Selasa, 29 Januari 2019

Menghitung Ke-payah-an

Selepas dari outing ternyata kakiku membengkak, aku pikir kemarin hanya bekas luka, rupanya ujung kakiku kemasukan kerikil. Saat mengetahui itu, beberapa orang menyuruhkan lekas mengeluarkannya. Akhirnya kupinjam jarum, dan aku tidak bisa mengeluarkannya sendiri.

Ternyata aku amat payah, lantas temanku membantu dengan segala pengalamannya, dia cerita, setiap sore dia selalu seperti ini karena bermain bola. Dan akhirnya kerikil itu berhasil dia keluarkan. Terima kasih atas bantuannya.

Semoga bengkaknya tidak membiru.

Bahkan aku tidak bisa menyelesaikan perkaraku sendiri, dan selalu merepotkan orang lain.

Kapan terakhir kali aku bisa menyelesaikan semua sendiri? Tanpa mengganggu dan membuat orang lain jengkel. Walau aku tahu, temanku yang membantuku tulus membantuku.

*

Perlahan waktu berjalan, aku merasa ada runtututan kepayahan. Kukira aku sama dengannya, setidaknya aku tidak terlalu jauh, rupanya aku salah, aku sangat jauh darinya. Dia ternyata begitu hebat, melakukan segalanya dengan lebih baik, aku tersenyum dan tersadar, ternyata aku salah memperkirakan.

Aku tahu membandingkan itu sangat tidak bijak, tapi aku perlu mencari tahu, di tahap mana aku berada. Ah, padahal setiap orangkan berbeda-beda, tidak bisa kita memastikan lebih baik atau lebih buruk dari orang lain.

Tapi, kali ini, benar-benar kusalah memperkirakan.

*

Kupikir ini masalah waktu, kupikir ini masalah berapa kali mencobanya, dan sekarang aku benar-benar pesimis ah mungkin tepatnya tersadar bahwa ada hal yang benar-benar tidak bisa kulakukan. Mungkin ini percobaan keberapa kali, dan selalu saja mendapati hasil yang sama.

Tiba-tiba buntu di tengah jalan, tidak ada ide. Dan saat itu aku menghardik diriku, ah payah betul Hilmy ini ternyata. Dan aku paham, aku tidak bisa melakukan semua hal. Mungkin lebih baik aku memikirkan apa yang bisa kulakukan.

*

Saat mendengar sebuah kabar, aku tersenyum kecut. Oh ternyata bukan aku yang terpilih, mungkin tujuan kepilihnya tidak sejalan dengan apa yang akan dilakuin jika aku terpilih, tapi rasanya tidak terpilih itu membuatku jadi berpikir, bisa jadi sebenarnya ada yang payah di diriku selama ini sehingga aku bukan sebuah pilihannya.

Tidak terpilih ini pun membuatku berpikir begitu dalam, tengok sedikit waktu-waktu lampau, apa yang bisa aku perbaiki? Dimana kepayahan aku itu? Aku bertanya ke berapa orang tentang perkara yang menjadi perhitungan kepilih atau tidaknya.

Dan, aku belum mendapatkan jawabannya. Hanya yang kutahu, aku masih payah.

*

Belakangan ini cemas, tapi sungguh tidak terlintas sedikit pun akan apa. Seolah perasaan seenaknya berkata "tidak enak." padahal tidak ada apa-apa. Seperti saat ini, kumerasa, "tidak enak" padahal jika dilihat tidak ada apa-apa yang terjadi.

Rasa cemasku terkadang membawa efek ke berbagai macam hal, jadi berpikir ke segala hal yang terlibat olehku, jadi berpikir apa ada yang salah sehingga timbul rasa cemas ini? Apa harapan-harapan yang kupanjatkan terus terjaga dalam keoptimisan? Padahal serahkan saja semuanya ke Allah bukan? Dan seperti apa yang pernah kuceritakan ke temanku, kita hanya ditahap ikhtiar melibatkan Allah dan berdoa, hasilnya itu terserah Allah.

Tapi, sepertinya 'iidrak biallah ku sedang turun, padahal baru kemarin dibahas.

*

Kepantasan. Bicara tentang mendapatkan sesuatu ada hal yang selalu sering dilupakan. Terkadang aku selalu terfokus akan keinginanku, sampai aku lupa sama kata-kataku sendiri yang ku sebut di atas. Permasalahan keinginan itu adalah apakah kita pantas mendapatkannya?

Hematnya, sebuah keinginan akan terwujud jika memang kita pantas mendapatkannya.

Dan banyak sekali hal yang selama ini membuatku berpikir ulang, emang aku pantas mendapat keinginanku itu ya? Ah, sadar diri atau terus berusaha? Tentu saja, semua orang berkata, berusaha saja dahulu, soal terwujudnya soal pantasnya, Allah yang tahu.

Walau sebuah candaan, jika seseorang berkata tentang sebuah keinginan, dan bahkan pembahasannya terlampau bermimpi bagiku, aku langsung menampiknya.

Ya kali.

Walau tentu saja, seharusnya tidak begitu kubersikap.

*

Menghargai. Sebenarnya aku tidak tahu apa rumus agar seseorang dihargai atau seseorang menghargai orang lain. Sederhananya yang sering kudengar, jika kamu menghargai orang lain, maka kamu akan dihargai. Tentu saja itu hukum sebab-akibat yang adil, walau kenyataannya tidak selalu berjalan seperti itu.

Belakangan ini, berkaitan dengan percaya diri, aku merasa sepertinya aku terlalu berisik sehingga melihat omonganku tidaklah penting, karena mungkin saja orang melihat diriku dengan keseharian berama bualan-bualan tak penting, jadi ketika aku bicara penting, itu terdengar seperti bualan-bualanku lainnya.

Ketika aku merasakan prasangka itu, aku merasa payah, dan lebih baik aku diam. Bahkan aku merasa sudah berusaha untuk mendengarkan apa yang mereka ceritakan dengan baik, menanggapinnya sejauh kemampuanku (tidak seperti dulu, aku selalu diprotes tidak pernah dengerin cerita orang), dan tiba berharap bahwa jika giliran aku cerita, aku di dengarkan.

Ternyata tidak.

Semua berlalu begitu cepat ketika aku cerita, sampai aku muak sendiri cerita dengan manusia.

Mungkin, muakku akan berakhir ketika aku menemukan orang yang mau mendengarkan ceritaku lagi, bahkan cerita paling tidak penting untuk didengar.

*

Pesimis. Aku ingat betul dalihku. Aku selalu pesimis, agar aku tidak kecewa jika gagal dan merasa amat senang jika berhasil.

Tapi, Allah bersama dengan prasangka hamba-Nya. Aku perlahan merasa payah, pesimisku bukan lagi menjadi agar tidak kecewa, tapi menjadi membuatku ogah memulai, apapun itu, aku terlalu berpikir amat jauh, hingga jika hemat perhitunganku, itu sangat sulit terjadi. Padahal, perhitungan manusia tidaklah sama dengan perhitungan Allah. Dan Allah akan menolong hamba-hamba-Nya.

Kemarin, aku ingin menulis sesuatu, tapi karena aku melihat sudah banyak orang hebat yang menulisnya. Aku urung, laptop yang kubawa ku tutup rapat-rapat, aku tersenyum, dan tidur malam itu ternyata berantakan. Badanku tak karuan, rasa tidak nyaman itu membuat tubuhku yang bertindak memberi tanda.

Jika aku melihat teman-teman yang dulu sama-sama masih tak tahu apa-apa sekarang sudah terbang tinggi kemana, membuatku semakin pesimis menatap kehidupan ini. Payah bukan?

*

Tidak lebih baik. Aku ingat terakhir kali aku mengerjakan suatu hal, dari setahun lalu mungkin. Lalu aku mengerjakan hal itu sekarang, bahkan rutin setiap hari hingga sekarang. Tapi, aku merasa tidak mendapati perubahan, aku hanya mengulang apa yang aku kerjakan setiap harinya.

Aku seperti terbatas. Aku tidak lebih baik dari hari ke hari akan pekerjaanku itu, sampai aku pikir apa aku pantas melakukan pekerjaan ini, padahal dunia menuntutku lebih. Tapi aku hanya bisa memberi seadanya, bahkan dengan kepayahan akan tanggung jawab.

*

Saat aku melewatkan suatu hal dan membuat orang memberi kesan tak baik kepadaku, aku langsung rapuh. Menjadi pria melankolis memang tidak mudah, aku sangat sensitif, bahkan dulu temanku sering bilang aku adalah pria "PMS" pada waktu tertentu. Dan mereka memang benar, aku tidak bijak dalam bersikap akan suatu hal yang berbanding terbalik dengan apa yang kuharap. Dan sikap tak bijak itulah yang membuat aku dijuluki pria "PMS".

Tapi yang ingin ku titik beratkan disini adalah memberi kesan ketika diriku lalai dalam tanggung jawab, bahkan membuat orang lain merasa aku tidak penting.

Mungkin aku harus belajar berkata tidak, atau lebih berotak lagi dalam bersikap.

*

Aku yakin, tulisan payah ini sangat amat payah. Sampai sekarang aku lupa, apa ya yang sebenarnya bisa kulakukan dengan baik? Karena diriku terlalu payah.

Padahal di saat bersamaan, ada banyak orang dengan membusungkan dada percaya diri akan kemampuan dan segalanya, tentu saja yang kumaksud orang-orang yang baik dan terus optimis bahwa Allah memberikan terbaik atas hasil-hasil ikhtiar hamba-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu