Kamu tahu siapa musuh terberatmu? Ya, betul, dirimu sendiri. Itulah musuh sejati yang amat sulit kamu taklukan.
*
Dulu setiap aku mau ke gedung kuliah dari lab--biasa tempat ku tinggal--aku harus melewati lapangan rektorat. Lapangan yang cukup luas dan biasa dipakai untuk acara ospek, upacara, atau konser. Tapi, sekarang sudah bukan lagi menjadi lapangan rektorat karena gedung di dekatnya sudah bukan lagi gedung rektorat tapi gedung fakultas Informatika.
Setiap kuliah dan melewati lapangan itu aku sering sekali melakukan sebuah challenge untuk diriku sendiri. Aku teringat acara-acara televisi yang menampilkan kisah mitos terkenal di Jogja. Katanya, jika kita melewati pohon beringin kembar di alun-alun kidul dengan menutup mata maka akan menjadi sebuah ritual tolak bala.
Aku pun mengikuti mitos itu, maksudku lebih mengikuti challengenya. Aku menutup mata dan berusaha berjalan hingga tiba di seberang lapangan yang dekat dengan gedung biasa diriku kuliah. Sungguh sebenarnya ini tidak penting.
Biasa kulakukan jika memang lapangan benar-benar kosong, karena biasanya suka ada mobil-mobil parkir atau semacamnya yang akan merepotkan perjalananku. Selama aku melakukan itu sepertinya aku belum pernah berhasil sekali jalan dan tiba di seberang sana--dekat gedung kuliahku.
Setiap aku menutup mata lalu berjalan, rasanya gelap dan mencekam sekali. Berjalan beberapa langkah rasanya seperti mau menabrak sesuatu atau rasanya seperti ingin terjatuh dari lapangan--posisi dataran lapangan lebih tinggi daripada sekelilingnya.
Tak jarang kumerasa harus membuka mata dan memastikan. Padahal, ada sedikit keyakinan kalau aku masih jauh dari ujung atau tepi lapangan. Toh, paling baru beberapa langkah dan masih lapang. Aku pun sering merasa jalanku tidak lurus, seperti aku salah melangkah.
Namun, ketika aku membuka mata karena sudah tercekam oleh bayang-bayangan itu rupanya semua benar-benar masih baik-baik saja. Aku masih jauh dari tepi, jalanku masih lurus menuju gedung kuliahku, dan tidak ada obstacle apapun yang berada di dekatku.
Berkali-kali aku melakukannya, terkadang setengah lapangan, terkadang baru beberapa langkah udah sesak sendiri ketakutan nabrak atau tidak sampai. Aku pun terheran sendiri, padahal ini lapangan sangat luas. Jika aku merem dan berupaya jalan lurus saja pasti aku sampai. Aku memulai dari tengah, jadi tepi lapangan masih jauh. Ketika aku memulai pun aku yakin betul tidak ada benda-benda di lapangan yang akan ku tabrak, benar-benar kosong nan lapang.
Aku pun bertanya-tanya, kok bisa ya? Apa karena aku tidak yakin? Atau memang sebenarnya ketakutan itu adalah pikiran-pikiran yang belum tentu benar adanya? Dan pikiran yang belum tentu benar itu meruntuhkan keyakinan serta mendorongku untuk menyerah?
Dari situ aku merasa sebenarnya yang bikin kita tak mampu dan merasa harus menyerah itu terkadang bukan faktor apapun melainkan itu adalah pikiran kita sendiri. Sebagaimana percobaanku di lapangan rektorat itu. Walau aku sudah menganalisa semuanya sebelum memulai, ketika percobaan dilakukan dan pikiran membanjiri benakku, aku pun mempertimbangkan dan membuka mata. Lantas ketika membuka mata ternyata semua pikiranku salah semua.
Aku pun setuju, mungkin selama ini kita terhambat akan suatu hal bukan karena orang lain atau keadaan, tapi karena pikiran kita yang tidak mampu kita hadapi dengan baik. Atau mungkin karena kita terlalu banyak berpikir yang masih berupa asumsi? Ketiadaan data seperti pikiranku ketika terpejam memang mengerikan, aku hanya fokus pada ketakutan-ketakutannya saja.
Akhirnya, aku kalah dengan pikiranku dan menyerah.
Begitu pun kemarin aku ngobrol banyak dengan seseorang, aku bicara soal apa yang ingin kulakukan untuk pertama kali. Dan kalian tentu tahu betapa mengerikannya pikiran-pikiran ketika ingin melakukan sesuatu untuk pertama kalinya.
Entah takut akan kekurangan pengalaman, ilmu, kegagalan, rasa malu, dan banyak lainnya. Lalu orang itu bilang. "Setan tuh ada di nadi-nadi kita. Pikiran-pikiran itu sebenarnya dari setan. Makanya pas mau memulai sesuatu jangan lupa ta'wudz, terus ta'wudz-nya juga harus menjiwai. Agar Allah benar-benar melindungi kita."
Hematku, memang musuh terberat kita itu adalah diri kita sendiri. Diri kita sendiri yang terus digoda oleh setan. Kalau kata ustadz Hanan Attaki, setan itu pandai untuk membuka jalan. Dan salah satunya membuka jalan adalah dengan memberi pikiran-pikiran yang menjerumuskan atau bahkan menghalangi-halangi kita untuk bisa menjadi lebih baik--dalam ketaatan atau lainnya.
Semakin dewasa diriku semakin merasa harus banyak berpikir dalam melakukan suatu hal. Mulai banyak pertimbangan, dan akhirnya justru banyak keraguan. Ya, itu, karena pikiran-pikiran asumsi yang dibisiki oleh setan. Oke, maaf setan, kamu jadi kambing hitamnya hehe.
Well, semua balik lagi meminta perlindungan dari Allah. Karena kita tidak akan mampu menghadapi diri sendiri yang sedang bersama setan. Hanya Allah tempat kita menggantungkan semuanya dan menyerahkannya.
Lalu, apakah aku bisa melewati lapangan rektorat itu? Kapan-kapan akan kucoba lagi dan tidak ingin mendengarkan pikiran-pikiran liar itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar bagi yang perlu