Senin, 08 April 2019

Dua Dongeng Menjadi Satu

Kuharap kalian membacanya dengan memulai lagu ini dahulu.

Setiap orang mempunyai kisah dongengnya sendiri. Entah melewati naga dari bawah laut atau dari dalam gunung merapi. Entah menelusuri hutan belantara dengan berjuta hewan yang dapat bicara, atau menyelami lautan dengan ikan-ikan berkelap-kelip.

Dongeng itu terus terajut lembut. Walau aku percaya dibaliknya ada bagian menyedihkan atau pun menyenangkan. Aku pun percaya, semua mampu dilalui hingga akhirnya dongeng itu semakin dekat pada dongeng lainnya.

Bagaimana tuan putri yang memiliki istana dengan segala pembantu yang membencinya bisa berjumpa dengan seorang penggembala yang berantakan. Bukankah itu dua dongeng yang berbeda?

Tuan putri yang cantik jelita, walau dibenci oleh para pembantunya selalu ada ibu peri yang mengiringinya dan membantunya. Tuan putri yang dirawat dari sebuah mitos kata orang, yang nyawanya terancam oleh nenek sihir, yang hatinya membeku oleh semua pria, namun perjanjian dengan nenek sihir itu harus dipatahkan. Tuan putri harus berjumpa dengan seseorang yang dapat meluluhkan hatinya yang membeku. Untuk kehidupan tuan putri yang terus berlanjut.

Satu dongeng, tuan putri dan nenek sihir.

Pria yang urak-urakan itu tinggal di sudut desa, jauh dari istana. Banyak sekali berandalan yang mengganggu dombanya. Walau begitu, pria itu gigih dengan menunjukkan tekadnya sebagai sang pemberani. Melawan semua berandalan, walau akhirnya ia yang babak belur. Penggembala itu pun pergi bersama dombanya, untuk menyelamatkan domba-domba yang ia sayangi. Domba-domba yang menemaninya dalam malam-malam yang dingin serta kesepian.

Lantas para domba-dombanya berkata. "Seorang pria sepertimu, harus menemukan sesosok wanita untuk menyudahi malam sepimu."

Pria itu terbangun dari rebahannya. Terbangun dari termenungnya menatap langit-langit tertutup pepohonan hutan belantara. Api unggun itu terguncang, oleh angin yang berhembus akibat terbangunnya pria itu. Pria itu tersenyum. "Seorang pria tak punya apa-apa sepertiku? Bagaimana bisa ada wanita yang mau menghampiriku?"

Para domba itu, tersenyum. Pencarian wanita itu dimulai. Pria penggembala itu dan dombanya pergi menelusuri belantara hutan. Mencari wanita yang tulus mencintainya dan ingin terus menemani hari-harinya.

Satu dongeng, pria gembala dan domba-dombanya.

Takdir-takdir itu merajut dua dongeng menjadi satu. Pencarian-pencarian yang seolah telah mencapai ujung, yang seolah telah berakhir, akhirnya memberikan sedikit cahaya. Kisah itu terus berlanjut. Tuan putri bersama kereta kencananya pergi menuju hutan saat tengah malam tiba agar tidak tertangkap oleh nenek sihir, agar kehidupannya terus berlanjut.

Kereta kencananya itu melaju sangat pesat, kuda-kuda pilihan memacu begitu hebat. Namun, di dalam kereta itu, tuan putri tersendu. Pertanyaan-pertanyaannya belum terjawab, hingga akhirnya waktu ini tiba dan semua seolah telah sirna... Seolah tidak ada harapan.

Tuan putri, tergugu gemetar. Hampir tak mampu berkata-kata. Perjalanan itu tidak bertuju, hanya mengikuti cahaya bulan. Hanya di temani taburan bintang. Mungkin sampai para kuda yang kokoh itu lelah. Atau terjungkil batu-batu yang membuat semuanya terhenti.

Tuan putri masih dalam tanyanya. "Apakah ada pria yang mampu mencairkan hatinya? Yang tulus mencintainya? Yang menginginkannya lebih dari apapun di muka bumi ini?" Ia masih menangis tergugu.

Jauh di istana, nenek sihir mengamuk. Ia pun memanggil para iblisnya untuk memburu tuan putri. Dengan sapu terbangnya, sang nenek sihir melaju pesat bersama para iblisnya. Mereka berpencar, mencium aroma tuan putri yang membekas, yang meninggalkan jejak.

Bagaimana nasib pria penggembala itu? Tentu saja, dia masih berada di dongengnya. Bertahan hidup sendirian rupanya tak mudah. Perutnya keroncongan, wajahnya amat lesu, ia mencari-cari buah yang dapat dimakan. Atau mungkin hewan-hewan yang dapat diburu.

Namun, sekali lagi itu tidak mudah. Ia, terjatuh, tak mampu bangkit lagi, perutnya begitu lapar. Hingga akhirnya seekor domba berkata. "Biarkan aku mati, dan santaplah aku."

Sang pria itu menatap seekor domba itu dengan senyuman tipis yang ia usahakan. "Tidak." Katanya terbata, saking lemasnya. "Tidak ada kisah teman memakan temannya sendiri."

Rintik hujan pun tiba. Angin semakin berseliwiran diantara pepohonan yang rindang. Bukankah itu amat dingin?

Hei, dimana kamu bilang takdir yang dipertemukan? Kedua dongeng itu sungguh menyedihkan, seperti di ujung fajar yang menderitakan di malam yang pekat. Dimana takdir itu? Dimana kebahagiaan itu?

Tidak akan ada pertemuan tanpa sedikit pengupayaan. Walau tidak serta merta hanya dengan cara yang ditentukan, terkadang dongeng itu mempertemukan lewat kisah menuju keputusasaan. Karena, dongeng pikir, selalu ada harapan di balik penderitaan, bukan?

Takdir itu semakin dekat. Saat kuda itu akhirnya kelelahan, saat kaki-kakinya tak sanggup lagi berlari, saat batu-batu menjagalnya. Kuda-kuda itu terjatuh dan kereta kencana itu terlempar jauh ke depan, ke sebuah api unggun yang sebentar lagi padam.

Braaak!!!

Kereta kencana itu hancur, debu-debu mengebul, lalu tuan putri terlihat yang mengaduh kesakitan. Saat bersamaan nenek sihir tiba di hadapan kereta kencana yang telah hancur lantas tertawa puas. Dari dongeng lain, pria penggembala itu terhentak bangkit dengan sisa tenaganya. Ia melihat tepat di hadapannya kereta kencana yang hancur, tuan putri yang mengaduh kesakitan, dan nenek sihir yang terbang di atasnya.

Pria penggembala melihat para dombanya, semua selamat.

Nenek sihir pun berkata. "Waktumu telah habis, dan hatimu masih membeku." Ia tertawa puas. "Tidak ada yang tulus mencintaimu, tuan putri. Pria-pria itu hanya menginginkan kecantikanmu, atau hartamu, atau ... Mungkin dia tidak peduli denganmu, ia hanya ingin kekuasaan menjadi pangeran." Nenek sihir itu tertawa puas.

Tuan putri meneteskan air matanya kembali. Bukan, tuan putri tidak cengeng. Tapi hati terdalamnya yang menjawab. Benar apa yang dikatakan nenek sihir itu. Tidak ada pria yang tulis mencintainya, tidak ada pria yang benar-benar memperjuangkannya. Tidak ada. Semua hanya nafsu yang mengiringi.

Sementara itu pria penggembala menyaksikan dengan kebingungan. Ia bersiaga. Rasa laparnya seolah sirna. Ia hanya melihat punggung tuan putri yang gemetar.

"Para iblis! Ambil nyawa beku tuan putri itu!" Perintah nenek sihir sambil tertawa terbahak-bahak.

Para iblis melesat menuju tuan putri yang tak berdaya.

Lantas, para domba menatap pria penggembala. "Lakukan sesuatu!"

Pria penggembala melihat para dombanya dengan kebingungan. Apa yang harus dia lakukan? Tenaga saja tidak ada, kemampuan bela diri tidak ada, dan siapa juga wanita itu sehingga dia harus membantunya? Tapi, pria penggembala itu tidak cukup naif. Ia berlari, berlari kencang ke arah tuan putri dan mendorongnya yang lantas menghindari terjangan dari para iblis.

Sang putri yang sudah ketakutan itu terkejut saat membuka mata. Ia melihat seorang pria yang sedang terengah-engah. Melihat pria yang amat kucal dan benar-benar tidak terurus. Tapi, tatapan itu seperti membuat jantung tuan putri berdegub kencang.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya pria penggembala itu.

Sang putri yang masih terkejut pun mengangguk ketakutan.

Pria penggembala itu bersiaga, iblis itu pun langsung menerjangnya lagi. Cepat, sangat cepat sekali terjangan iblis itu. Pria penggembala itu menahan rasa takutnya, walau ia tidak tahu harus bertindak apa, ia benar-benar memasrahkan semuanya.

Tiba-tiba cahaya terang menyilaukan semua mata. Cahayanya seperti ledakan di tengah hutan. Sungguh mengaburkan pandangan. Lalu terlihat para peri menahan para iblis itu. Para peri yang tidak terlihat bentuknya, hanya cahaya-cahaya yang amat terang.

Pria penggembala terkejut. Ia mencari semua dombanya, tapi tidak ada. Lalu dia tergugu tak menyangka. Para peri itu? Para domba-domba?

Nenek sihir itu terkejut. Ia tidak menyangka akan ada para peri yang akan menghalanginya. Hanya hitungan detik, para iblis sirna. Cahaya itu amat terang, melahap nenek sihir yang lantas menjerit "Aaaaa..."

Pria penggembala itu masih melihatnya takjub. Setelah semua selesai, terlihat para domba itu dengan wujud cahaya lalu mereka tersenyum dan meninggalkan penggembala itu. Pria penggembala itu berusaha menggapai cahaya-cahaya itu, tapi semua telah pergi meninggalkan terlalu jauh.

Pria penggembala menangis dengan menjatuhkan tubuhnya yang sudah semakin tidak kuat. Pria penggembala itu tidak tersadarkan diri. Seluruh energinya telah habis.

Sementara itu tuan putri masih terkejut. Ia menatap pria penggembala itu dengan bingung, di tengah hutan dan malam seperti ini. Siapa yang dapat menyelamatkan pria penggembala itu? Tuan putri berusaha menggoyangkan tubuh pria penggembala itu. Tapi, semua itu percuma.

Apakah berakhir dengan tragis? Tolong, aku tidak mau membaca dongeng yang berakhir sedih seperti ini.

Pagi menjelang, matahari muncul dari peraduan. Langit-langit mulai terlihat berseri. Sang putri telah menepikan pria penggembala itu. Ia menatap perinya yang telah kembali--yang sebelum tertangkap oleh nenek sihir. "Apakah, pria ini menghentikan kutukanku?" kata sang putri.

Peri itu tersenyum. "Aku tidak tahu, tapi yang jelas pria ini tulus mencintaimu."

Sang putri terkejut. "Bagaimana bisa?"

Sang peri mendadak jadi malu. Wajahnya memerah. "Perjuangannya mencari seseorang yang siap menemani kesepiannya telah berujung. Dilalui tanpa jalan yang pasti, dipertemukan oleh pengorbanan jiwa yang tak mungkin orang lain sanggup hadapi."

Sang putri ikutan tersenyum memerah. "Jadi, apakah pencarianku telah berujung? Apakah aku sudah menemukan jawaban dari semua pertanyaan itu? Apakah ... Dia mencintaiku dengan tulus?"

Sang peri bertingkah aneh saking malunya. "Betul sekali tuan putri. Takdir ini telah tiba. Pria yang tulus mencintaimu. Dalam pandangan pertamanya. Dalam pengorbanannya. Dalam ujung pencariannya."

Sang putri berkaca-kaca bahagia. Ia menatap pria itu dengan senyuman penuh harap. Hingga akhirnya bantuan datang. Sang putri menyeka air matanya. Lalu semua kembali ke istana. Termasuk pria penggembala itu.

Mereka hidup bahagia bukan? Ah aku lega sekali membacanya, biar aku selesaikan endingnya.

Dua dongeng itu telah menjadi satu dongeng baru. Mereka menikah dan hidup menjadi rakyat biasa. Menjalani hari-hari di ladang atau di tempat para hewan-hewan gembalanya. Saling bercerita di bawah pohon-pohon rindang yang berguguran, langit yang memerah di penghujung senja, dan dengan peri-peri yang memainkan suara angin-angin tuk mengiringi pembicaraan-pembicaraan manis itu.

Bagaimana selanjutnya? Apakah akan ada naga-naga dari api atau lautan? Akan ada manusia-manusia kerdil yang licik? Atau-atau... nenek sihir lainnya?

Tidak-tidak, mereka akan kututup dengan berbahagia selamanya. Karena memang mereka akan bahagia selamanya. Pertemuan itu telah menjadi ujung kisah mereka. Dan bahagia kata tepat untuk menggambarkan akhir cerita dongeng ini.

***


Hei, aku tidak tahu bagaimana kamu menikmati hari ini. Aku pun tidak tahu bagaimana kamu menyikapi hari ini.

Sebenarnya, aku hanya ingin bercerita. Dongeng-dongeng yang menjadi satu. Yang tertahan lama di kepala dan hati yang membeku. Mencari waktu yang tepat, dan ternyata hari ini adalah hari yang tepat.

Jika ini sangat menyenangkan, kapan-kapan akan kubuatkan lagi. Mungkin kisahnya yang berakhir tragis. Seperti aku kini, yang melihat kerumunanmu dari kejauhan, sendirian. Yang hanya bisa membayangkan dongeng yang aku ingin ada di dalamnya. Ah tentu saja, akhir yang kuharapkan, kebahagiaan itu kuharap datang untukku, atau mungkin kita.

Terima kasih.:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu