Sabtu, 27 Juli 2013

Aku Harap Hanya Kalian

Aku harap hanya kalian yang punya keluarga
Aku tidak.

Aku harap hanya kalian yang bahagia
Aku tidak.

Aku harap hanya kalian yang hebat
Aku tidak.

Aku harap hanya kalian yang masuk surga
Aku tidak.

Aku harap hanya kalian yang selalu dilindungi-Nya
Aku tidak.

Aku harap hanya kalian yang merasa segalanya
Aku tidak.

Aku harap hanya kalian yang tertawa
Aku tidak.

Aku harap hanya kalian yang bisa merasakan minum dan makan
Aku tidak.

Aku berharap untuk kalian
Tidak untukku.

Jumat, 26 Juli 2013

Terbumi Hanguskan

Sumber: http://Instagram.com/annabhany
  
Jadi botak itu gak enak, tapi susah juga dijalananin.

  Gue bukan botak seksi, botak kece, atau pun botak imut. Gue botak menggelikan. Seketika rambut gue dibumi hanguskan. Gue gak habis pikir kalau ini bakal terjadi. Dari dulu gue kepengin botak. Dan sepertinya keinginan gue itu bukanlah sesuatu yang bagus.

  Masalah botak, sebenarnya cocok gak cocokan sama bentuk wajah. Beruntungnya, wajah gue gak cocok sama rambut botak. Wajah yang cocok dengan rambut botak, atau botak tumpul, atau juga botak licin, tengok saja Van Diesel dan Theo Walcott.

  Mereka influence gue untuk menjadikan rambut ini botak. Tapi, perkiraan gue salah. Gue gak pantes botak. Gue berasa kaya kehilangan mahkota gue. Layaknya wanita, rambut bagi gue sangatlah berarti. Dari dulu gue juga ngidam rambut panjang.

  Akan tetapi gue terlalu labil ternyata. Waktu kecil, gue pernah nangis berhari-hari dan kesel sama kakek gue gara-gara dicukur botak. Gue benar-benar ngamuk saat itu, rasanya gue itu menjijikan banget ketika botak. Padahal gak botak juga menjijikan.

  Saking ingin cepet rambut gue numbuh. Ketika kecil gue kerahin semua kemampuan gue, seperti pakai kemiri setiap hari, pakai lidah buaya, ,sering shampoan, dan gesekin kepala ke tinta cumi-cumi. Gue gak tahu dulu itu berhasil apa enggak. Gue sudah membuang jauh ingatan itu. Setidaknya gue sedikit tenang bahwa ada kemungkinan rambut gue cepat numbuh.

  Botak juga membuat gue merasa sensitif. Sempat gue shalat jum'at, gue duduk di depan anak kecil. Anak kecil itu saling bicara. Gue pun akhirnya berburuk sangka dan menyangkal bahwa mereka sedang mengomentari kebotakan gue yang menggelikan ini.

  Gue jadi kesel sendiri, padahal gue gak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Gue pun terpuruk dan tak berani melihat kekaca. Layaknya seorang buruk rupa. Tapi, gue buruk aja. Selain menjadikan gue sensitif, ada efek lagi dari kebotakan ini.

  Gue dicengin habis-habisan sama rekan-rekan twitter dan teman gue lainnya. Mereka gak nyangka Hilmy berponi sekarang botak. Ada yang ketawa geli ada yang juga menjauhi diri gue selama-lamanya. oke itu lebay.

  Ada lagi efek kebotakan ini, (kalau gue ngomong 'kebotakan' ini, rasanya gue kaya ngidam penyakit parah) kepala gue jadi mudah merasakan panas. Ketika gue naik motor disiang hari. Sensasi dengan rambut botak itu cadas abis. Gue berasa kaya Ghost Rider, kepala gue kaya kebakar gitu. Panas cuy.

  Lawan kata panas, dingin. Nah, ketika dingin pun serupa. Rasanya kepala gue baru aja ditiupin angin serta salju-salju yang menyejukan. Gue gak habis pikir kalau ini benar-benar terjadi.

  Well, botak itu pilihan gue. Apapun yang terjadi itu tetap pilihan gue. Walaupun pada akhirnya gue menyesal. Tapi, gue kepengin ulang tahun kali ini serta lebaran kali ini dengan rambut yang berbeda. Yes, Botak!

Rabu, 24 Juli 2013

Kemarin Begitu Ramai

  Entah kenapa sekarang amatlah sepi. Siapa saja tolong jelaskan!

  --

  Balikan keramaian kemarin! Aku merindukannya.

Padahal Kemarin Belum Mandi

  Tapi, banyak yang ngajak foto. :)

Senin, 22 Juli 2013

Keterkaitan Kita dan Alam

  Siapa yang nyangka semua saling berhubungan? Dan kita memiliki hubungan erat dengan yang namanya alam. Firasat, ya. Firasat kita seolah-olah berasal dari alam.

  Hari ini mungkin hari yang apes bagi gue. Berniat mengunjungi rumah temen gue yang sedang bergembira karena sukses masuk STP. Kegembirannya pun menular ke gue, dan gue rada gak sabar tiba dirumahnya.

  Di awal keberangkatan menuju rumahnya. Temen gue yang satu dateng dengan motornya. Gue pun nebeng. Sebelum kami berangkat. Entah kenapa gue mendapati sebuah firasat buruk.

  Gue pikir itu hanya firasat semata. Pas gue jalan tak cukup jauh. Keadaan masih baik-baik saja. Sampai dipersimpangan, macetnya minta ampun.

  Temen gue pun berinisiatif mencari jalan pintas. Dan yak, jalan pintas itu adalah jalan sempit di pinggir kali yang ternyata digenangi air bekas hujan tadi pagi.

  Awal masuk jalan itu sih masih oke juga. Firasat juga gak berkata apa-apa. Pas mendekati seekor anjing, tiba-tiba tuh motor mogok. Sial, parahnya lagi mogoknya pas di sebelah anjing.

  Gue sama temen gue benar-benar panik. Gue ngibrit cari tempat yang gak tergenang air dan jauh dari anjing itu. Dan yak, gue mendapati itu serta motor yang gak bisa nyala.

  Pada akhirnya kami berjalan menenteng itu motor menuju bengkel. Sepanjang jalan yang masih tergenang air, akhirnya gue mendapati bahwa mungkin kesialan ini adalah firasat gue sebelumnya.

  Alam telah memberitahu gue. Tapi, siapa yang tahu terjadi selanjutnya? Kita hanya bersiaga. Dan kita itu terjadi, kita pun hanya bisa bersyukur. Sekarang motornya sudah nyala. Kami pun melanjutkan perjalannya.

  Masalah motornya klasik. Busi motornya basah. Dan kita dengan alam itu saling behubungan dan mungkin itu percakapan kita dengan alam, firasat.

Minggu, 21 Juli 2013

Semi Amnesia

  Beban ketika anda sudah menemukan ide. Lalu terlepas dari kegiatan yang menyita waktu anda untuk menuangkan ide tersebut. Akhirnya setelah anda sudah tidak sibuk--

  Anda lupa apa yang ingin anda lakukan atau sampaikan.

  Pernah kalian mengalami seperti itu? Ya, tentu pernah. Sama gue juga, bahkan sering. Mungkin bisa jadi karena faktor gue yang sudah menua. Membuat sedikit ingatan gue menjadi payah.

  Rasanya menjadi beban. Agak membuat kesel. Grgetan. Pengin cubit pipi gorila deh kalau terjadi kejadian itu. Apalagi ketika ide itu sungguh brilian. Atau kata kata yang ingin lu sampaikan begitu cakap.

  Baru saja gue mengalami kejadian itu. Ketika gue di jalan, gue dapat bahan buat posting ini blog. Selepas perjelanan usai. Gue rasa kena semi amnesia.

  Gue lupa apa yang ingin gue sampaikan di blog ini. Tolong, siapa saja. Kembalikan ingatan sedikit nan penting itu. Bagi gue sih penting. Entah kalian.

  Saran aja, semoga nggak kalian lakuin. Ketika kejadian ini terjadi, jangan dekat dekat siapapun. Karena, apa? Karena anda akan membuat orang lain sedikit kesal.

  Buruknya, bahkan membuat teman anda ikutan mencari kembali ingatam anda yanh hilang sepersekian detik lalu. Parahnya lagi, saking kesalnya anda. Anda bisa membumi hanguskan teman anda.

  Jadi, banyaklah mengingat. Agar memori diotak kalian terbiasa. Jangan inget mantan mulu ya. Apalagi kisah kisah bersamanya. Nanti, sedih.

Kami Bertatapan

  Saat dimana gue lagi melarikan diri dari rumah secara eksklusif akibat permasalahan. Gue pun sempat terdampar di sebuah tempat. Nama tempat itu, rawa panjang.

  Dan beruntung gue, ketika gue mengencangkan tali sepatu. Raisa lewat, dia menatap gue dengan tatapan eksotisnya. Gue pun menatapnya, tak lama kami saling bertatapan. Lalu Raisa pun pergi dengan kencang bersama penumpang lainnya.

  Bukan, bukan Raisa naik mobil umum bersama penumpang. Tapi, Raisa terlihat jelas di sisi mobil bus dengan iklan shamponya. Oh. Beruntungnya hari ini.

Jumat, 19 Juli 2013

Saya Seorang Psikolog? Lelucon!

  Tiba-tiba otak gue berkata. "Kenapa kamu tak masuk psikologi saja?" entah datang dari mana pertanyaan itu. Mungkin datang dari Damarwulan, atau acara naga lainnya. Bisa-bisanya otak gue bisa berkata seperti itu.

  Kenapa? Ya, tahu sendiri gue ini nyaris mendekati sedikit lagi menjadi seorang manusia anti sosial. Gue mungkin nyaris setiap hari ketemu orang itu-itu saja secara langsung. Kecuali, lewat media sosial. Apa mungkin seorang yang jauh dari kehidupan hal layak orang sebagaimana mestinya bisa mengamati orang lain menjadi seorang psikolog?

  Psikologi, entah kenapa gue sedikit tertarik sebenarnya. Apalagi akhir-akhir ini gue sering sekali membaca buku-buku tentang pola pikir dan sikap. Rasanya, hidup itu semudah kita merubah pola pikir dan sikap kita.

  Walau sesungguhnya taklah seperti itu. Pada dasarnya gue suka mengamati tingkah laku seseorang, beberapa waktu jika gue berkesempatan bertemu orang lain selain orang tua gue. Gue pun suka akan sudut pandang yang tak lazim tapi tak menyimpang.

  Kalau gue jadi seorang psikolog, jangan salahkan gue kalau banyak orang menjadi psikopat. Haha. Entahlah. Psikologi sendiri berasal dari bahasa Yunani. Psyche berarti jiwa, dan Logos berarti ilmu. Secara harafiah psikolgi diartikan sebagai ilmu jiwa.

  Istilah psyche atau jiwa masih sulit didefiniskan karena jiwa itu merupakan objek yang bersifat abstrak, sulit dilihat wujudnya, meskipun tidak dapat dimungkiri keberadannya.

  Jiwa seseorang memang berbeda-beda, ada yang mudah terguncang ada yang kokoh bak besi-besi. Maka dari itu, hadirlah seorang psikolog untuk dimintai sebuah masukan tentang jiwa-jiwa yang terguncang. Entah gue lagi baca tentang buku psikolog atau buku kejiwaan.

  Hal yang gue temui adalah, pola pikir dan sikap kalian dapat menentukan masa depan kalian. Entah kenapa kata-kata itu terus melekat di otak gue. Sampai gue terus penasaran sama pola pikir orang-orang sukses. Orang yang sudah beribuan kali jiwanya terguncang namun pantang untuk mengibarkan bendera putih.

  Orang yang sudah tahu manis pahitnya kehidupan dan perjuangan. Mereka menghadapinya dengan sudut pandang mereka yang sebenarnya bisa kita lakukan. Jadi ubah sudut pandang kita atau pola pikir serta sikap kita untuk menatap masa depan lebih cerah.

  Mungkin, gue gak akan menjadi psikolog. Tapi, gue akan selalu mengamati bagaimana mereka 'orang sukses' menantang hidup ini dengan pola pikir serta sikap mereka. Satu lagi, gue sukses. Gak pakai 'akan'. Aamiin.

  Eh, tapi, dibalik kata gak akan menjadi psikolog. Gue gak bisa jamin, siapa tahu gue dengan sendirinya menjadi seorng psikolog. Entahlah. Berharap masih bahan lelucon saja.

Menulislah

"Jika Kau Bukan Anak Raja Dan Bukan Anak Ulama Besar, Maka Menulislah." – Imam Ghazali.

Debat Rezeki

  “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka" - surat Ar-Ra'd ayat 11

  Pernah gue debat sama salah seorang temen gue sendiri. Sebut saja namanya, Baron. Entah kenapa gue sama dia gak sepemikiran. Pada akhirnya kami saling debat dan gue sempat emosi. Bukan gue mau menang sendiri, tapi menurut gue apa yang ia utarakan itu salah.

  Kebetulan, Baron sama kayak gue. Pengangguran setelah lulus sekolah. Sampai suatu ketika perbincangan dibuka. Dia sempat bilang. "Gue mah nggak ngapa-ngapain rezeki datang sendiri."

  Gue yang gak setuju sama dia pun menampiknya. "Gak bisalah, orang tuh harus usaha. Dari mana coba rezeki datang kalau lu gak ngapa-ngapain?"

  Dia pun membalas perkataan gue. "Rezeki datang dari Allah-lah, Mi. Dan kalau Allah telah berkhendak ya datanglah rezeki itu sendiri."

  Sebenarnya gue setuju rezeki datang dari Allah. Tapi, permasalahnnya apa mungkin kita yang hanya berdiam diri saja bisa mendatangkan itu rezeki? Seperti film spongebob gitu? Turun makanan dari langit? Entahlah.

  "Tapi, kalau lu diem-diem doang, gimana coba Allah ngasih Rezekinya? Turun dari langit gitu?"

  Baron menjelaskannya dengan penuh keyakinan. "Bisa aja ada tetangga yang ngasih kita makanan, pas kita ingin makan siang."

  Setelah Baron berkata itu, gue berpikir kembali. Apa mungkin setiap hari ada orang yang memberikan kita makanan? Apa mungkin kita bisa hidup dengan berdiam diri menjadi pengangguran abadi? Gue masih penasaran dan bersih keras tak setuju akan pernyataannya.

  "Emang orang ngasih makan setiap hari?"

  "Lah, ibu gue ngasih makan setiap hari." ucap dia kesekian kali yang membuat emosi.

  Apa kita selamanya terus dikasihi makan oleh orang tua kita? Apa kita terus dikasihi dan dikasihi seperti para pengemis jalanan? Apa Allah suka akan hal itu? Gue mencoba menjelaskan padanya.

  "Tapi, lu inget gak pelajaran kelas tiga? Tentang Etos Kerja? Bagi kaum pria bekerja itu sebuah kewajiban. Bahkan Allah sendiri menyuruh kita jangan terus ibadah, bekerjalah. Pokoknya intinya itu kita harus kerja."

  Baron masih belum nyerah. "Lah, banyak orang pengangguran yang masih hidup. Gak ada yang gak mungkin, Mi. Allah itu Maha dari segala Maha. Jika Allah berkhendak, ya terjadilah."

  Mungkin pembicaraan ini tak akan ada habisnya. Bahkan Baron semakin percaya diri setelah gue bingung untuk berkata apa. Sampai akhirnya gue menemukan potongan terjemahan sebuah ayat yang gue kutip di atas.

  Bahwa sesungguhnya Allah tak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang merubahnya. Beruntungnya gue belum meyampaikan potongan ayat itu keteman gue yang bersih keras bahwa Rezeki datang dari Allah, walau kita tak berusaha pun kita akan mendapatkannya.

  Entah dia belajar ngaji dimana. Memang benar rezeki datang dari Allah SWT. Tapi, hidup ini ada sebuah kata usaha. Dimana usaha itu yang mengantar kita ke rezeki tersebut. Entah prantara rezeki itu dari bos kita, teman kita, atau siapapun disekitar kita.

  Kalau gak salah gue pernah dengar, setiap anak itu punya rezekinya masing-masing. Nah, selama ia masih diasuh orang tuanya. Rezeki anak itu diberikan kepada orang tuanya, layaknya prantara. Pada akhirnya dari orang tua itu diberikan ke anaknya, juga.

  Rezeki memang telah ditentukan oleh Allah. Tapi, siapa yang tahu? Kita hanya disuruh berusaha menggapai itu rezeki tanpa mengecilkan hal lain. Contohnya seperti ibadah. Punya harta banyak jika tak ibadah. Sama saja bunuh diri, ataupun sebaliknya. Hidup memang harus seimbang.

Kamis, 18 Juli 2013

Sesuatu Tak Bisa Dihapus

  Apa yang tak bisa dihapus? Mungkin jika ada pertanyaan seperti itu gue akan menjawab, kenangan! Ya, bagi gue kenangan itu gak bisa dihapus. Bagi gue pribadi loh. Beda hal kalau tiba-tiba gue amnesia atau tiba-tiba gue insomnia. Atau anemia. Pokoknya yang ia-ia... Yakali.

  Tapi, di setiap kenangan nggak hanya terpampang kata 'manis' banyak juga kata 'pahit' atau 'asin' tapi, kalau kalian lihat wajah gue. Pasti, bakal dapat kenangan manis itu. Percaya deh sama Allah. Jangan sama gue. :)

  Selidik punya selidik. Gue punya kenangan manis-manis pahit. Dan pada akhirnya gue nyesel telah mengukir kenangan itu. Gue gak pernah terpikir kalau dia itu bakal jadi sahabat gue kelak. Sekarang gue mikir, kalau dulu apa yang gue perbuat itu ngebuang pemahaman gue selama ini.

  Ya, sebab akibat gue pernah memendam rasa padanya. Sampai akhirnya gue khilaf kenal dekat olehnya. Dan sekarang tak beruntungnya gue jadi sahabat dengannya. Kenapa tak beruntung? Karena, gak seasyik yang kalian kira.

  Namanya sahabat, dimana gue bisa berinteraksi dengan segila dan seseru mungkin. Tapi, kalau lagi ngumpul ada dia. Ruang gue buat menggila jadi berkurang. Bahkan nggak bisa. Hal lain yang buat gue merasa minder kalau lagi ngumpul adalah, gue diledekin mulu sama dia.

  Ya, lama-lama gue mikir. Dia itu sahabat gue atau bukan? Walau dekat tapi rasanya asing. Mungkin gue nyesel pernah memendam hal itu. Sikap dia ke gue juga berbeda dibanding ke sahabat gue lainnya. Ya, pokoknya gue sama dia kaya saling hati-hati.

  Maka dari itu gue merasa kenangan satu itu membuat gue menyesal, walau sempat terbilang manis. Tapi, manisnya berubah menjadi pahit. Dengan seiringnya waktu. Pada akhirnya gue menegaskan kepada sahabat gue yang lain, meminta pada mereka untuk tak membedakan sikap gue ke dia atau sebaliknya atau juga kepada yang lainnya.

  Kan gak adil aja kalau gue sama dia terasa asing. Sementara yang lain udah kaya saudara sendiri. Seandainya gue bisa ngehapus kenangan itu. Gue pikir gue akan tetap membiarkannya. Karena, jika kenangan itu terhapus gue gak tahu apa yang terjadi sekarang?

  Entah berbeda, atau tak saling kenal. Atau jadi musuh atau banyak lagi kemungkinan yang akan terjadi. Pada akhirnya gue bisa pasrah dan mencoba memperbaiki keadaan. So, menyesal itu gak guna setelah gue pikir-pikir.

Senin, 15 Juli 2013

Menunggu Apa Kamu?

  "Sedang apa dirimu." Tanya seseorang

  "Menunggu."

  "Menunggu apa?" Tanyanya semakin penasaran.

  "Menunggu ajal."

  Hidup cuman sekali. Hidup adalah kata yang bisa didengar sebagai menunggu ajal. Permasalahannya bukan ajal, tapi apa yang kamu perbuat selama menunggu ajal?

  Terlalu banyak orang pasif. Mereka hanya menunggu. Entah menunggu rezeki, jodoh, atau mantan pacar untuk balikan. Mereka yang menunggu dengan pasif pasti mengalami gejala jenuh.

  Apa hal yang tak disukai manusia? Menunggu! Tapi, kenyataannya kita sedang menunggu. Menunggu ajal kita. Apakah kalian merasa bosan ketika menunggu? Tentu! Karena, kalian hanya terdiam.

  Selagi menunggu ajal ada baiknya berbuatlah sesuatu yang baik sebelum kamu menunggu panggilan ke surga atau neraka. Jangan jadi penunggu pasif yang membuang waktu.

  Hidupmu terlalu rugi, jika hanya berdiam diri ketika menunggu. Karena waktu adalah uang. Jadikan waktu menunggumu menjadi sebuah uang atau kebaikan.

  Selamat menunggu semua. Menunggu ajal yang tak tahu kapan datang.

Perasaan Bersalah Menghantui

  Gue memacu motor gue secepat mungkin. Ketika mobil polisi tepat berada dibelakang gue. Gue tahu kesalahan gue, gue emang salah. Tapi, hidup ini bukan video game.

  Bagaimana jika gue tertangkap? Kalau video game enak, masih bisa play again. Lah gue? Gue menjauh terus dari mobil polisi. Tapi, mobil polisi itu terus mendekati motor gue.

  Gue gak bisa lepas pandangan dari kaca spion. Sial, mobil polisi semakin dekat. Gue semakin panik. Habis sudah sisa umur gue di penjara. Sampai akhirnya gue mendapati mobil polisi itu.

  Mobil polisi itu belok dan tak memburu gue lagi. Gue bernafas lega. Setelah gue pikir, polisi itu bukan ngeburu gue ternyata. Tapi, perasaan bersalah ini.

  Mobil polisi itu hanya sedang menuju tujuannya. Sementara tanpa disengaja di belakang gue, yang kebetulan pula gue telah melakukan kesalahan. Dan bisa berurusan dengan polisi.
  Plat motor gue sudah kadaluarsa delapan bulan.

Seseorang Bertanya Cinta Kepada Saya

"Apakah kamu dulu mencintainya?" Tanya orang itu sekonyong-konyongnya.

"Tentu."

"Kenapa?" Tanya lagi.

"Apakah aku harus menjawab pertanyaan yang tak bisa kujawab?"

"Oke, sekarang apa perasaanmu padanya?" Kembali ia bertanya.

"Entahlah, aku menyesal."

"Kenapa?" Semoga ini pertanyaan terakhirnya.

"Karena dia sahabatku." Kataku mengakhirinya.

Jumat, 12 Juli 2013

Dua Ribu Rupiah

  Gue pikir setiap pekerjaan itu mulai. Dan merupakan sebuah komponen yang sangat penting. Walau itu hanya komponen sekecil kutu kupret. Apa yang lu kerjain cintailah. Kaya gue, gue lagi berusaha mencintai kerjaan gue yang baru selama bulan puasa.

  Gue jadi kurir Pizza. Walau terlihat gak elit, sebenarnya gue sempat beberapa kali harus merasakan kenikmatannya. Jadi kurir Pizza memang gak bikin kita kaya, tapi ada perasaan tersendiri yang membuat kita merasa lebih berguna dari pada pengemis jalan raya.

  Ya, kebetulan keluarga gue lagi mencoba peruntungan jualan Pizza. Namanya, Family Pizza. Kebetulan pula menyediakan layanan delievery. Dan karena itu gue pun jadi agen delieverynya yang kebetulan gue itu seorang pengangguran yang taat.

  Suatu hari nyokap gue kedapatan orderan. Gue pun diantar bokap, gue sama bokap sudah berpikir bahwa yang beli pizza orang itu. Yang tak lain anaknya merupakan teman gue. Nyokap nulis alamatnya adalah N2 No. 5. Sementara prasangka bokap gue M No.5 yang adalah rumah temen gue.

  Gue ke rumah M No. 5 gue panggil temen gue, gue kasih tuh Pizza. Gue kasih dengan wajah polos dengan rintik hujan yang menerjang kepala gue. Temen gue yang kebetulan menyambut dan menerima beranjak masuk dan menanyakan kepada nyokapnya.

  Dan ternyata, itu bukan Pizza buat rumahnya. Ternyata bener N2 No.5. Dengan segenap malu, gue beralih mencari itu rumah. Ketemu rumahnya, tapi ternyata itu rumah panti asuhan. Apakah mungkin? Bokap gue sih nggak percaya. Gue juga.

  Kita nyari rumah Blok N yang sama nomornya dan gak ketemu. Pas balik ke rumah dan di telpon lagi. Ternyata alamatnya M2 No.5 yang deket banget dari rumah gue. Berarti buat apa gue muter-muter ke blok N yang ternyata berada di ujung sana? Oh tidak.

  Selain pengalaman itu, gue juga punya pengalaman lain ketika menjadi kurir. Yak, gue mendapatkan tips. Mendapatkan tips dari seorang pria yang memesan pizza gue. Gue anterin tuh barang, anak kecil yang nyambut. Gue beri tuh pizza, doi minta uangnya ke nyokapnya.

  Eh bokapnya yang keluar dengan uang seratus ribu. Gue gak ada kembalian, doi masuk lagi dan keluar lagi dengan uang gocap. Pizza yang kebetulan harganya 42 ribut ditotalkan itu, gue kembaliin 8 ribu karena dia ngasih 50 ribu.

  Nah, pas itu seketika ribet banget dalam ngitung uangnya. Eh, orang itu ngasih gue dua ribu rupiah, yang artinya kelebihan itu. Gue pun mengucapkan terima kasih dan cengar-cengir sendiri. Akhirnya gue dapat tips. Dua ribu rupiah. Bangganya...

  Ya, walau cuman jadi kurir. Emang seru kalau dijalani sepenuh hati.

Mas, Itu Sendal Saya!

  Pernahkah kalian wahai umat muslim merasakan hal serupa seperti saya. Sendal ketuker ketika anda usai melaksanakan Ibadah Shalat di Masjid. Beruntung sih, dari pada sendal kita raip tanpa adanya ganti. Walau nanti kelak bakal diganti oleh yang Maha Kuasa.

   Sory, habis ceramah bawaannya religi mulu jadinya...

  Suatu hari, ketika shalat Jum'at, perasaan gue sih oke aja. Cuaca mendung, bawaannya jadi enjoy kemana-mana. Gue shalat dengan menaruh sendal abu-abu slop tepat di barisan paling belakang. Gue masuk ke masjid dan berniat untuk Ibadah.

  Selamat ceramah gue benar-benar serius memerhatikannya. Gue shalat berusaha sekhusu mungkin. Gue yakin gak bakal terjadi apa pun setelah ini. Karena, gue pikir ini hari yang bagus. Selepas gue bangun tidur sebelum shalat Jum'at.

  Pas mau pulang, bokap gue yang pada awalnya bareng sama gue nyuruh gue mempersiapkan pesanan khotib di rumah. Gue sih oke, pas gue cek sendal. Lho? Sendal gue mana!? Terlihat ada sendal mirip kaya gue. Tapi, gue yakin itu bukan hak gue dan bukan milik gue.

  Terpaksa gue pakai sendal bokap gue. Yang jelas-jelas beda sama sendal gue. Pas gue ngambil motor dan keluar dari lingkungan masjid. Gue mendapati sendal gue dipakai seseorang, ya gue yakin itu sendal gue, pasalnya firasat gue mengatakan seperti itu.

  Kebetulan dia di belakang gue, naik motor juga ngeboncengin tiga orang anak kecil. Setiba gue pun masuk kedalam percakapan yang membuat gue pengin buka puasa rasanya. Gue bertanya dengan sopan.

  "Maaf, mas. Itu sendal kayanya punya saya deh. Mungkin sendalnya ketuker. Sendal mas taruh dimana ya tadi?" tanya gue.

  Orang itu ngelirik sendal gue, yang jelas-jelas beda dengan sendalnya. Dan mungkin dia nggak sepenuhnya denger perkataan gue. Tampangnya memang agak 'tablo' kasarnya begitu. Wajahnya pun dibuat ketus. Ia menjawabnya. "Saya taruh dirumahlah!" setelah itu dengan perasaan tak bersalahnya dia melengos pergi begitu saja meninggalkan gue.

  Gue benar-benar emosi, rasanya dalam hati berkata. "Degan menanti degan... Es Degaaan..." Gue pun tiba di rumah dan menceritakan ini pada orang rumah. Dan mereka tertawa. Gue pun ngebawa pesanan khotib dan kembali ke masjid.

  Sampai di masjid, ternyata gue salah paham. Gue gak harus ke sana dan bawa pesanannya. Khotibnya nanti bakal ke rumah sama bokap gue. Gue pun gondok, gara-gara sendal otak gue jadi terpengaruh hal-hal ghaib yang jahat nih.

  Gue hanya bisa tersenyum geleng-geleng. Pada akhirnya gue putus asa dan pakai sendal milik orang lain yang ketuker sama sendal gue. Gue pasrah, gue bawa tuh sendal ke rumah sambil prihatin. Sendal dimana kamu berada? Kita bukan di sinetron 'Sendal yang tertukar' kan? Bukankan?

  Masalahnya adalah, bukan sendal gue lebih keren dan mahal dari pada sendal milik orang itu. Masalahnya itu, sendal dia masih lebih bagus dari pada sendal gue. Masih ada listnya dan mendinganlah dari pada sendal gue yang antah berantah kaya habis di bom atom.

  Gue kasihan aja sama orang yang ketuker sendalnya. Nasibnya sangat buruk harus ketuker sama sendal gue. Pesan yang bisa diambil dari kisah ini adalah, bawa sendal gembel aja. Ketuker gak rugi. Tapi, jangan lu yang nuker. :)

Apa Cita-Citamu, Nak?

  Jangan heran suatu masa ada seorang anak kecil akan berkata kepada orang tuanya akan cita-citanya. "Cita-citaku kalau sudah besar ingin menjadi Admin Akun ternama atau Buzzer!"

Tamat sudah.

Rabu, 10 Juli 2013

Api Cemburu

Apa kamu pikir aku tak tahu?
Aku mengintaimu
Tepat dari hati ini
Kumeraskan panas api

Kupikir kamu t'lah berubah
Menjadi seseorang tak kukenal
Oh, sahabat.
Jika kelak kamu punya teman baru.

Tolong ingat, aku cemburu padamu
Jangan lupakanku
Aku akan terus membantumu
Walau hanya malam menghantui

Ilmu Orang Berbeda

  "Bego lo! Gitu aja gak bisa." Hardik seseorang.

  Apakah kalian pernah dengar kata-kata diatas? Kata itu memang familiar. Apalagi jika kita sedang melakukan sesuatu yang tidak bisa kita lakukan, apalagi saat di depan orang yang begitu pintar dan menganggap orang lain hanyalah seorang pecundang.

  Gue juga sering kena muncrat kata-kata. Rasanya denger kata itu, otomatis dalam hati gue berkata 'Mentang-mentang bisa.' dengan pandangan sinis, hati penuh luka dan emosi menggebu-gebu. Gue gak bisa memungkiri itu.

  Siapa saja yang terkena kata-kata itu bakal emosi dan betenya minta ampun. Beruntung bagi orang yang sabar dan bisa menahan emosinya. Jika orang yang dihardik itu ternyata seorang emosional yang tak terkontrol? Tamat sudah.

  Bukan tak mungking perkelahian terjadi. Dan, urusan menjadi semakin panjang. Begitulah kita. Terlalu mudah melontar kata-kata. Apalagi bicara dengan ilmu dan menyepelekan kemampuan seseorang. Jujur saja gue gak suka sama orang yang sok pinter dan sombong.

  Menurut gue pribadi. Ilmu seseorang tak bisa dibandingkan dengan orang lain. Karena, tak mungkin mereka menyukai ilmu yang sama. Okelah, misalkan mereka sama-sama suka fisika. Dan sama-sama belajar giat, lalu hasilnya berbeda. Itu berarti daya tangkapnya kurang. Dan tidak bisa dibilang bego.

  Atau mungkin orang yang daya tangkapnya kurang itu ternyata memiliki hal lain yang dikuasai. Jadi, ia tak benar-benar fokus pada bidang -fisika- tersebut.

  Gue pernah mention-an sama seseorang. Dia anak komunikasi. Terus beberapa saat ketika gue mention-mentionan sama dia, topiknya agak mengarah ke komputer. Ya, otomatis gue lebih sedikit menguasai. Dan dia si Anak Komunikasi pun berkata seolah-olah dia itu menjadi bego dan gak ngerti apa-apa.

  Gue sih nggak nyalahin dia, toh dia bukan fokus ke komputer. Gue bilang sama dia, setiap orang itu memiliki passion tersendiri untuk mencari ilmu. Ya, ada yang suka komputer, ada yang suka fisika, matematika, kimia, psikologi, dan banyak lagi deh.

  Jadi, misalkan seseorang tak bisa melakukan sesuatu. Jangan langsung mengambil keputusan dia seorang yang bego. Pertama, tanya dulu apa kesukannya? Apa dia pernah mempelajari hal yang ia lakukan sekarang? Jika ternyata jawabannya melengseng dari hal yang dilakukan. Otomatis dia tak bersalah.

  Misal aja gue, oke gue komputer bisalah. Tapi, pas disuruh ngurus ikan, disuruh ngurus keuangan. Gue nihil. Tapi, kalau gue terus belajar gue yakin pasti bisa. Jadi seseorang gak bisa menilai kemampuan seseorang begitu saja.

  Apalagi yang juara akademis, dia gak bisa ngeremehin orang-orang yang terlihat biasa-biasa aja. Karena, siapa yang tahu ternyata dia orangnya kreatif? Sebaliknya, orang yang kreatif atau aktif dan tak pinter akademis. Tak perlu minder.

  Kita punya dua sisi, kelebihan dan kekurangan. Allah sudah mengaturnya. Kita tak bisa memaksa bisa akan semuanya. Tapi, kita perlu mensyukuri semuanya. Jadi, hati-hati dalam berkata. Jika kalian menghina gue, misalkan. Gue akan buat kalian menjadi sapi panggang pada kisah yang bakal gue tulis. :))

  So, lihat orang dari kelebihannya. Kalau orang itu gak bisa? Bantulah, jangan mencelanya. Semua orang punya prospek ilmu yang berbeda. Walau tujuan sama, tapi tak semua orang memiliki standar yang sama. Siapa tahu orang itu punya prospek ilmu di suatu bidang lainnya.

Senin, 08 Juli 2013

Perjuangan Sia-Sia?

  Rasanya orang berjuang itu susahnya bukan main. Gue gak bisa ngeremehin orang-orang yang benar-benar berjuang untuknya atau pun untuk orang lain. Perjuangan banyak rintangan dari diri sendiri sampai hal kecil apapun yang menghalangi.

  Diri sendiri? Ya, terkadang kita harus berjuang menghadapi diri sendiri. Rintangan sebenarnya ada di diri kita sendiri, dan kita harus berjuang melawan diri kita. Lebih tepatnya rasa malas dan rasa ragu untuk melangkah.

  Setelah perjuangan kita membutuhkan hasil. Nah, hasil ini yang suka bikin kita dag-dig-dug bagi para siswa yang berjuang untuk ujian kenaikan kelas atau masuk universitas. Pokoknya hasil perjuangan juga membuat kita tersenyum atau cemburut.

  Nah, kebetulan gue baru dapetin orang yang sama-sama berjuang untuk dapetin universitas terbaik dan dambaan mereka. Namun, cara perjuangan mereka berbeda. Dan hasilnya siapa yang nyangka?

  Jadi gue punya temen, pertama anggap aja A sementara kedua B. Nah, yang A tuh belajar mati-matian sebelum tes masuk tertulis perguruan tinggi negeri. Si A belajar tiap hari, kurangin main walau godaan menghampiri. Pokoknya terus belajar deh.

  Si A berambisi mau masuk salah satu unversitas terbaik se-Indonesia. Maka dari itu ia berjuang dengan belajar. Sementara si B. Dia malah nyantai, nomor duakan ujian itu. Bisa dibilang dia nyaris nggak belajar. Perbedaan A dan B begitu kontras.

  Namun, hasil setelah ujian. Oh, sial. Mungkin karena Si A terlalu berambisi universitas terbaik dan sementara si B berambisi universitas yang gak kalah bagusnya, cuman masih dibawah ambisi universitas A. Atau mungkin karena jurusan mereka yang peminatnya berbeda.

  Ketika cek kelulusan. Si A yang berjuang mati-matian ternyata enggak lulus. Dan si B yang nyantai malah keterima di jurusan dan universitas pilihannya. Otomatis si A merasa kecewa, benar-benar kecewa serasa hidup ini nggak adil. Toh, dia sudah berjuang mati-matian.

  Gue mungkin akan ngerasain yang sama jika jadi si A. Betapa susahnya perjuangan ternyata hasilnya? Nihil. Tapi, menurut gue pribadi. Perjuangan itu nggak ada yang sia-sia. Okelah mungkin lu gak keterima di negeri, tapi siapa tahu Allah nunjukin jalan kesuksesan lu yang lebih cepat?

  Entahlah, selanjutnya memang tergantung bagaimana kita. Intinya perjuangan itu gak ada yang terasa sia, pasti ada hikmah. Dan hidup ini adil. Sekarang boleh merasa nggak adil. Tapi, kita masih bisa berjuang untuk rasa adil kita yang harus kita temui.

  Toh, negeri dan swasta sekarang nggak jauh beda. Walau secara gengsi negeri lebih dibanggakan dan mungkin biaya. Tapi, kembali lagi. Bagaimana kita selanjutnya? Sukses atau tidak itu ada di tangan kita. Bukan di tangan perguruan tinggi.

  Dan..... Gue sendiri dapetnya peguruan tinggi swasta.
 

Kamis, 04 Juli 2013

Rintik Hujan

Bersamanya aku berlari
Menjauh dari ketakutan itu
Kini ia menjadi saksi hidup
Hati yang penuh belenggu ini.

Benci Merindu

"Terkadang yang kamu benci, kamu rindukan"

  Apakah kalian pernah membenci sesuatu? Pastinya itu sering sekali terjadi. Entah kepada suatu hal, atau suatu orang, atau mungkin pada suatu benda. Benci rasanya sudah tak asing dalam kehidupan kita. Siapapun pasti pernah merasakannya, walau sekali pun.

  Benci sangat mudah untuk hadir, terkadang apa yang tak kita ketahui saja bisa begitu teganya kita mengklaim bahwa kita membencinya. Padahal kita belum tahu selukbeluk, atau sedikit pun tentang orang atau apapun itu. Sungguh ironi memang.

  Benci memang sifat manusia yang tak bisa ditinggalkan. Terkadang kita perlu membenci, karena kita tak tahan oleh ulah seseorang. Gue pernah merasakannya waktu magang, walau secara tak lansung orang itu membuat gue jengkel. Dengan mudah gue mengklaim, gue benci banget sama dia. Tekanan batin rasanya.

  Benci juga bisa membuat kita tak karuan. Apalagi jika kita terpaku pada kebencian itu, saat gue magang dan gue benci sama rekan kerja gue itu karena sifatnya yang mengerikan bagi gue. Gue pun akhirnya gak optimal dalam bekerja, karena gue terlalu fokus akan kebencian gue.

  Alhasil, apa yang terjadi? Kerja gue nggak optimal, dan gue pun sering dimarahi oleh pemimpin. Justru orang yang gue benci malah bisa tertawa dibalik kesengasaraan gue waktu itu. Menyedihkan, niat membalasnya malahan gue yang semakin terlena dalam kebenciaan.

  Lalu, apakah kalian pernah merindu? Oh tidak, tidak salah lagi kita pernah merindu. Apalagi para remja masa kini. Rindu rasanya sudah menjadi makanan sehari-hari. Bahkan ada jam-jamnya. Dimana jam mendapat angka yang sama, semisalnya 08.08 berarti huruf H. Lalu, mereka menulis -biasanya di twiter- "H, kangen nih."

  Entah H-nya itu siapa, bisa jadi H itu Hilmy. Ya, bisa saja terjadi bukan? Hanya hati orang itu dan Tuhan yang tahu siapa yang ia rindu. Selain angka-angka itu, para remaja kini sering merindu ketika malam semakin larut saat dimana orang-orang sedang terlelap tidur.

  Jujur saja, gue sering berkeliaran jam-jam tengah malam. Karena, gue kesulitan tidur akhir-akhir ini. Hanya saja gue tak selalu merindu pada malam itu. Gue hanya menyaksikan bagaiman rasa rindu disampaikan dengan tersirat di linimasa jejaring sosial.

  Ketika gue menyaksikan itu semua, entah kenapa para remaja Indonesia mendadak menjadi puitis dan kata-katanya gak bisa dianggap remeh. Terkadang rindu itu membuat seseorang berubah. Entahlah, sedikit gue merasakannya.

  Bagaimana jika kita merindukan apa yang kita benci? Apa kalian pernah merasakannya? Mungkin gue pikir, pasti setiap orang pernah mengalam momen ini. Terkadang suatu hal kita benci dapat menimbulkan rasa rindu ketika yang kita benci sudah tak ada dihadapan kita.

  Gue sering merasakan, terkadang gue benci sama salah seorang lalu ketika orang itu tak ada, memang rasa benci pun tak ada atau tak begitu terasa. Namun, jika gue boleh jujur gue rindu sama orang yang membuat gue benci tak tertolongkan itu.

  Konkretnya saja, gue benci banget sama adikku gue yang cowok. Ya, karena kelakuan konyol sering kali membuat gue berang dan rasanya ingin menghardiknya terus menerus. Tapi, ada suatu hal yang harus memisahkan gue dengannya.

  Adik cowok gue itu harus pergi ke solo untuk menimba ilmu. Setelah gue pikir, gue memang benci banget sama dia. Tapi, disisi itu gue mungkin merasakan kehilangan. Mungkin nggak ada yang membuat gue berang tak tertolongkan.

  Apakah artinya benci dan rindu itu berhubungan? Setelah gue berpikir-pikir, mungkin menurut gue benci dan rindu itu seperti gula dan garam. Terkadang tak enak jiak terlalu manis. Terkadang juga tak enak terlalu asin. Tapi, ketika dipadukan dan menjadi hal yang pas. Rasanya tampak enak bukan?

  Jadi, janganlah terlalu membenci seseorang jika tak mau merindukannya. Tapi, rindu itu tak salah. Selama rindunya itu masih dalam kategori baik. Rindu akan sesuatu yang baik maksudnya. Benci pun tak salah, walau kita seharusnya tak boleh membenci. Tapi, secara harfiahnya manusia diciptakan dan mendapatkan sisi itu.

  Sebaik apapun kita, pasti kita pernah atau telah membenci seseorang atau apapun itu. Jadi, jangan salahkan jika rindu hadir dari balik sisi benci itu. Pernah ada yang bilang juga, 'Awas biasanya kalau benci banget nanti jadi sayang loh'

  Ah, kalau membahas itu mungkin akan panjang lagi. Langsung saja kita klaim, itu bisa saja terjadi. Karena, benci saja padanya bisa membuat kita merindu. Dan jika merindu bisa saja kita sayang bukan? Semua itu terikat, hidup ini terikat satu sama lain. Jangan suka berlebihan dalam suatu sikap. Nanti, kena sendiri ketulahnya.