Sabtu, 28 April 2018

Pembolak balik hati

Aku mulai dari rasa takutku, maafkan aku blog aku harus menunpahkan semua dikepalaku disini. Sebenarnya aku tidak terlalu kecewa, tapi terkadang saat begini ingin rasanya update di instagram atau semacamnya.

Namun, aku rasa aku harus menumpahkannya disini, dan dengan terpaksa pertama kalinya aku nulis sebuah postingan melalui handphone.

Aku sedikit kecewa dan bersyukur, beberapa hari yang lalu aku merasa sudah harus terbiasa jauh dari teman-temanku, dengan sebuah alasan yang cukup rahasia. Aku berusaha untuk selalu biasa aja ketika mereka berkumpul tanpaku, aku harus berusaha. Tapi, ternyata mereka berkumpul dan terasa sangat asing bagiku, ya, kamu bertemu, dan bertegur satu dua lalu berpisah. Rasanya kecewa mereka bersama dan aku tidak, tapi apa boleh buat, aku yang memilih seperti ini karena aku harus terus melangkah.

Biasanya, rasa kecewa ini kulimpahkan pada storygram dan menjadi sedikit kekanakkanakan, tapi, aku mohon blog, mengertilah. Semoga Allah maha pembolak balik hati ini memberiku kesabaran dan ketabahan. Aku tidak menganggap mereka salah, aku hanya berusaha.

Jumat, 27 April 2018

1 2 3 4 5 menit

Aku menunggu, 1, 2, 3, 4, 5 menit atau lebih?

Entahlah, aku menunggu di depan dua pintu toilet di sebuah masjid dekat kantorku--Badr. Aku menunggu, aku menahan dan menunggu. Aku pun penasaran, aku membuka pintu yang disebelah kananku, dan...



kosong.

Aku Ternyata Masih Anak Kecil

Setelah terbenamnya matahari itu, aku bangkit dari kursiku dengan mulut dipenuhi air mineral dan tangan kanan memegang gelas beling berwana putih susu. Lalu seorang berseru.

"Hilmy, minumnya duduk!"

Aku tersentak jongkok, lalu seorang menambahkan. "Itu jongkok bukan duduk."

Aku merubah posisi lagi untuk duduk. Akhirnya orang lain lagi menyahuti "Kayak lagi nyuruh anak kecil aja ya." sahutnya dengan tertawa ringan.

Sore menjelang malam itu membuat aku berpikir, ternyata aku masihlah anak kecil.

Lalu aku tersenyum sendiri menulisnya.

Kamis, 26 April 2018

Mengantuk

Tiga hari ini, atau empat hari ini? Entahlah, tapi aku merasa sedih. Kesedihan pertama adalah aku bermimpi sangat terasa, aku merasa mimpi itu benar-benar riil sehingga aku terus terbayang-bayang setelahnya.

Kedua, aku merasa sangat lelah, aku terlelap begitu dalam, sebangun dari tidurku aku merasa aku benar-benar lelah dan terasa berat sekali tubuh ini.

Ketiga dan paling penting, aku telat subuh terus, dari perlahan yang telat sedikit hingga telat begitu banyak. Aku merasa setan benar-benar kuat sekali dibalik 3 hal kesedihan itu.

Terpikir olehku, dosa apa yang membuatku terlelap begitu dalam. Aku berdoa kepada-Nya agar seperti semula lagi.

Lalu sekarang aku mengantuk.

Selasa, 24 April 2018

Cinta itu menyenangkan bukan?

Ketika aku baru selesai menulis satu tulisan di blog, aku melihat daftar tulisanku yang ternyata sudah sangat lama dan aku tersadar kalau aku sudah vakum cukup lama. Tapi, bukan itu yang ingin aku bicarakan, aku melihat jumlah view yang semakin menyedihkan, tak masalah, tapi aku baru tersadar satu hal.

Tulisan tentang 'Cinta' sangat sering dilihat oleh kalian. Memang cinta itu selalu menyenangkan bukan?

Aku adalah kesunyian

Aku tidak tahu sejak kapan aku mulai sangat berisik. Lalu aku terdiam untuk berpikir, apakah aku bisa sedikit tenang dan tidak berisik? Aku mulai risih dengan diriku sendiri, aku merasa aku terlalu terlihat seperti sedang mencari perhatian. Apakah sebenarnya aku memang mencari perhatian?

Aku tidak tahu sejak kapan aku mulai menjadi orang perasa. Saat hal yang aku lakukan ditegur dengan baik-baik tetap saja jadi pikiran bagiku. Aku tidak tahu, apakah aku benar-benar perasa?

Terkadang, berjalan di tengah sepi, berjalan di tengah semilir angir malam, berjalan di trotoar jalan membuatku merenung. Tidak, tidak hanya dua diatas itu, banyak sekali. Aku pikir aku menyukai kesepian, tapi terkadang aku merasa menjadi gila jika terlalu sunyi.

Aku mulai berpikir, aku suka keramaian tapi aku adalah kesunyian.

Tapi, aku sangatlah berisik, dan aku pikir aku sedang mengganggu orang yang sedang menikmati kesunyian.

Senin, 23 April 2018

Instropeksi Diri Sendiri

Seperti sedang disentil. Saat itu aku hadir ke acara Islamic Book Fair yang diadakan setahun sekali, aku berhempitan, berkelana dengan padatnya pengunjung yang ada untuk menemukan panggung utama.

Aku beberapa kali salah panggung, aku kira panggung utama di dalam gedung, ternyata panggung utama di gedung bagian luar. Aku berdiri disana, seorang aktor dan sekaligus pendakwah sedang berbicara tentang bukunya #mncrgknskl yang akhirnya aku beli.

Pria itu menjelaskan, sebelum jauh kita melihat kesalahan pada orang lain atau masalah-masalah dari luar, seharusnya kita sudah instropeksi diri, apakah kita telah berbuat dosa dan semacamnya yang mengakibatkan masalah itu? Itu menarik dan semakin menyadari betapa pentingnya tabayyun.

Setelah Pria itu menjelaskan cukup banyak, akhirnya dia menyudahi dan saatnya berganti ke Ustadz Salim A Fillah. Sebelum itu, ada seorang MC yang berbicara, dia melakukan promosi sebuah baju koko dari usaha baju yang dimiliki Ustadz Salim A Fillah, baju koko itu akan dibagikan gratis dengan syarat. MC berkata. "Siapa yang semalam atau bertahajud khusus untuk mendoakan saudara kita di suriah atau palestina atau umat muslim yang menjadi korban?"

Lalu tak ada seorang pun mengacungkan tangannya hingga membuat MC terheran termasuk diriku. Lah? Dalam hatiku, aku kira, selama ini kita menyerukan kekecaman kepada mereka yang membantai umat muslim, teman-teman lainnya telah mengirim doa untuk mereka yang terdzalimi, bahkan orang-orang yang mengenakan baju palestina atau semacamnya, aku kira doa merekalah yang paling keras. Aku juga lalu menginstropeksi diri, bagaimana dengan diriku? Apakah aku juga telah mendoakan? Apakah ternyata aku cuman berkata, mengumpat, para penjajah itu tanpa mendoakannya? Bukanya senjata terhebat orang muslim adalah do'a? Tapi tetap juga diimbangi dengan daya upaya.

Akhirnya ada seorang yang mengacung dan dia dipersilahkan ke panggung untuk mengambil baju koko tersebut. Aku tersesnyum dan seolah disentil halus. Aku berkaca kebelakang, selama ini, aku sering kali berkata ingin ini ingin itu, berkata pada orang lain akan keinginan aku itu, rasanya aku cerewet sekali hanya karena ingin ini ingin itu ke orang-orang termasuk orang tua. Aku pun sedikit demi sedikit berupaya dengan tindakan. Tapi, setelah momen diatas itu, aku berpikir. Apa pernah aku berdoa ingin ini itu tersebut? Jika pernah, seberapa keras doaku itu, seberapa kuat aku bangun malam aku mengadu kepada Yang Maha Pemberi dan Maha Pengabul?

Saat itu aku tertawa sendiri.

Jumat, 20 April 2018

Orang tua adalah teman baik?

Jika menilik dari kehidupanku, aku hanya 5 tahun kurang lebih tinggal bersama ibu dan ayahku--aku panggil ummi dan abi. Ya, 2 tahun pertama aku bersama orang tuaku, 3 tahun SMK aku bersama orang tuaku. Sebelum tiba SMK aku dibesarkan nenek dan alm. kakekku yang aku sayangi sekali, dan sisanya aku hidup lepas sendirian diluar sana~

Aku baru sadar, setelah banyak hal, banyak perbincangan ditengah hujan deras saat aku berkunjung ke bandung di dalam Lab Multimedia tercinta, aku berbincang dengan seorang adik kelasku yang tidak bisa balik karena terjebak hujan.

Perbincangannya begitu pan jang, tapi ada hal yang baru aku pahami betapa pentingnya orang tua yang dekat dengan anaknya dan merasakan seperti sebuah pertemanan diantara mereka.

Adik kelasku menjelaskan, sebaiknya, ketika pertumbuhan remaja orang tua begitu dekat dengan anak, untuk anak cowok dekat dengan ibunya, untuk anak cewek dekat dengan ayahnya. Kenapa? Agar mereka tidak melencengkan dan selalu merasa punya temen untuk bercerita, untuk berpergian atau semacamnya dan menghindari dari namanya bergantungan ke lawan jenis atau bergaul ke lawan jenis.

Dari situ aku tersadar, apakah selama ini aku malas untuk berjumpa keluarga, atau berpergian dengan keluarga, dan bahkan tak sedikit aku mementingkan main bersama teman-temanku karena ini? Karena aku tak dekat dengan mereka, hanya 5 tahun aku serumah dengan mereka dan aku pikir aku tidak sedekat itu, tidak menganggap mereka layaknya teman dekat. Bahkan, aku takut untuk cerita hal yang lebih detail dan bahkan suka aku galaui, karena dikepalaku terbayang mereka akan menceramahiku berjam-jam, berhari-hari, mungkin selama hidupku dan tak luput memarahiku.

Terkadang, aku ingin sekali bercerita hal-hal yang mungkin aku ceritai ke teman-temanku, tapi ummiku sudah begitu lelah ketika aku pulang kerja, tak jarang ummi berbaring sakit. Sekalinya terdapat momen itu, aku rasanya takut, kata-kata itu rasanya tak bisa keluar dari mulutku. Akhirnya aku menceritakan hal umum yang terjadi di kantor saja. Tidak lebih dan tidak kurang. Paling-paling berujung cerita dari keluh kesah nenek aku terhadap ummiku.

Terkadang aku suka membayangkan, pergi berdua bareng ummiku, sekadar makan atau bermain, atau mungkin berbelanja? Semoga Allah memberikan rezeki untuk itu. hehe. Ya, tapi ada momen dimana, aku merasakan kehangat keluarga, ya momen itu bener-bener aku rasai dan aku rasanya tidak malu bermain atau berpergian bersama keluarga. Bahkan aku rasanya pengen gelendot ke ummiku terus.

Kisah itu adalah perjalanan jauh ke solo yang dilanjutkan ke cepu untuk berjumpa nenek dari kakekku. Ada suatu momen ketika adik kecilku Ahmad sedang bete, lalu bertemu semacam timezone. Lalu kita beli koin dan main bersama, rasanya bahagia sekali, bersaing bersama adikku yang cowok yang tingginya sudah mengalahiku dan ternyata aku kalah dalam permainan lempar bola basket. Lantas bermain bowling-bowlingan bersama abiku dan banyak hal lainnya, yang selama ini hanya bisa aku tontoni ketika aku berkunjung ke tempat seperti ini dan rasanya sayang uangnya untuk dikeluarkan hanya agar bisa bermain seperti ini.

Tapi, saat itu rasanya beda, uang seolah tiada artinya, rasanya aku bahagia bisa bermain ini itu bersama adik-adikku. Rasanya, terdapat kehangat keluarga dan betapa menyenangkannya pergi bersama keluarga saat itu. Namun, sayang itu hanya sebentar. Karena perjalanan itu tidak panjang lalu aku dan adikku berpisah, dan sekarang aku sendiri lagi untuk menulis ini.

Beberapa waktu aku pulang, aku memaksakan diri untuk belajar bersama ummiku, walau kadang malah cerita-cerita dan aku males belajar. Tapi, rasanya aku ingin dekat dengan mereka dalam waktu yang lama agar aku merasakan hidup keluarga yang begitu ramai.

Bahkan dulu, adik-adikku sering mengeluh. Rasanya seperti aku tidak pernah ada, mereka merasa tidak punya kakak laki-laki tertua. Aku tidak sedih saat itu, karena aku juga merasa seperti tidak punya adik. Sekarang, semua berpisah, tidak ada yang seatap. Perjalanan masing-masing semoga membuahkan pelajaran dan kebaikan-kebaikan yang bisa dibagikan ketika bertemu kelak.

Namun, bukan berarti orang tua dianggap teman lantas kita bisa seenaknya, kalian tahu definisi teman yang tepat seperti apa untuk orang tua kita. Semoga orang tua kita sehat selalu dan diberikan kemudahan segala urusannya tentu tak luput semoga masuk ke surga-Nya. Aamiin.

Aku diantara Orang Hebat

Jika kamu ingin menjadi hebat, maka bergaul dengan orang hebat, agar kamu terbawa, agar kamu berpikir, sebagaimana orang hebat itu melakukan kehebatanya.

*

Seperti habis gelap terbitlah terang. Mungkin ini yang sedang aku rasakan. Pertama kali aku terjun ke sektor pekerja profesional aku merasakan begitu mengerikannya dunia pekerjaan, begitu menyeramkannya kekuasaan, begitu menyebalkan bekerja sama dengan orang yang sama-sama tidak tahu tapi terkadang sok tahu--contohnya aku.

Aku merasakan begitu miskinnya saat itu, walau gaji-ku sangatlah besar. Ternyata oh ternyata, representasi miskin kaya bukanlah dari uang semata, tapi bagiku sekarang adalah wawasan, keilmuan, kebahagiaan, dan ketaatan kepada-Nya.

Kenapa aku bisa bilang begitu? Layaknya habis gelap terbitlah terang, saat aku merasakan begitu suramnya diriku yang tak bisa berkembang dan merasa tak tenang, tak jarang kesepian, aku diberi jalan pintas oleh Allah--aku menganggapnya ini sebuah jalan pintas untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Banyak masalah berkecamuk saat itu terutama dari segi pekerjaan dan relasi rekan kerja. Sehingga aku tak sanggup melihat tipu daya disana-sini dan memutuskan untuk pindah. Aku tak pernah berpikir untuk pindah kemana, terpikir olehku hanya aku harus pindah. Anehnya, aku dari dulu tidak pernah terpikir untuk pindah ke kantor yang sekarang aku bekerja, tapi ternyata aku disini sekarang--tempat aku bekerja--dan aku rasa ini jalan pintas yang Allah berikan.

Disini aku merasa banyak orang hebat yang perlu aku selidiki, yang perlu aku telusuri lebih jauh, tak sedikit orang-orang loyal disini yang sering membuatku bertanya-tanya. Aku pun tak sedikit berdecak kagum dengan orang-orang disini, jika bicara dari sisi agama jangan ditanya, seperti yang aku bilang, aku seperti mendapat jalan pintas. Aku mendapatkan lingkungan yang mendukung dan mendorongku untuk lebih baik dan jauh dari maksiat. Walau aku merasa tetap melakukan maksiat, semoga aku bisa segera menghilangkannya. Aamiin.

Selain dari agama, dari latar belakang kampus terlihat jelas, level orang-orang disini aku rasa lebih baik jika menilik dari kualitas kampus asal mereka, lalu dari cara mereka berpikir, dari cara mereka mengerjakan sesuatu hal, dan aku menjadi merasa tidak ada apa-apanya. Bahkan tak jarang aku kena salah karena aku memang masih terbilang baru bekerja--alibi. Perbedaan yang signifikan itu membuatku berpikir bahwa lingkungan adalah metode yang tepat untuk mendorongmu atau berpacu pada sesuatu hal.

Lingkungan yang baik membuat kita terpaksa baik, mungkin awalnya terpaksa, lama-lama ketagihan, lalu hingga akhirnya merasa aneh atau mengganjal ketika berbuat keburukan. Begitu pun lingkungan yang soleh, kita pun terpaksa soleh. Lantas begitulah pemaknaan bagiku untuk menjadi orang hebat maka dapatkan lingkungan yang berisikan orang hebat, karena secara tidak langsung kita terpaksa harus menjadi hebat. Permasalahannya adalah dari ikhtiar kita, seberapa kuat kita bertahan dan mengikuti arus kebaikan ini, karena menjadi sesuatu hal yang baru perlu kerja keras yang ekstra bagiku.

Mungkin selama ini aku merasa cukup hebat dengan apa yang aku lakukan selama ini, aku merasa orang akan berdecak kagum akan jerih payah yang aku lakukan. Tapi ternyata, aku tidak ada apa-apanya, aku tidak merasa bersenang-senang melakukan semua itu--aku pikir dan yang aku takuti aku hanya ingin dipuji untuk itu semua. Disini aku melihat ketulusan dan usaha yang ditanam pada setiap orang-orang akan apa yang mereka kerjakan, tentunya tidak lupa bahagia, sehingga mereka melakukannya yang terbaik dari semua yang terbaik dimiliki. Mungkin itu pun yang selama ini bermasalah dikepalaku, apakah aku sudah melakukan terbaik? Terkadang aku merasa aku sekenanya saja atau seselasainya saja. Padahal melakukan terbaik adalah pembelajaran untuk menjadi lebih baik bukan?

Masukkan adalah Keluaran

Belakangan ini, hal-hal mudah sekali viral, sehingga perdebatan banyak sekali berdatangan. Hal yang paling menyita waktu belakangan ini adalah perihal kata fiksi. Ya, ini begitu ramai dibincangkan perihal runtuhnya Indonesia dan perang 2030 yang tertulis dari novel fiksi. Setelah perdebatan tentang itu dilakukan, ternyata menambah trending topik atau hal viral lainnya, yaitu pernyatan Rocky Gerung terhadap kitab suci adalah fiksi.

Boom.

Semua tersontak, bagi lawan dari pihak Rocky ini adalah sebuah waktu yang tepat untuk melakukan balas dendam dalam pencemaran Islam (dimana pihak lawan menganggap Al Qur'an yang dimaksud oleh Rocky dan merasa sedang dilecehkan). Bagi pendukung pihak Rocky ini harus diklarifikasi agar pihak lawan tidak serta merta menafsirkan sebagaimana hawa nafsu mereka. Peperangan ini terus berlangsung, hingga semua binasa (?)

Ya, aku tidak ingin bicara banyak seoal peperangan kedua kubu tersebut. Aku tertarik, tapi bagiku, mereka hanya merebutkan tahta. Tak ada bedanya seperti serial game of throne, atau anime-anime lainnya salah satunya adalah Magi (karena sedang kutonton).

Hal menariknya adalah bahwa disini menjelaskan, seseorang berpikir sesuai apa yang mereka lihat, mereka pelajari, mereka rasakan, dan akhirnya mereka pahami. Sehingga apa yang keluar dari mulut mereka ya hal-hal yang mereka terima selama ini.

Pernyataan Rocky yang mengundang tanya pun dijelaskan dengan bijak oleh Ust. Adi Hidayat, dan dari penjelasan itu dapat disimpulkan. Bahwa apa yang kita ucapkan adalah apa yang kita terima selama ini. Jadi, mudah sekali memang melihat kualitas pembelajaran atau inputan seseorang dari perkataannya. Sehingga terbentuklah pemikiran orang itu sesuai apa yang mereka ucapkan. (ini nulis apa aku bingung sendiri membacanya)

Selain inputan sesuai dengan keluaran, Ust. Adi Hidayat pun menjelaskan soal perkataan yang dapat dibagi menjadi dua (kalau tidak salah seperti ini), pertama untuk nasehat, dalam konteks nasehat yang dilihat adalah omongannya yang menjuru kebaikan mau siapapun yang berbicara. Konteksnya adalah isi dari omongannya. Berbeda dengan buah pemikiran atau ideologi, jika bicara pemikiran maka yang dilihat adalah siapa yang berbicara? Sebagaimana hal ini terlihat, pemikiran Rocky bahwa kitab suci itu fiksi dapat diartikan kitab suci yang dimaksud adalah kitab suci yang selama ini Rocky yakini atau maknai sehingga beliau dapat menyimpulkan kalau kitab suci itu fiksi.

Allahu'alam jika ternyata Rocky memasukkan Al Qur'an dalam tujuannya, tapi memang ini hal sensitif, tapi yang ingin digaris bawahi adalah apa yang kita keluarkan adalah apa yang kita terima. Begitupun anak-anak, setelah kemarin mendapati kelas pembelajaran anak-anak di sesi sharingnya badr--kantorku. Ternyata, inputan anak-anak dimasa kecil sangatlah penting untuk wawasan dia dan pemahaman dia selama hidupnya.

Beberapa hal menarik adalah, anak-anak tidak boleh dibatasi dalam berpikir, penting bagi kita membiarkan anak dalam cara berpikirnya. Kedua, bagiku yang tidak kalah pentingnya adalah sentuhan riil, karena dengan melihat benda riil, inputan anak bisa membuncah tumpah ruah, bahkan yang mungkin tak kita pikirkan. Benda riil itu dapat memicu anak untuk berpikir dan bertanya-tanya lebih banyak, misalkan--contohnya jeruk--ketika kita kasih gambar jeruk maka yang dilihat dan ditankap anak adalah lingkaran, oranye, kulitnya bolong-bolong. Tapi ketika kita memberikan anak buah jeruk secara langsung, anak dapat berpikir jauh, berimajinasi tinggi, ya dia bisa saja mengupasnya, tahu jeruk berserat, tahu jerut asam, tahu jeruk memiliki biji dan banyak lainnya. Maka inputan sangat penting untuk perkembangan anak.

Bicara inputan dan ouputan atau masukkan dan keluaran juga sangat terasa di dunia kerja. Kakak kelasku yang merupakan CEO timku sedikit curhat kepadaku tentang keluh kesahnya dia--yang merupakan seorang anak IT dengan kemampuan yang dibilang diatas rata-rata--harus pusing dan secara tidak langsung hampir menyerah ketika harus memikirkan produknya dalam segi bisnis. Dia berkata kurang lebihnya adalah lebih baik dia mengurusi fitur-fitur di aplikasi dari pada dia harus memikirkan bagaimana bisnis aplikasi yang ia pimpin.

Maka terkadang bagi beberapa orang dengan bekerja yang tidak sejalur passsionnya mungkin, tidak sejalur apa yang dia pelajari selama ini mungkin, dia harus belajar lebih giat lagi untuk memahami dan menikmati apa yang dia lakukan (bagiku), tapi jika sudah sejalan, mungkin masalahnya adalah pengembangan dirinya hingga dia tidak merasa bosan.

Jadi perbincangan yang cukup panjang ini dari seorang tokoh hingga kerjaanku adalah ... Ya, jadikan inputan atau masukkan diri kita adalah sesuatu yang berkualitas dan baik sehingga keluarannya serupa karena mereka berbanding lurus. (tiba-tiba aku merasa mengajari orang-orang). Mungkin terlihat menggurui, tapi ini bentuk refleksi diriku sendiri bahwa pentingnya bagiku untuk membaca, menonton, mendengar, berdiskusi dan banyak hal lainnya yang berkualitas, apa standar berkualitas? Mungkin kitalah yang bisa mengukurnya sendiri, terpasti ialah Al Qur'an, hadist, sejarah kenabian, dan semacamnya agar kita tidak mudah paham dengan tipu daya setan dan berkata layaknya setan pula.

Menulis Itu ...

Tiba-tiba aku menggebu-gebu, memang hal paling membuat kamu semangat untuk melakukan sesuatu itu melihat orang lain melakukan hal serupa dan ternyata mereka melakukannya begitu menyenangkan. Tersentak diri merasa ingin ikut bersenang-senang dengan melakukannya, dengan segera.

Aku segera beranjak dari kasur tipis di kantor sebelah--jadi aku tinggal dikantor, dan kantor memiliki 2 tempat--aku beranjak dengan nafsuku untuk menulis ini. Setelah aku membaca beberapa hal, entah kenapa aku merasakan menyenangkannya membaca dan serunya menulis hal-hal tentang kehidupan yang kita alami, mungkin dulu aku pernah melakukannya, dan sekarang aku rasanya tak ingin terlewat.

Menulis untuk mengenang, terkadang aku berpikir, waktu terlampau begitu cepat, rasanya sayang jika semua itu ada diingatan dan mungkin kadang terlupakan. Jika menilik cerita-cerita lama, cerita-cerita lama orang lain, atau sejarah-sejarah, menulis tuh cara paling keren untuk mengenang atau bahkan dikenang. Tentunya untuk pembelajaran kehidupan.

Menulis untuk merasakan, terkadang aku menyadari, ketika aku mengingat hal, aku hanya seperti berada dalam hal tersebut, tidak, aku tidak benar-benar memahami hal tersebut. Tapi, renungan diperjalanan malam alangkah indahnya dituangkan dalam tulisan, tanpa sadar setiap merangkai susunan kata-kata mengandung renungan dan penghayatan. Bagaimana kita berpikir, bagaimana kita bertindak. Rasanya aku sangat malu, benar-benar malu akan apa yang pernah aku perbuat jika aku harus merenung, tapi terkadang aku tak sadar melakukannya. Apa kalian pernah begitu?

Menulis untuk berbagi. Ada beberapa orang menulis berpikir hanya untuk merefleksikan dirinya, tapi mereka terkadang tak sadar, mereka sedang berbagi hal penting yang tak pernah orang lain pikirkan, tak pernah orang lain rasakan. Menulis layaknya mengajak, membantu sedikit menerangkan untuk membayangkan hal yang begitu dahsyat. Kebaikan salah satunya. Terkadang hal sepele itu adalah kebaikan besar yang tak pernah dirasakan oleh orang lain.

Menulis untuk membaca. Aku sering, ya tepatnya itulah alasan aku membaca. Eh ini kebalik gak ya? Tapi biar keren gitu judulnya, jadi aku tulis menulis untuk membaca. Aku adalah pemalas, orang yang super pemalas, aku tidak suka membaca kata-kata begitu panjang, tapi mudah untukku dialog singkat layaknya komik. Lalu aku terpaksa membaca, karena aku harus menulis, karena aku ingin menulis, setidaknya aku harus membaca. Karena inputan akan menghasilan keluaran (sebenarnya pagi ini aku ingin menulis perihal ini, tapi malah nulis beginian. Sudahlah). Jika aku tidak membaca, maka aku akan miskin, ya, miskin akan tulisanku, akan pikiranku, dan akan wawasanku.

Sebelum aku melanjutkan, biarkan aku sedikit tenang dengan nafsu yang menggebu-gebu ini. Mengaduk teh hangat ternyata cukup menenangkan ditambah seruputan manis diujung bibir yang membuat perut sedikit terisi... Aku lapar.

Menulis untuk cukup. Aku merasa dengan menulis terdapat rasa syukur yang begitu mendalam. Bagaimana kita merasa bahwa apa yang kita dapatkan yang kita rasakan adalah sebuah kenikmatan jika kita perhatikan dengan baik-baik. Maka dari itu aku pikir dengan menulis aku bisa merenungkan bahwa ternyata yang aku lakuin atau kejadian yang terjadi terdapat hikmah yang berharga, entah itu ketika sedang sial, atau sedang bahagia. Rasanya semua itu sangat berarti dengan menuliskannya, hingga kamu mungkin tidak ingin melewatkannya untuk ditulis, bukan begitu? Hayo, seberapa banyak draft yang kamu punya?

Menulis untuk kaya. Tadi cukup, kok sekarang kaya? Aku pikir, menulis adalah sebuah amalan, jika terkandung kebaikan, maka amalan bagi kita bukan? Mungkin, kita tidak pernah tahu, seorang berubah menjadi baik karena tulisan kita. Karena pengalaman berharga kita untuk jadi pembelajran untuk orang lain. Kita tidak pernah tahu, tapi tetaplah menulis untuk kebaikan.

Menulis untuk memurnikan. Terkadang aku begitu kesal, lalu aku menulis, dan rasanya lebih tenang. Tentu saja hal lebih tenang adalah berdoa dan bercerita kepada Allah, tapi ini mungkin salah satu ketika kamu tidak memiliki temen yang bisa diceritakan apa saja. Menulis terkadang membuat tenang, karena apa yang kita pikirkan tersampaikan, walau entah siapa yang membacanya.

Menulis untuk menang. Pertarungan dunia tak luput dari tulisan, menggiring opini, memantapkan ideologi, menulis adalah bentuk upaya untuk sebuah kemenangan sebuah pemikiran yang tertanam. Maka tak sedikit tulisan berisikan tentang siasat, daya dan upaya, serta berbagai macam hal untuk memenangkan sesuatu.

Aku tertawa ketika bernafas sebentar untuk menulis ini, aku pikir sudah cukup. Sebenarnya banyak makna menulis bagiku, tapi aku seperti orang kesurupan untuk menulis ini, dan sebenarnya lagi aku tidak ingin menulis soal menulis (nah loh, nuliscepetion), tapi apa daya, otak meminta ini dituangkan, karena tanpa sadar (baru aku sadari), menulis begitu bermakna bagiku.

Mungkin kalian punya definisi menulis lainnya, dan tidak masalah, karena ini masalah sudut pandang.

Rabu, 18 April 2018

Aku Terjaga

Pagi ini aku masih terjaga dari bangkitnya subuh tadi. Setelah beberapa hari ini dengan nikmat tertidur setelah subuh, kali ini sungguh berbeda. Aku terjaga dan melanjutkan ceritaku sebelumnya, aku masih membayangkan bagaimana sebuah humanis dalam waktu 3 menit dapat menyentuh kalian.

Aku masih terjaga, segelas susu tidaklah cukup. Tapi, sudah cukup untuk membuat perutku sakit pagi ini. Selalu, walau aku tahu pasti begini akhirnya kenapa terus aku lakukan? Lalu ketika aku berpikir layaknya maksiat, jika aku tahu akhirnya begitu kenapa terus aku lakukan? Dan beratnya kehidupan semakin terasa, jika mengingat maksiat itu pernah ada. Lantas terpintas aku berpikir, mungkin dosa yang membuatku merasa sulit akan suatu hal.

Lalu aku masih terjaga, dan menyelesaikan curhatan pagi ini, rasanya bekerja benar-benar tidak bisa disisihkan sedikit waktu untuk bercerita dijemari tuts keyboard ini. Sungguh menyita, pagi ini, aku terjaga, dan aku harus menyelesaikan naskah itu. Setidaknya, kita semua bisa memulainya nanti dengan segera. Insya Allah.

Aku masih terjaga, namun mataku sudah merana. Tapi, aku harus terus berkalana, didalam kepalaku sudah terpancar cerita itu. Tapi... Masih tapi... Mataku semakin tak terlihat... Aku mengantuk...

Senin, 16 April 2018

Masih Tertahan

Sepertinya aku belum bisa melanjutkan bagian 3 dari perjalanan mimpiku. Aku seperti sedang tersandung lalu seseorang menggapai tanganku dan membuatku sadar, dunia ini ternyata masih menyenangkan.

Dua hari ini aku sibuk membaca, hal-hal apa saja, dan ternyata menarik. Lalu aku terdiam, dan berpikir. Kehidupanku yang antah berantah ternyata sebenarnya menarik. Sebelum jauh aku berpikir untuk menuangkannya ke dalam tulisan berpuluh halaman-halaman, aku terdiam melihat revisi kerjaan malamku. Lantas rasanya ingin aku meledak dan berkata, ini, sepele bukan? Ya, tapi aku tidak boleh menunda. Sudah banyak hal yang kutunda sehingga aku seperti berjalan ditempat bukan?

Aku selesaikan dalam sejam, aku merasa frustasi, aku masih memiliki hutang tulisan, hari ini aku janji untuk memberikannya. Tapi, selepas menulis judul rasanya semua pikiran yang kutanam seharian membuncah, meledak, berhamburan tak bertemu. Maka dari itu aku, menulis ini. Anggap saja ini sebuah pemanasan, tapi aku sudah kadung panas--karena revisi itu.

Lalu bagiamana kita memulainya? Bismillah mungkin...

Mungkin aku harus menutup kerandoman ini dan kembali memulai menulis lagi.