Kamis, 31 Januari 2019

Makan Nasi

Aku punya teman, yang kupikir ini orang terbuat dari apa ya lambungnya? Dari pagi hingga pagi lagi bahkan kuat untuk tidak makan nasi sedikit pun.

Sebagai masyarakat Indonesia, makan nasi seperti kebutuhan khusus, rasanya kalau tidak makan nasi seperti tidak makan. Termasuk diriku.

Rasanya selalu lapar jika belum makan nasi. Bahkan terkadang bagiku terpenting ada nasi, barulah aku merasa makan.

Tapi, belakangan ini perutku semakin sensitif, kelewat sedikit saja dari jam makan, lambungku meronta-ronta, dan rasanya tidak enak sekali, untuk makan pun sudah tidak nafsu.

Begitu juga yang terjadi sama umi, sampai umi kemana-mana harus bawa nasi. Kita sama-sama tidak boleh telat sedikit pun makan dari jam makan, jika terlewat, ah sudah, rasanya semua berantakan.

Dan kemarin, aku melewati banyak jam makan, rasanya, sungguh tidak enak sekali.

Terjerembab Ke Jurang Terdalam

Pagi ini ada sebuah kejutan ternyata, klub yang digadang-gadang akan menjuari semuanya harus kandas di Coppa Italia, bahkan kalah oleh tim papan tengah. Tapi sebenarnya ini bukan kejutan yang besar, karena aku pun sebagai pendukung klub yang digadang-gadang itu sudah paham, bahwa akan ada masanya klub itu hancur sehancur-hancurnya, seperti sekarang.

Dunia ini cukup panjang, terkadang ujian itu datang di saat kita sedang tidak menyadari ada apa. Atau bahkan kita harus tercelup ke jurang paling dalam, agar sadar bahwa ada yang salah dan harus segera diperbaiki.

Juventus--klub yang digadang-gadang itu--merupakan klub terbesar di Italia, belum terkalahkan di liga dan menjadi juara grup di liga champions, tapi, dia harus kalah oleh Atlanta, klub yang berada di posisi 7 berjarak 6 klub, sementara itu Juventus di peringkat pertama.

Juventus harus tersingkir di Coppa Italia melawan Atlanta dengan skor telak 3-0. Jika kalian baru menyaksikan pertandingan ini, pasti kalian akan terkejut dengan permainan Juventus, tapi jika kalian mengikutinya dari awal musim atau bahkan dari 7 tahun yang lalu, kalian pasti akan terbiasa dengan skor ini.

Sebelum pertandingan melawan Atlanta, aku bisa melihat permainan Juve yang tidak berkembang bahkan dari penguasaan bola saja kalah oleh Lazio yang berada di peringkat 8. Permainan Juve terlihat membosankan, dan salah satu penyebabnya adalah sektor gelandang.

Gelandang Juve terasa amat miskin, tidak ada yang bisa mengontrol bola dan mengalirkannya ke depan, pasti selalu saja melalui sisi sayap yang jika mentok bola kembali ke belakang. Dan begitu terus hingga bosan.

Sektor gelandang memang menjadi perhatian khusus para Juventini, dengan sedikitnya pemain gelandang dan sering cidera, Juventus dirasa butuh gelandang tambahan, terutama gelandang yang bisa menggiring bola lebih lama, menjadi penjembatan dari pertahanan ke posisi menyerang.

Tapi, kami pun dibuat heran oleh manajemen Juventus yang menyatakan materi pemain sekarang sudah oke dan tidak akan membeli siapa-siapa pada bulan Januari ini, terkhusus sektor gelandang. Dan akhirnya terlihat, perlahan bahwa masalah pada sektor gelandang itu benar-benar ada.

Aku tahu, pasti para manejemen Juventus lebih paham dan lebih menyadari, terlebih mendapat pukulan telak dengan tersingkir di Coppa Italia, padahal selama tiga musim terakhir selalu juara. Impian mendapatkan Treble musim ini pun akhirnya kandas, padahal Juve punya pemain sekelas Ronaldo.

Tapi memang semua ini masih lazim, tidaklah sesuatu menjadi kuat jika sebelumnya ia merasa amat lemah. Karena kelemahan itu yang akan mendorong untuk berbuat yang lebih baik, lebih menguatkan.

Kira-kira apa solusi dari manjemen Juventus ya? Apalagi jendela transfer masih terbuka, aku harap perbaikan sektor gelandang dan pola permainan. Sungguh, pola permainan Juventus harusnya bisa lebih baik dengan materi pemain yang luar biasa, tapi pola permainan seperti sikap, semua tergantung apa sudut pandang otaknya, jika disini bisa dikatakan semua tergantung sudut pandang pelatihnya--otaknya.

Mari kita lihat, kebangkitan seperti apa yang akan Juventus tunjukkan.

Fino Alla Fine Forza Juve!

Rabu, 30 Januari 2019

Pamit

Aku tahu, januari masih tersisa 1 hari lagi. Tapi bagiku, januari sudah berakhir. Lebih tepatnya januariku sudah berakhir.

Hari ke hari di januari membuatku sadar, banyak hal yang tak mampuku kendalikan, banyak hal yang masih perlu diselesaikan, banyak hal yang membuatku sadar, dan karena tak mampu kuungkapkan semua, akhirnya ku tuang ke sini, blog ini, dengan narasi-narasi yang sangat ambigu, aku tidak yakin yang membaca tulisanku di bulan januari ini mengerti apa sebenarnya tengah terjadi.

Terkadang ingin ku tulis semuanya secara gamblang, tapi rasanya aku tak mampu, ini terlalu privasi, jadi biarlah ini tetap menjadi misteri-misteri sampai suatu hari aku bisa menulis semua dengan bijak dan tidak ambigu.

Rasanya, aku perlu minta maaf, dari desember hingga januari ini sungguh mengerikan, terlebih jika aku melihat semua tulisanku yang mendadak menjadi tulisan kebimbang, tulisan perihal rasa, tulisan yang lebih banyak mengungkapkan apa di rasa, bukan lagi tulisan cerita penuh hikmah. Aku minta maaf untuk itu, mungkin akhir januari ini waktu yang tepat untuk menutup kisah-kisah itu.

Mungkin narasi di paragraf ini masih terbaca ambigu, tapi aku ingin berterima kasih kepada Allah telah menciptakan narasi yang indah belakangan ini, hingga ku merasa tak sanggup lagi untuk menyimpannya dan kemarin semua buncah, semua tak tertahankan. Hingga akhirnya aku mengerti dan terus berusaha mengerti akan sebuah keadaan yang telah tercipta. Jadi biarkan aku tersenyum setiap mendengar tawa dari kejauhan, biarkan aku sedikit tahu apa kabarnya, biarkan aku sedikit melihat bahwa semua baik-baik saja. Aku tahu, keadaan itu dapat kita ubah, dan di sini aku masih menunggu untuk perubahan itu, kuharap itu ada, kuharap Allah mengizinkannya, tapi jika memang tidak tepat untuk tercipta, kuharap Allah memberikan narasi lain yang sama indahnya. Mungkin semua akan menjadi kenangan yang penting, karena semua ini sungguh menyenangkan dan menyiksakan.

Terima kasih, sekarang aku harus terus melangkah dengan dunia yang mungkin baru, dan mungkin aku perlu banyak waktu untuk memperjuangkan dunia baru ini. Jadi, izinkan aku untuk, pamit. :)

Salam hangat,

Hilmy.

Tentang Rasa

Suara angin yang mendesir itu seolah saling berbisik.

"Kalian tahu? Mereka akan terpisahkan."

Aku menatap kearah suara itu, termenung, mereka akan terpisahkan?

"Beberapa bulan lagi, mereka akan semakin susah."

Aku tidak yakin, mereka tidak sepayah itu.

"Salah satu diantara mereka akan pergi."

Aku tersenyum, mengingat bahwa aku pun telah pergi.

"Kita lihat saja nanti."

Ya, aku setuju, ku yakin perjuangan mereka lebih dari itu.

*

"Kau tahu? Dia menunggu hingga pria itu pergi." Kata seseorang.

"Tidak, dia tidak sedang menikung, dia menunggu pria itu benar-benar pergi." lanjutnya

"Dan, benar saja pria itu pergi. Saat itu, waktu yang tepat, hingga akhirnya sekarang tinggal menunggu waktu." sambungnya.

"Pengumuman itu akan tiba." tutupnya.

*

Padanan dapat merubah makna, makna merubah rasa, rasa merubah prasangka, prasangka merubah sikap, sikap merubah jawaban.

Muara-muara itu saling terhubung, prasangka-prasangka itu saling bersikap, dan sikap-sikap itu akan memberikan sebuah jawaban.

Mungkin waktu-waktulah yang akan mengungkapkan, tapi setidaknya biarkan aku merayakan sepi. Karena sudah terlalu dalam aku menyelami hingga lupa arah jalan pulang, hingga tak mampu melihat cahaya. Ku ingin tak peduli lagi, diam-diam, tapi tabiatku menyulitkannya. Lantas ku akan mencoba belajar untuk... membenci.


*

"Kau tahu paradoks paling bodoh?"

"Paradoks paling bodoh adalah saat seseorang menunggumu berhari-hari bahkan hingga bertahun-tahun, lantas kamu terus mencari-cari sesuatu yang tak kau ketahui."

"Tapi, siapa yang bodoh disana? Yang menunggumu? Apa dirimu yang terus pergi tanpa sedikit menoleh seorang yang menunggumu?"

"Tentu saja, mereka yang tak pernah menyadari apa-apa adalah hal yang bodoh."

*

Belakangan, ku suka sekali berkata. "Kita menatap langit yang sama, tapi..."

Memang begitu, kita menatap langit yang sama hanya saja terlalu banyak "tapi" di antara kita, terlalu banyak liku yang harus kita lewati. Dan ku juga suka berkata, bahwa malam itu begitu pekat, ku pikir aku takut jika malam terlalu berkepanjangan, walau aku yakin kita terus menatap bintang-bintang itu untuk mencari jawaban dari pekatnya malam. Dengan begitu, kita menatap langit yang sama, walau malam begitu berkepanjangan, walau bintang tak setenang matahari. Kita selalu yakin, fajar akan datang.


*

Kebodohan ini sudah terlalu dalam.


Selasa, 29 Januari 2019

Menghitung Ke-payah-an

Selepas dari outing ternyata kakiku membengkak, aku pikir kemarin hanya bekas luka, rupanya ujung kakiku kemasukan kerikil. Saat mengetahui itu, beberapa orang menyuruhkan lekas mengeluarkannya. Akhirnya kupinjam jarum, dan aku tidak bisa mengeluarkannya sendiri.

Ternyata aku amat payah, lantas temanku membantu dengan segala pengalamannya, dia cerita, setiap sore dia selalu seperti ini karena bermain bola. Dan akhirnya kerikil itu berhasil dia keluarkan. Terima kasih atas bantuannya.

Semoga bengkaknya tidak membiru.

Bahkan aku tidak bisa menyelesaikan perkaraku sendiri, dan selalu merepotkan orang lain.

Kapan terakhir kali aku bisa menyelesaikan semua sendiri? Tanpa mengganggu dan membuat orang lain jengkel. Walau aku tahu, temanku yang membantuku tulus membantuku.

*

Perlahan waktu berjalan, aku merasa ada runtututan kepayahan. Kukira aku sama dengannya, setidaknya aku tidak terlalu jauh, rupanya aku salah, aku sangat jauh darinya. Dia ternyata begitu hebat, melakukan segalanya dengan lebih baik, aku tersenyum dan tersadar, ternyata aku salah memperkirakan.

Aku tahu membandingkan itu sangat tidak bijak, tapi aku perlu mencari tahu, di tahap mana aku berada. Ah, padahal setiap orangkan berbeda-beda, tidak bisa kita memastikan lebih baik atau lebih buruk dari orang lain.

Tapi, kali ini, benar-benar kusalah memperkirakan.

*

Kupikir ini masalah waktu, kupikir ini masalah berapa kali mencobanya, dan sekarang aku benar-benar pesimis ah mungkin tepatnya tersadar bahwa ada hal yang benar-benar tidak bisa kulakukan. Mungkin ini percobaan keberapa kali, dan selalu saja mendapati hasil yang sama.

Tiba-tiba buntu di tengah jalan, tidak ada ide. Dan saat itu aku menghardik diriku, ah payah betul Hilmy ini ternyata. Dan aku paham, aku tidak bisa melakukan semua hal. Mungkin lebih baik aku memikirkan apa yang bisa kulakukan.

*

Saat mendengar sebuah kabar, aku tersenyum kecut. Oh ternyata bukan aku yang terpilih, mungkin tujuan kepilihnya tidak sejalan dengan apa yang akan dilakuin jika aku terpilih, tapi rasanya tidak terpilih itu membuatku jadi berpikir, bisa jadi sebenarnya ada yang payah di diriku selama ini sehingga aku bukan sebuah pilihannya.

Tidak terpilih ini pun membuatku berpikir begitu dalam, tengok sedikit waktu-waktu lampau, apa yang bisa aku perbaiki? Dimana kepayahan aku itu? Aku bertanya ke berapa orang tentang perkara yang menjadi perhitungan kepilih atau tidaknya.

Dan, aku belum mendapatkan jawabannya. Hanya yang kutahu, aku masih payah.

*

Belakangan ini cemas, tapi sungguh tidak terlintas sedikit pun akan apa. Seolah perasaan seenaknya berkata "tidak enak." padahal tidak ada apa-apa. Seperti saat ini, kumerasa, "tidak enak" padahal jika dilihat tidak ada apa-apa yang terjadi.

Rasa cemasku terkadang membawa efek ke berbagai macam hal, jadi berpikir ke segala hal yang terlibat olehku, jadi berpikir apa ada yang salah sehingga timbul rasa cemas ini? Apa harapan-harapan yang kupanjatkan terus terjaga dalam keoptimisan? Padahal serahkan saja semuanya ke Allah bukan? Dan seperti apa yang pernah kuceritakan ke temanku, kita hanya ditahap ikhtiar melibatkan Allah dan berdoa, hasilnya itu terserah Allah.

Tapi, sepertinya 'iidrak biallah ku sedang turun, padahal baru kemarin dibahas.

*

Kepantasan. Bicara tentang mendapatkan sesuatu ada hal yang selalu sering dilupakan. Terkadang aku selalu terfokus akan keinginanku, sampai aku lupa sama kata-kataku sendiri yang ku sebut di atas. Permasalahan keinginan itu adalah apakah kita pantas mendapatkannya?

Hematnya, sebuah keinginan akan terwujud jika memang kita pantas mendapatkannya.

Dan banyak sekali hal yang selama ini membuatku berpikir ulang, emang aku pantas mendapat keinginanku itu ya? Ah, sadar diri atau terus berusaha? Tentu saja, semua orang berkata, berusaha saja dahulu, soal terwujudnya soal pantasnya, Allah yang tahu.

Walau sebuah candaan, jika seseorang berkata tentang sebuah keinginan, dan bahkan pembahasannya terlampau bermimpi bagiku, aku langsung menampiknya.

Ya kali.

Walau tentu saja, seharusnya tidak begitu kubersikap.

*

Menghargai. Sebenarnya aku tidak tahu apa rumus agar seseorang dihargai atau seseorang menghargai orang lain. Sederhananya yang sering kudengar, jika kamu menghargai orang lain, maka kamu akan dihargai. Tentu saja itu hukum sebab-akibat yang adil, walau kenyataannya tidak selalu berjalan seperti itu.

Belakangan ini, berkaitan dengan percaya diri, aku merasa sepertinya aku terlalu berisik sehingga melihat omonganku tidaklah penting, karena mungkin saja orang melihat diriku dengan keseharian berama bualan-bualan tak penting, jadi ketika aku bicara penting, itu terdengar seperti bualan-bualanku lainnya.

Ketika aku merasakan prasangka itu, aku merasa payah, dan lebih baik aku diam. Bahkan aku merasa sudah berusaha untuk mendengarkan apa yang mereka ceritakan dengan baik, menanggapinnya sejauh kemampuanku (tidak seperti dulu, aku selalu diprotes tidak pernah dengerin cerita orang), dan tiba berharap bahwa jika giliran aku cerita, aku di dengarkan.

Ternyata tidak.

Semua berlalu begitu cepat ketika aku cerita, sampai aku muak sendiri cerita dengan manusia.

Mungkin, muakku akan berakhir ketika aku menemukan orang yang mau mendengarkan ceritaku lagi, bahkan cerita paling tidak penting untuk didengar.

*

Pesimis. Aku ingat betul dalihku. Aku selalu pesimis, agar aku tidak kecewa jika gagal dan merasa amat senang jika berhasil.

Tapi, Allah bersama dengan prasangka hamba-Nya. Aku perlahan merasa payah, pesimisku bukan lagi menjadi agar tidak kecewa, tapi menjadi membuatku ogah memulai, apapun itu, aku terlalu berpikir amat jauh, hingga jika hemat perhitunganku, itu sangat sulit terjadi. Padahal, perhitungan manusia tidaklah sama dengan perhitungan Allah. Dan Allah akan menolong hamba-hamba-Nya.

Kemarin, aku ingin menulis sesuatu, tapi karena aku melihat sudah banyak orang hebat yang menulisnya. Aku urung, laptop yang kubawa ku tutup rapat-rapat, aku tersenyum, dan tidur malam itu ternyata berantakan. Badanku tak karuan, rasa tidak nyaman itu membuat tubuhku yang bertindak memberi tanda.

Jika aku melihat teman-teman yang dulu sama-sama masih tak tahu apa-apa sekarang sudah terbang tinggi kemana, membuatku semakin pesimis menatap kehidupan ini. Payah bukan?

*

Tidak lebih baik. Aku ingat terakhir kali aku mengerjakan suatu hal, dari setahun lalu mungkin. Lalu aku mengerjakan hal itu sekarang, bahkan rutin setiap hari hingga sekarang. Tapi, aku merasa tidak mendapati perubahan, aku hanya mengulang apa yang aku kerjakan setiap harinya.

Aku seperti terbatas. Aku tidak lebih baik dari hari ke hari akan pekerjaanku itu, sampai aku pikir apa aku pantas melakukan pekerjaan ini, padahal dunia menuntutku lebih. Tapi aku hanya bisa memberi seadanya, bahkan dengan kepayahan akan tanggung jawab.

*

Saat aku melewatkan suatu hal dan membuat orang memberi kesan tak baik kepadaku, aku langsung rapuh. Menjadi pria melankolis memang tidak mudah, aku sangat sensitif, bahkan dulu temanku sering bilang aku adalah pria "PMS" pada waktu tertentu. Dan mereka memang benar, aku tidak bijak dalam bersikap akan suatu hal yang berbanding terbalik dengan apa yang kuharap. Dan sikap tak bijak itulah yang membuat aku dijuluki pria "PMS".

Tapi yang ingin ku titik beratkan disini adalah memberi kesan ketika diriku lalai dalam tanggung jawab, bahkan membuat orang lain merasa aku tidak penting.

Mungkin aku harus belajar berkata tidak, atau lebih berotak lagi dalam bersikap.

*

Aku yakin, tulisan payah ini sangat amat payah. Sampai sekarang aku lupa, apa ya yang sebenarnya bisa kulakukan dengan baik? Karena diriku terlalu payah.

Padahal di saat bersamaan, ada banyak orang dengan membusungkan dada percaya diri akan kemampuan dan segalanya, tentu saja yang kumaksud orang-orang yang baik dan terus optimis bahwa Allah memberikan terbaik atas hasil-hasil ikhtiar hamba-Nya.

Pintu

Pintu.

Aku ingat pernah ada orang bertanya. "Kamu tahu apa guna pintu?"

Aku heran, pertanyaan macam apa itu. Tapi, ternyata aku tidak punya jawaban atas pertanyaan itu.

"Pintu berguna untuk memberi kehangatan."

Aku tidak mengerti.

Lalu dia menjelaskan, jika tidak ada pintu rumahmu akan amat dingin. Angin masuk ke dalam, dan kamu terlelap di sana.

Saat itu, aku melintas sebuah jembatan dan mendapati orang-orang tertidur dengan sarungnya di trotoar jalan.

Tanpa pintu, dengan kedinginan.

Langit yang Sama

Mungkin kita menatap langit yang sama
Tapi tidak dengan anginnya
Mungkin kita mengimpikan yang sama
Tapi tidak dengan...

Terus ketiduran semalam pas nulis ini.

Tapi tidak dengan... Rinciannya.

Senin, 28 Januari 2019

Remuk

Hari ketiga. Remuk

Sebuah hal yang sulit didefinisikan
Seperti apakah langit malam selamanya akan gelap?
Walau berjuta bintang ada, jika tak ada matahari, langit malam adalah gelap.

2.14

2.14

Bu Yeti masih masak dari sebelum tengah malam. Sementara itu pak Yatno dan anaknya terlelap di lantai tak beralas tak berbantal setelah membantu Bu Yeti.

Mas Salingga tiba-tiba bilang tidak bisa ikut, keponakannya meninggal.

Dan aku masih tidak bisa tidur, tubuh menolaknya, gelisah, resah, kubutuh kenyamanan.

Tidur Malam

Dua hari, penyakit malam kambuh. Gelisah, stress level memuncak. Sudah lama tidak begini.

Sungguh bisa tidur malam dengan tentram hingga pagi menjelang sebuah kenikmatan sendiri...

Minggu, 27 Januari 2019

Merelakan

Nonton Suckseed reramean kemarin, sukses itu film membuat kita gemes dan nostalgia ke zaman SMA. Tapi, yang paling sebel dan keren itu pas si Ped merelakan Ern (kekasihnya) karena persahabatan...

Luar biasa ya bisa merelakan orang yang paling dia sukai, bahkan disukai dari kecil.

Tapi adalagi yang luar biasa dari kisah sahabat Nabi, yaitu Salman Al Farisi. Ku copas dari akun instagram @indonesiabertauhidid. Selamat membaca :")


Salman Al Farisi sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mu'minah shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya.

Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di Madinah ini. Sebagai imigran asal Persia, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik.

Gelegak hati itu akhirnya ia sampaikan kepada sahabat Anshar yang telah dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’. Salman ingin Abu Darda' menjadi juru bicara dalam proses Khitbah yang ingin ia lakukan.
.
”Subhanallaah.. wal hamdulillaah.. ,” girang Abu Darda’ mendengarnya. Keduanya tersenyum bahagia dan berpelukan.
.
”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.,” fasih Abu Darda’ berbicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni, kepada orang tua si wanita.
.
”Adalah kehormatan bagi kami,” ucap tuan rumah, "menerima Anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami"

Abu Darda dan Salman menunggu dengan berdebar-debar. Hingga sang ibu muncul kembali setelah berdiskusi dengan puterinya.
.
”Maafkan kami atas keterusterangan ini,” kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan"

Keterusterangan itu ada di luar perkiraan kedua sahabat tersebut. Mengejutkan bahwa sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya.





Meh

Momen terkaparnya agak nggak pas.

Gegara kopi setitik, rubuh tubuh sebelanga.

Alhamdulillah.

Sabtu, 26 Januari 2019

Lebih Berotak

Kamu harus banyak melihat, mendengar, dan membaca. Agar kamu tidak sempit, agar kamu tidak tersesak, agar kamu lebih berotak.

Kataku, untukku.

Jumat, 25 Januari 2019

Om Hilmy

Kebahagiaan sederhana hari ini, bermain bersama Ayyash.

*

Saat itu pulang jumatan, aku melihat mobil Mas Salingga terpakir di depan kantor. Aku iseng menengok dari kaca ke dalam mobil. Di kursi penumpang bagian depan terlihat Ayyash dengan pakain serba merahnya, aku pun memanggil tanpa suara (hanya menggerakan mulut) lalu aku kembali berjalan hingga terhenti di depan gerbang halaman kantor.

Aku menunggu, apakah Ayyash akan keluar? Pintu dari kursi penumpang bagian depan terbuka. Aku melihat kaki mungil turun menapaki trotoar. Setelah menutup pintu mobilnya kalian tahu apa yang anak kecil itu lakukan? Ah sungguh, senang sekali melihatnya... Setelah menutup pintu, Ayyash berlari ke arahku dan berteriak. "Ooommm Hiiilmyyyy!!!" Katanya.

Aku reflek, membayangkan berada di sebuah film antara anak yang sudah lama tak berjumpa dengan ayahnya, aku lantas menggendong Ayyash lalu kita bercanda ringan sepanjang masuk ke kantor. Mas Salingga di belakang mengikuti.

Hari ini, aku hampir menemani Ayyash, dan aku merasa hidup.

Aku menunggunya makan, lalu kita main kelinci yang ternyata kotor. Setelah itu aku gendong dia ke ruangan Mas Salingga, lalu dia menggambar sambil mendengar anak-anak pada ngaji dengan kebingungan.

Ayyash bercerita tentang gambarnya dengan malu-malu hingga akhirnya mengeraskan suaranya dan lebih berani. Lalu kita pergi ke masjid bersama, perginya pun seperti video clip Peterpan yang Menghapus Jejakmu. Aku berjalan di depan, Ayyash mengikuti di belakang. Apa yang aku lakukan, dia pun melakukannya. Dari lari, jalan, jalan mundur, lompat, jalan nyamping, bahkan menoleh dan ngomongnya pun diikuti oleh dia.

Sorenya, kita main gendong-gendongan lagi, lalu melebur dengan anak-anak lainnya nonton video Sabyan, ternyata Ayyash fansnya Sabyan yaaa ... Om baru tahu.

Ayyash pun pulang, dan kita akan bertemu lagi saat Outing kantor, mungkin akan lebih seru ya nanti ... Tapi yang kupikirkan sore itu adalah, menemani Ayyash sehari kurang saja luar biasa sekali lelahnya, apalagi orang tuanya yang setiap hari ya?

Aku dan beberapa orang sepakat, Ayyash mirip orang korea. Kalau nonton Terius Behind Me, aku seperti melihat Ayyash disana. Begitupun Ayyash mirip dengan anak kecil yang suka dibawa ke masjid dekat kantor. Abid pun menyetujui kalau Ayash mirip dengan anak kecil itu.

Semoga Ayyash tumbuh menjadi anak shaleh dan menjadi orang bermanfaat yaaa ... ya minimal kayak ayahnya lah ya :)

Dipilih dan Memilih

Dipilih dan Memilih. Kata dasar yang sama, keberlangsungan yang berbeda.

Pasti kita pernah diantara dua keadaan itu. Dimana kita bisa memilih, dimana kita menunggu dipilih. Tidak ada yang lebih baik dan tidak ada yang lebih buruk. Semua balik lagi, tergantung bagaimana kita menyikapinya.

Memilih, banyak orang berkata memilih lebih enak dari pada menunggu dipilih. Tapi, memilih memiliki risiko kesalahan lebih besar jika salah menimang pilihannya. Memilih juga membuat takut menyesal pada kemudian hari, jika tahu pilihan itu salah--tidak baik. Memilih adalah sebuah keberanian.

Dipilih, banyak orang berkata dipilih lebih enak, karena dia tidak bisa menyalahkan dirinya, kan dia dipilih. Tapi bukankah kita selalu ingin sesuatu? Tentu saja dipilih tidak seenak itu, karena dipilih adalah menerima. Kita harus menerima apapun yang memilih kita.

Walau semuanya tidak serta merta begitu saja.

*

Belakangan ini, tidak dipilih membuatku ... Berpikir kembali, berarti aku belum layak ya? Baiklah, memang semua perlu dipantaskan dahulu. Kelak, pilihan itu jatuh padaku. Insya Allah.

Kutipan, Tentang

Tentang Laki-Laki

"Sekali seorang laki laki yakin, maka tak ada yang bisa menggoyahkannya. Jika ia goyah, maka itu bukan keyakinan." - Alizetia

"Begitulah laki laki, sekali memutuskan untuk mencintai. Ia menjadikan cintanya sebagai janji, sebagai mimpi yang harus dijaga dan diwujudkan dengan segenap tenaga." - Alizetia

Tentang Perempuan


"Aku ingin mendapatkan laki-laki baik, yang mengusahakanku dengan cara baik-baik". - Elistianas

*

Masih banyak puzzle yang belum ditemukan, kelak postingan ini akan diperbarui lagi.



Kamis, 24 Januari 2019

Sebuah Rasa

"Percayalah, jika dalam hatimu sudah tak ada lagi kegelisahan. Kamu akan bingung harus menulis apalagi. Jadi boleh kubilang dengan jujur, bahwa penulis adalah orang - orang yang gelisah akan sesuatu. Baik itu tentang dirinya, tentang orang lain, tentang agamanya, tentang negaranya, yang jelas tentang sesuatu yang amat ia pedulikan :)" — Alizeti

*

Malam ini, aku masih di tempat yang sama dari pertama kali tiba tadi pagi. Aku ingin menulis sebuah kegelisahan yang baru saja kurasakan. Kupikir aku pantas menerimanya, atau mungkin sudah saatnya menerima itu.

Sebuah pelajaran penting untuk mengajarkan anak akan perasaan. Dimana anak harus diajarkan merasakan senang, menang, berharap, dan juga sedih, kalah, kecewa. Anak harus diajarkan itu semua, agar dia bisa belajar menerima dan bersikap dengan bijak dari perasaan yang dialami.

Malam ini, ku ingin memposisikan sebagai anak-anak. Aku ingin belajar menerima bahwa aku merasa kalah atau mungkin kecewa juga. Aku ingin juga menerima bahwa hal yang kurasa beberapa menit yang lalu adalah sebuah penurunan kepercayaan diri. Aku menerima semua itu, agar aku mulai berpikir dan sadar bahwasanya aku harus terus berkembang, belajar, bergerak, percaya diri, serta berintegritas tinggi.

Aku yang sulit serius dan pemalas ini sudah saatnya dipecut dengan hal seperti ini, mungkin jika aku tidak merasakan kegelisahaan ini, aku akan tetap terlelap dalam kenyamanan yang menjebak. Walau rasanya amat sakit, tapi aku harus tetap beranjak. Mencari tahu dimana jalan keluar itu, dimana aku terus bisa bergerak.

Dan aku senang, bisa terus menulis semua hal di kepalaku, karena kupikir aku amat peduli itu semua :)

*

Perasa itu bukan masalahnya, tapi bersikap dari rasa itu adalah kuncinya. Jika dirimu seorang perasa bukan berarti kamu salah merasakan semua itu. Tidak, itu value tertanam di dirimu, tinggal bagaimana, sikapmu mengarah. Semoga Allah menunjukkan jalan yang ia berkahi.

Mandul

Apa aku sedang membuat kesalahan? Atau kemarin aku membuat kesalahan? Atau kemarin-kemarinnya aku membuat kesalahan? Sungguh aku tak tahu apakah aku tengah membuat kesalahan. Ah, namanya juga manusia pasti tak luput dari kesalahan. Tapi, sungguh, apa ada perbuatanku yang salah? Ya, kutau pasti banyak, tapi apa?

Kemarin, permainanku buruk sekali. Walau dua kali melesakan goal di awal, sisanya kalau kata lainnya aku "Mandul". Bagaimana tidak, beberapa kali tinggal one on one dengan kiper tapi bolanya jika tidak meleset keluar dari gawang ya ketangkap kipernya, tepat mengarah ke kipernya.

Aku benar-benar tidak tahu, apa yang terjadi kepadaku, atau disekitarku, atau kesalahan yang kuperbuat tanpa kusadari. Semoga orang yang merasa terugikan oleh kesalahanku terbuka hatinya untuk memaafkanku serta diberi kelapangan... hiks... Maafkan daku...

Kembaran?

Kemarin sebelum pulang ditahan oleh Zaki, Nurul, dan Nadung. Rupanya tidak aku doang yang ditahan, tapi si Yaumil juga. Dan ternyata mereka bilang. "Suara kalian itu mirip tahu." Aku tidak percaya sebenarnya, Nadia pun ingin membuktikannya.

Akhirnya aku dan Yaumil disuruh membaca satu kalimat yang ada di sebuah buku. Saat itu Yaumil duluan yang baca lalu setelahnya aku, lalu karena Nadia tidak puas dengan pembacaan pertama dari Yaumil, Yaumil diminta ulang lagi. Akhirnya jadilah Yaumil-Aku-Yaumil yang membacanya.

Setelah rekaman terbuat, kami pun mendengarnya dengan seksama. Pertama di dengar suaraku (jadi langung ke bagian aku) setelah suara aku terdengar dan aku meyakini betul itu suaraku, selanjutnya suara Yaumil.

Aku sungguh terkejut saat itu, aku bahkan tergelak mendengarnya. Ya Allah, Kuasa-Mu sungguh luas ya... Suaranya benar-benar mirip, aku akui itu, dan yang membedakan hanya logatnya saja, kalau Yaumil ada logat padangnya, sementara aku pada umumnya.

Setelah itu aku melihat Yaumil seperti melihat diriku dalam diri orang lain.

Pasalnya jauh sebelum itu Mas Salingga bilang gaya Yaumil itu mirip denganku. Pertama dari potongan rambut kami sama, belahannya pun sama. Kedua, postur tubuh kami sama. Ketiga, style atau pakaian yang kami gunakan kurang lebih sama, kami sama-sama suka pakai kaos ukuran M dan kaos polos. Keempat, orang lain mungkin tak tahu, tapi kami sama-sama suka banyak olah raga. Kelima, kami sama-sama suka bicara dengan orang lain walau kalau ini kumerasa agak berbeda intesitasnya saja, tapi tetap sama-sama suka bicara. Keenam, perbendahaan kata nama kita mirip, aku Hilmy dia Yaumil, kita hanya beda di hurup H dan U saja, kita pun biasa dipanggil My dan Mil itu membuat banyak orang sering ketuker-tuker... Tapi walau banyak kesamaan, dari paras kami agak berbeda.

Aku masih tidak percaya aja sebenarnya, lucu...

Nanti kuupload foto dan suaranya :p

Rabu, 23 Januari 2019

Bersabarlah Sedikit

Tadi perjalanan ke kantor menemui hujan yang rintik dan mulai lebat. Awalnya kupaksakan melaju, celanaku perlahan mulai merembes air. Kulihat beberapa orang mulai menepi untuk mengenakan jas hujan. Tapi aku tidak goyah, aku terus melaju untuk beberapa meter lagi, hingga akhirnya ternyata aku menyerah saat aku mendapati celanaku sudah mulai kuyup, debit hujan pun terus bertambah.

Aku menepi, aku mengenakan jas hujan yang kubawa. Setelah siap jas hujan dikenakan ku melaju seperti biasa. Perlahan melaju kok tidak terasa hujannya, kukira karena mengenakan jas hujan, ternyata beberapa meter lagi dari aku menepi hujan itu tidak ada. Ya, dengan kata lain jas hujanku jadi tidak terpakai...

Seandainya aku sabar sedikit lagi, mungkin aku tidak harus menepi, hujan itu reda. Sama seperti kata Mas Salingga, seandainya sabar sedikit lagi, malam pekat itu lenyap, ditelan sang fajar dengan mentari yang bersinarnya.

Mungkin aku harus banyak bersabar, setidaknya sedikit lagi.

Kepemilikan

"Meski kau bukan milikku, asal kau bahagia, aku pun bahagia."

*

Pagi itu dengar sebuah ceramah yang intinya adalah seharusnya kita tahu kita tidak memiliki apa-apa di bumi ini, maka kita bisa hidup dengan tenang walau diberi oleh Allah maupun diambil oleh-Nya. Terkadang yang membuat kita bersedih ketika kehilangan adalah kita meyakini bahwa yang kita miliki itu milik kita, padahal itu hanya sebuah pinjaman saja.

Sebuah contoh, ada sebuah mobil mewah lamborgini, lalu mobil lamborgini itu dicuri orang. Dari orang rumah yang ada mobil lamborgini itu siapa yang paling sedih? Apakah pembantu rumah itu ikutan sedih? Atau majikan yang mempunyai lamborgini itu?

Pasti pembantu rumahnya itu tidak merasa kehilangan, tidak merasa bersedih. Toh, itu bukan miliknya. Tapi bagaimana rasanya jadi majikannya? Kehilangan betulkan? Nah, kita berusaha bagaimana bisa kita menghadapi apa yang diberikan oleh-Nya sebagaimana si pembantu. Ya, kita tidak merasa memiliki apa yang diberikan sehingga kita tidak merasa sedih atau kehilangan ketika Allah ambil lagi.

*

“Hatiku tenang karena mengetahui bahwa apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku” – Umar bin Khattab

Selasa, 22 Januari 2019

Sebuah Tulisan di Instagram

Sebuah tulisan, di Instagram.

"Mungkin aku ditakdirkan mendengar cerita-ceritamu, bukan membangun cerita denganmu."

Sekian.

Hari Ini dan Bandung

Di Depok hujan, ku tidak tahu bagaimana di Bandung.

*

"Hil, kapan ke Bandung?" chat seorang kakak kelasku.

Kukira ada apa tau-taunya. "Kumau ambil jaket tapi malu gak ada yang kenal."

Meh...

Sejak Desember terakhir kali ke Bandung, itu pun cuman mampir sebentar, dan sekarang belum kepikiran ke Bandung dengan agenda apa. Tapi, masa iya cuman buat ambilin jaket...

Mungkin dari sekian banyak anak di kampus, kakak yang satu ini doang memanggil diriku dengan "Hil". Rasanya dipanggil "Hil" tuh gimana gitu, eksperiennya beda, karena jarang dan biasanya cuman umi, abi, dan mbahbu yang manggil "Hil", oh sama si Anto, biasanya dia manggil "Hil".

Dan waktu cepat berlalu ya kak, sekarang anaknya udah gede aja, hidungnya mirip. Haha

*

"My, mau kerja di Bandung?" hari ini juga seorang kakak kelasku ngechat. Kali ini cukup ekstrim.

Karena aku belum kepikiran untuk kemana-mana, maka ku jawab kalau memang belum mau kemana-mana...

Dulu sebenarnya pernah keterima kerja di Bandung pas pertama lulus, tapi urung karena butuh uang lebih banyak wkwkwk... Terus kaget pas Berto balik ke Bandung, dulu rasanya pengen ikut juga ke Bandung. Dulu juga sempat nyari kerjaan di kakak ini, tapi dulu masih belum butuh, padahal kalau butuh ku masih bisa menikmati Bandung lebih lama lagi.

Mengingat kerjaan, sebenarnya diriku sedang underperform sekali dan demotivasi hiks... Ku merasa terlalu payah menyelesaikan kerjaan akhir-akhir ini. Banyak yang ngaret, terlebih tidak solving beberapa masalah krusial. Bahkan yang ada aku merepotkan orang lain, tanya sana-sini akhirnya dibantuin mikir, dan ah... benar-benar menyedihkan.

Kalau soal kerjaan, aku selalu ingat Asya, Ka Bilal, dan Agung. Mereka tuh kalau kerja, hasilnya selalu memukau, tidak pernah aku melihat mereka menghasilkan sesuatu yang biasa-biasa aja... Luar biasa sekali mereka...

Mendengar tawaran itu.

Apa ini waktunya? Pergi dan meninggalkan semuanya lagi?

*

Qais hari ini lulus sidang! Barakallah Qais! Perjuangannya terbayar ya! Biasanya aku manggil dia "Bola-bola daging" inget makanan di Mulia Rasa, ampun Qais, tapi dia tidak pernah marah, yang ada ketawa karena mengakuinya wkwk

Satu hal yang bikin terkejut, waktu wisudaku dan anak-anak lainnya si Qais tidak datang, tau kenapa? Ternyata dia ketiduran... Ketidurannya karena ngebuatin kita-kita desain lalu di print di mug, terus hari setelahnya dikasih sama dia. Terima kasih Qais, kamu bahkan melewati momen utamanya Is gara bela-belain bikinin hadiah buat kita-kita...

Sekali lagi selamat Is! Walau si mas ono sudah lamaran, jangan patah semangat Is! Wkwkwk

*

Satu bocah di Bandung tiba ngechat di grup kecil. Lalu satu bocah Bandungnya lagi menyahuti. Mereka janjian mau ke Qais. Terus nanya. "Kapan nih kita kumpul silaturahmi lagiiiii?"

Meh...

Karena tidak kepikiran ke Bandung, aku asal nyeletuk aja. "Ada tawaran kerja di Bandung nih."

Mereka langsung kayak kucing garong. "Sikattt beb! Eh kantornya dimana?"

Aku ketawa aja, aku pun tak tahu dimana kantornya. Terus mereka malah rebutan untuk ngekos di kos-kosan mereka. Meh... Dikirain dikasih tumpang gitu haha

Obrolan pun berlangsung ngalur ngidul kemana-mana.

*

Tiba-tiba Romi ngirim poster SPI Bandung. Lah Rom? Kitakan tinggal di Depok kenapa kasihnya Bandung? Haha... Rupanya dia ngasih perkiraan harga ikut SPI. Luar biasa ya Romi ini, giat sekali belajar, aku malu kalau bahas-bahas tentang kayak ginian...

*

Teringat,

Saat itu ke Bandung ketika hujan, ramai-ramai
Saat itu ke Bandung ketika usai hujan, bertigaan
Saat itu ke Bandung sendirian
Saat itu ke Bandung tengah malam, bertigaan
Saat itu ke Bandung tengah malam dan berdiri sampai Bandung, bertigaan
Saat itu ke Bandung ramaian.

Membayangkan Anak-Anak

Dulu seneng banget ngebayangin kalau punya anak kayak apa, mirip siapa, apakah mirip aku? Apakah dia suka basket atau lebih suka menggambar? Apakah dia pintar atau kreatif? Apakah dia pendiam atau periang? Ah senang sekali membayangkannya.

Tapi, sesekali terlintas. Bagaimana jika aku mendapati anak yang bukan aku inginkan? Bagaimana keadaannya tidak normal dengan yang lainnya? (na'uzubillah min zalik) Bukan, bukan berarti tidak mensyukuri apa yang Allah berikan, tapi aku membayangkan, apakah aku sanggup melewatinya? Apa aku sanggup ikhlas menerimanya dan merawatnya? Tapi, tentu saja tidak ada alasan untuk tidak itu semua.

Kemarin, baru beberapa hari pasca lahiran anak keduanya, tanteku mendapati anak keduanya mengalami kebocoran pada jantungnya. Anaknya harus dilarikan ke Jakarta untuk diobatin (FYI, tante jauhku ini di Pemalang tinggalnya)

Terkadang aku berpikir, jika aku jadi tanteku atau omku, apakah aku bisa ikhlas dengan mudah menerima itu semua? Bukankah aku membayangkan anak yang sehat wal afiat atau normal pada umumnya. (maaf, tulisan ini bukan maksud menyampingkan keadaan yang lain, aku hanya berpikir, apakah aku sanggup?)

Tapi, mungkin Allah akan mengiringi kesulitan itu dengan kemudahan sebagaimana kata-kata-Nya. Berkhayalku pun jadi kabur saat itu, aku jadi tidak ingin bermuluk-muluk, aku hanya takut... kecewa.

*

Baru sampai di Jakarta, tanteku rupanya diberi cobaan lainnya. Ayahnya meninggal karena paru-paru basah, mau tidak mau dia harus balik lagi ke Pemalang...

Ya, Allah kuatkan tante dan om jauhku ini. Semoga Engkau beri mereka kelapangan dan kesabaran... Aamiin.

Senin, 21 Januari 2019

Kenalan

"Lang, lu kenal sama calon lu dimana?" Namanya Gilang, pertengahan tahun dia mau menikah.

Gilang menjawabnya. "Di kuliah."

"Hoo, satu kuliah? Kuliah dimana emang? Jurusan apa?"

"Gue Perbanas, Manajemen Akuntansi."

"Kalau calon lu?"

"Dia di Binus, Akuntansi."

"Lah? Beda kampus? Terus kenal dari mana?"

"Di Busway."

Aku terkejut. "Haaa? Gimana ceritanya? Kenalan langsung?"

Dia tertawa. "Iya, gue kenalan langsung di busway."

"Gila, berani banget lu. Gue mana kepikiran."

Lalu kita tertawa.

*

Dulu waktu sepulang sekolah bareng Septian, ada dua cewek yang menghampiriku saat Septian turun dari angkutan umum. Salah satu orang itu nanya ke aku. "Itu siapa namanya?" katanya menunjuk ke arah Septian yang telah turun.

"Septian."

"Boleh minta kontaknya?" aku dengan polos mengasihnya. Luar biasa sekali ya pesona Septian, bisa membuat kakak kelas dari sekolah lain minta nomor teleponnya.

Akhirnya kita menjadi kenal dan cukup akrab. Tapi, sekarang wanitanya sudah menikah. Bukan, bukan sama Septian.

*

Waktu itu sepulang ekskul bola. Aku sengaja naik angkutan yang dinaikin Septian. Saat itu aku dan Septian belum kenal, tapi kita sama-sama ekskul Bola, walau jagonya jauh sekali. Lalu aku memberanikan diri untuk kenalan.

"Rumahnya dimana?" kataku, aku lupa detilnya, intinya kita berkenalan dan ternyata rumah kita searah, dan rumah kita dekat, tentu saja rumah kita paling jauh diantara anak lainnya, terutama diriku.

Lalu kita bersahabatan hingga sekarang.

Brr...

Hari ini berangkat kehujanan, di dalam ruangan pakai AC, di luar terus hujan lagi. Dingin. Jadi kangen, entah kangen sama siapa, dimana, bagaimana, kenapa, apa, pokoknya 5W+1H deh.

Brr...

Sabtu, 19 Januari 2019

Bicara Makanan Sama Umi

Tadi jemput umi sepulang ngajar--ya ampun mi, wiken masih ngajar aja ... Karena di rumah nggak ada umi, jadi gak ada yang teriak "Makan ayo makan! Hil, ambilin piring buat abi! Sama nasinya juga dan sendok ya!" biasanya kalau mau makan umi rame banget, teriak-teriak nyuruh ini itu. Abi nya anteng aja tidak bergeming buat bantuin gitu pffft... Jadi karena tak ada umi dirumah, nggak ada yang memulai untuk makan. Lebih tepatnya nyiapin makan.

Sepanjang jalan nganterin umi ke rumah aku ngeluh. "Mi lapeeer... Mi lapeer." Terus akhirnya kita cerita soal makanan, aku bilang ke umi nggak suka jajanan pasar tapi kalau cilok, tekwan, roti goreng, siomay itu suka. Terus umi ikutan nimpalin. "Umi sukanya pempek." Tapi pas lewat tukang pempek belom buka, soalnya biasanya bukanya malam. Biasanya juga kalau siang dan dari mana-mana suka beli es kelapa, eh tutup juga. Umi pun bilang. "Mungkin yang jualan lagi kondangan."

Terlintas aku ingat di dekat rumah ada yang walimahan. Terus diriku usul. "Mi, gimana kalau kita cari amplop terus ke nikahan, kan enak tuh makanannya banyak."

"Ah tapi sama aja bayar juga." keluh umi yang maunya gratisan.

"Tapi kan banyak mi, ada pempek sama es krim mungkin."

Terus umi berkhayal. "Nanti kalau di nikahan kamu wajib ada itu ya."

Aku mesem-mesem. "Sama zoupa soup ya mi, ada siomay juga, ada bakso, ada lasagna..."

"Ada makaroni skutel." tambah umi.

"Pasta aja mi semuanya!" kataku. "Tapi nanti di pasang harga mi, jadi tamu kita kasih kupon buat nukerin makanan, kalau mau nambah harus bayar, kasih aja perporsi ceban."

"Lah jadi jualan dong kita." kata umi tertawa.

"Iya mi, biar nggak rugi, nggak apa-apa deh gak ngasih amplop, tapi makannya bayar sendiri-sendiri."

Umi terbahak-bahak, benar-benar senang sekali umi ketawanya. Sampai mau ngomong pun susah, sisa perjalanan pun dipakai ketawa umi. Padahal perkaranya gitu doang. Ah umi, mudah sekali sih rasanya ketawa bahagia gitu.

Terkadang merasa abi beruntung ya punya istri yang apa-apa ketawa, gak lucu aja bisa ketawa umi. Eh, aku juga beruntung deng, punya umi yang gampang ketawa, jadi rame terus rasanya di rumah tuh. Bahkan, kalau dibuat ketawa berkombo-kombo yang sederhana tuh umi bisa sampe ngompol kayak Nunung. Haha.

Jika birrul walidain itu indikatornya membuat orang tua bahagia dengan tertawa, mungkin aku dan adik-adikku gampang ya ngelakuinnya haha.

*

Tadi teman-teman umi ke rumah, ada yang bawa anak kecil, terus anaknya ngeliatin pas aku sama abi mau asharan di mushola. Pas acaranya udah kelar, umiku gendong anak kecil itu, umi bawa masuk ke kamarku terus kita kenalan. Namanya Maryam, dipanggil Iam. Tapi mukany serius banget, aku coba godain masih serius, kadang ngeliatnya ini lagi nahan ketawa ya?

Terus tiba-tiba umi bilang. "Umi berasa kayak lagi gendong anaknya Hilmy. Kayak udah punya cucu."

Aku hanya bisa meh...

*

Sampai jam segini aku masih terjebak oleh Terius Behind Me, semakin seru ternyata. Dan episode 13-14 itu liat anak kecilnya lucu bangeeeet ya Allah...

Episode 11 dan 12

Sejauh ku menonton Terius Behind Me, episode yang kutonton hari inilah yang terbaik haha...

*

Hari ini menyempatkan lanjutin nonton, dan sudah episode 11-12. Jadi di media streamingnya itu langsung 2 episode - 2 episode. Ceritanya unik dan orang yang terlibat itu-itu aja, dari musuh, temen, semuanya jadi satu circle yang berdekatan. Dan di episode ini kerasa sekali efek dari cerita dengan circle yang kecil atau berdekatan.

Seharusnya ini film serius, ini film seperti agen-agen rahasia menangani kasus rahasia gitu. Film detektif, tapi karena tokoh utamanya jadi pengasuh anak kembar, jadinya ada feel lain seperti melihat orang yang pertama kali jadi seorang ayah atau ngasuh anak-anak. Sungguh lucu ya kalau lihat orang yang kaku dengan anak-anak disuruh ngasuh anak-anak tuh...

Lalu kenapa kubilang ini episode terbaik? Ah, ku sampai terpingkal-pingkal menontonnya. Di episode ini benar-benar dapet sekali lucunya, keluarganya, persaingan soal perasaan (cemburu-cemburu gitu), terus teka-teki kasusnya, kehidupan para ayah yang mengasuh anaknya, soal pertemanan, anak yang sakit disangka usus buntu tapi ternyata cuman karena nahan pup... :"D Hingga circle kehidupan para pemeran yang kecil membuat semuanya menjadi gemes banget... Jadi tokoh utamanya (sang agen rahasia) makan bareng dengan musuhnya... Terus nyebelin banget si agen rahasianya, sampai musuhnya kesel karena makanannya dicelupin sedikit jari jempolnya ke kuahnya. Ah, sulit dijelaskan, tapi ini gimana gitu ya...

Ini film serius dibuat lebih sederhana, bahkan musuh atau penjahatnya pun sungguh konyol sekali... Ini pada nggak serius-serius amat sih kayaknya, padahal ini permasalahan kasusnya serius lho, bawa-bawa berbagai negara...

Teruntung penulis skenarionya, nice!!!

Jumat, 18 Januari 2019

Lab Tercintah

Mendadak setiap jum'at malam nungguin web series Hijab Alila di youtube. Nontonnya bikin gemes dan mesem-mesem sendiri. Walau kayaknya malu gitu, tapi tidak memalukan kayak sinetron...

Ingat soal web series, Lab-ku tercintah Multimedia baru saja menang juara umum web series SMB Telkom University. Ah, senang mendengarnya. Sebagai mantan aslab lomba, diriku bangga masih ada ambisi-ambisi perlombaan di lab.

Dulu sempet juga mendapat juara di kategori cinematografi terbaik di Lensa UI kalau tidak salah, walau aku tidak terlibat, tapi ku pun bangga melihatnya, walau tidak ada euforianya. Ceritanya pun tidak murah, penuh dengan makna dan pertanyaan. Kalau mau lihat disini...


Pas nonton ulang sendiri, jadi kangen ka Panda...

Tapi tetep the best pas lomba anti korupsi 2016, sabet habis semua cabang perlombaan. Dari poster, cerpen, foto, iklan. Terima kasih memori indahnya, Multimedia Lab yang jadi kos-kosan, warnet, tempat curhat, bioskop, joget-joget, olahraga, tukar pikiran, belajar, dan banyak lagi.

Satu tempat, sejuta kegiatan, miliaran kenangan. :)

Nggak percaya kalau lab ini seru banget? Nih kasih liat dikit ya...


Bias

Saat itu ada Flower Days di kampus, acara yang dibuat oleh himpunan jurusan lain. Banyak orang pengirim bunga yang bersiaga di tengah gedung perkuliahan dengan membawa berbagai macam bunga dan sedikit tulisan di setiap bunganya.

Aku melihat para pengirim bunga beraksi, berjalan menelusuri lorong kelas, lalu bertanya pada sebuah kelas, mencari sebuah nama, memberi bunga, lalu suara "Cie" terdengar keras. Adapun terlihat orang-orang berjalan membawa bunga yang mengindikasikan dia telah mendapatkan bunga.

Ah senang bukan jika ada orang yang mencintaimu? Mengagumimu? Dan memberikan perhatian untukmu? Tentu saja.

Rupanya, sore itu, pelajaran terakhir kelasku--Bahasa Indonesia--belum juga didatangi oleh dosennya. Lalu suara ketukan pintu kelas terdengar. Semua yang lagi beraktivitas terhenti, menoleh ke arah pintu. Seseorang membukanya, terlihat seorang pengirim bunga berkata.

"Ada yang namanya Hilmy?"

Eh?

Aku yang kebetulan lagi keliaran di meja terdepan dekat pintu lantas berjalan menghampiri. Lalu beberapa orang men-ciekan diriku. Aku mengambil bunga dan berterima kasih. Aku lupa tulisannya, yang kuingat seseorang mengagumi orang bernama Hilmy dengan segala aktivitas baiknya dan berharap Allah selalu menjaganya.

Semua terdengar hebat bukan? Ah, aku pun tidak bisa menahan senangnya. Entah siapa yang mengirim bunga itu, aku teramat senang. Tapi, ada suatu masalah.

Apa itu?

Di kelasku, ada dua orang yang bernama Hilmy. Karena kebetulan saja aku tadi di deket pintu, jadi aku yang mengambil. Bagaimana kalau Hilmy yang dimaksud disini adalah temenku? Hehe, semua jadi bias. Kalau aku mengakuinya serta merta, bukankah itu terlalu percaya diri? Kalau aku tidak mengakuinya serta merta, bila itu memang untukku, bukankah pesannya tak tersampaikan?

Untuk pengirim bunga, lain kali kalau ingin menyampaikan sesuatu, yang lebih lengkap ya ... yang lebih jelas ya ... siapa tahu yang diharapkan untuk paham jadi tidak yakin kalau itu untuknya? Atau sebaliknya, yang sebenarnya itu bukan untuknya, jadi terlalu percaya dari. Karena, terlalu bias.

Tentang Penerimaan

Ah pantes saja rasanya tidak asing kata-kata ka Ima tadi sore soal

"Jika sudah ada penerimaan, maka sisanya adalah keberanian."'

Rupanya pernah baca di blognya Fitri disini yang di reblog dari sini. Disaat bersamaan lagi baca ini juga terus juga dari sumber yang sama, ini juga.

Kalau bahas soal menerima, jadi inget kata-kata abi. "Hil, kalau kamu nikah, kamu harus siap sepaket untuk cerewetnya, betenya, ngambeknya, ribetnya, dan lainnya."

Begitu pun yang dikatakn Ustadz Haikal. "Saya terima nikahnya bersama dengan cerewetnya, betenya, ngambeknya, dst." kurang lebih begitu.

Terus juga Mas Salingga cerita. "Cewek tuh My, sampai kapan pun kita nggak bakal bisa pahami."

"Iya, sih." Kataku setuju.

"Istri gue tuh, bisa tiba-tiba aja marah atau ngambek. Padahal gak ada omongan apa-apa sebelumnya. Jadi dia tuh selalu membuat harapan bahwa suaminya itu melakukan apa yang dia harapkan, tapi harapannya itu tidak dikasih tahu ke suaminya. Jadi gue harus peka banget, harus tanya setiap saat biar nggak ada yang kelewat, tapi tetep aja, dia tuh nggak mau ngomong, intinya lu harus lakuin apa yang ada di pikirannya tanpa perlu dia omongin."

Dalam hatiku berkata, cenayang dong ya bisa baca pikiran orang.

"Ya, tapi itulah bumbu rumah tangga. Jadi ada aja yang diributin." Mas Salingga mengangkat kedua bahunya sambil terkekeh.

*

Terus apa kesimpulan atau yang ingin dibahas dari kisah-kisah di atas?

Hmm, nggak ada. Selamat tidur, semoga besok bisa menikmati akhir pekan dengan bijak. Walau masih harus kerja, semoga bahagia.

Kejutan 18 Januari 2019

Kejutan hari ini.

Setelah ingat di dompet nggak ada uang lagi, aku pun memutuskan melipir pas berangkat ke kantor menuju sebuah ATM. Pas aku cek dompet, lah dimana kartu ATM ku? Ternyata tidak ada...

Aku berusaha keep positif, ah mungkin di kantor. Rupanya pas di kantor pun tidak ada. Alamat deh, mau telpon untuk blokir pun rasanya malas. Yasudahlah pasrah saja aku.

*

Setelah shalat ashar, aku nunggu boy yang masih berdoa. Saat itu pemandangan dihadapanku satu, pemakaman... Selain dihadapkan pemakaman, otakku sedang berpikir, sampai lupa tadi berpikir apa ya, agak serius gitu...

Terus boy ngajakku balik, karena berangkat bareng boy, ku pun ingin pulang bareng boy.

Pas jalan berangkat, kutanya dia, "Apa yang masih menjadi pertanyaan dalam Islam boy?" Boy ini mualaf.

Dia tidak menjawab pertanyaanku, tapi bilang "Sekarang terlalu rumit untuk dibicarakan, tapi jangka deket, aku pengen nikah."

"Eh? Kenapa mau nikah, eh atau ingin nikah?"

Saat itu kepotong shalat.

Pas pulang, aku enggak bertanya lagi perihal nikah. Lalu boy ngajakku ke sebuah toko. Dia ternyata membeli sendal. Aku terkejut dan tersenyum sendiri, boy-boy.

Jadi, sebelum berangkat aku dan boy mendapati Mas Salingga yang kehilangan sendalnya, dia sampai nyeker ke masjid untuk memastikan ada sendalnya di masjid atau nggak? Tapi, boy tidak menunggu ada atau tidaknya, dia membelikannya buat Mas Salingga.

Aku tidak habis pikir.

Dia memintaku, untuk mengasihnya ke Mas Salingga.

*

Tadi rapat sama Ka Ima dan Abid untuk suatau acara. Sebenarnya ini terploting tiba-tiba saja. Ya, karena sudah terjadi, mau ndak mau dikerjakan sebaik mungkin. Akhirnya sehabis ashar kita kumpul. Pembahasan seperti pada umumnya rapat. Lalu lagi bercanda-canda, aku bercanda soal nikah dengan Abid. Lalu Ka Ima bilang.

"Be brave dong!" Dengan semangatnya. "Kalau udah penerimaan, yang mana maksudnya udah memilih, berarti tinggal beraniin aja! Be brave!"

Aku menelan ludah, kok lah jadi ke situ?

Aku nyengir...

*

Selepas maghrib, Ayyash datang ke kantor bersama Mas Salingga. Lalu kita toss sok asyik gitu diriku. Terus nanya. "Ayyash, masih ingat siapa?"

Ayyash mengangguk. aku tersenyum. "Siapa namanya?"

Jeda sekitar satu detik setengah lalu Ayyash menjawab. "Om Hilmy."

Aku bersorak seperti orang yang dapat juara. Senangnya tuh kalau masih diinget sama bocil-bocil. Hihi...

Sampai jumpa outting Ayyash!!! Dan juga Hana!

Kamis, 17 Januari 2019

Janji

Sore itu hujan lebat, aku baru berdua sama Ka Jay di lapangan futsal. Pada saat itu yang ada dalam di benakku adalah. "Tau hujan begini, aku lebih baik di kantor dan bekerja."

*

Dari sebelum futsal, aku sudah koar-koar ke semua orang, ngajakin mereka. Sampai kok jadi aku yang merasa beban ya kalau futsal gak jadi? Dulu ada Ka Annas yang ngurusin futsal, jadi kalau futsal gak jadi, aku merasa dia yang paling kecewa. Tapi sekarang, seolah aku yang akan menanggung beban itu.

Ketika usai shalat Ashar, aku masih mengajak orang-orang lagi futsal. Beberapa temen deketku menolak karena banyak kerjaan. Aku bisa apa? hiks, aku sudah benar-benar pesimis, sepertinya tidak akan main ini.

Sore itu mendung sekali, tapi aku dan Ka Jay memaksakan diri ke lapangan futsal. Hujan sudah rintik ketika diriku berangkat, dan lebat ketika diriku tiba. Aku benar-benar pesimis, nggak mungkin pada datang, hujan lebat begini.

Lalu tiba-tiba Ka Topan datang, dengan bela-bela menggunakan jas hujan. Aku terkejut, kalau aku jadi Ka Topan pasti udah malas sekali datang, hujan gini. Mending kerja atau santai aja di kantor. Aku masih pesimis bakal terpenuhi para pemainnya.

Lalu datang beberapa orang lagi dengan pakai jas hujan juga. Aku rasanya terharu. "Aku sudah pesimis gak bakal ada yang dateng karena hujan." Kataku saat itu dihadapan Ka Topan.

Ka Topan pun menjawab. "Harus optimis dong, nggak boleh pesimis."

Aku tersenyum tersentak dan haru, aku langsung salaman sama Ka Topan.

Saat itu, rasa pesimisku yang selalu dan selalu menghantuiku dibayar kontan oleh Allah. Semua tiba-tiba hadir, bahkan Amru yang bilang nggak bisa aja jadi hadir. Walau aku tidak tahu seberapa keinginan mereka bermain futsal saat itu, tapi rasa pesimisku benar-benar seperti ditampar.

Ternyata ramaikan, My?

Satu lagi, aku benar-benar terharu dengan orang yang memegang janjinya. Mereka telah berjanji futsal, hujan pun tidak menghalangi mereka untuk datang. Walau ini bukan ajakan murni dariku, tapi aku benar-benar merasa dihargai. Dan aku rasanya senang sekali membuat janji dengan orang-orang baik seperti mereka.

Orang baik aja selalu menepati janjinya ya, apalagi Allah yang Maha Bijaksana dan tak akan pernah ingkar dengan janji-janji-Nya. Lalu kenapa masih takut, My?

Sore itu akhirnya futsal lebih dari cukup, kita bermain dengan baik, dan menyenangkan rasanya.

Lelah

Kemarin malam, sampai rumah, lihat umi udah tidur, terus diriku capek, belom apa-apa langsung berbaring di kasur, ketiduran, tengah malam, umi masuk kamar, pakaiin selimut, terus keluar lagi.

:")

Senin, 14 Januari 2019

Pernikahan

Hari ini, Azmi ngechat di steam (platform gaming), aku membalasnya dan kita membahas kehidupan masing-masing secara singkat, lalu aku dikejutkan oleh berita pernikahan temenku. Sebut saja temanku yang menikah itu Ayu. Aku benar-benar terkejut si Ayu sudah menikah, tak ada omongan atau apapun sebelumnya, dan di IG nya pun tidak ada foto pernikahannya.

Azmi mengirim foto pernikahan si Ayu, dan ternyata dengan Mas Ari (sebut saja Ari). Mas Ari ini salah satu asisten praktikum favoritku, dia selalu bantu kalau aku kesusahan, bisa diajak diskusi, dan selalu memberikan solusi. Akhirnya pun kita berteman sebagai sesama asisten praktikum.

Ah, mimpi apa aku semalam Ayu menikah dengan Mas Ari. Dahulu, aku inget betul cerita tentang Ayu dekat dengan siapa, ternyata menikahnya dengan siapa. Kalau di jurusan, diantar beberapa akhwat, Ayu salah satu yang paling dikenal, dia asisten praktikum sejati, dan orangnya supel, hampir setiap lab kenal dia.

Tapi, aku sangat setuju sih, orang baik dengan orang baik. Ya, semoga dilancarkan terus ya...

***

Bicara menikah dengan teman sekampus, belakangan ini aku terhanyut oleh sebuah web yang ternyata ditulis oleh istrinya Ka Bondan, dan ternyata lagi, istrinya mungkin satu angkatan denganku jika ekstensi.

Oh ya, jadi Ka Bondan itu kakak kelas di kampusku, dan istrinya itu anak D3, aku tidak tahu pasti dia lanjut ekstensi ke S1 atau tidak. Tapi, wah keren gaya menulisnya, santai, mengalir, dan penuh makna, dan juga gaya menulisnya kayak mirip seseorang... Aku mungkin sudah hampir baca setahun perjalanan blognya, terlebih tentang perjalanan pernikahannya.

Ceritanya benar-benar bikin mesem-mesem dan ketawa sendiri, mungkin kalau mau tahu nikah syar'i bisa dibaca-baca blognya disini. Tidak hanya bikin mesem-mesem dan ketawa sendiri, tapi benar-benar sebuah perjalanan seseorang yang berusaha menaruh segala harapannya ke Allah, dan tidak pernah letih berdoa.

Dan betul saja, Allah tidak akan pernah mengecewakan setiap hambanya yang berdoa.

“....dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku.” (QS. Maryam:04)

Ku belum menghabiskan ceritanya, jadi tidak bisa cerita banyak, tapi ini sungguh cerita yang seru.

***

Terkadang aku heran dengan orang yang benar-benar percaya diri dan bisa bodo amatan. Mungkin karena aku bukan tipikal orang yang begitu, jadi aku bingung sendiri dengan orang-orang yang bisa berbuat segitunya.

Nekat.

Ah mungkin bisa dibilang begitu. Waktu itu aku buka instagram lihat info lomba menulis novelet. Aku baca seksama, terus buka komentarnya. Sebagian besar komentarnya menghujat si pembuat lomba karena hadiahnya cuman pulsa puluhan ribu sama novelnya dicetak sendiri (bukan via penerbit).

Sebagian besar mengutarakan ke kecewaan dengan hadiah yang tak sebanding dengan usahanya. Karena novelet memiliki kriteria yang cukup panjang dan ide tak semudah itu datang. Di tambah menggunakan karakter yang dibuat oleh si pembuat lomba pada cerita wattpadnya.

Si pembuat lomba tapi cukup tahu diri, dia selalu membalas setiap komennya dengan minta maaf karena hadiahnya benar-benar kecil, tapi itu tidak mengurungkan niatnya. Aku benar-benar heran, kok bisa ya? Segigih ini? Apa yang membuatnya bisa seperti ini?

Tak lama ku baca komentar, rupanya lomba novelet ini untuk menjadi kado pernikahannya yang tak lama akan berlangsung. Dia ingin sekali diberi kado sebuah cerita untuknya dengan karakternya. Beberapa orang nyinyir tentang ini. Mereka bilang. "Yang nikah siapa, yang ngasih kado siapa. Hadiahnya kecil banget lagi." Kurang lebih begitu.

Sekali lagi, si pembuat lomba tidak menarik niatnya. Dia justru membalasnya dengan mengiyakan nyinyiran itu dan meminta maaf. Aku pun heran lagi, ah kekuatan dari mana si pembuat lomba ini bisa bersih teguh akan niatnya ini.

Jika aku di posisi dia, pasti aku sudah nge-down dan menarik lomba itu.

Kok bisa ya? Luar biasa, aku cukup salut atas keberanian si pembuat lomba. Semoga dimudahkan pernikahannya ya.

Menanti Matahari Terbit

Masih menanti matahari terbit
Hanya saja kali ini ku tak tahu
Dari mana datangnya matahari itu?
Kemana aku harus menuju?

Semoga aku tidak kehabisan asa
Untuk berjumpa dengan matahari itu
Karena malam ini sungguh pekat
Terkadang sesak, sulit diungkap

Semoga aku masih tetap berdiri
Menatap setiap sudut celah
Alih-alih menebak matahari akan terbit dari sana
Walau celah itu hanya sebesar jarum

Semoga aku masih tersenyum
Hingga matahari itu tiba
Atau aku yang akan mengakhirinya sendiri
Penantian itu.

Minggu, 13 Januari 2019

Membangun Kekokohan Keluarga

"Kalian tahu kenapa masyarakat kita mudah sekali terkena narkoba? Korupsi? Perzinahan?" tanya sang ustadz dihadapan jamaahnya.

"Bangsa atau masyarakat akan maju, akan kuat, jika setiap keluarganya kokoh." Sambungnya.

"Inilah mengapa penting sekali, tema ini diangkat, ini benar-benar permasalahan yang terjadi di sekitar kita."

Sang ustadz menutup mukadimahnya.

Beliau--sang ustadz--menjelaskan, bahwasanya banyak sekali bahkan setiap surah di dalam Alquran yang menjelaskan tentang keluarga. Bahkan banyak yang menyebutkan, Alquran adalah pedoman untuk berkeluarga.

Beliau menjelaskan ayat-ayat pada setiap surah yang mengandung pembahasan terkait keluarga. Dan benar saja, hampir setiap surah ia sebutkan. Beliau menekankan lagi pentingnya memahami segala sesuatu berdasarkan Alquran dan sunnah yang terkadang kita lalai mengkajinya.

"Jadi, begini cara Alquran membangun kekokohan keluarga." Kata beliau membuka pembahasan utama.

Saat itu waktunya cukup singkat, beliau tidak tuntas menjelaskan faktor apa saja yang membuat sebuah keluarga itu kokoh. Tapi, beberapa disebutkan dan mungkin cukup familiar oleh kita. Namun, tidak ada salahnya kalau kita memantapkan lagi pemahaman itu.

"Pertama, khusnul ikhtiar. Sebuah keluarga kokoh diawali dengan hal yang baik juga. Bahkan itu saat memilih calon pasangan." Sebutnya.

Memulai sesuatu yang baik memang harus dengan yang baik, tidak ada cerita kebaikan berawal dari keburukan. Begitupun dalam membangun keluarga yang kokoh, dimulai dengan memilih pasangan yang berkualitas (ihsan).

"Coba, jika bapak-bapak dihadapkan atau mungkin anaknya dihadapkan wanita yang cantik luar biasa tapi Islamnya biasa saja, dengan cantiknya biasa banget-banget, kalau saya kasih nilai itu 65 lah, 65 bagi saya itu kayak nilai kasihan, tapi perempuan itu shalehah, pasti milih yang mana?" tanya beliau. "Kenapa saya nanya begini? Karena ini benar-benar kejadian di kehidupan kita. Saya tidak ingin ceramah itu tidak sejalan dengan realita, jadi saya tanya, bapak-bapak pilih mana?"

Mungkin jika hanya mendengar pilihannya sudah jelas pasti kita memilih yang shalehah, tapi ketika dihadapkan langsung dengan keadaannya, apakah semudah itu?

"Kedua, taqwiyatul iman atau mabda, atau aqidah. Ini kalau dalam pemahaman kita seperti prinsip berkehidupan. Kita harus menaruh prinsip atau ikatan kehidupan keluarga kita adalah dengan ikatan iman dan takwa, seperti yang dijelaskan pada surah An-Nisa ayat 136."

Beliau membacakan ayatnya, dengan merdu.

"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya." QS An-Nisa:136

"Coba kalian perhatikan, Allah memanggil kita dengan panggilan terindah, yaitu wahai orang beriman. Nah lihat kata-kata berikutnya, ini pada tafsirnya, menyerukan kita untuk beriman lagi. Padahal kita sudah dibilang orang yang beriman, tapi kita untuk tetap beriman bahkan terus beriman."

Beliau menjelaskan, bahwasannya keimanan itu perlu diperbarui layaknya hari raya idul fitri, seharusnya tidak hanya kehidupan baru, rumah baru, baju baru, dan sifat duniawi yang baru, tapi iman pun perlu diperbarui.

Begitu pun pada sebuah keluarga, keimanan harus terus diperbarui, agar ikatan mereka--yang berlandaskan iman dan takwa--terus menguat, karena tidak ada ikatan yang lebih kuat selain ikatan kepada Allah--iman dan takwa.

Jadi yang bilang berkeluarga karena cinta, itu bukan keluarga yang kokoh. Iman dan takwalah ikatan terkuat. Jadi, terus perbarui, ikut kajian bareng, sama-sama saling belajar memantapkan prinsipnya, memantapkan diri dalam berkepihakan dengan Islam.

"Ketiga, membangun al idarah alsahiha. Membangun manajerial yang benar dan kokoh." Kata Beliau. "Setiap keluarga harus tahu peran dan pembagian hak serta kewajibannya sesuai alquran dan sunnah. Seperti dijelaskan pada surah An-Nisa ayat 34-36."

Beliau membacakan ayatnya, dengan merdu, untuk kesekian kalinya.

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar." QS An-Nisa:34

"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." QS An-Nisa:35

"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri," QS An-Nisa:36

Jika setiap keluarga tahu perannya, hak dan kewajibannya, maka keluarga itu akan kokoh. Karena mereka tahu caranya bersikap, mereka tahu harus berbuat apa dengan kondisi apapun. Contoh saja ketika sang istri tahu bahwasannya ketika suami tidak ada, dia tidak boleh memasukan pria seorang pun ke rumahnya. Jika begitukan sang suami tenang meninggalkan istrinya untuk memenuhi kewajibannya--mencari nafkah.

Tapi jika sebaliknya, maka timbulah perselingkuhan atau hal-hal yang tidak diinginkan. Jika sang istri tahu bahwa ridha Allah ada di suami, maka tentu saja sang istri pasti akan taat menjaga kehormatannya, tidak, tidak hanya di depan suaminya, tapi di setiap waktu.

Tahu juga tentang peran mendidik anak, bahwa sang istri merupakan guru bagi sang anak-anak, jadi tidak rela sang istri meninggalkan anak-anaknya dengan asisten rumah tangganya. Maka, jika ada yang membiarkan anak-anaknya diasuh serta dididik penuh oleh asistennya, sementara sang istri bekerja katanya demi kebaikan anaknya, itu merupakan kesalahan.

Sementara bagimana dengan laki-laki? Allah telah menjadikan kaum lelaki sebagai pemimpin kaum wanita. Tidak serta merta tanpa alasan, karena kaum lelaki sudah diberikan kelebihan oleh Allah untuk menjadi seorang pemimpin. Allah melebihkan lelaki dari segala hal termasuk juga tanggung jawab, suami sang pemimpin memiliki tanggung jawab untuk menafkahi istri dan anaknya, dan juga mereka masih memiliki kewajiban menafkahi orang tuanya.

Jadi penting sekali laki-laki itu bisa bekerja mencari nafkah. Walau kita tahu, rezeki sudah Allah atur, tapi kemampuan untuk bekerja pada dilaki-laki itu harus ada, begitulah pendidikan Islam. Laki-laki harus mampu bekerja, maka bermasalah lah jika laki-laki tidak mampu bekerja.

Saat itu waktu sudah memasuki Isya, beliau menyudahi pembahasannya.

"Karena waktu terbatas, sebenarnya masih ada lagi, mungkin di lain kesempatan, kita bisa lanjutkan." katanya, menutup kajiannya malam itu.

Tak lama setelah itu, adzan berkumandang.

Angin cukup sejuk malam itu. Dan aku tersenyum, senang.

Teater dan Candu

Abi sedang menulis naskah drama musikal buat sekolahnya, kalau dilihat dari cara kerjanya, ini pertama kali abi ngebuat skrip drama. Jika dilihat lagi, tampaknya ini agak dipaksa, tapi ini menjadi sesuatu yang baru dan mungkin jadi jalan yang baru buat abi?

Jika ingat drama musikal atau teater atau musikalisasi puisi, rasanya seolah canduku kembali mencuat. Di zaman ngampus selalu setiap bulan kucari info teater atau drama atau musikalisasi puisi. Beruntung dulu aku ikut UKM yang ada teater dan musikalisasi puisinya, jadi aku bisa tahu jadwalnya, bahkan divisiku sendiri yang ngadain musikalisasi puisinya :") Terharu saat terlaksana...

Sebenarnya aku tidak benar-benar paham cara kerja teater dan lainnya, maksudnya, mereka tuh unik, ceritanya itu tersirat banyak makna, kayak ngobrol sama cewek, nggak bisa disekali mengerti, terkadang diendingnya harus nebak-nebak sendiri dan menyimpulkan sendiri.

Tapi, dibalik uniknya itu, aku tetap menikmatinya, karena pasti yang ditampilkan sarat akan makna dan kualitas tinggi. Lihat saja bagaimana dialog yang mereka buat, bahasanya rerata tingkat tinggi, improvisasi perannya pun bukan kaleng-kaleng, sungguh indah dan menjiwai, ditambah musik, ah musiknya tuh bikin kita tertelan dalam permainan mereka.

Walau tak semuanya begitu, tapi ku selalu melihat teater dan lainnya sepert itu, maka itu aku selalu menanti-nanti penampilan mereka. Sayangnya aku terlalu cupu, ternyata di luar kampus ada banyak sekali pertunjukan seperti itu, tapi karena aku cupu, jadinya aku tidak tahu dan tidak pernah hadir.

Terkadang kepikiran, kan aku ikut UKM yang memiliki teater dan musikalisasi puisi, kenapa aku nggak ikut ambil bagian ya? Ya, aku tidak pandai berakting, mungkin aku bisa belajar bikin skripnya? Ah, semua sudah terlewat, tak apa cukup jadi penikmatnya.

Di akhir tahun di kampus benar-benar penuh kenangan, banyak sekali teater kudatangi, bahkan drama musikal yang sebenarnya tugas jurusan komunikasi pun kudatangi--memang terbuka buat umum sih--tapi aku melihatnya, seru ya punya tugas bikin drama, kayak acara puncak sekolah gitu, terus bisa seru-seruan karena isinya teman kelas dan teman angkatan semua, termasuk seru-seruan sama dengan dosennya. Tapi, aku tidak bisa berpikir jika itu terjadi di jurusan Informatika, drama musikalnya gimana ya?

Aku pernah sekali ada tugas kelas waktu SMK, saat itu kalau nggak salah bikin drama juga, aku ikut ambil bagian, jadi si pitung, tapi aku lupa jadi mentas atau tidak ya, tapi aku inget pernah latihan jadi pitung, ah payah sekai dalam berakting diri ini.

Ketika kerja aku sempat dapat informasi festival teater di Taman Ismail Marzuki, tapi karena mager pergi sendiri dan lupa ngajak-ngajak, aku pun melewatkan festival teater itu. Padahal hampir setiap hari dalam seminggu dipenuhi teater-teater, ya ampuuun.... Rasanya kayak melewatkan emas-emas dan berlian begitu saja karena kemalasan ini. Memang ya, orang malas itu banyak ruginya.

Balik lagi ke kerjaan abi terkait membuat skrip drama musikal, semoga skripnya jadi dengan baik, dan pementasannya lancar, dan semoga aku bisa diajak nonton anak-anak yang gemay-gemay itu pentas dengan lugunya ya...

Siang Dikala Hujan

Hujan di kala siang

Rasa-rasanya sedikit sekali ku temui puisi
Tentang siang yang terindah-indah
Tentang siang yang menyenangkan
Tentang siang yang menghangatkan

Kusudah bosan
Dengan malam yang menyejukan
Pagi yang menyemangatkan
Senja dan fajar terkenang-kenang

Tapi, siang memang tidak menarik
Hanya ada panas dan lelah
Ada gelisah dan gundah
Apakah siang berarti sebuah masalah?

Siang adalah waktu yang terlewatkan begitu saja
Tidak ada yang menanti
Tidak ada yang menganggap
Tidak ada yang peduli

Bagiku, siang tak begitu buruk
Satu penambahnya yang membuat semua baik-baik saja
Siang yang mendung
Siang yang hujan

Siang yang bersama mendung nan hujan
Seolah membelai lembut hati
Untuk beristirahat sejenak
Bahwa tak semuanya harus kamu peduli detik ini juga

Siang ini hujan
Ku harus bergegas, tidur.


Turun Temurun

Waktu itu aku mendengar kata Zaki ke ka Wahyu. "Iya kak, aku belajar masak sama nurul. Keluar dari rutinitas menatap layar laptop mulu." Saat itu aku lupa sedang bahas apa.

Tapi kata-kata keluar dari rutinitas terngiang-ngiang di kepalaku. Aku pun ingin melepas rutinitasku. Begitu saja aku jadi kepikiran ngajak abiku main badminton weekend ini. Ah, tapi bukan abi rasanya kalau tidak punya alasan untuk tidak jadi.

Karena abi sibuk, akhirnya aku main sore itu sama umiku. Sabtu itu seharian rasanya sama umiku. Pagi sama umi, siang ketiduran padahal harusnya jemput umi, pas sampe rumah berdua doang sama umi, terus sore main badminton sama umi, tadinya abis maghrib mau pergi ke kota wisata bareng umi, tapi abi tidak mengizinkan.

Akhirnya aku main berdua dengan umi, kusudah bela-belain pinjem raket anak kantor padahal, tapi abi malah sibuk. Namun, aku terkejut ketika main sama umi. Lho? Umi ternyata bisa main. Aku kira bakal main sendirian dan umi cuman ambilin kok-nya saja. Tapi tidak, umi cukup pandai dalam membalikan pukulanku.

Kukira Susi Susanti saja yang jago main badminton, ternyata Evi Susanti (nama umiku) juga.

Niatnya aku mau ngerjain umi untuk mukul secara silang biar lari kanan kiri hehe, tapi yang ada sebaliknya, bukan, bukan karena umiku benar-benar jago, tapi karena berhasil mukul dengan keras ke arahku saja sudah syukur.

Tapi, sempat kita mendapati alur yang panjang tapi santai, ya untuk seorang umi, ini lumayan bangetlah, bahkan aku tidak menyangka umi sejago ini. Karena ku heran, ku pun bertanya pada umi tentang kemampuannya ini.

Ternyata sejak kecil, kakekku sering ngajak umiku main badminton, bahkan katanya dulu umi jagonya main voli. Wah aku baru sadar, mungkin kemampuan olahvragaku nurun dari umi ya...

Aku juga baru sadar ternyata abi jago gambar. Berarti turunan kemampuan gambarku dari abi ya... Kalau bahas turunan-turunan atau mirip-miripan anak kepada umi abi tuh rasanya lucu. Umi selalu ngeklaim yang baik-baik, lalu abi kebagian yang jeleknya, lalu abi selalu bete dan bilang. "Iya, yang baik mah umi semua, abi mah sisa-sisanya aja."

Lalu kami anak-anaknya tertawa. Tapi, seru sih mencari tahu siapa yang mirip gitu. Dari wajah aku paling mirip umiku, sementara paling mirip abiku si Ahmad.Makanya kadang kerasa banget kedekatan umi denganku, abi dengan Ahmad, walau mungkin itu perasaanku saja sih. Sisanya campuran haha. Terkadang aku jadi mikir, kira-kira kalau berkesempatan punya anak, Hilmy junior bagiaman ya? Lebih mirip ke aku atau tidak ya? Kalau mirip, apanya ya yang mirip? Kemampuannya atau fisiknya? Apakah hidungnya sebesar hidungku...? Haha.

Aku juga pernah dengar atau sedikit menyaksikan Ka Jay (salah satu orang kantor) dengan istrinya suka klaim-klaim anaknya lebih mirip dengan siapa. Kalau aku sendiri melihat, memang wajah anaknya condong ke Ka Jay, dan Ka Jay pun selalu bilang begitu dengan senangnya.

Tapi, aku sempat baca capton instagram istrinya Ka Jay, katanya walau paras anaknya mirip ayahnya, tapi jika diperhatikan seksama, bentuk wajahnya itu seperti ibunya. Aku mesem-mesem bacanya, entah kenapa ngeklaim gitu-gitu rasanya lucu.

Lain hal, gara-gara tahu umi bisa main badminton karena waktu kecil kakekku ngajarinnya, aku jadi paham pentingnya anak diberikan banyak aktivitas. Selain mencari tahu bakat dan kesukaannya, hal-hal yang dikerjain sang anak akan membekas hingga besar, dan anak bisa menuai apa yang pernah ia lakukan, walau tidak jago, tapi setidaknya sudah memiliki pemahaman dasar sehingga tidak kaku.

Itu pun yang aku rasakan, karena kecil main semua olah raga, setidaknya ada pemahaman dasar di banyak olahraga, jadinya bisa ikut ini itu ini itu, tapi ya begitu, ndak jago... Hehe

Sabtu, 12 Januari 2019

Bagaimana Kita Tahu? Jika Tidak Mencari tahu?

Untuk kesekian kalinya sesi durian terjadi, kali ini kedua kalinya sesi durian empat orang. Untuk sesi kali ini aku nyobain durian dengan kelapa. Walau perutku masih tak karuan, hasrat akan durian mengalahkannya.

Obrolan tidak jauh dari perkembangan start up, keterhubungan Islam dengan dunia start up, dan perjodohan. Kebetulan salah satu dari kami akan segera menikah, yang ternyata mereka bertemu dari sebuah aplikasi ta'aruf.

Aku terkejut, dan semua begitu saja. Rasanya kok kayak mudah sekali ya. Minggu depan dia akan menikah dengan orang yang dia kenal via aplikasi untuk menempuh hidup hingga akhir hayat. Rasanya kayak, kok sesederhana itu ya?

Lalu dia cerita, awalnya juga dia berpikiran nggak bisa menikah dengan orang yang tidak ia kenal sebelumnya, tapi kembali lagi ke tujuan pernikahannya, selama satu tujuan ya tak masalah. Ia pun daftar aplikasi ta'aruf milik salah satu ustadz ternama, dan beberapa kali dia mencoba hingga akhirnya untuk kesekian ia mendapati yang sesuai dan tak pakai lama langsung ke jenjang pernikahan.

Aku nyengir heran.

Lalu mereka bahas-bahas soal kajian, jadi dua orang diantara kami mau ikut ke kajian besoknya, mereka bahas keberangkatan, lalu seseorang mengajakku, aku bingung jawabnya, kebetulan jauh, jadi aku bilang aja jauh. Padahal ustadz yang ngisi itu ustadz yang lagi di denger terus oleh ummiku. Tapi entah kenapa aku kurang tertarik, mungkin memang kepikiran jauh banget dan pasti banyak yang datang sehingga akan repot sekali. (Pada dasarnya males)

Lalu seorang nyentilku. "Nikah tuh butuh ilmu, kalau lu mau dapetin dia, harus belajar yang banyak dulu." Jadi tetiba aku kena ledek oleh salah satu temenku, aku diledek dengan seseorang yang emang giat sekali dalam belajar, jadinya dia bilang begitu kepadaku. "Ayo ikut, kita belajar, kalau mau dapetin dia, harus belajar lebih banyak."

Aku tersenyum kecut.

Sebenarnya mau siapapun yang ingin didapat, memang belajar itu penting sekali sih. Ku menyaksikan sendiri ketika seorang istri tidak tahu apa haknya apa kewajibannya. Lantas dia pergi meninggalkan suaminya, padahal kondisi suaminya tidak mendzalimi sang istri. Padahal ridha Allah untuk sang istri berada di suaminya.

Lalu suaminya bilang kepadaku dan beberapa orang lainnya. "Ini anak pertama saya harus ngaji, biar tahu mana yang bener mana yang salah. Biar tahu ibunya salah apa benar berbuat seperti ini (ninggalin suaminya tanpa sebab jelas)."

Aku mengangguk setuju.

Ku sempat terkejut ternyata seorang suami dengan mertuanya adalah partner atau mitra. Kurang lebih mereka bekerja sama untuk membahagiakan/memenuhi hak sang istri. Perpindahan dari orang tua ke sang suami terlintas seperti serah terima tanggung jawab. Walau sesungguhnya lebih besar dari sekadar tanggung jawab, bahkan kepatuhan dan ridhanya pun berpindah dari orang tua ke sang suami.

Bahkan, sang istri harus lebih mendengar suaminya (selama menyerukan kebenaran) daripada orang tuanya.

Aku senyum masam.

Sesi durian berakhir cukup malam, aku beberapa kali kena tegur karena tidur sembari bawa motor, bahkan aku hampir nabrak puteran jalan. Beruntung Allah masih melindungiku.

Malam itu, lelah sekali.

Jumat, 11 Januari 2019

Hilmy yang Berisik

Waktu itu Ikhsan bertanya suatu hal tentang menulis, aku jawab begini. "Gue tuh ya, bukan lagi menyempatkan nulis blog, tapi hal apapun yang tejadi di setiap detiknya udah gue set dalam format tulisan blog." sebenarnya nggak gitu sih, tapi intinya kurang lebih begitu.

Jujur saja, semakin hari, kepala nih kayak apa-apa tuh bisa ditulis dalam blog, kalau dulu tuh kepikirannya hal-hal penting, menarik, dan lucu. Kalau sekarang kayak, ada kejadian, dan aku mikir gimana menulisnya dalam sebuah blog. Bagaimana pembukaannya, walau akhirnya di depan layar tulisannya agak payah ya...

Bahkan aku bilang ke Ikhsan. "Sampai-sampai, pas gue nggak bisa buka tutup kaleng aja, gue tulis di blog." seraya aku menunjukkan jumlah tweet twitterku yang mencapai 85 ribu tweet. "Lihat, betapa berisiknya gue." Kataku. Ikhsan ketawa-tawa aja dia.

Terus, aku tadi iseng baca blog teman kantor yang udah lama sekali dia tulis. Aku baca tentang menyempatkan diri dalam menulis blog. Dia merasa sedih karena setahun cuman bisa nulis 3. Ok, kehidupannya mungkin sungguh asyik, aku tidak tahu pasti.

Tapi, jika aku berkaca ke diriku sendiri, tahun kemarin aku nulis 300 lebih judul postingna. Ini namanya bukan menyempatkan diri lagi, tapi penyakitan. Aku tak tahu tujuan menulis semua itu apa. Mungkin lebih tepatnya karena aku kesepian, tidak ada yang ingin mendengarkan ceritaku, aku terlalu cerewet, aku bisa gila jika tidak mengeluarkan pikiran di kepalaku, ya pokoknya banyak kepayahanku itu yang menjadi alasan aku menggila di tahun kemarin. Jadi bukan menyempatkan diri lagi, tapi penyakitan...

Rasanya, aku harus perlahan move on dari menulis blog doang dengan tulisan fiksi lainnya. Kapan ya aku bosen untuk curhat dan curhat? Ah, kamu tuh pria loh, My! Oke-oke, kita coba pelan-pelan yaaa... Bismillah.

Tempat Menulis

Belakangan ini banyak orang di sekitarku yang sedang semangat-semangat nulis, jadi malu sendiri, aku belom mulai-mulai bergerak.

Seperti yang pernah aku cerita, niatku menulis dari software wordku aktif hingga sekarang masa aktifya habis. Ketika aku kesulitan untuk menggunakan word aku jadi kepikiran akan tempat menulis.

Menurutku ada perbedaan rasa antara menulis di halaman word, di blog, di wattpad, di notepad (ah tentu saja), dan di google docs, lainnya twitter, facebook, dan instagram. Rasanya beda, sulit mendeskripsikan sebenarnya tapi ku merasa kalau di word, tulisan panjang pun aku merasa masih sangatlah sedikit. Sedangkan di blog, aku menulis sedikit, tapi ternyata itu hasilnya panjang. Kalau di wattpad aku baru nulis beberapa baris rasanya kayak udah berhalaman-halaman, pas di posting kayak cuman potongan tulisan saja, kalau di notepad aku merasa payah sekali... Sementara itu terakhir di google docs, secara experience sama sih dengan word, tapi rasanya kayak, sesuatu yang lain, tidak bisa dideskripsikan. Sedangkan lainnya, rasanya lebih ke ketakutan respon dari teman-teman yang lain terkait tulisanku. (Cuek dikit susah banget ya, My?)

Lalu ketika aku kepikiran buat cerita pendek (ikut-ikutan yang lain), aku bingung untuk menulisnya dimana. Ah jangan sampai karena tempat menulis aja aku urungkan lagi niat ini.

Karena banyak pikiran belakangan ini yang benar-benar menyita, aku jadi benar-benar tidak produktif terkait apapun. Mungkinkah aku terlena dalam tulisan lagi?

Sudah hampir bosan aku membahas masa lalu, padahal masa depan masih panjang... Jangan mengenang mulu, My!

Berjuta Kemungkinan

Dari berjuta kemungkinan, Allah menakdirkan kita. Untuk berjumpa, untuk bersedih, untuk berpisah. Untuk macam hal. Dari berjuta kemungkinan, seolah semua kebetulan. Padahal semua sudah diatur sedemikian rupa kisahnya. Lalu kenapa perlu kecewa di dalamnya?

*

Waktu pindah sekolah ke Bekasi, aku memilih sekolah yang ternyata jauh dari rumah, benar-benar jauh dan menyiksa. Tapi, aku tidak pernah menduga bakal ketemu teman TK dan SD-ku yang pindah. Itupun tahunya tidak langsung, karena sama-sama mengalami perubahaan dari TK hingga SMK. Kita pun saling menyadari ketika hampir setahun berjalan sekolah.

Rasanya seperti, kok bisa ya jadi satu sekolah? Satu kelas? Dan bahkan sama-sama suka basket. Ya, begitulah Allah merencanakan. Tidak ada jawaban selain itu. Sebuah berjutaan kemungkinan menghadirkan kisah ini.

Ya, kita pun nostalgia mengingat masa-masa SD yang suka main ke rental PS miliki temen terus main power ranger. Dan akhirnya kita menjadi tim basket kelas tak terkalahkan, saat itu classmeeting basket hanya 3 vs 3. Sementara di kelasku ada 3 orang yang bisa basket, kelar sudah. ;)

Dan tadinya kita mau kuliah bareng, tapi dia memilih sambil kerja. Akhirnya berpisah, dan minggu kemarin, bersamaan pernikahan Obama--sebutan temenku lainnya--mengadakan lamaran ke kekasihnya. Ya, semoga dimudahkan hingga hari H ya.

Kamis, 10 Januari 2019

One on One



Siang itu diambang ke frustasian diri, ah entah kenapa dan mengapa. Lalu tiba-tiba diajak ngobrol berdua. Lalu diberi secarik kertas post it dan... "Jadi kita saling menilai ya, tulis apa yang perlu di pertahankan (keep), apa yang perlu ditambah (add), dan apa yang perlu ditinggalkan (drop)."

Aku yang sedang tak karuan siang itu menatap lawan bicaraku dengan otak kemana-mana, suatu hal terpikir saat itu, iyaya, mungkin aku butuh semacam nasihat yang banyak dari teman-temanku terlebih dengan keadaan payah seperti ini.

Lalu kita menulis dalam beberapa waktu singkat dan jadilah aku mendapat seperti pada di gambar. Ya, jika orang melihatku belakangan ini, sungguh tidak semangat diriku. Satu hal, kusulit menyembunyikan apa yang di kepala dan dirasa. Jadi sulit membuat semua terlihat fine-fine saja... Lalu, untuk cool, aku tidak mengerti sebenarnya, ya aku hanya melakukan peranku yang berisik. Dan terakhir, nggak enakan, dan ternyata orang itu menyadari betapa payahnya aku untuk bodo amatan, berapa payahnya untuk tenang semua baik-baik saja.

Aku pikir, mudah sekali membuat orang kerepotan dan menjadikan diri ini merasa tidak enakan. Dulu pernah punya kenangan buruk sering nitip makan, aku pikir semua fine-fine aja, tapi ternyata tidak. Dari situ aku perlahan ragu untuk merepotkan orang lain, walau terkadang rasanya butuh bantuan orang lain...

Ah mungkin masih banyak lagi hal yang perlu aku perbaiki atau pertahankan atau ditambahkan, jika kalian merasa ada masukan untuk menjadikan Hilmy versi 4.0, silahkan PM saja ya :D

*

Lawan bicaraku ini akan menjadi versi terbarunya dengan peran kerja yang baru, dimana diluar dari kebiasaan dan sifatnya. Dia pun struggling, ah, memang perpindahan itu butuh transisi, dan transisi itu yang sungguh berat.

Semua pasti mengalami itu, masa-masa berat, perubahanlah, pembaruanlah, ataupun problematikalah. Dan rasanya aku sedang frustasi dengan semua itu, mungkin bersabar sedikit lagi, atau temukan jalan keluar yang lebih baik.

Terkadang yang lebih baik bukan berarti apa yang kita inginkan. Tapi, yang Allah inginkan. Begitupun jika harus mengubur sebuah pikiran dan perasaan dalam-dalam, seperti kisah-kisah terdahulu. Seolah menyiksa diri, tapi obat pun lazimnya pahit bukan? ;)

Hujan Di Pagi Hari

Hujan di pagi hari

Rintikan mu menyejukan
Seolah memeluk tubuh ini
Dan membuatnya enggan
Beranjak dari tempat tidur

Kupikir
Tak ada salahnya
Barang sejam atau dua jam
Kupejamkan mata, menikmati rintikmu, dibawah alam sadar

Hujan di pagi hari

Apakah pagi awal kehidupan?
Tapi hujan berkata lain
Tenang, hari masih panjang
Istirahat sejenak, bersama kesejukan

Lelah, pusing, ngantuk
Semua seolah akan terobati
Hujan di pagi hari memang luar biasa
Tapi kebo tetaplah kebo, tak usah berdalih karena hujan

Hujan di pagi hari

Sesungguhnya para malaikat sedang ada di muka bumi
Begitu kisah sang fajar
Ayam berkokok menyambutnya
Dan bukankah mustajab doa di waktu hujan?

Bukan tidur sebuah pilihan
Tapi cara berpikir yang menentukannya
Tidur atau berdoa?
Mungkin ini waktu terbaik untuk keduanya

Tapi, sekali lagi, ini cara berpikir

Rabu, 09 Januari 2019

Jangan Berhenti

Jangan berhenti yaaaa!!!

Buang Prasangka! Yakinlah kan harapan!


Bawalaaaaaaahhh~~~~~ diriku ke sanaaaa~~~



Selamat menikmati siangnya!!!

Lirik:

Tak perlu kau pandang berkarat yang silam Di siang dan malam Dengarkan dan katakan Buanglah prasangka Yakinlah kan harapan Dan bila kamu percaya Kepadaku... Bawalah... diriku kesana Bawalah... diriku. Jangan berhenti, terus menari Janganlah bersedih Yakinlah suatu hari Bel akan berbunyi, pertandakan pagi Burungpun bernyanyi Dan kita tinggalkan Lan. da. san. trus melayang Kau akan hilang Bawalah diriku kesana Bawalah diriku. suka dan duka Kau bawa diriku kesana Bawalah diriku. Jangan berhenti, terus menari 2x

Tentang Ahmad

"Mad, Ahmad betah nggak di sekolah?" Tanyaku.

Malam itu cukup dingin, aku sedang menjemur pakian di lantai 3 yang cukup terbuka ruangannya, sehingga hembusan angin begitu terasa. Ahmad menemaniku, tapi tidak membantu menjemur. Dia sibuk mencari benda-benda bekas untuk mainan dinamonya itu--Dinamo yang ia dapat dari membongkar mainan mobil-mobilannya.

"Ahmad nggak betah." jawabnya.

"Kenapa, Mad?" tanyaku terheran, karena sejauh ini aku merasa dia nyaman berada di tengah teman-temannya, bahkan dia tidak terlalu suka di telepon.

"Mereka jahat-jahat. Suka gangguin Ahmad."

Aku menatap Ahmad yang sedang sibuk dengan dinamonya. "Gangguin gimana?"

"Kira aja sendiri." Jawab Ahmad jutek.

Aku sebel sebenarnya digituin sama Ahmad, tapi ya namanya juga anak kecil. "Tapi, kok kalau di telepon kayak nggak suka gitu, dikira Ahmad memang sukanya di sekolah aja."

"Habis kalau di telpon putus-putus, Ahmad males jadinya." Ahmad melanjutkannya. "Ahmad ingin pindah sekolah biasa yang deket aja."

"Sayang dong tahfidznya."

"Iya, yang tahfidz juga gak apapa."

Lalu aku bertanya-tanya, kenapa anak-anak suka saling membully ya? Apakah itu bercanda? Ah aku pun dulu juga suka dibully dan akhirnya memutuskan untuk membully biar dianggap. Ah, iya anggapan, mungkin orang yang membully akan lebih disegani dan dihormati.

Dulu aku sering dibully, hingga akhirnya di tempat baru, di tempat orang yang tidak tahu satu pun aku suka dibully, aku pun membully orang, alih-alih biar disegani dan dihormati. Tapi, lama kelamaan, aku merasa semua itu bukan lagi soal segani dan hormati, tapi menjadi tabiat membully orang, bahkan walau konteksnya bercanda, aku merasa, keluh.

*

Obrolan malam itu adalah malam sebelum Ahmad pulang. Esoknya Ahmad pulang, aku dan Ahmad main seharian, entah apapun yang kita mainkan--dari merakit rangkaian listrik untuk dinamonya hingga main kartu. Aku bahkan dikerjain saat bikin mie goreng, aku disuruh-suruh sama itu anak. Dia tertawa puas, tapi kita jadi bekerja sama pada akhirnya.

Walau sebelum pulang ditutup dengan drama yang mana akhirnya Ahmad marah kepadaku. Perkaranya sepele, gara-gara aku nulis namanya di pakaian dalamnya pada bagian luar. Dia nangis kejer, karena tulisannya jelek dan di bagian luar. Hiks, terima kasih jujur tulisanku jelek. Aku udah bilang pada umi kalau tulisanku jelek, tapi umi tetep maksa.

Akhirnya perpisahan dengan Ahmad ditutup dengan baikan sejenak. Padahal dari pagi kita bercanda-canda, ah aku tahu, itu Ahmad sebenarnya sedih harus pulang dan meninggalkan kakaknya ini hehe, jadi dia cari alasan biar bisa bersedih, hehe

*

Hari senin kemarin Abi ambi rapor Ahmad di sekolahnya, lalu memberi kabar yang membuatku terharu... hiks...

Kabar itu pun yang membuat umi terheran dengan ketiga anak lakinya. Umi selalu ngelihat ketiga anak lakinya itu suka tidur, suka main game, suka berantem, suka main sama temennya, suka keluar-keluar, suka jajan, pokoknya malasnya pooool lah.

Tapi, tahu hasil-hasil dari ketiga anak lakinya, umi suka terkejut, kok bisa ya? Aufa dan Ahmad memang luar biasa setelah tahu hasilnya di sekolah, sementara aku? Ah umi aja gak tahu aku jago dalam menyontek hehe

Senen itu abi bilang bahwa Ahmad juara 2 di kelas tahfidznya, nilanya Mumtaz dan hapalannya sudah hampir 1/3 Alquran, sementara itu kelas biasanya Ahmad juara 4. Lalu aku lihat nila-nilainya, hanya Bahasa Inggris nilainya di bawah 50.

Kalau aku membayangkan apa yang dilakukan oleh Ahmad di rumah, itu rasanya kayak berbanding terbalik. Tapi, mungkin memang itu dinamakan butuh istirahat ya... ah entahlah, terkadang aku juga begitu setelah lelah berkepanjangan rasanya ingin melakukan apa saja yang aku sukai.

Kalau Aufa, dulu sempet mencengangkan juga ketika tahu dia juara 2 juga di kelasnya, terus hapalannya hampir 2/3 Alquran. Terus aku merasa kalah telak oleh dia. Bahkan sekarang sama Ahmad juga. Aish... Terima kasih ya Allah telah memudahkan urusan adik-adikku. Semua itu adalah Kuasa-Mu. :")

Semoga ini bukan kebanggaan duniawi semata tapi menjadi salah satu titik membangun peradaban Islam ya Aufa dan Ahmad. Hehe

*

Sedih, rasanya pasti sedih melepaskan anak sekecil Ahmad untuk hidup jauh dari orang tua, jauh dari pantauan, ah aku pun tak tahu rasanya seperti apa jika jadi Ahmad. Tapi, aku yakin Ahmad tidak akan menyesal dengan masa kecil penuh sedih ini, suatu saat insya Allah aku yakin Ahmad akan sangat bersyukur ditempatkan oleh umi dan abi ke sebuah tempat yang membimbingnya dekat dengan Allah.

Masa kecil benar-benar pondasi, kehidupan setelahnya akan mengiang ke masa itu terus--masa kecil. Dan ilmu yang didapatkan akan menjadi dinding kokoh untuk menghadapi masa depan. Semoga dimudahkan segalanya, Aamiin.