Selasa, 30 April 2019

Dari Ummi untuk Ahmad

Maafkan umi nak ...

Di saat sakit kau sendiri yang merasakannya. Kau mungkin ingin seperti teman-teman mu. Di saat sakit dijemput untuk pulang.

Tapi, kamu nak ... Tidak ada yang menjemput. Mungkin kamu berfikir, umi dan Abi tega membiarkan kamu sendiri.

Percayalah nak... Umi dan Abi mu tidak Setega itu. Umi dan Abi terus memantau perkembangan mu meski dari kejauhan. Namamu selalu kami sebut dalam doa-doa kami.

Kami juga minta mba dan mas mu yang di solo untuk menjenguknya. Jika tidak bisa seminggu sekali, ya paling tidak sebulan sekali. Sekadar mengajakmu makan sambil bercengkrama. Melepas rindu melipur lara.

Maafkan umi nak... Seorang muslim harus menyelesaikan apa yang dimulainya. Ingin sekali kami memindahkan mu dari asrama ke rumah. Tapi kami berfikir seribu kali baik buruknya.

Maafkan umi nak... Tidak selalu yang kita lihat dan rasakan enak itu baik buat kita. Bisa jadi itu buruk. Kamu sering merajuk untuk pindah sekolah. Tapi umi tidak mengizinkan.

Kamu tahu kenapa nak? Karena umi dan Abi sudah memulai mendidik kamu untuk menghafal Al Qur'an. Kalau kamu pindah, kami khawatir akan hilang hafalan Qur'an mu.

Kamu tahu nak... Menghafal Al-Qur'an itu tidak mudah. Kakak-kakakmu saja iri kepada mu. Kamu bisa menghafal Al-Qur'an sejak dini. Sedangkan kakak mu baru menghafal Al-Qur'an setelah dewasa. Ternyata begitu berat dan banyak rintangannya.

Itulah nak, kenapa umi mu ini tidak memindahkan mu. Kita harus selesaikan apa yang sudah dimulai. Menghafal Al-Qur'an hingga 30 juz.

Bersabarlah nak... Inilah syaa Allah kamu bisa menyelesaikan hafalan Qur'an mu. Semoga di usia muda 12 tahun Allah anugerah kan hafalan Qur'an mu seperti Ahmad dan Kamil. Aamiin ..

Tidak kah kamu ingin memakaikan mahkota untuk umi dan Abi? Dan mengajak kakek nenek dan kerabatnya masuki surga Nya yang penuh kenikmatan.

Maafkan umi nak... Jika kamu terbebani dengan hafalan Qur'an. Cobalah kamu belajar ikhlas dalam menghafal. Inilah syaa Allah kamu akan mudah dan ringan menghafal.

Maafkan umi nak... Jika umi begitu tega melepas mu ke pesantren. Ada sattu asa, Semoga kamu menjadi 'Ahlul Qur'an', keluarganya Allah.

Umi hanya bisa berpesan... Bersabarlah dalam menghafal Al-Qur'an... Bersabarlah menghadapi teman-teman mu.. Berbaik sangka kepada Allah... Allah senantiasa menjaga mu. "Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar."

#syafakallahmasAhmad #umisayangAhmad

Senin, 29 April 2019

Rehat

Seminggu ku terdiam di rumah, rasanya bosan sekali. Kerjaanku hanya tidur dan main ponsel. Sampai-sampai kepalaku sakit gitu karena kebanyakan tengok layar ponsel.

Saking bosannya, aku ngikutin kemana ummi berada di rumah. Ketika di kamar, diriku ke kamar, ketika di ruang tengah, ku pun ke ruang tengah. Sampai akhirnya kita nonton beberapa tontonan sepeti Sexy Killer yang sempat booming, atau lawakan Cak Lontong yang beberapa video kita tonton dan tertawa-tawa sendiri.

Tidak hanya itu, ku pun tidak mau ke rumah sakit kalau nggak bareng ummi. Akhirnya aku pergi ke puskesmas bareng ummi. Terus apa-apa minta ummi yang ngurus. Ku terkadang tidak terbayang saja aku sudah besar, dan jika tidak ada ummi di sisi harus mengurus semuanya sendirian. Aku mengantri sama ummi, antriannya panjang, tapi ummi sibuk sama ponselnya, diriku pun akhirnya sibuk sama ponselku yang membosankan itu.

Selama sakit itu ummi selalu ingetin aku akan makan yang bersih dan bergizi. Katanya aku harus makan yang bersih dan bergizi selama sebulan. Tapi, gimana ya, ketika sudah jauh dari ummi makannya yang bisa di makan dan murah saja, akhirnya makannya asal-asalan lagi hehe.

Setelah seminggu full di rumah, akhirnya aku pergi keluar, aku ke kantor, teman kantorku menikah, sebenarnya aku tidak ingin datang, tapi rasanya aku benar-benar bosan dan sepertinya berkunjung ke pernikahannya menjadi penghilang penat sendiri.

Besoknya lagi akhirnya aku pun memaksakan diri untuk tanding basket, dan rupanya itu pilihan yang salah. Aku main benar-benar kaku dan rasanya lemas sekali. Seusai pertandingan aku pun muntah-muntah karena terlalu memaksakan diri. Dari situ, aku pun merasa kayaknya memang olahraga tidak boleh ditinggalkan--sebelumnya sudah dua minggu aku tidak olahraga sama sekali.

Akhirnya selama seminggu aku fokus membangun diri ini agar lebih fit, Alhamdulillah semua berjalan dengan baik, pertandingan basket di minggu berikutnya pun sangat menyenangkan, walau kalah 3 poin, diriku berhasil memasuki beberapa poin hehe. Dan pertandingan ini pun diriku tidak muntah-muntah haha.

Tapi, rasanya belakangan ini sibuk sekali, berkebalikan ketika sakit. Sampai-sampai diriku belum pulang dan tidak berjumpa dengan ummi yang selama sakit sudah memberikan waktunya untuk membantuku.

Ahmad Bersedih

Tadi ummi ngechat di grup. "Umi nggak tega, Ahmad tadi video call-an terus nangis gitu."

Jadi ceritanya Ahmad lagi sakit mata--kok bisa samaan gitu sih mad?--sakit matanya ketularan teman pondoknya yang sakit mata duluan. Jadilah Ahmad tidak bisa masuk sekolah karena sakit mata itu. Hal itu membuat ummi dan abi panik, apakah harus dijemput atau tidak?Pun saat mencari kabar susahnya minta ampun. Sementara itu teman-temannya yang sakit pada dijenguk bahkan dibawa pulang ke rumah.

Ku hanya tidak bisa membayangkan, ketika seumuran Ahmad, lalu sakit, rasanya nggak tenang banget kalau nggak ada orang tua di sekitar. Bahkan kemarin pun ku sakit seminggu rasanya selalu pengen ada orang tua di sekitar.

Tapi, Ahmad jauh dari orang tuanya di pondok dengan usia yang masih terbilang cilik, entah apa yang dirasakan Ahmad. Mungkin nangis adalah ungkapan yang mampu ia sampaikan. Beruntung Qonita yang berada di satu kota dengah Ahmad bisa menjenguk dan membuat lega ummi serta abi.

Pada akhirnya memang kita butuh saudara kita untuk hal-hal kasih sayang seperti ini. Mungkin jengukan Qonita tidak bisa membantu Ahmad segera pulih dari sakit matanya, tapi dengan adanya Qonita, Ahmad bisa lebih tenang dan merasa aman karena ada orang yang paling ia percayai di sekitarnya.

Ku yang hanya bisa memperhatikan di tengah kesibukan yang semakin tidak bisa kumengerti ini hanya bisa membayang-bayangkan apa rasanya jadi Ahmad dan bagaimana ya nanti Ahmad jika sudah besar setelah melewati semua ini?

Sabtu, 27 April 2019

Langit-langit

Langit-langit berubah-ubah. Harus bersabar untuk tiba di yang cerah, apalagi saat menghadapi gelap berkepanjangan.

:")

Minggu, 14 April 2019

14 April 2019

Sabtu, 13 April 2019

Sabtu dan Rebahan

Mereka yang mengejar ambisi-ambisi. Ku tersenyum sendiri melihatnya. Semangat ya kalian, semoga Allah mudahkan.

*

Mereka yang sedang berikhtiar menjemput jodohnya. Ku tidak sengaja mendengarnya. Semoga Allah mudahkan juga ikhtiarnya. Hihihi...

Jumat, 12 April 2019

Sejenak

Akhirnya ya, nak. Dunia memintamu istirahat sejenak.

Selamat istirahat semua.

Menjadi Mampu dan Dimampukan

"Apa kamu akan berbohong terus untuk menjadi pahlawan?" Kata Saitama di anime One Punch Man.

Lawan bicaranya, King, terdiam dengan ketakutan kalau sebenarnya dia tidak bisa apa-apa dan hanya kebetulan dianggap pahlawan.

"Aku tidak menyuruhmu berhenti. Semua orang sangat mempercayaimu, bergantung padamu, sebagai pahlawan hebat." Lanjut Saitama. "Jadi, kamu ingin mengungkapkan kebohonganmu atau... Membuat dirimu jadi lebih kuat?"

*

Jadi, jika kita merasa tak mampu, ada dua pilihan, menyerah atau membuatnya jadi mampu? Kalian pilih yang mana?

*

Melihat dialog Prabowo dengan Ustadz Abdul Somad rasanya bikin termenung. Harap-harap menjadi jalan mengetuk pintu Prabowo untuk senantiasa menyerahkan semuanya kepada Allah dan menerapkan syariat-Nya.

Sorak-ramai pun para penonton terkagum dengan Ustadz Abdul Somad akan ke tawadhuannya. Tidak ada ambisi di akan dunia ini. Karena dunia ini memang kecil bukan? Dahulu, melihat beliau--Ustadz Abdul Somad--di youtube pertama kali rasanya ragu, tapi masya Allah ternyata beliau yang Allah izinkan menjadi Ustadz pemersatu umat. Semoga lewat nasihatnya ini pada calon pemimpin bisa mengetuk hati calon pemimpin ini untuk menerapkan hukum Allah.

***


Kamis, 11 April 2019

Seperti Sedang Berada Di Sebuah Titik

Seperti sedang berada di sebuah titik.
Jika ditarik ke belakang, rasanya begitu mengerikan dan amat-amat tidak ingin terulang.
Jika ditarik ke depan, tersisa hanya keyakinan. Entah akan ada apa, cuman bisa yakin saja.
Jika ditarik ke samping. Kuingin menghela napas panjang-panjang dan menghembuskannya lebih panjang. Lalu rasanya kayak menyerahkan semua aja deh, nggak mau pusing mikirin gitu.

Seperti sedang berada di sebuah titik.
Jika menyendiri rasanya khidmat dalam renungan.
Jika berdiri di tengah keramaian rasanya sesak. Aku tak sanggup, jadi biarkan aku terdiam saja ya.
Jika melihat keramaian ku jadi ingin menjauh atau menatap semuanya dalam pandangan kosong.

Seperti sedang berada di sebuah titik.
Senang jika hanya melihat-lihat.
Walau terkadang sangat bersemangat saat terlibat.
Tapi, sebenarnya ku hanya ingin terdiam dan melihat lamat-lamat. Kembali dengan renungan yang khidmat.

Seperti sedang berada di sebuah titik.
Jika rebahan dan menatap langit-langit yang lapang, ku harap itu adalah hatiku. Ku harap Allah memberi lapangnya langit itu.
Jika terpejam ku langsung terlelap, rasanya ku benar-benar dalam batas lelah. Sungguh nikmat tidur-tidur itu.
Jika berjalan ku ingin tersenyum, menatap sekitar dengan lamunan. Dunia ini sebenarnya baik-baik saja.

Di sebuah titik yang jika ku jelaskan mungkin itu lelah.
Sebuah titik yang meminta ku untuk terdiam sejenak, lihat apa yang telah dan mungkin akan terjadi.
Lihat apa yang bisa atau tidak dilakukan.
Kuharap ku masih bisa berkata, "Sebuah pencarian tidak mengenal siang atau malam. Tapi, ku sedang berada di sebuah titik itu."

***

Mas Salingga. "Tahu nggak kenapa cewek gendong bayi nggak capek? Tapi kalau cowok baru sebentar aja capek?"

"Apa mas?"

"Kalau cowok gendong bayi pake tangan, kalau cewek pake hati." Sahutnya, kita bersorak wuuu...

*

"Setiap sebulan sekali kita ke kutab alfatih (sekolah). Kata istri jangan nangis kalau ke sekolah itu." Kata Mas Salingga. "Dulu, niatnya ketika anak kita keterima sekolah di kutab, terus kita setiap sebulan sekali pergi bareng gitu deh ke sekolahnya." Mas Salingga terdiam sejenak. "Tapi ya gimana, ternyata anaknya ngga keterima--di kutab alfatih. Jadi ya yang belajar orang tuanya aja." Mas Salingga terkekeh.

Aku hanya terdiam, tak mampu berkata apa-apa.

*

"Bro, gue pusing." Kata Kak Amri, saat itu memang sedang terik sekali matahari, aku pun sebenarnya tidak sanggup jalan ke masjid tapi karena nggak dapat tebengan akhirnya dipaksakan jalan.

"Karena panas?"

"Nggak bro, beneran pusing ini model bisnisnya." katanya yang mungkin sedikit membuatku terkejut, dia orang yang sangat periang dan aku suka kalau dia ngomong, aku pasti ketawa kalau dia ngomong. Tapi, mendengar itu, aku kayak bingung sendiri.

"Jadi mau ganti model bisnis lagi?"

"Menurut lu gimana?"

Aku terdiam, tidak bisa memberi saran. Selain karena nggak tahu, siang itu terik sekali. Aku harap beliau diberi jalang keluar ya...

*

"Gue dikirimin rundown acara pernikahannya." Kata Kak Ardi yang minggu akhirnya in Syaa Allah akan menikah setelah penantian bertahun-tahun dan menahan bullyan juga bertahun-tahun.

Aku yang mendengar itu langsung antusias. "Wih, coba-coba lihat."

Aku pun diberi lihat rundown acaranya. Terus aku tanya. "Tegang nggak?"

"Sebelum dikasih rundownnya biasa aja, tapi sekarang jadi tegang malah."

Kita tertawa. Semoga dimudahkan ya sampai hari H dan sampai surga kelak, aamiin.

*

Ada yang merasa mampu tapi ternyata tidak mampu.
Ada yang merasa tidak mampu tapi ternyata sangat mampu.

Dan aku malu, ternyata aku di bagian bait pertama.

*

Masa lalu membentuk kita sekarang, masa sekarang membentuk kita di masa yang akan datang.

*

Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi ke Bandung sebelum bertemu momentum yang tepat. Terlalu banyak kisah yang berlalu di setiap jalan-jalan kota itu. Terlalu banyak waktu yang di nanti-nanti yang kini sudah tidak berarti. Terlalu perasa sih sebenarnya akunya.

Kemarin ke Bandung, lumayan sedikit rehat dari rutinitas. Berjumpa teman-teman yang ternyata wisuda, berjumpa anak-anak kelas dan angkatan. Bertemu anak lab, nongkrong di kantin, dan ternyata masih banyak orang yang kukenal dan mengenalku. Walau sebenarnya pas ketemu aku jadi kikuk gitu karena nggak deket.

Malamnya main boardgame yang ternyata seru banget. Eh pas main boardgame aku ngelihat keluarga kecil yang isinya ayah, ibu, sama satu anak laki-lakinya. Mereka bermain boardgame gitu bertiga. Ah, entah kenapa aku ingin bilang itu manis sekali. Ada tawa-tawa diantara permainannya. Lucu aja gitu.

Makan di pinggir jalanan Bandung itu entah kenapa sesuatu sekali ya, walau jalanannya itu tidak persis yang selama ini di alami saat di Bandung.

Ke nikahannya Arry, ku terkejut sebenarnya, setelah gagal nikah karena tunangannya belum siap kalau nggak salah, tiba-tiba Ari menyebar undangan pernikahannya. Terkejutnya lagi ternyata kenalannya di instagram. Sebenarnya ku penasaran kronologinya dan sampai bisa seyakin gitu untuk memilih pasangan hidupnya, tapi karena itu hari pernikahannya, jadi aku tidak bisa menodong untuk dirinya bercerita.

Pulang dari Bandung sendirian. Rasanya sudah terbiasa kemana-mana bareng orang, terus pas sendiri lagi jadi keinget pas berangkat atau pulang dari kampus. Sendirian, memandang jalan-jalan Jakarta-Bandung atau sebaliknya. Tapi kali ini aku ketiduran hingga menjelang mau sampai tujuan hahahaha. Kebo.

***

Nemu lagu enak untuk mengawali hari. Terima kasih sudah repot-repot membaca semua ini, teman.




Senin, 08 April 2019

Hai, Dik



Hai dik, ayah ingat ketika kamu bisa menyebut ayah pertama kali. Gigimu yang baru tumbuh itu terlihat amat lucu. Apalagi ketika bunda memakaikan kamu kerudng abu yang menyelimuti kepala mungilmu itu. Saat itu, ayah merasa, tidak ada hidup ini yang lebih penting selain melihatmu berbahagia terus.

Hai dik, kamu sudah mulai beranjak menjadi kanak-kanak sekarang. Ayah ingat ketika kamu pertama kali ayah antar untuk masuk ke taman bermainmu, rumah barumu, cerita yang akan kamu ukir disana. Ayah ingat ketika kamu malu-malu, bahkan kamu menangis memeluk ayah. Ayah ingat tangismu dan enggannya kamu ditinggal oleh ayah. Ayah senang sekali dik, ayah seperti orang terpenting dalam hidupmu. Ayah sungguh senang. Tapi, ayah tahu ini tak akan selamanya.

Hai dik, sekarang kamu sudah remaja awal. Kamu sudah punya banyak teman, kamu yang sibuk belajar ini itu. Sesekali mungkin kita berbincang, tapi waktumu rupanya tidaklah cukup. Perbincangan kita hanya sebatas di perjalanan-perjalanan. Sesekali ayah mengantarmu ke tempatmu kursus, dan perjalanan itu selalu ayah tunggu. Karena di situ, ayah bisa cerita dan kamu pun begitu.

Hai dik, ayah tidak menyangka kamu secepat ini. Sekarang kamu sudah di remaja akhir. Kamu sudah jauh dari rumah. Kamu memutuskan kuliah di perguruan terbaik yang kamu impikan. Kamu sudah tahu akan apa yang harus kamu lakukan. Kamu sudah... Tidak perlu ayah tuntun lagi atau ayah antar lagi. Kamu sudah tahu jalan hidupmu. Ayah paham, waktu kamu sangatlah sedikit, sesekali sapamu tetap ayah tunggu. Ayah beruntung, kamu selalu menyapa ayah sesibuk apapun kamu.

Hai nak, ayah tahu memanggilmu dik sudah tidak relevan lagi. Sekarang, kamu mengabari ayah bahwa ada pria yang akan datang ke ayah untuk meminta dirimu dari ayah. Saat ayah tahu itu, ayah patah hati namun bahagia, nak. Ah tentu saja ayah tidak akan menyulitkan pria itu, ayah tahu pilihanmu adalah yang terbaik. Tapi bukan begitu saja ayah biarkan. Ayah tidak sudi jika dirimu diambil oleh pria yang tidak bertanggung jawab, atau pria yang tidak jelas kehidupannya dan membuat putriku selalu menangis. Walau saat dirimu lulus kuliah dan berkerja ayah harap kamu pulang serta menetap di rumah lebih lama, tapi waktunya ternyata begitu singkat. Kamu akhirnya pergi dengan pria pilihanmu, menjalani kehidupan baru. Pembicaraan kita pun semakin sedikit. Ayah tahu, sekarang, semua telah berpindah. Biarkan pria itu yang menggantikan ayah untuk menajagamu, mengantarmu, mengisi perbincangan di perjalanan, atau saling menunggu sapa. Ayah tidak bersedih, ayah bahagia, saat kamu bahagia. Bukankah dulu ayah pernah bilang bahwa tidak ada di hidup ini yang lebih penting selain melihatmu bahagia? Jadi ayah pun bahagia, nak.

Hai nak, ayah senang mendengar anak pertamamu. Ayah tidak menyangka bahwa rambut ayah sudah mulai beruban. Ayah merasa lucu, rasanya seperti mewarnai rambut. Badan ayah pun mulai sakit-sakitan. Tapi, tidak apa, kamu tidak perlu khawatir, bunda selalu merawat ayah dengan baik. Ayah hanya berharap kamu tengah baik-baik saja sekarang dengan anak mungilmu itu. Sesekali ayah akan berkunjung ke rumahmu. Atau mungkin jika kamu berkenan ke rumah ayah dan menjumpai bundamu yang selalu merindukanmu, nak. Ayah rindu, menimang anakmu, cucu ayah yang lucu itu. Jaga dia baik-baik ya, nak. Biar hari esok dia tumbuh menjadi anak yang hebat seperti dirimu.

Hai nak, ayah sudah sulit sekali mendengar kabarmu sekarang. Apa kamu baik-baik saja? Ayah tidak sedang kecewa, tapi semakin menua ayah merasa semakin rindu semua anak ayah. Termasuk kamu, nak. Jika ada waktu bisakah kamu melipir sejenak ke rumah ayah yang sudah mulai memudar catnya, retak temboknya, bocor gentengnya? Atau, bisakah kita bertukar sapa lewat pesan singkat elektronik? Ayah rindu juga pada cucu ayah yang sudah beranjak remaja itu.

Hai nak, ayah sudah berada di penghujung hidup. Ayah bukannya takut mati, tapi ayah tahu tugas ayah sudah berakhir di bumi yang indah ini. Sungguh indah, apalagi ketika melihatmu tumbuh menjadi wanita yang mengagumkan. Wajahmu selalu menyenangkan dipandang, ayah selalu tenang jika melihatmu tertawa lepas. Ayah tahu, mungkin ayah tidak sepenuhnya bisa menjadi ayah yang baik. Menjadi ayah yang selalu mengiringi tumbuh kembangmu. Tapi, inilah yang terbaik dari ayah. Di penghujung hidup ayah, ayah tidak mau merepotkan dirimu dan lainnya. Biarkan ayah pergi dengan tenang, doakan ayah, ayah hanya meminta itu. Oh ya satu lagi, jaga bunda serta hidup rukun dengan semua saudaramu ya.

Karena, bagi ayah, kalian adalah harta berharga ayah. Ayah akan sedih, jika kalian bertengkar saat ayah tidak ada. Ayah pun akan merasa gagal saat itu terjadi. Ayah mohon, sekali lagi, hidup dengan akur kalian semua ya. Salam untuk pasangan hidup kalian ya.

Ayah pamit.

14 April 1924 - 10 Maret 2014. (Almarhum Kirlan Hadi Susanto)

Mungkin ini bukan tentang ayahku sepenuhnya, tapi disitulah mungkin yang ayahku rasakan.
Mungkin juga ini bukan tentang kakekku sepenuhnya, tapi disitulah mungkin yang kakekku rasakan.

Terima kasih, kalian, para ayah yang telah menjaga selalu anak-anaknya, berkorban waktu untuknya--anak-anaknya, berlelah dan berjuang.

Terima kasih menjadi penentram di kala malam tiba.
Terima kasih telah percaya pada anak-anaknya untuk melanjutkan fase kehidupan. Mungkin, itu adalah momen terberat ayah. Bagaimana tidak? Bertahun dibesarkan lalu hidup dengan orang yang baru dikenal beberapa tahun. Mungkin bulan. Mungkin minggu. Mungkin juga hari.
Terima kasih yang terus menjadi penunjuk arah kehidupan ini.

Dua Dongeng Menjadi Satu

Kuharap kalian membacanya dengan memulai lagu ini dahulu.

Setiap orang mempunyai kisah dongengnya sendiri. Entah melewati naga dari bawah laut atau dari dalam gunung merapi. Entah menelusuri hutan belantara dengan berjuta hewan yang dapat bicara, atau menyelami lautan dengan ikan-ikan berkelap-kelip.

Dongeng itu terus terajut lembut. Walau aku percaya dibaliknya ada bagian menyedihkan atau pun menyenangkan. Aku pun percaya, semua mampu dilalui hingga akhirnya dongeng itu semakin dekat pada dongeng lainnya.

Bagaimana tuan putri yang memiliki istana dengan segala pembantu yang membencinya bisa berjumpa dengan seorang penggembala yang berantakan. Bukankah itu dua dongeng yang berbeda?

Tuan putri yang cantik jelita, walau dibenci oleh para pembantunya selalu ada ibu peri yang mengiringinya dan membantunya. Tuan putri yang dirawat dari sebuah mitos kata orang, yang nyawanya terancam oleh nenek sihir, yang hatinya membeku oleh semua pria, namun perjanjian dengan nenek sihir itu harus dipatahkan. Tuan putri harus berjumpa dengan seseorang yang dapat meluluhkan hatinya yang membeku. Untuk kehidupan tuan putri yang terus berlanjut.

Satu dongeng, tuan putri dan nenek sihir.

Pria yang urak-urakan itu tinggal di sudut desa, jauh dari istana. Banyak sekali berandalan yang mengganggu dombanya. Walau begitu, pria itu gigih dengan menunjukkan tekadnya sebagai sang pemberani. Melawan semua berandalan, walau akhirnya ia yang babak belur. Penggembala itu pun pergi bersama dombanya, untuk menyelamatkan domba-domba yang ia sayangi. Domba-domba yang menemaninya dalam malam-malam yang dingin serta kesepian.

Lantas para domba-dombanya berkata. "Seorang pria sepertimu, harus menemukan sesosok wanita untuk menyudahi malam sepimu."

Pria itu terbangun dari rebahannya. Terbangun dari termenungnya menatap langit-langit tertutup pepohonan hutan belantara. Api unggun itu terguncang, oleh angin yang berhembus akibat terbangunnya pria itu. Pria itu tersenyum. "Seorang pria tak punya apa-apa sepertiku? Bagaimana bisa ada wanita yang mau menghampiriku?"

Para domba itu, tersenyum. Pencarian wanita itu dimulai. Pria penggembala itu dan dombanya pergi menelusuri belantara hutan. Mencari wanita yang tulus mencintainya dan ingin terus menemani hari-harinya.

Satu dongeng, pria gembala dan domba-dombanya.

Takdir-takdir itu merajut dua dongeng menjadi satu. Pencarian-pencarian yang seolah telah mencapai ujung, yang seolah telah berakhir, akhirnya memberikan sedikit cahaya. Kisah itu terus berlanjut. Tuan putri bersama kereta kencananya pergi menuju hutan saat tengah malam tiba agar tidak tertangkap oleh nenek sihir, agar kehidupannya terus berlanjut.

Kereta kencananya itu melaju sangat pesat, kuda-kuda pilihan memacu begitu hebat. Namun, di dalam kereta itu, tuan putri tersendu. Pertanyaan-pertanyaannya belum terjawab, hingga akhirnya waktu ini tiba dan semua seolah telah sirna... Seolah tidak ada harapan.

Tuan putri, tergugu gemetar. Hampir tak mampu berkata-kata. Perjalanan itu tidak bertuju, hanya mengikuti cahaya bulan. Hanya di temani taburan bintang. Mungkin sampai para kuda yang kokoh itu lelah. Atau terjungkil batu-batu yang membuat semuanya terhenti.

Tuan putri masih dalam tanyanya. "Apakah ada pria yang mampu mencairkan hatinya? Yang tulus mencintainya? Yang menginginkannya lebih dari apapun di muka bumi ini?" Ia masih menangis tergugu.

Jauh di istana, nenek sihir mengamuk. Ia pun memanggil para iblisnya untuk memburu tuan putri. Dengan sapu terbangnya, sang nenek sihir melaju pesat bersama para iblisnya. Mereka berpencar, mencium aroma tuan putri yang membekas, yang meninggalkan jejak.

Bagaimana nasib pria penggembala itu? Tentu saja, dia masih berada di dongengnya. Bertahan hidup sendirian rupanya tak mudah. Perutnya keroncongan, wajahnya amat lesu, ia mencari-cari buah yang dapat dimakan. Atau mungkin hewan-hewan yang dapat diburu.

Namun, sekali lagi itu tidak mudah. Ia, terjatuh, tak mampu bangkit lagi, perutnya begitu lapar. Hingga akhirnya seekor domba berkata. "Biarkan aku mati, dan santaplah aku."

Sang pria itu menatap seekor domba itu dengan senyuman tipis yang ia usahakan. "Tidak." Katanya terbata, saking lemasnya. "Tidak ada kisah teman memakan temannya sendiri."

Rintik hujan pun tiba. Angin semakin berseliwiran diantara pepohonan yang rindang. Bukankah itu amat dingin?

Hei, dimana kamu bilang takdir yang dipertemukan? Kedua dongeng itu sungguh menyedihkan, seperti di ujung fajar yang menderitakan di malam yang pekat. Dimana takdir itu? Dimana kebahagiaan itu?

Tidak akan ada pertemuan tanpa sedikit pengupayaan. Walau tidak serta merta hanya dengan cara yang ditentukan, terkadang dongeng itu mempertemukan lewat kisah menuju keputusasaan. Karena, dongeng pikir, selalu ada harapan di balik penderitaan, bukan?

Takdir itu semakin dekat. Saat kuda itu akhirnya kelelahan, saat kaki-kakinya tak sanggup lagi berlari, saat batu-batu menjagalnya. Kuda-kuda itu terjatuh dan kereta kencana itu terlempar jauh ke depan, ke sebuah api unggun yang sebentar lagi padam.

Braaak!!!

Kereta kencana itu hancur, debu-debu mengebul, lalu tuan putri terlihat yang mengaduh kesakitan. Saat bersamaan nenek sihir tiba di hadapan kereta kencana yang telah hancur lantas tertawa puas. Dari dongeng lain, pria penggembala itu terhentak bangkit dengan sisa tenaganya. Ia melihat tepat di hadapannya kereta kencana yang hancur, tuan putri yang mengaduh kesakitan, dan nenek sihir yang terbang di atasnya.

Pria penggembala melihat para dombanya, semua selamat.

Nenek sihir pun berkata. "Waktumu telah habis, dan hatimu masih membeku." Ia tertawa puas. "Tidak ada yang tulus mencintaimu, tuan putri. Pria-pria itu hanya menginginkan kecantikanmu, atau hartamu, atau ... Mungkin dia tidak peduli denganmu, ia hanya ingin kekuasaan menjadi pangeran." Nenek sihir itu tertawa puas.

Tuan putri meneteskan air matanya kembali. Bukan, tuan putri tidak cengeng. Tapi hati terdalamnya yang menjawab. Benar apa yang dikatakan nenek sihir itu. Tidak ada pria yang tulis mencintainya, tidak ada pria yang benar-benar memperjuangkannya. Tidak ada. Semua hanya nafsu yang mengiringi.

Sementara itu pria penggembala menyaksikan dengan kebingungan. Ia bersiaga. Rasa laparnya seolah sirna. Ia hanya melihat punggung tuan putri yang gemetar.

"Para iblis! Ambil nyawa beku tuan putri itu!" Perintah nenek sihir sambil tertawa terbahak-bahak.

Para iblis melesat menuju tuan putri yang tak berdaya.

Lantas, para domba menatap pria penggembala. "Lakukan sesuatu!"

Pria penggembala melihat para dombanya dengan kebingungan. Apa yang harus dia lakukan? Tenaga saja tidak ada, kemampuan bela diri tidak ada, dan siapa juga wanita itu sehingga dia harus membantunya? Tapi, pria penggembala itu tidak cukup naif. Ia berlari, berlari kencang ke arah tuan putri dan mendorongnya yang lantas menghindari terjangan dari para iblis.

Sang putri yang sudah ketakutan itu terkejut saat membuka mata. Ia melihat seorang pria yang sedang terengah-engah. Melihat pria yang amat kucal dan benar-benar tidak terurus. Tapi, tatapan itu seperti membuat jantung tuan putri berdegub kencang.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya pria penggembala itu.

Sang putri yang masih terkejut pun mengangguk ketakutan.

Pria penggembala itu bersiaga, iblis itu pun langsung menerjangnya lagi. Cepat, sangat cepat sekali terjangan iblis itu. Pria penggembala itu menahan rasa takutnya, walau ia tidak tahu harus bertindak apa, ia benar-benar memasrahkan semuanya.

Tiba-tiba cahaya terang menyilaukan semua mata. Cahayanya seperti ledakan di tengah hutan. Sungguh mengaburkan pandangan. Lalu terlihat para peri menahan para iblis itu. Para peri yang tidak terlihat bentuknya, hanya cahaya-cahaya yang amat terang.

Pria penggembala terkejut. Ia mencari semua dombanya, tapi tidak ada. Lalu dia tergugu tak menyangka. Para peri itu? Para domba-domba?

Nenek sihir itu terkejut. Ia tidak menyangka akan ada para peri yang akan menghalanginya. Hanya hitungan detik, para iblis sirna. Cahaya itu amat terang, melahap nenek sihir yang lantas menjerit "Aaaaa..."

Pria penggembala itu masih melihatnya takjub. Setelah semua selesai, terlihat para domba itu dengan wujud cahaya lalu mereka tersenyum dan meninggalkan penggembala itu. Pria penggembala itu berusaha menggapai cahaya-cahaya itu, tapi semua telah pergi meninggalkan terlalu jauh.

Pria penggembala menangis dengan menjatuhkan tubuhnya yang sudah semakin tidak kuat. Pria penggembala itu tidak tersadarkan diri. Seluruh energinya telah habis.

Sementara itu tuan putri masih terkejut. Ia menatap pria penggembala itu dengan bingung, di tengah hutan dan malam seperti ini. Siapa yang dapat menyelamatkan pria penggembala itu? Tuan putri berusaha menggoyangkan tubuh pria penggembala itu. Tapi, semua itu percuma.

Apakah berakhir dengan tragis? Tolong, aku tidak mau membaca dongeng yang berakhir sedih seperti ini.

Pagi menjelang, matahari muncul dari peraduan. Langit-langit mulai terlihat berseri. Sang putri telah menepikan pria penggembala itu. Ia menatap perinya yang telah kembali--yang sebelum tertangkap oleh nenek sihir. "Apakah, pria ini menghentikan kutukanku?" kata sang putri.

Peri itu tersenyum. "Aku tidak tahu, tapi yang jelas pria ini tulus mencintaimu."

Sang putri terkejut. "Bagaimana bisa?"

Sang peri mendadak jadi malu. Wajahnya memerah. "Perjuangannya mencari seseorang yang siap menemani kesepiannya telah berujung. Dilalui tanpa jalan yang pasti, dipertemukan oleh pengorbanan jiwa yang tak mungkin orang lain sanggup hadapi."

Sang putri ikutan tersenyum memerah. "Jadi, apakah pencarianku telah berujung? Apakah aku sudah menemukan jawaban dari semua pertanyaan itu? Apakah ... Dia mencintaiku dengan tulus?"

Sang peri bertingkah aneh saking malunya. "Betul sekali tuan putri. Takdir ini telah tiba. Pria yang tulus mencintaimu. Dalam pandangan pertamanya. Dalam pengorbanannya. Dalam ujung pencariannya."

Sang putri berkaca-kaca bahagia. Ia menatap pria itu dengan senyuman penuh harap. Hingga akhirnya bantuan datang. Sang putri menyeka air matanya. Lalu semua kembali ke istana. Termasuk pria penggembala itu.

Mereka hidup bahagia bukan? Ah aku lega sekali membacanya, biar aku selesaikan endingnya.

Dua dongeng itu telah menjadi satu dongeng baru. Mereka menikah dan hidup menjadi rakyat biasa. Menjalani hari-hari di ladang atau di tempat para hewan-hewan gembalanya. Saling bercerita di bawah pohon-pohon rindang yang berguguran, langit yang memerah di penghujung senja, dan dengan peri-peri yang memainkan suara angin-angin tuk mengiringi pembicaraan-pembicaraan manis itu.

Bagaimana selanjutnya? Apakah akan ada naga-naga dari api atau lautan? Akan ada manusia-manusia kerdil yang licik? Atau-atau... nenek sihir lainnya?

Tidak-tidak, mereka akan kututup dengan berbahagia selamanya. Karena memang mereka akan bahagia selamanya. Pertemuan itu telah menjadi ujung kisah mereka. Dan bahagia kata tepat untuk menggambarkan akhir cerita dongeng ini.

***


Hei, aku tidak tahu bagaimana kamu menikmati hari ini. Aku pun tidak tahu bagaimana kamu menyikapi hari ini.

Sebenarnya, aku hanya ingin bercerita. Dongeng-dongeng yang menjadi satu. Yang tertahan lama di kepala dan hati yang membeku. Mencari waktu yang tepat, dan ternyata hari ini adalah hari yang tepat.

Jika ini sangat menyenangkan, kapan-kapan akan kubuatkan lagi. Mungkin kisahnya yang berakhir tragis. Seperti aku kini, yang melihat kerumunanmu dari kejauhan, sendirian. Yang hanya bisa membayangkan dongeng yang aku ingin ada di dalamnya. Ah tentu saja, akhir yang kuharapkan, kebahagiaan itu kuharap datang untukku, atau mungkin kita.

Terima kasih.:)

Jumat, 05 April 2019

Siang Yang Membingungkan

Siang ini ngechat Salma karena nongol di grup. Terus tiba-tiba di bilang sesuatu... :")

Bil Iman

Waktu itu kelas hari minggu seperti biasanya. Kelasku di atas sementara kelas bawahnya dipakai anak-anak yang mungkin paud atau TK. Lalu begitu saja aku mendengar nyanyian anak-anak yang ... "Kok enak ya?"

Selang berapa lama rasanya nadanya terngiang-ngiang di kepalaku. Akhirnya aku ingat-ingat kata-katanya, sempat frustasi karena nggak ketemu tapi alhamdulillah ketemu hehe.

Ternyada ada dua yang bagus. Ada versi pendek dan versi panjangnya. Selamat menikmati kawan.



Kamis, 04 April 2019

Berharap Tidak Berharap

Aku setuju dengan kelayakan, bercermin, kepantasan, atau apalah namanya yang Hoeda bilang disini. Tulisan itu membuatku berpikir betapa banyak keburukan dan kesalahan yang ku pilih. Betapa mengerikannya pilihan-pilihanku terdahulu.

Hal-hal terdahulu itu tentu saja mempengaruhi diriku sekarang lantas rasanya semakin malu untuk meminta yang baik-baik. Karena akunya saja jauh dari kata baik. Rasanya belum pantas jika suatu hal yang baik menghampiriku. Karena sekali lagi, akunya saja masih jauh, cukup jauh dari kata baik.

Beruntungnya Allah tidak membatasi kita untuk meminta apapun--hal-hal baik. Tapi, tetap saja rasanya malu. Kok bisa ya aku minta yang super duper baik? Sementara akunya saja masih begini. Kayaknya nggak layak atau nggak pantas gitu kalau ternyata doaku yang baik-baik dijabah dan aku mendapatkannya.

Sebenarnya tulisan ini nggak ada bedanya sama tulisan ini. Mungkin memang hal-hal baik yang datang bukan karena akunya, tapi karena doa-doa yang mengiringi aku diam-diam dengan penuh khidmat di waktu yang mustajab. Ya, aku tetap bersyukur jika Allah memberikanku hal-hal baik.

Tapi rasanya tetap malu dan mungkin hal-hal baik itu lebih tepat untuk orang yang pantas mendapatkannya. Sayangnya kita tidak tahu mana yang pantas, itu menjadi hak Allah. Tapi mungkin juga hal-hal baik yang datang mendorong kita untuk menjadi lebih baik dan agar memantaskan diri?

Ya, mungkin saja.

Namun sekali lagi, diriku malu. Rasanya ingin tidak berharap apa-apa dan bilang. "Terserah Allah saja deh mau dikasih apa. Aku manut." Hanya saja ada hal baru lagi, bagaimana caranya ku bisa berserah diri seratus persen dan benar-benar menyerahkan semuanya kepada Allah? Terkadang ada nafsu-nafsu manusia yang terselip. Walau sudah benar-benar ingin menyerahkan semuanya kepada Allah. Walau rasanya udahlah apapun yang Allah berikan aku terima. Selain itu, tetap saja masih tak luput terkait harapan yang diam-diam terpanjat namun tidak terjadi--dijabah. Pasti tetap sulit menerimanya... Walau sebenarnya sudah tidak ingin berharap lebih lagi.

Mungkin ditambah. "Semoga Allah berikan kelapangan dan kesabaran atas segala kehendak-Nya kepadaku."

Huuufff...

Rabu, 03 April 2019

Kontemplasi

Sendiri adalah tempat terbaik untuk berpikir dan berimajinasi.
Berdiskusi berarti menjelajahi belantara kisah, menyingkap dunia.
Mengamati mungkin masih malu-malu untuk ambil peran.
Bermain yaitu membuat kisah bersama-sama.

***

Entahlah, ada hal-hal sulit didefinisikan belakangan ini. Banyak fakta yang baru ku sadari. Terkadang bikin termenung sendiri, terkadang capek sendiri. Berpikir ternyata melelahkan, ku ingin masa-masa intuisi adalah ujung tombakku.

***

Tiba-tiba abi jadi melow. Entah kenapa aku sulit menerima ketika abi sangat berbahagia dan abi melow gitu. Rasanya asing, aneh, ah entahlah. Mungkin selama ini karena abi jarang menampilkan citra itu.

Beruntungnya adik-adikku bisa membantunya--abiku. Mereka--mungkin karena wanita--lebih bisa menerima bentuk kelembutan--melow--abiku. Entah bagaimana tanggapan Aufa. Bicara Aufa, ternyata dia sudah sangat besar. Aku senang mendengar kabarnya terbaru ini.

Baru-baru ini dikabari Qonita kalau dia udah beberapa kali tulisannya di muat di beberapa koran bagian opini siswa gitu. Bagaimana pun itu adalah prestasi penting, sebuah batu loncatan. Mungkin sedikit jawaban dari jeripayahnya selama ini.

***

Well, ternyata menerima sesuatu yang baik itu tidak mudah. Karena kita harus merawatnya, menjaganya, agar tetap baik. Atau mungkin jadi lebih baik lagi.

***

Masih penasaran, bagaimana bisa tiba di level menyerahkan benar-benar semuanya kepada Allah? Belakangan ini masih merasa ada keegoisan sebagai manusia untuk meminta keinginannya terwujud. Keinginan yang belum tentu baik bagi Allah.

***

Ternyata diriku amat kecil, perjuanganku masihlah kecil. Harusnya, aku sadar diri.

***

Terkadang ketika suatu kejadian buruk terjadi sekaligus bersamaan aku suka berpikir. Kenapa ya bisa langsung semua begitu? Kok rasanya kasihan banget ya, walau itu terjadi sama orang yang mungkin telah berbuat jahat.

Well, terkadang aku tiba bisa begitu saja berlepas diri dari seseorang berbuat jahat. Karena pasti dari perbuatan jahatnya ada banyak latar yang mengguncangnya sehingga ia tega melakukan kejahatan itu. Pasti banyak alasannya, jadi mungkin yang ku ibakan itu latar-latar sehingga orang itu berbuat jahat.

Tapi, tetap saja orang itu jahat. Tapi juga kasihan. Semoga Allah kuatkan dan jadi pintu hidayah serta taufik-Nya ya.

***

Ketika membahas soal peran ayah. Katanya ayah aman 60-70an itu lebih terkesan tegas dan tidak ramah dengan anak. Lalu sekarang banyak kelas parenting tentang ayah. Tentang ayah yang baik, tegas, dekat dengan anak, serta mendidik anak.

Kepikiranku justru bukan isi dari kelas parenting tentang ayah dengan segala macam yang kusebutin di atas. Tapi, bagaimana aku bisa tetap tegas ya? Sementara lihat orang nyebelin saja rasanya mau menolerir terus, kalau pun tegas paling mentok cuman diemin aja...


***

Bagaimana rasanya ketika kamu mencari seseorang yang kamu pikir seseorang itu mencari kamu tapi ternyata ketika berjumpa hanya kamu yang mencari dan orang itu sudah merelakan kamu?

Aih teu nyaho ... :(

Tempat Ketakutan

Kamu tahu siapa musuh terberatmu? Ya, betul, dirimu sendiri. Itulah musuh sejati yang amat sulit kamu taklukan.

*

Dulu setiap aku mau ke gedung kuliah dari lab--biasa tempat ku tinggal--aku harus melewati lapangan rektorat. Lapangan yang cukup luas dan biasa dipakai untuk acara ospek, upacara, atau konser. Tapi, sekarang sudah bukan lagi menjadi lapangan rektorat karena gedung di dekatnya sudah bukan lagi gedung rektorat tapi gedung fakultas Informatika.

Setiap kuliah dan melewati lapangan itu aku sering sekali melakukan sebuah challenge untuk diriku sendiri. Aku teringat acara-acara televisi yang menampilkan kisah mitos terkenal di Jogja. Katanya, jika kita melewati pohon beringin kembar di alun-alun kidul dengan menutup mata maka akan menjadi sebuah ritual tolak bala.

Aku pun mengikuti mitos itu, maksudku lebih mengikuti challengenya. Aku menutup mata dan berusaha berjalan hingga tiba di seberang lapangan yang dekat dengan gedung biasa diriku kuliah. Sungguh sebenarnya ini tidak penting.

Biasa kulakukan jika memang lapangan benar-benar kosong, karena biasanya suka ada mobil-mobil parkir atau semacamnya yang akan merepotkan perjalananku. Selama aku melakukan itu sepertinya aku belum pernah berhasil sekali jalan dan tiba di seberang sana--dekat gedung kuliahku.

Setiap aku menutup mata lalu berjalan, rasanya gelap dan mencekam sekali. Berjalan beberapa langkah rasanya seperti mau menabrak sesuatu atau rasanya seperti ingin terjatuh dari lapangan--posisi dataran lapangan lebih tinggi daripada sekelilingnya.

Tak jarang kumerasa harus membuka mata dan memastikan. Padahal, ada sedikit keyakinan kalau aku masih jauh dari ujung atau tepi lapangan. Toh, paling baru beberapa langkah dan masih lapang. Aku pun sering merasa jalanku tidak lurus, seperti aku salah melangkah.

Namun, ketika aku membuka mata karena sudah tercekam oleh bayang-bayangan itu rupanya semua benar-benar masih baik-baik saja. Aku masih jauh dari tepi, jalanku masih lurus menuju gedung kuliahku, dan tidak ada obstacle apapun yang berada di dekatku.

Berkali-kali aku melakukannya, terkadang setengah lapangan, terkadang baru beberapa langkah udah sesak sendiri ketakutan nabrak atau tidak sampai. Aku pun terheran sendiri, padahal ini lapangan sangat luas. Jika aku merem dan berupaya jalan lurus saja pasti aku sampai. Aku memulai dari tengah, jadi tepi lapangan masih jauh. Ketika aku memulai pun aku yakin betul tidak ada benda-benda di lapangan yang akan ku tabrak, benar-benar kosong nan lapang.

Aku pun bertanya-tanya, kok bisa ya? Apa karena aku tidak yakin? Atau memang sebenarnya ketakutan itu adalah pikiran-pikiran yang belum tentu benar adanya? Dan pikiran yang belum tentu benar itu meruntuhkan keyakinan serta mendorongku untuk menyerah?

Dari situ aku merasa sebenarnya yang bikin kita tak mampu dan merasa harus menyerah itu terkadang bukan faktor apapun melainkan itu adalah pikiran kita sendiri. Sebagaimana percobaanku di lapangan rektorat itu. Walau aku sudah menganalisa semuanya sebelum memulai, ketika percobaan dilakukan dan pikiran membanjiri benakku, aku pun mempertimbangkan dan membuka mata. Lantas ketika membuka mata ternyata semua pikiranku salah semua.

Aku pun setuju, mungkin selama ini kita terhambat akan suatu hal bukan karena orang lain atau keadaan, tapi karena pikiran kita yang tidak mampu kita hadapi dengan baik. Atau mungkin karena kita terlalu banyak berpikir yang masih berupa asumsi? Ketiadaan data seperti pikiranku ketika terpejam memang mengerikan, aku hanya fokus pada ketakutan-ketakutannya saja.

Akhirnya, aku kalah dengan pikiranku dan menyerah.

Begitu pun kemarin aku ngobrol banyak dengan seseorang, aku bicara soal apa yang ingin kulakukan untuk pertama kali. Dan kalian tentu tahu betapa mengerikannya pikiran-pikiran ketika ingin melakukan sesuatu untuk pertama kalinya.

Entah takut akan kekurangan pengalaman, ilmu, kegagalan, rasa malu, dan banyak lainnya. Lalu orang itu bilang. "Setan tuh ada di nadi-nadi kita. Pikiran-pikiran itu sebenarnya dari setan. Makanya pas mau memulai sesuatu jangan lupa ta'wudz, terus ta'wudz-nya juga harus menjiwai. Agar Allah benar-benar melindungi kita."

Hematku, memang musuh terberat kita itu adalah diri kita sendiri. Diri kita sendiri yang terus digoda oleh setan. Kalau kata ustadz Hanan Attaki, setan itu pandai untuk membuka jalan. Dan salah satunya membuka jalan adalah dengan memberi pikiran-pikiran yang menjerumuskan atau bahkan menghalangi-halangi kita untuk bisa menjadi lebih baik--dalam ketaatan atau lainnya.

Semakin dewasa diriku semakin merasa harus banyak berpikir dalam melakukan suatu hal. Mulai banyak pertimbangan, dan akhirnya justru banyak keraguan. Ya, itu, karena pikiran-pikiran asumsi yang dibisiki oleh setan. Oke, maaf setan, kamu jadi kambing hitamnya hehe.

Well, semua balik lagi meminta perlindungan dari Allah. Karena kita tidak akan mampu menghadapi diri sendiri yang sedang bersama setan. Hanya Allah tempat kita menggantungkan semuanya dan menyerahkannya.

Lalu, apakah aku bisa melewati lapangan rektorat itu? Kapan-kapan akan kucoba lagi dan tidak ingin mendengarkan pikiran-pikiran liar itu.

Senin, 01 April 2019

Ummi



Saat itu aku bilang. "Mi, Mimi mau menikah kayaknya."

Wajah ummiku langsung berubah masam, dahinya mengkerut, bibirnya manyun. Tidak ada kata beberapa detik. Lalu menjawabnya dengan kecut. "Nikah-nikah, Belajar dulu yang bener!"

Ummi adalah sosok yang selalu menginspirasiku. Bukannya melebihkan karena beliau ibuku, tapi menatap kehidupan ini dari sudut pandangannya begitu menyenangkan. Bagi ummiku hidup ini selalu menyenangkan, maka tak sedikit aku melihat ummiku tertawa berseri-seri. Apapun keadaannya, apapun beratnya.

Sejauh dalam kehidupanku, ummiku hanya memarahi anaknya jika itu berkaitan dengan hukum Islam, sisanya? Terserah pada anak-anaknya. Ketika membahas pernikahan dan ummiku menutup senyumnya, berarti pernikahan sungguh penting baginya, seperti hukum-hukum Islam lainnya.

Mungkin, seorang ibu tidak mudah melepas anaknya begitu saja. Apalagi baru kembali dari perantauan, baru bisa sedikit sekali membahagiakan. Walau pada awalnya aku sangat menolak harus berbakti kepada kedua orang tua, karena hal itu sungguh tidak logis.

Bagaimana bisa aku berhutang sementara aku tidak menginginkannya? Bagaimana bisa aku harus berbuat baik kepada kedua orang tua karena mereka telah melahirkanku dan merawatku hingga sekarang? Padahal sungguh aku tidak sedikit pun memintanya untuk dilahirkan dan dirawat.

Tapi, pikiranku terbuka, bahwa perkara berbakti kepada kedua orang tua bukan perkara hutang budi. Tapi, syariat yang telah di tetapkan-Nya. Sebuah perintah yang tidak perlu dipertanyakan lagi kebenarannya, sebuah perintah yang tidak diragukan lagi keberkahannya.

Tebakku, mungkin ummi ingin merasakan hari-hari bersama anak sulungnya sambil menikmati sedikit kehidupan ini yang tak sedikit kepahitan menghampirinya--ummi. Masih ingin dijadikan satu-satunya ratu oleh anak sulungnya ini.

Perlahan waktu, aku mulai terbuka dengan ummi yang sudah kuanggap seperti kakak sendiri.  Karena dulu banyak yang mengira ummiku adalah kakakku, aku sebenarnya sebal saat dengar itu, pasti setelah itu ummiku menyombongkan diri kalau dia awet muda.

Aku mulai banyak cerita, dari kenapa dulu aku diam hingga hal-hal berbau asmara. Aku kira aku sudah diumurnya untuk membicarakan hal berbau asmara dan pernikahan. Ummi pun menyambutnya dengan baik, tapi ketika bicara pernikahan. Ummiku terus menegaskan. "Belajar dulu yang bener, bantu dulu ummi abinya."

Benar saja, semakin ke hari, semakin banyak pembahasan soal pernikahan, rupanya pernikahan sungguh mengerikan. Pernikahan bukan sekadar mencintai dan dicintai. Tapi, penerimaan dan pemberian, tapi juga kelayakan dan melayakkan. Dan semakin ke hari pun aku semakin tidak percaya jika aku harus menikah dan menjalani fase itu.

Semakin banyak yang aku dengar dan aku baca, aku semakin menutup senyum-senyumku. Aku merasa di fase ini aku sepertinya tidak bisa banyak bercanda atau bermain lagi. Sepertinya di fase ini aku akan menjadi Hilmy yang lain, yang mungkin membosankan.

Dan aku pun berharap bisa mendapatkan pasangan seperti ummiku, tidak persis, maksudku selalu menunjukkan wajah berserinya apapun keadaannya untuk menguatkan suaminya. Selalu mendukung dan memberi saran atas setiap keputusan-keputusan sulit, selalu taat dan menangkan.

Dari dulu, saking senangnya aku dengan ummi. Aku benar-benar berharap memiliki istri seperti ummi, mungkin dengan begitu fase kehidupanku selanjutnya tidak semenegangkan apa yang aku dengar dan baca. Mungkin masih banyak tawa-tawa dan canda yang membuat wajah-wajah berseri. Tapi selalu tegas terhadap hukum Islam.

Aku senang beberapa hari belakangan bisa pergi-pergi dengan ummi. Walau tidak sehebat orang-orang. Berpergian sederhana, melewati perjalanan yang terik dan tetiba hujan. Berbicara dari A sampai Z, hingga koreksi hafalan-hafalan yang mulai ditatih ini.

Ummi sebenarnya tipikal tidak suka berpergian, tidak suka ke mall, tidak suka makan makanan mahal. Ummi paling suka pergi ke kajian bahas kitab-kitab para ulama, atau mengajar tentang agama. Sesederhana itu sebenarnya, tapi tetap saja aku tidak bisa begitu membahagiakannya.

Ketika aku bertanya, "Mi, kalau Mimi beneran menikah, mau punya menantu seperti apa?"

Ummiku terdiam lagi. "Nggak gimana-gimana, intinya baik sama ummi dan nggak ngelarang-ngelarang suaminya untuk berbakti sama umminya, nggak pelit juga." Kata ummi sambil ketawa-tawa.

Mendengar itu, aku kembali berpikir keras. Sepertinya baru saja aku dirawat ummi, apa sekarang harus pergi lagi? Hanya beberapa tahun aku tinggal dengan ummi, mungkin belum genap 8 tahun, tapi aku harus pergi lagi?

Aku masih ingat semasa SMA, setiap pulang sore kita nonton drama korea bareng, terus nebak-nebak ceritanya. Terkadang abi marah-marah karena disangka kerjaan kita nonton doang, tapi cerita drama korea itu memang bagus-bagus untuk dijadikan inspirasi menulis... Hehe.

Aku sangat ingat ketika saat kumpul, ummi seolah hanya punya memori tentang aku, tepatnya aku ketika kecil. Ia selalu mengulang kelakuanku ketika kecil, dari lucu sampai nyebelin. Sedikit sekali membahas tentang adik-adikku. Aku pun sudah hafal nasihat-nasihat ummi dan ujungnya bakal kemana. Terkadang aku langsung menebak ujungnya, dan ummi tertawa begitu saja.

Aku tidak akan bisa melupakan, bagiku, hanya ummi yang suka tertawa dengan jokes-jokes receh yang kubuat, bahkan tak sedikit terbahak-bahak hingga terkencing-kencing. Lega? Sangat lega sekali aku melihat itu, rasanya membahagiakan ummi sesederhana itu.

Entah bagaimana, tapi orang bilang hanya aku yang mirip dengan ummi. Dan perlahan aku merasa menjadi anak yang paling merasa begitu dekat dengan ummi, begitupun sebaliknya. Kesukaan makanan kita sama, kita sama-sama suka pasta, sementara yang lain tidak. Jadi kadang kita asyik sendiri bikin pasta terus makan-makan sendiri, yang lainnya hanya menyisakan untuk kita--aku dan ummi--untuk memakan lagi jatah mereka.

Dan aku sangat yakin, semua kebaikan yang aku dapatkan hingga hari ini pasti tak terlepas dari doa ummi yang sangaaaaaaaat lama. Dari bangunnya di sepertiga malam. Dari nasihat-nasihatnya yang benar adanya. Seperti nasihat untuk belajar dulu baru menikah.

Dan sekarang aku merasa, jauh dari kata layak untuk menikah.

Karena itu, selama kuliah aku selalu ingin menunjukkan sesuatu untuk ummiku, entah itu dari akademisi kuliah atau lomba-lomba. Walau tidak bisa membanggakan dari sisi keilmuan agama, rupanya tidak sia-sia perjuangan itu dan beberapa kali bisa membuat ummi sedikit bangga dengan anak sulungnya ini.

Dan tua nanti, mungkin yang terpenting dari semua ini adalah waktu untuknya--selain perkara agama. Beberapa hari ini nenek-nenekku--dari ummi atau abi--merasa sangat kesepian. Mereka sudah ditinggal mati oleh suami tercintanya. Di penghujung usia seperti ini, terpenting bagi mereka adalah kehadiran anak-anaknya.

Beberapa kali nenek dari abiku sakit dan meminta untuk dijenguk atau setidaknya ditelpon. Aku paham, rasanya saat tua benar-benar kesepian, rasanya ingin dimengerti atau diperhatikan oleh anak-anaknya yang sudah memiliki keluarga masing-masing.

Itu ... ketakutan yang wajar.

Aku pun membayangkan jika ummiku sudah tua nanti. Lalu ummi bilang. "Makanya, kalian jangan punya rumah jauh-jauh dari ummi." Aku hanya tersenyum, aku cukup beruntung karena tempat tinggal ummi dan abi tidak jauh dari pusat perkotaan, dari kantorku sekarang.

Mungkin, selain menjadi anak yang sholeh dan penyejuk hati mereka. Waktu adalah kata yang penting untuk mereka. Sekadar tanya kabar mungkin adalah belaian lembut yang mereka rasakan--walau ini bagian dari kesholehan juga.

Saat ini, ummi hanya tertawa setiap bicara soal pernikahan. Sudah mulai ikhlas untuk membiarkan anak sulungnya melanjutkan ke fase berikut dalam hidupnya. Walau anak sulungnya ini sedang merasa di tengah ketakutan yang amat luar biasa. Karena sekali lagi, fase berikut terasa amat-amat serius. Dan aku harap aku bisa melewati dan menjalaninya dengan berseri-seri seperti ummi.

Dulu, waktu pisah dengan ummi serta abiku, aku selalu sedih setiap nonton Hachi atau dengar lagu ummi. Bahkan tak jarang aku menangis. Rasanya, aku senang sekali bisa mengulet di sebelah ummi, atau cium pipi ummi setiap mau berpergian. Karena mungkin, waktu ini tidak banyak. Aku harus merelakan, apapun itu, perkara dunia ini, karena semua ini hanya sementara. Dan semoga disaat itu, aku bisa terus mengiri dan membahagiakan ummi. Dengan caraku sendiri.