amat luar biasa. Walau terkadang masalahnya adalah kita ragu untuk memberi target, ragu untuk bermimpi. Mungkin, karena takut terbebani, takut ternyata kita teralih.

Tapi, bukankah mimpi atau target itu agar kita punya tujuan? Agar kita bisa membangun rel yang tepat? Agar kereta yang melaju tidak kebingungan dan akhirnya serampangan menuju jurang?

Terus beberapa waktu ini iseng cari-cari soal mimpi beberapa teman. Dari beberapa teman mimpinya sudah mencangkup tahun-tahun kemarin dan tahun ini beserta tahun berikutnya. Aku tersenyum-senyum sendiri dan bertanya-tanya, ini mereka tercapai nggak ya? Apa masih inget nggak ya? Rasanya gimana ya tahun-tahun yang sudah berlalu namun tidak tercapai? Atau yang sudah tercapai? Atau tersadarkah mereka pernah bermimpi dan sekarang sedikit lagi mereka capai?

Lalu aku bertanya sama diriku sendiri, lah mimpiku kemana ya?

Mati Sepi Sendiri

Makin ke hari rasanya tingkat ekstrovert ku semakin menjadi, rasanya sulit sekali sendiri di suatu tempat--kecuali kamar sendiri. Rasanya sesak sekali sendirian tuh, kayak rasanya dunia menjadi suram.

Untuk keberapa kalinya merasa kesepian ketika orang rumah pada pergi berhari-hari, padahal kalau semua di rumah pun tidak selamanya berbincang, paling di tempatnya masing-masing bersama dengan gadgetnya masing-masing.

Akhirnya aku memutuskan nginep berhari-hari di kantor. hari ini aku hampir seharian sendirian di ruangan kantor. Rasanya udah kalut sendiri, seperti kerjaannya cuman menunggu dari adzan satu ke adzan berikutnya. Mau keluar tapi bingung entah kemana. Sampai-sampai rasanya sudah tak karuan terus tiba-tiba pintu ruangan ke buka, aku terkejut tapi amat lega, ternyata ada satu orang yang datang. Walau tidak menetap di ruangan rasanya ada orang lain di kantor ini sungguh keniscayaan.

Pas keluar ruangan ternyata ada satu temen kantor yang memang tinggalnya di kantor, ah lega, akhirnya aku pun keluar dari ruangan yang menyesakkan itu. Niatnya mau beli obat--tiba-tiba penyakit waktu zaman di kampus kambuh lagi, hampir tidak menyangka--terus mau beli makan juga, niatnya ngehedon sedikit aja, eh malah kebanyakan ngehedonnya gara-gara ke tempat baru. -_-

Alhasil beli sebuah makanan yang orang bilang itu burger, dan... aku pertama kalinya menikmati makan burger, rasanya pas aja gitu di lidah. Ini penampakannya, hehe...


Karena mikirnya nggak akan kenyang kalau dimakan berdua, akhirnya pesan makanan satu lagi masing-masing. Rupanya, kita salah, burgernya sudah cukup mengenyangkan, dan diriku pun biasanya paling menggebu-gebu memakan spageti bumbu carbonara, ini cuman di uel-uel doang... Tapi karena takut mubazir, dipaksa-paksa habis deh... :"

Setidaknya, hari ini aku keluar ruangan selain untuk ke masjid... Atau setidaknya ada teman, sebelumnya aku ngechat beberapa orang ngajakin main tapi rupanya pada sibuk--padahal aku juga sibuk, tapi rasanya jenuh sekali.

Rasanya makin ke hari semakin ketergantungan dengan keberadaan orang-orang di sekitar. Ku merasa ini sebuah hal yang membahayakan, jika dimanjakan bisa-bisa nanti tidak siap jika harus ditinggalkan oleh mereka-mereka, kayaknya aku harus belajar menyendiri bak orang-orang bertapa.

Sepulang makan, akhirnya ada beberapa orang, walau tidak ada perbincangan berarti, setidaknya aku bisa merasakan keberadaan orang di sekitarku dan tidak membuatku sesak tercekam kayak tadi pagi hingga sore...


***

Qonita upload foto lagi pada kumpul sama umi, abi, Aufa, dan Ahmad. Aku dan Salma hanya bisa melihat dari layar ponsel, fufu, kangen mendusel rame-rame di kamar terus ngomongin apapun atau ledek-ledekan.

Biasanya sih yang suka ngeledek aku sama Aufa, terus Qonita dan Salma marah karena tidak terima di ledek. Dan aku sama Aufa akhirnya dimusuhin... Itu dulu banget sih, haha. Jadi inget main khayal-khayalan sama mereka, main jadi power ranger, jadi joko tingkir, jadi rumah-rumahan, terus ngebohong shalat ke umi abi, terus nonton film bareng, nonton film horor bareng yang pada ketakutan semua, cuman aku yang berani kyakyakya (ini terpaksa berani karena sebagai kakak pertama malu kalau takut daripada adiknya, walau akhirnya soal tikus Aufa paling berani, aku cuman bisa jerit-jerit lompat).

Intinya, mulai kangen kumpul keluarga secara full, walau rasanya sulit sekali itu terjadi dalam waktu dekat ini.

Malu Saat Kebaikan Datang

"Rasanya aku malu, saat aku mendapati kebaikan." Kata teman sebelahku.

"Kok?" tanyaku heran.

"Rasanya aku sering berbuat maksiat, tapi kenapa aku tetap diberi kebaikan?"

"Mungkin Allah memaafkanmu."

Dia menggeleng. "Aku tak tahu, kebaikan kecil mana yang diri-Nya terima, sedikit sekali kebaikan yang ku buat. Aku merasa tak pantas menerima kebaikan dari-Nya."

"Mungkin, Allah menerima keikhlasanmu."

Dia menatapku. "Aku tidak mengerti, kenapa diri-Nya memberikanku istri yang sholehah, sementara akunya seperti ini. Sungguh tidak adil bukan bagi istriku?"

"Mungkin, Allah ingin memberi petunjuk kepadamu, melalui istri sholehahmu, dan menjadikan istri sholehahmu memiliki banyak pahala karena telah menerimamu dan menuntunmu ke kesholehahnnya."

Dia menertawakan dirinya sendiri. "Aku merasa diri-Nya terlalu cepat memberi semua kebaikan itu, kalau begini aku bisa saja menjadi semakin lalai."

"Allah tahu waktu yang tepat untuk sesuatu yang tepat."

Dia mengusap dagu-dagunya. "Tapi, aku benar-benar merasa tidak pantas akan semua kebaikan yang datang kepadaku. Aku benar-benar malu, begitu banyak maskiat yang ku buat, ibadah yang masih tidak khusyu, dan masih menjadi mahluk yang benar-benar egois lantas tidak melibatkan diri-Nya pada setiap perjuanganku. Aku, malu jika kebaikan itu datang terlalu cepat."

Aku tersenyum kepadanya. "Mungkin, Allah ingin kamu mensyukuri. Coba bayangkan, kamu yang masih banyak maksiat, ibadah tidak khusyu, pikiran masih egois, tapi Allah berikan kebaikan untukmu. Bagaimana jika kamu jarang maksiat, ibadah sangat khusyu, menjadi manusia yang tidak egois, nikmat seperti apa yang Allah berikan kepadamu? Luar biasa sekali, kupikir."

Dia terdiam, seperti bingung. "Tapi, ini benar-benar seperti kamu meludahi seseorang dan orang itu justru memberimu uang dan segala macamnya."

Aku memincingkan mata. "Apa yang telah kamu perbuat memangnya?"

Dia tidak mau menjawab. "Intinya, aku benar-benar telah membuat diri-Nya harus marah denganku, sungguh sebuah kesalahan besar."

Aku berusaha mencairkan suasana, dirinya semakin kalut. "Beruntunglah kita menjadi umat nabi Muhammad, hitung-hitungan siksaannya masih ditangguhkan, kita masih bisa meminta ampun dan bertaubat, masih ada waktu untuk memulai lagi."

Dia berusaha untuk tersenyum. "Aku masih malu, kebaikan itu datang, saat aku merasa tidak pantas mendapatkannya."

Aku mulai jengkel. "Bisa jadi, itu bukan karena amal baikmu, bukan karena ibadahmu, tapi doa dari ibumu yang sholehah dan juga istrimu yang sholehah. Kamu jangan terlalu kege-eran." Kataku ketus.

Akhirnya dia tertawa lepas. "Aku suka itu, aku merasa tidak terbebani sekarang."

***

Waktu ditanya, kenapa kamu memilih seseorang? Saat aku bilang, aku seperti melihat sebuah cermin. Aku pikir aku asal bicara, pas membaca banyak hal, kok aku seperti membaca sebagian kisahku? Walau tentu saja, kisahku masih lebih banyak buruknya.

Aku suka tulisan ini, soal jiwa dua insan yang menyatu seolah satu, sebuah keterhubungan yang telah ditakdirkan. Kuasa Allah Maha Luas.

Menjadi Orang Lain

Kamu tahu apa yang membuatku bersedih?

Itu saat aku harus berpisah denganmu.

Lalu rupanya aku mampu berbahagia lagi, kamu tahu itu apa?

Itu saat aku tahu kita masih bisa berjumpa.

Tapi, tidak sampai di situ, pada akhirnya aku tetap bersedih. Kamu tahu kenapa?

Itu karena, saat kita berjumpa, kita telah menjadi orang lain.

***

Tidak memanjakan prasangka buruk dengan tidak memikirkan dan menulisnya. Mungkin seperti tengah melakukan kesalahan, tapi mari kita belajar perlahan. Semoga-semoga, menjadi amat berharga untuk masa depan.

Memandang Langit Yang Sama

Setiap memandang langit, aku selalu bertanya-tanya. Adakah orang yang juga memandang langit yang sama denganku?

Memandang langit menjadi sesuatu yang cukup menyenangkan, mungkin tepatnya menenangkan. Seolah aku tidak akan kesepian, karena langit selalu ada, saat siang dan malam, saat hujan maupun terik, saat di timur ataupun barat. Langit selalu mengiringi, dan terkadang kita tidak terlalu peduli bukan?

Bulan akan terbenam, lalu matahari terbit.
Begitu sebaliknya, matahari terbit dan bulan yang terbenam.
Malam berganti fajar, senja berganti malam.
Dan langit selalu ada di setiap itu.

Dahulu, ketika berjalan hanya menatap ke depan, melihat keriuhan jalanan, melihat hal yang tidak ubah-ubah, semua tampak begitu-begitu saja. Lalu entah bagaimana aku tertuntun untuk menengadah, dan melihat langit-langit sambil berjalan, rupanya sangat indah.

Pepohonan yang berlalu di tengah-tengah awan, atau gedung-gedung, atau mungkin burung-burung yang sedang lalu-lalang, pemandangan yang tidak dapat dilihat jika hanya menatap ke depan, pemandangan yang menenangkan.

Setiap memandang langit, aku selalu bertanya, adakah orang yang memandang langit yang sama juga? Lalu kita bercerita tentang langit yang kita lihat, tentang keindahannya, atau terkadang jika awan menggelap, tentang rasa takut langit-langit atas apa yang sekelilingnya membuat semua terlihat begitu mengerikan--awan-awan gelap.

Setiap memandang langit, rasanya aku ingin memberi kabar, ingin bercerita, walau aku tidak tahu siapa yang akan menjawab kabarku atau ceritaku, bahkan aku tidak tahu siapa yang akan mendengarkan semua kabar dan ceritaku itu.

Terkadang langit menjadi amat indah saat bertabur bintang, atau menjadi mengerikan saat awan menghitam dan hujan begitu lebat. Tapi, langit masih tetap di sana, berdiri tegak dan tak berpaling, tak juga pergi, sungguh tidak pengecut bukan langit itu? Dia selalu ada untuk menemani, hati-hati yang mungkin terkadang terasa sepi dan gelisah ini.

Setiap memandang langit, kupanjatkan doa-doa, agar langit benar-benar tidak akan pergi, setidaknya sampai aku tahu siapa orang yang memandang langit yang sama denganku, yang mau dan berbagi ceritanya, mimpinya, atau sedikit kabar yang mungkin membuatku tersenyum malu.

Adakah langit ingin kamu sampaikan sesuatu? Atau memberi tahu siapa orang yang memandang langit yang sama saat aku bertanya-tanya akan itu? Jika tidak, tak mengapa, aku masih punya banyak waktu untuk memandangmu, keindahanmu, dan menunggu jawaban itu. Semoga aku tidak bosan. Ah. Tentu saja aku tidak akan pernah bosan.

Tapi langit, belakangan ini, aku jarang keluar dari atap-atap kayu ini. Aku sedikit kesulitan bertanya-tanya kepadamu, dan aku sedang tidak percaya diri sekarang. Aku merasa prasangka buruk amat menyelimutiku, aku merasa getir akan apa-apa yang ada di sekitarku, bisakah kita cerita sejenak? Setidaknya, hanya kamu yang bisa ku bisikan sekarang.

Entah sampai kapan, mungkin saat aku berjumpa orang yang memandang langit yang sama, aku akan mengajaknya memandangmu--langit--bersama-sama, biar aku bisikan rasa bahagianya saat itu kepada kalian berdua. Aku harap saat itu teduh dengan angin mendayu-dayu di sebuah perkebunan duduk berdua dengan masing-masing segelas teh hangat yang masih menguap-uap. Tentram sekali bukan?

Maafkan aku langit, saat aku beribadah kepada-Nya, tapi aku masih takut akan dunia beserta mahluk-mahluk-Nya. Aku seolah lupa, bahwa diri-Nya amatlah Besar, Maha Besar, dan aku perlahan tidak melibatkan-Nya. Mungkin gelisah itu dari sana, kuharap kamu memaafkan aku, langit.

Harus kuakui, kamu--langit--adalah salah satu mahluk-Nya yang terindah.

Dengan begitu, akan aku akhiri tulisan ini, boleh aku minta tolong, langit? Titipkan doa dan salamku kepadanya--orang yang memandang langit yang sama--aku akan menjemputnya, cepat atau lambat, kuharap dia menungguku dan terus memandangmu dengan tentram.

Kamis, 07 Maret 2019

Takdir Ruang-Ruang

Hingga ruang itu merasa sangat aneh.
Dimana pada awalnya ruang itu adalah yang sangat akrab. 

Semua rupanya bisa berubah, oleh siapa dan apa, oleh kenapa dan bagaimana, oleh waktu yang terus bergulir dan aku tidak tahu, bahwa aku tidak kembali ke ruang itu, aku hanya berkunjung ke masa lalu, dan melihat semua tengah tidak sesuai lagi dengan diriku saat ini.

Mungkin memang sumber bahagia adalah diri sendiri, dari bagaimana kita melihat sesuatu itu, dari bagaimana kita memaknai sesuatu itu. Tapi bagaimana jika sesuatu itu telah berubah? Awal yang membuatku amat bahagia--dari apa yang aku lihat--, menjadi biasa saja, atau mungkin lebih buruk? Lantas adakah yang bisa menjelaskan bagaimana dengan semua keadaan itu?

Sebagai manusia yang menikmati sekelilingnya, sungguh amat berarti sekali setiap manusia yang mengelilingnya itu. Sebagai manusia yang memiliki perasaan bak kaca, prasangka bak kilat, sensitif sekali untuk merasakan apa yang ada di sekitarnya. Mungkin pada akhirnya, bisa mendapat simpul-simpul jawaban, apakah merasa bahagia atau tidak.

Tidak ada topeng untuk kehidupan ini, karena sesungguhnya susah sekali memakai topeng itu. Memakainya untuk mendustai diri sendiri. Air muka itu hadir untuk menunjukkan pada lainnya, bahwa sedang bahagia atau berduka? Walau tentu saja tidak serta merta semua akan menjadi lebih baik saat semua tahu apa yang ditunjukkan, bahkan bisa jadi lebih buruk

Setidaknya bagiku begitu.

Semuanya telah berubah, yang awalnya ada ruang untukku, kini hanya menjadi serpihan, hanya bisa memandang dari kejauhan. Sesekali melihat riuh kebahagiaan yang terpaksa kutinggalkan. Dan memintaku mencari kebahagiaan baru di ruang lainnya.

Kebahagiaan yang harus kubuat lagi, dari nol lagi, dengan manusia-manusia lainnya di sekelilingku.

Namun, ada hati kecil berkata, "Semua sudah baik-baik saja, tak apa, aku sudah menemukan kebahagiaanku disini." Walau jauh dari itu, aku masih tetap memandang ruang-ruang terdahulu yang telah berubah dari kejauhan, dan sesekali berpikir, "Apakah masih ada kebahagiaanku di sana?"

Manusia paling menyedihkan adalah manusia yang berusaha menunjukkan bahwa ia tengah bahagia. Padahal jauh di hati kecilnya, ia merana.

Banyak waktu telah terjadi, melompat dari suatu kebahagiaan ke kebahagiaan lainnya, dari suatu cerita ke cerita lainnya, yang pada akhirnya membuatku takut untuk terlalu nyaman untuk terlalu akrab akan sekelilingku.

Karena pada akhirnya, mungkin, keadaan akan memisahkanku lagi dari ruang-ruang itu. Lantas ruang-ruang itu menjadi ruang-ruang terdahulu yang hanya bisa ku saksikan dari kejauhan, yang hanya ku bisa lihat riuh kebahagiaannya dari sekat-sekat takdir.

Tapi, tak apa, memang selalu ada fase kita harus melepaskan dan merelakannya. Agar menjadi pembelajaran akan apa yang kurang dari ruang sebelumnya, dan memberikan nilai-nilai pada ruang yang baru.
Kebahagiaan itu melewati proses. Saat semua terjadi seolah tampak mudah, namun pernahkah terpikir bagaimana kebahagiaan itu bisa terjadi? Bukankah banyak waktu yang telah dihabiskan dengan takut dan malu? Bukankah itu adalah perjuangan sendiri?

Kebahagiaan menempatkan dirinya pada sebuah waktu yang telah diusahakan.

Jadi, semua balik lagi akan daya upaya membuat kebahagiaan itu hingga akhirnya waktu tidak bisa menolaknya. Merelakan ruang-ruang sebelumnya, untuk memaknai ruang saat ini berada.

***

Suatu waktu aku cerita sesuatu hal paling penting dalam hidupku, hal-hal paling membuatku amat merana, yang perlahan aku mulai tahu sebab-akibatnya kepada Mas Salingga.

Sebagai pria yang memiliki kepekaan yang kurang lebih sama, Mas Salingga tahu apa yang kurasa dan dia pun menceritakan bagaimana itu terjadi pada dirinya, bagaimana semua terasa menjadi amat merumitkan.

Ada sebuah nasehat darinya, yang ku pikir tidak ada salahnya ku coba. Tapi, selain itu, berbicara dengan orang yang bisa merasakan apa yang kamu rasakan--karena dia memiliki hal serupa--adalah sebuah kebahagiaan sendiri.

Bukankah kita ingin dimengerti akan apa yang kita rasa?

Begitulah rasanya obrolan saat itu, kita menyepakati, bahwa kita pandai sekali memikirkan hal yang mungkin orang lain tidak peduli, rincian perasaan yang terkadang kita tidak mengerti, padahal jauh itu semua sedang baik-baik saja. Prasangka itu, mengerikan.

Kita pun menyepakati, kalau kita harus menyudahi pembicaraan. Karena malam sudah semakin menjadi, dan kita punya kehidupan yang harus diteruskan lagi.

Rabu, 06 Maret 2019

Untuk Prasangka-Prasangka Yang Mengusik Hati Kecil

Untuk prasangka-prasangka, yang mungkin terkadang tidak tahu diri, atau sedikit mengusik hati-hati kecil yang amat sensitif ini.

Apakah kamu--prasangka--tahu apa yang telah kamu perbuat? Seiring waktu, aku sampai tahu bagaimana kamu memulai semua prasangka itu, sampai tahu apa mau dari semua prasangka itu.

Bisakah kita sudahi semua prasangka ini? Toh, semua itu belum tentu benar atau mungkin tidak seperti apa yang kamu pikirkan. Bahkan bisa jadi, jauh lebih baik dari prasangkamu itu.

Sudah berapa banyak kamu mengacaukan segalanya? Sudah berapa banyak waktu yang kamu sita untuk prasangka-prasangkamu? Bukankah waktu kita amat sebentar?

Untuk prasangka-prasangka, jika kamu tidak mau semua semakin buruk, maka sudahilah semua yang kamu lakukan.

Berdiam saja, tidak memulai bersangka. Atau mungkin lebih baik menghindar dari semuanya untuk tidak adanya prasangka itu? Tapi, sampai kapan? Seberapa banyak? Manusia-manusia yang tidak berdosa kamu salahkan dengan prasangkamu.

Kamu tidak sendirian, ada banyak orang yang memiliki prasangka sepertimu. Jadi, mari kita bekerja sama dan simpan semua itu, melihat semuanya baik-baik saja, dan berpikir semua tidak seburuk yang terlihat atau terdengar. Bukankah itu lebih baik?

Aku tahu, aku tahu, kita manusia yang penuh dengan tanda tanya, penuh dengan keingintahuan, tapi prasangkamu tidaklah baik, tuan. Tolong jaga hati ini, jika memang pada akhirnya kamu meminta untuk menghindari segalanya, biarkan semua bertahap, oke? Biarkan semua tersimpan baik-baik.

Mereka tidak harus peduli dengan kita, mereka belum tentu bersalah, sekalipun bersalah, toh siapa kita di matanya? Peduli apa mereka akan prasangka kita?

Bagaimana jika kita mulai memaafkan, akan semua prasangka yang menyembul tak terduga-duga ini? Bagaimana jika kita mendoakan mereka yang membuat prasangka-prasangka timbul ini? Doakan sebaik-baiknya, karena apa yang kita lakukan baik itu perbuatan buruk maupun baik pada akhirnya akan kembali ke kita lagi bukan?

Atas nama prasangka, aku meminta maaf, dari hati kecil yang sering terusik oleh prasangka, aku benar-benar minta maaf atas kekacauan-kekacuan yang selama ini terjadi melibatkan kalian semua. Mungkin kalian tahu, mungkin juga tidak. Memang semua ini sedikit merumitkan.

Untuk semuanya, aku tentu saja memaafkan apa pun itu, entah mungkin hanya prasangkaku atau memang sesuatu itu benar-benar menyakitkan. Tapi, sungguh, kita sudahi semua ini dan tidak perlu aku harus pergi meninggalkan semuanya lagi bukan? Bukan begitu prasangka? Aku harap kamu memahaminya, kita bisa menjadi lebih baik, bertahap tak mengapa, asal terus menjadi lebih baik.

Selasa, 05 Maret 2019

Dunia Tanpa Aku

Saat itu aku duduk di antar beberapa teman-temanku. Beberapa menit aku disana, jangankan ada yang mengajakku berbincang, ini tidak ada satu pun yang menyapa aku, atau setidaknya melempar senyuman untukku.

Aku menekuk bibirku, lesu sekali rasanya. Aku beranjang dengan wajah masam, dan lagi, mereka benar-benar tidak menghiraukan aku.

Ku berjalan di koridor, melihat satu persatu orang-orang yang saling terhubung. Ada yang berbincang amat serius, hingga orang-orang berlaku konyol.

Tapi, aku, masih terdiam menatap mereka. Tak ada sepasang mata pun yang mengarah ke aku, tidak, tidak satu pun. Aku semakin kecewa dengan harapan-harapanku.

Lantas bertanya, apa aku memang tidak ada artinya? Sedikit pun?

Aku meninggalkan koridor itu, aku yang mulai muak, lebih milih untuk menyendiri. Meninggalkan semua ekspetasi-ekspetasi akan sebuah pertemanan, akan sebuah obrolan yang hangat atau menyenangkan. Aku lupakan semua itu.

Aku duduk, di sebelah sapu-sapu dan pengki. Aku melihat laba-laba yang menanggalkan sarangnnya. Atau semut-semut yang berbondong-bondong berjalan membawa sebiji beras. Apa aku bisa menyapa mereka? Menjadikan mereka teman?

Tak lama, suara pintu terbuka pijakan kaki terdengar, amat lembut, ku coba menebak. Pasti ini wanita, dan ini pasti wanita itu, aku hafal suara langkah ini.

Air mukaku berubah, aku beranjak menuju langkah itu. Aku mendapati wanita itu, dia tersenyum, ah dia memang selalu tersenyum. Aku mendekatinya. Tapi dia masih terdiam, lalu dia berjalan melewatkanku yang membuat aku benar-benar hancur.

Dia mengambil beberapa peralatan lalu pergi.

Aku menatap kedua tanganku lalu melihat cahaya kecil yang masuk dari sela-sela ventilasi. "Apakah ini, dunia tanpa aku?"

***

Teringat waktu ummi mau melahirkan adik terakhirku, saat itu tidak ada satu orang pun yang memberitahuku. Tiba begitu saja aku punya adik baru. Padahal saat itu, aku benar-benar ingin melihat ummi melahirkan. Aku ingin melihat bayi yang benar-benar baru menghirup udara kotor di muka bumi ini.

Saat itu, hanya aku saja yang tidak tahu dari keluarga kecil ummi dan abiku.

Sesuatu Yang Manis

"Sesungguhnya pasangan suami-istri persis seperti satu bait syair. Tidaklah baik sebuah syair apabila baris pertama indah sementara bait keduanya buruk." - Dirasat fi asy-Syari'ah al-Islamiyyah, karya asy-Syaikh Muhammad al-Khidr Husain rahimahullah.

"Memilih istri yang baik merupakan hak anak atas bapaknya." - Umar bin Khaththab.

"Harta yang lebih baik darinya (emas dan perak) adalah lidah yang selalu berdzikir, hati yang selalu bersyukur, dan istri salehah yang selalu membantunya melaksanakan keimanannya." QS at-Tawbah [9]: 34.

"Janganlah kau jadikan dunia mengubah senyummu, jadikanlah senyummu mengubah dunia."

"Berbisik pada Bumi, tapi didengarkan oleh Langit. Sujud."

Dan terakhir.
Kamu.
Iya, kamu juga sesuatu yang manis. :)

Senin, 04 Maret 2019

Semakin Tinggi Pohon, Angin Yang Menerpa Bak Badai

Tetiba ada pertanyaan di kepala.

Apa mereka benar-benar mengerti apa yang mereka ucapkan? Tapi, kenapa apa yang diucapkan bertolak belakangan akan kehidupannya?

Ah, bukannya mereka tidak mengerti atau tidak bisa menjalaninya. Tapi, bisa jadi, karena begitu tinggi ilmunya, cobaannya pun amat teramat tinggi sehingga mungkin apa yang mereka pahami, mereka ucapkan, mereka sampaikan kepada dunia akan ilmunya sulit diterapkan pada kehidupannya sendiri.

Bukan, bukan berarti apa yang mereka omongkan itu hanya omong kosong. Terkadang memang sulit, apa yang diucapkan dan dilakukan. Dan seperti yang aku bilang di paragraf sebelumnya, level cobaan yang berdatangan pun sudah memiliki level yang berbeda dengan kita yang hanya mendengarkan.

Tentu saja, terkadang kita dibuat bingung, apa kita bisa mempercayai omongan mereka? Sementara mereka tidak benar-benar hebat layaknya apa yang mereka omongkan.

Aku benar-benar tidak tahu.

Tapi, aku mohon, sekali lagi, cobaan atau ujian itu akan terus menyesuaikan kemampuan kita. Rendah kemampuan kita, maka kita akan mendapatkan ujian dan cobaan, dan tidak lupa ganjarannya pun rendah. Begitu pun sebaliknya. Tinggi kemampuan kita, maka kita akan mendapatkan cobaan dan ujian yang amat tinggi, namun tidak luput ganjaran yang akan didapatkan juga amat tinggi.

Aku jadi ingin seorang motivator yang amat luar biasa, kata-kata yang dikeluarkan bak mutiara yang belum sedikit pun tersentuh manusia, asri nan murni. Tapi, tiba-tiba masa lalunya hadir menggerogoti hidupnya.

Lantas orang-orang bertanya, motivator apa yang keluarganya sendiri ternyata bermasalah? Masa lalu itu entah darimana atau bagaimana tiba-tiba meruntuhkan semua kata-kata mutiara itu dihadapan para manusia.

Mereka, para manusia, mulai luntur akan decak kagum kata-kata mutiara itu.

Padahal, sungguh, kata-katanya itu bagus, hanya saja, sayang sekali masa lalu itu harus datang dan ternyata motivator itu tidak seindah nan bijak mutiara itu. Semua menjadi amat berantakan. Lalu bertanya, apa motivator itu memang sebenarnya tidak pandai? Dan hanya bisa membual saja?

Ah, aku tidak tahu, urusan motivator itu terlalu rumit, biarkan dia yang menyelesaikan dan aku tidak mau ambil pusing. Tapi, hemat pengelihatanku, kehebatannya motivator itu dalam menuturkan kata-kata mutiaranya sedang diuji, sedang diberi cobaan oleh Yang Maha Kuasa sesuai dengan kemampuan motivator itu.

Bukan berarti kita ahli, lantas kita memang benar-benar bisa mengatasi segalanya terkait keahlian kita.

Allah-lah yang menyelesaikan semua permasalahan kita.

***

Akhir pekan kemarin dipinjamkan dua buah buku, lalu aku bilang ke ummi lantas ummi cerita tentang nasib penulis buku itu--ada lebih dari satu penulis. Sungguh, nasib penulis itu sangat-sangat bertolak belakang akan apa yang ia tulis di buku itu.

Apa memang mereka benar-benar hanya pandai membual?

Entahlah, sekali lagi, aku yakin, level ujian mereka akan apa yang mereka kuasai itu sangat amat tinggi, yang mungkin kalau menimpa kita, kita merasa dunia telah kiamat. Dan nasib mereka sekarang adalah apa yang mereka pikirkan secara matang-matang, semoga yang terbaik untuk mereka dan kita semua.

Hah, dunia memang benar-benar mau kiamat.

Sapaan Yang Tertahan

Saat itu aku menatap ke langit, terlihat bintang-bintang bertaburan. Sebelumnya, aku pikir akan hujan,  tapi aku salah. Rintikan yang sempat menetes ternyata hanyalah air-air yang sempat berlabuh di dedaunan yang rindang itu.

Perjalanan itu membuatku mendadak teringat salah seorang yang tidak pernah ku kenal--dalam artian kita tidak pernah bertegur sapa atau pun sama-sama saling tahu--saat wisuda waktu itu, saat kita semua heboh dengan keluarga masing-masing, saat-saat terindah atas perjuangan panjang.

Waktu pelaksanaan wisuda telah berakhir, setiap wisudawan/wisudawati langsung dihampiri atau menghampiri para orang tuanya dengan suka cita.

Termasuk diriku. Aku berjumpa dengan ibu dan ayahku, kita sama-sama saling berbagi haru, lantas membuka ponsel untuk merekam sekilas, kebahagiaan-kebahagiaan yang menapak jelas. Satu, dua, tiga kali kita merekam diri.

Para wisudawan banyak yang meninggalkan gedung, aku melihat dengan jelas orang-orang yang tersisa. Aku berjumpa dengan teman kelasku, teman jurusanku, dan lainnya lantas bertegur sapa dan tertawa bahagia.

Sederhana, wisuda itu sederhana sekali.

Lalu aku beserta ayah dan ibu pun berjalan menuju luar gedung, kita menyisiri kursi-kursi yang telah sepi, dan mungkin ini terakhir kali, kita-kita--wisudawan/wisudawati--menduduki. Namun, belum genap aku meninggalkan gedung, aku mendapati...

Orang itu, beserta keluarganya.

Aku melihatnya, dia melihatku. Seperti... kita ingin menyapa, lalu kita sama-sama sadar kalau kita tidak saling mengenal. Kita bahkan tidak tahu kenapa kita bisa saling menatap lantas tertahan seperti ini.

Begitu pun yang aku rasakan, bibirku terus terkatup, susah sekali membisikan satu atau dua kata. Bahkan anggukan pun tidak. Tapi, aku yakin, kita sama-sama ingin berbalas sapaan sederhana.

Beberapa bulan setelahnya.

Aku sedikit mengomentari kegiatannya di sebuah media sosial. Lalu dia membalasnya dan akhirnya berkata.

"Ngomong-ngomong, maaf ya pas wisuda nggak menyapa, kirain nggak kenal. Hehe."

Aku tergelak saat itu dan menjawabnya. "Memangnya kita kenal?"

Dia pun menyetujui. "Nah, haha. Emang nggak kenal kan, okedeh nggak jadi minta maaf."

Kita sama-sama menertawakan ini.

Dan akhirnya kita pun, dengan formal, berkenalan. "Kalau gitu, salam kenal ya." Kataku.

"Iya, salam kenal ya hehe." balasnya.

Pandangan dan bibir yang terkatup ketika wisuda itu, tidak berbohong, kalau nyatanya kita memang ingin saling menyapa sekilas saat itu. Hanya saja, ada sebuah pertanyaan di kepala-kepala ini. Tentu saja pertanyaan itu "Memangnya kita saling kenal?"

Aku pun menertawai semua itu. Mungkin dia pun menertawakan ini.

***

Aku pikir 24 jam adalah waktu yang singkat, tapi aku salah, aku yang tidak tahu bagaimana memanfaatkan waktu-waktu itu dan masih saja ada waktu yang kugunakan untuk memikirkan hal yang tidak penting untukku, hal yang tidak menambah kebaikan untukku.

Sementara itu, masih ada hal yang harus aku kerjakan.

Minggu, 03 Maret 2019

Pria yang Menghancurkan Dindingnya

Saat itu mataku setengah terpejam karena lemburan semalam, kantung mataku amat tebal. Tapi, selalu ada senyum tersimpul saat orang itu terlihat dari bayang-bayang jalanan.

Pria itu dengan penuh percaya diri, dengan khidmat, mendorong gerobak yang berisikan bola-bola daging yang orang bilang itu adalah bakso. Tidak seperti pendorong gerobak bakso lainnya, pria itu mengenakan pakaian para pegawai, dengan kemeja putih, terkadang pakai dasi atau jas, pakai celana bahan, dan jika kalian lihat sepatu pantofelnya, kalian bisa bercermin disana.

Aku tersenyum, ada hal yang mungkin tidak benar-benar aku rasakan. Seperti seseorang yang berhasil menghancurkan tembok penghalangnya, menghancurkan kesenggangan kehidupannya, dan merasakannya dengan penuh nikmat, penuh syukur.

Pria itu menatap ke arahku dan menyapa. "Assalamu'alaykum, Mas. Belom berangkat kerja, Mas?"

Ah, bagaimana bisa dia menikmati hidupnya seperti itu, yang mungkin orang akan memincingkan mata dan menganggap remeh serta bertanya, apa enaknya cuman jadi tukang bakso? Tapi, jika orang yang memincingkan matanya itu berjumpa dengan pria ini, dia pasti akan bertanya dan ingin merasakan, bagaimana tukang bakso ini menikmati hidupnya?

Aku menjawab. "Wa'alaykumussalam. Ini mau berangkat, Mas. Jam segini udah sampai sini aja, Mas."

Pria itu tersipu malu, tapi ia tidak malu dengan apa yang ia kerjakan, apa yang ia upayakan, apa yang menjadi jalan hidupnya. "Iya, Mas. Belum ada yang beli, Mas. Jadi cepet deh sampai sini. Hehe..."

Aku merasa getir, apa boleh kita berbahagia dan menertawakan kesedihan kita sendiri? Apa pria ini tidak tahu arti sedih? Atau memang pandai menyimpan keluh kesahnya untuk ia sampaikan hanya kepada-Nya?

"Wah pas banget, Mas. Saya belum makan nih, pesan satu ya..."

Pas sekali adzan berkumandang saat itu. Lantas pria itu bertanya. "Mau saya siapkan makan dulu apa kita shalat dulu, Mas?"

Aku tersenyum lagi. "Shalat dulu saja, Mas. Biar kita sama-sama bisa dapat shalat sunnahnya."

Pria itu lantas meninggalkan gerobaknya di depan rumahku. Ia tidak menaruhnya di dekat masjid, dahulu aku sempat terheran dia sering meninggalkan gerobaknya sembarangan--tapi tidak menghalangi jalan--namun sekarang aku tahu kenapa ia bisa tenang meninggalkan gerobaknya saat ingin berangkat ke masjid.

Baginya, tidak ada kekhawatiran akan dunia ini, kecuali hal-hal terkait dunia setelah ini.

Aku pun yakin, jika ada yang berani mengambil gerobak pria itu, seluruh warga di sini tidak tinggal diam, pasti akan ramai-ramai meluluhlantakkan pencuri-pencuri itu. Pria itu, dicintai seluruh warga ini. Aku pun yakin, ada kisah pria ini di setiap keluarga di warga ini, minimal mereka akan menceritakan pria gerobak dengan pakaian formal-nya itu.

***

Saat itu, oh tepatnya malam itu, sangatlah panjang, amat teramat panjang. Berawal dari obrolan kerjaan, lalu banyak sekali bincang dari berbagai topik dan sub topik yang menyenangkan kita bincangkan.

Salah satunya adalah terkait orang-orang yang menikmati hidupnya, orang-orang yang tidak khawatir akan apa yang mereka kerjakan, akan penilaian manusia-manusia yang terkadang tidak tahu diri bahwa mereka tidak pantas menilai pekerjaan seseorang. Sungguh, ada nilai yang tidak terlihat dari sebuah pekerjaan, dan kita tidak bisa mengukur hanya dengan materi yang di dapat saja.

Lain halnya, perkara-perkara tentang kehidupan ini, tentang bagaimana menjadi manusia, bagaimana menjadi seorang ayah, bagaimana menjadi seorang anak, bagaimana menjadi seorang kakak, atau pun bagaimana menjadi seorang yang menemukan kebenaran itu--Islam.

Ada rasa-rasa yang mungkin tidak kita dapatkan, sebagaimana rasanya mendapatkan hidayah tumpah ruah yang menghancurkan dinding ketidakpercayaan. Bagaimana orang-orang yakin untuk memeluk agama Islam, bagaimana mereka berjuang mencari kebenaran itu.

Terkadang aku malu, aku mendapatkan Islam karena orang tuaku, aku mendapatkannya lebih dahulu dari mereka-mereka--para muallaf--tapi Islamku belum seindah mereka, belum sekuat mereka, bahkan tak sedikit mereka menegurku yang membuatku... Entahlah, rasanya sulit dideskripsikan, intinya kelu.

Dan akhirnya tubuh-tubuh kita tidak kuasa, waktu sudah menentukan dirinya pada pukul 03.20 WIB. Kita pun tertidur, malam itu panjang, tapi rasanya masih kurang, masih banyak yang perlu dibincangkan.

Untuk pertama kalinya aku melihat ayahnya Ayyash dan Hana ini menginap di kantor. Hehe.

Jumat, 01 Maret 2019

Kubangan

Tiba-tiba keinget kata ka Amri waktu knwoledge sharing.

Hei-hei Hilmy, jangan merasa dirimu adalah korban oleh keadaan atau sebuah kejadian. Kamu bisa berusaha mengubah sesuatu-sesuatu itu. Merubah sedikit otakmu itu, sudut pandang yang lebih baik, untuk perencanaan langkah yang lebih tepat.

Jangan berkutat pada kubangan, sungguh kamu tak maukan bermandikan lumpur menyengat itu?

Wake up, kamu bisa melakukan dengan segala yang kamu punya.

Hai, ENFP!!!