Sabtu, 29 Juni 2019

Satu-satunya yang harus diubah di sini adalah otakmu, My.

Jadilah laki-laki, jadilah seorang pemimpin.

Wake up.

Kenyataan-kenyataan itu tidak bisa kamu ubah, My. Terimalah.
Yang bisa kamu ubah adalah isi otakmu dan hatimu.

Jika tidak kamu ubah, mau sampai kapan kamu terus begini? Menyakiti banyak orang dan dirimu sendiri.

Bukankah dunia sudah cukup rumit? Jangan kamu tambah rumit. Bukankah ini waktu kamu siap menyongsong ke depan? Bukan memperkarakan hal yang bukan-bukan.

Wake up, My.

Dewasalah sedikit, untuk menyikapi hal-hal ini. Semua ini pembelajaran yang baik bukan?

Bahwa sekali lagi, kamu tidak bisa menjadikan segalanya seperti apa yang kamu mau. Tapi kamu bisa mengubah apa yang kamu mau itu.

Bismillah, My.
Fufufu...

Jumat, 28 Juni 2019

Sebuah Pertanyaan

Senin sampai jumat seperti nereka
Aku kamu saling menyimpan
Luka? duka?
Entah mereka sebut apa

Apa orang-orang terdahulu merasakan yang sama?
Apa orang-orang terdahulu semenderita ini?
Zaman sudah semakin memudahkan
Begitu pun luka dan duka

Mudah ada
Mudah tiada

Semua seperti serba instan
Mungkin ada yang sudah dirancang
Atau yang terpaksa
Atau tidak disengaja

Apa sebenarnya semua ini karena ulah sendiri?
Menggenggam terlalu erat
Hingga jemari mulai tak kasat
Akan apa yang digenggam

Ambisi-ambisi yang meluap
Menjadi obsesi sulit dimengerti
Logika dan hati tidak berpadu lagi
Apa ini hal-hal yang disebut buta?

Mungkin malam-malam terus membersamai
Dengan gelisah dan prasangka
Berjalan di tepian jalan
Menunggu langit-langit memberi jawaban

Setidaknya bisikan
Walau yang ada hanya angin berlalu-lalang

Orang-orang terpampang
Amat banyak
Bertanya-tanya akan diri ini
Apa semua baik-baik saja?

Namun, tidak ada yang peduli
Senyum yang kubuat mereka tahu
Rasa lelah itu menunjukkan jelas
Pada mata yang telah di anugerahkan kepada mereka

Lantas akhir cerita bertanya-tanya
Sampai kapan?
Sampai kapan senin hingga jumat seperti neraka?
Sampai kapan semua ini?

Maafkan, aku

Inversi Avatar 2

Jiwa itu semakin lama semakin terlelap dalam gelap.
Ada sebuah pertanyaan yang belum terjawab, sampai kapan?

Jiwa itu berusaha meronta mencari jalan, namun yang ada hanyalah sebuah pelarian.
Sampai kapan?

Pertanyaan itu seolah menghantui, jiwa itu masih mencari sesosok yang ia butuhkan. Keimanan.

Braverly You

Salah satu anime sederhana dengan episode sedikit yang mengasyikan. Terlebih katanya pembuatannya dibantu studio animasi di Indonesia juga.

Kisah cinta dan pengorbanannya juga manis. Terlebih lagu ini, ada bagian yang enak ketika nggak gak ada gitarnya. Aku juga pernah buat gambar sepasang ini ketika inktober. Ah, jadi pengen nonton lagi.


Inversi Avatar

Iri, dengki, cemburu, sombong, takabur, syirik. Saat mereka bersatu, hancurlah jiwa itu. Di saat membutuhkan keimanan, seolah keimanan menghilang.

Lalu, bagaimana jiwa itu mengalahkan semua itu?

Jeng... Jeng... Jeng...

Kisah Yang Telah Berakhir

Jika cerita sudah berakhir, terkadang aku rindu dengan nuansa yang digambarkan. Bagaimana jika kalian tambah sedikit cerita itu? Aku masih ingin menikmatinya. Tapi tentu saja ku tidak berharap cerita yang memaksa dan konflik yang entah apa-apa.

*

Beberapa hari ini, aku masih ke bayang-bayang sebuah novel yang bikin senyum dan gemas sendiri. Salah satunya Aku, Kamu, dan Sepuncuk Angpau Merah-nya Tere Liye. Aku tidak membayangkan jika aku jadi si Borno yang harus menunggu Mei berbulan-bulan. Entah sebelum Mei menjadi tidak jelas, atau setelah Mei pergi begitu saja tanpa penjelasan.

Apa kata Pak Tua? Aku lupa persisnya, tapi intinya jangan memaksakan kisah cinta itu. Bagaimana Borno mengimplementasikannya dengan bersabar menunggu dan menunggu. Melewati hari-hari dengan pertanyaan yang belum terjawab. Aku pembacanya gemas, jika aku jadi Borno aku mungkin sudah marah-marah dan susul Mei untuk penjelasan itu.

Tapi, Borno tidak. Ia terus menikmati harinya menunggu hari itu tiba. Hari dimana semua kisah cintanya terungkap. Walau aku sedikit terkejut bahwa Mei ternyata memang sengaja mendekati Borno karena merasa bersalah akan ibunya pada keluarga Borno. Tapi, menikmati kisah cinta yang dibangun Borno dan Mei itu sungguh menyenangkan. Sebuah kesederhanaan.

Kesabaran dan berbaik sangka. Begitu kata Pak Tua menasehati Borno saat Borno berpikir yang tidak-tidak terhadap prilaku Mei. Begitu kata Pak Tua meredam jiwa muda Borno.

Bukankah cerita itu banyak sekali yang harus dipahami?

Aku rasa banyak berhutang pada kisah Tere Liye yang satu ini, karena awal aku membacanya aku sempat mengeluh karena alur yang sangat lambat. Tapi, seperti novel Rindu-nya. Aku tidak merasa kecewa setelahnya.

Dan sekarang, aku harap bisa menikmati kisah Borno dengan sepit atau bengkelnya itu.

Adil

Adil.
Sudahkah kita adil terhadap diri sendiri?
Atau adil terhadap kedua orang tua kita, terutama ibu kita?
Sudahkah kita adil terhadap Allah?
Sudahkah adil kita persembahkan terhadap kerabat serta keluarga kita?

Tidaklah adil itu mudah
Butuh perhitungan, niat, dan kesabaran.
Tidak lupa latihan berulang-ulang.
Tidaklah adil itu mudah
Tapi adil memberikan kepuasaan tiada tara

Tahukah apa yang paling adil di dunia ini?
Allah dengan segala Firman-Nya
Sayangnya banyak manusia enggan memahami dan menjalankannya
Seandainya mereka manusia tahu keadilan yang Allah tawarkan
Sungguh kita akan teramat puas dan tenang dalam berkhidupan.

Sudahkah kita adil?
Pada prasangka dan diri sendiri?
Sudahkah kita adil saat meminta seseorang lebih baik?
Semoga kita senantiasa berusaha untuk selalu adil
Baik dalam duka maupun suka.

Kamis, 27 Juni 2019

Sekoci, Dari Hulu Menuju Hilir

Literally, selamat tinggal.
Terima kasih waktu luangnya. Dari sini, aku akan menutup mata tentang apapun itu.
Mendayung perahu sekoci dari hulu ke hilir.
Berharap menemukan makna sejati tanpa ada orang lain yang ku gantungkan.
Bukankah semua bergerak mulai dari sendiri?

Ku yakin, di perjalanan sekoci ini barulah ombak-ombak kecil.
Sebelum kita tiba di bahtera itu.
Sekecil apapun, ombak tetaplah ombak.
Bisa jadi aku tergelincir di jalan.
Bisa jadi aku tenggelam di jalan.

Walau aku yakin, sejauh dan secepat apapun aku mendayung
Kekhawatiran dan prasangka itu selalu menerpa bak angin laut.
Jadi tak perlulah kau hiraukan sekoci ini
Tunggu saja di bahtera itu.
Dan kita temukan, apa makna dari semua ini.

Jadi sekali lagi, selamat tinggal.
Sampai jumpa di bulan penuh hantu itu.

Rabu, 26 Juni 2019

Menghindar Menjauh Tahu Diri

Kata-kata ini layak diperjuangkan memang.

Tidak mengetahui apa-apa lebih baik, daripada mengetahui yang tidak ingin diketahui. Atau, sedikit mengetahui hanya membuat banyak berasumsi.

Tamat.

Kamis, 20 Juni 2019

Avatar, Pengendalian Diri

"Hilmy nggak boleh egois." Kata seseorang. "Nggak boleh maksa orang lain untuk mengikuti apa yang kamu mau."

Aku terdiam, dalam hati setuju. Sudah banyak sekali aku bertindak seperti ini, memaksa banyak orang ikut apa yang aku inginkan. Padahal tidak seharusnya aku memaksa atau mengendalikan mereka. Bukankah seharusnya kita yang mengendalikan keinginan dan keegoisan kita sendiri?

Aku masih ingat betul kata-kata. "Kita tidak bisa menyuruh orang lain bertindak apa yang kita mau. Tapi kita bisa bertindak untuk yang merubahnya." Waktu itu konteksnya perubahan antara orang tua dan kita. Kita tidak bisa memaksa orang tua kita untuk akrab dengan kita, tapi kita yang punya kendali atas diri kita sendiri ini bisa memulai untuk mengakrabkan ke orang tua kita.

Begitu pun ingatan terhadap fakta. Fakta sudah tidak lagi penting, karena yang penting adalah pengendalian diri kita untuk menyikapi fakta-fakta itu. Tentu saja tidak selamanya fakta yang terpapar itu baik. Terkadang ada fakta yang menyakitkan dan membuat kita seolah mati lebih baik.

Aku rasa itu juga berlaku pada keadaan. Keadaan tak jauh bedanya dengan fakta yang tertera. Kita hanya perlu mengendalikan diri dan menyikapinya dengan baik. Aku tahu, aku tahu. Itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Itu sangat sulit sekali, bukankah di situlah ujiannya? Seninya? Keindahan pada akhirnya?

Aku juga masih ingat postingan beberapa hari lalu kalau kita, "Jangan menjadikan orang lain yang mengatur kehidupan kita. Jangan tergantung kepada orang lain." Kita yang punya kendali terhadap kita sendiri, terhadap perjuangan kita sendiri, terhadap mimpi kita sendri ini jangan sampai menggantungkannya ke orang lain dan membuat kita terombang-ambing. Beruntung kalau orang lainnya itu sejalan dengan kita, kalau tidak? Wassalam.

Terkadang pengendalian diri juga penting terhadap perasaan dan asumsi. Terhadap ekspetasi dan diri sendiri. Kita yang bisa mengatur kecewa dan bahagia kita, pengendalian diri sungguh berada di level yang tinggi sepertinya.

Hilmy memang egois, apalagi kalau lagi cemburunya. Ah rasanya ingin dunia segera hancur. Terkadang gemas sekali kalau orang lain tidak berbuat seperti yang kita inginkan. Mulai sudah hari itu sangat kacau.

Bukannya aku pesimis dan aku mendoakan diriku sendiri. Tapi, sungguh Hilmy egois itu masih berlaku dan sulit sekali untuk dihilangkan. Bagaiman semua fokus pada diri sendiri, fokus pada pembatasan-pembatasan atas banyak hal yang telah ku sebut di atas. Sungguh semua itu tidak mudah, semoga kita semua bisa membuat semuanya jadi lebih baik. Aamiin.

Tulisan Tangan Ahmad

Melihat kertas yang dipakai buat bikin sketsa tertulis kata "Mas Hilmy" yang sangat banyak dibuat oleh Ahmad bikin senyum-senyum sendiri. Liburan tahun ini Ahmad berbeda, kulitnya terlihat cerah, wajahnya pun lebih riang, dan semakin ke sini terlihat Hilmy Kecil yang dimana Ahmad suka banget main keluar dan jalan-jalan, suka main berantem-beranteman dan main game tentunya.

Ahmad akhirnya mau menjadi ceria di depan kamera, setelah melihat video kecilnya yang di rekam kakak-kakaknya. Begitulah mad, kakak-kakakmu itu sangat suka sekali kenangan dan mengenang, makanya kamu jangan cembetut mulu ya.

Ahmad sekarang lagi serius mainin rubik 4x4, tapi dia pusing sendiri. Saking pusingnya dia sampai buka youtube untuk cari tahu cara solving rubiknya. Aku sampai sebal, kalau pada ujungnya solving dengan rumus, lalu dimana serunya?

Pas awal-awal pun Ahmad sangat koperatif, kita nonton film bareng di kamar dengan teve bekas mbahbu yang baru dibenerin. Ah, rasanya seperti di bioskop. Walau duduknya susah sekali mencari posisi ternyaman. Tapi tak apalah, ini baru seni.

Ahmad semakin pede nyetir motor, ah aku ingat diriku kelas 4 SD di ajak Pris--teman kecilku--untuk bawa motor honda keluaran tahun 90 yang aku bahkan lupa merk dan tipenya apa. Namun bedanya, Ahmad banyak yang mendukung untuk belajar, setiap kakak dan abi pun ngajarin Ahmad nyetir motor. Dahulu, aku di tentang keras oleh Kakek.

Ahmad yang cuek soal si Sendu Menawan, tapi dia akhirnya mau di cukur botak karena diiming-imingkan pas acara rambutnya udah lebat lagi dan jadi ganteng lagi. Dasar anak kecil, polos sekali.

Ahmad akhirnya berenang, dua kali dia berenang selama liburan. Entah apa yang membuatnya suka berenang, tapi kali ini aku ikutan lagi menemaninya. Tidak hanya menemani, akhirnya Ahmad mau kuajari berenang, perlahan dia bisa tapi malah aku yang nggak sabaran. Sampai aku mikir, kayaknya aku nggak cocok jadi guru. Rasanya pengen cepet bisa mulu kalau ngajarin orang.

Satunya lagi, Ahmad berenang dengan temannya yang di rumah. Senang sekali dari foto yang terambil. Ahmad selalu suka berenang, setiap hari dia merengek berenang. Beruntung dan sudah menjadi skenario Allah abi kerja di sekolah yang punya kolam berenang. Setiap pagi kolam berenangnya sepi, sehingga Ahmad dan lainnya bisa bermain sepuasnya dengan lowong.

"Mad, kalau pulang sendirian ke solo bisa nggak?" Ahmad yang percaya diri bilang bisa aja. Entah apa yang dia bayangkan.

Ahmad lagi giat belajar mencuci, kerjaannya gangguin umi untuk belajar mencuci. Ahmad sudah masuk kelas 4, di pondoknya kalau udah kelas 4 harus mencuci sendiri. Aku cukup salut dengan tekadnya, jika itu aku, mungkin aku udah misuh-misuh masih kelas 4 SD sudah harus nyuci baju sendiri. Kan males banget tauk.

Ahmad pulang tanpa aku. Saat itu aku tidak pulang karena katanya di rumah bakal sepi--semua pada ke rumah mbahbu untuk mengantar Aufa dan Ahmad ke stasiun senen. Aku sedih sih, gemas sekali itu anak sekarang.

Akhirnya mereka benar pulang.
Dan aku sekarang merasa kangen, ketika melihat tulisan "Mas Hilmy" atau "Mas Mimi" yang banyak itu, serta tulisan "Abi Umi" yang tertempel di permukaan pintu kulkas. Sejatinya Ahmad sedikit kesulitan dalam menulis dahulu, tapi sepertinya sekarang sudah cukup pandai walau font-nya aneh-aneh.

Semoga mereka sehat selalu, menjadi pria yang tumbuh dengan Iman, menjadi pejuang agama yang indah ini. Selamat melanjutkan perjuangannya kalian, sungguh kalian sangat jauh lebih hebat dari kakakmu yang kerjaannya bolak-balik cek sosial media mulu huff..

Cita-Cita

Sedari kecil, aku selalu terdiam saat ditanya tentang cita-cita. Aku terkadang heran dengan anak-anak yang penuh percaya diri bilang ingin menjadi ini atau itu. Aku tidak mengerti bagaimana cara bekerja cita-cita itu. Aku hanya bisa melihat, di depan sana, hanya ketidakpastian yang menunggu.

Dengan tidak adanya cita-cita di kepalaku, aku hanya melakukan apa yang menurutku baik, apa yang kusukai, apa yang mungkin ke depannya sedikit ada harapan. Tapi, aku tidak pernah berpikir mau jadi apa belasan tahun ke depan, tidak, tidak terlintas sedikit pun di kepalaku.

Apa aku pernah bermimpi menjadi komikus karena aku suka menggambar? Mungkin pernah terlintas, tapi tidak pada akhirnya. Apa aku pernah berpikir ingin menjadi pemain voli profesional karena aku gemar latihan voli ketika SD? Tidak, semua itu tidak lebih apa yang ingin aku lakukan dan aku sukai.

Sungguh, aku tidak mengerti mekanisme cita-cita itu bekerja. Semakin beranjak dewasa, aku tersenyum melihat orang-orang yang dahulu dengan percaya diri menceritakan cita-citanya, kini jauh dari apa yang dia bilang.

Bukankah terlalu dini bicara cita-cita sejak kecil? Bukankah terlalu dini untuk menentukan tujuan?
Maka itu aku tidak terlalu suka.

Tapi, aku harus mengernyitkan dahiku. Mereka yang dahulu menjelaskan cita-citanya dengan percaya diri itu mungkin tidak tiba apa yang mereka katakan, tapi mereka selalu beradaptasi dan terus mengejar apa yang disebut cita-cita itu. Mungkin menjadi bentuk lain, sesuai apa yang mereka dapatkan selama mereka tumbuh.

Ada yang awalnya dokter lalu menjadi guru, ada yang awalnya pemain musik lalu menjadi alim ulama. Ketidakpastian itu sesuatu yang terjadi, kita tidak tahu apa-apa. Tapi, cita-cita yang kulihat sekarang adalah sebuah tekad, tekad memiliki mimpi, tekad berani bermimpi, tekad mengejar mimpi, tekad teguh pada sebuah tujuan.

Cita-cita, ia bisa berubah-ubah, tapi tekad daya juangnya lah yang tersimpan. Di situlah, aku merasa kehilangan. Tanpa tujuan atau disini sebut saja cita-cita, terkadang kita tidak punya upaya untuk mengambil keputusan besar, tidak ada upaya untuk berubah.

Bagaimana mau mengambil keputusan besar atau berubah, orang kita tidak tahu mau kemana kaki ini melangkah? Takut bermimpi, merasa terbebani, dan mengalir begitu saja adalah apa yang kurasakan saat ini. Aku, hingga saat ini tidak pernah tahu apa cita-citaku. Ingin jadi apa aku? Apa bekerja sebagai desainer adalah memang impianku? Mungkin iya, tapi tekad apa yang terasa hambar belakang ini? Apa yang salah? Apa yang sebenarnya menjadi tujuanku, cita-citaku? Apa dan apa?

Banyak pertanyaan, begitu pun kalian tentunya, kita selalu punya banyak pertanyaan di setiap keadaan atau di setiap fase kehidupan. Selalu ada pertanyaan yang entah kapan atau apa jawabannya, atau pertanyaan yang membuat kita terlihat ragu atau mungkin malah meyakinkan.

Aku hanya ingin termenung beberapa lama memikirkan itu semua, walau aku tidak yakin ada jawabannya.

Rabu, 19 Juni 2019

Seandainya langit-langit malam bisa diajak bicara, apa ya yang akan kamu katakan? Lihat, malam ini tak ada bintang, apa kamu tidak sedih? Atau bulan purnama sudah cukup? Tapi malam ini warnanya sedikit berbeda, tidak hitam pekat kayak hari lainnya.

Aku sedang jenuh dan sangat bosan, ingin keluar dari banyak rutinitas, tapi apa ya langit? Beri aku saran, kumohon. Ah, tapi kamu hanya terdiam, entah balik memandangku atau tidak.

Baiklah baik, aku akan diam. Maafkan aku.
Sebuah pertanyaan malam ini, apa sih yang sedang kamu cari, My?

Senin, 17 Juni 2019

Kue Ulang Tahun Dari Ibu

Hari ini tiba-tiba ka Amri masuk ke ruangan bawa kue ulang tahun. "Dari ibunya Arya, tantenya ngasihin, katanya dia ulang tahun hari ini."

Semua ruangan pada terkejut, sementara itu si Arya di luar ruangan. Aku tidak habis pikir segitunya ibu Arya ingin memberi kesan untuk anaknya yang terlihat suka tanpa ekspresi gitu. Haha, maaf ya.

Lalu sekian lamu dianggurkan itu kue, ka Amri pun membawanya lagi dan beranjak keluar sambil bilang. "Dah gue kasih langsung aja ya?"

Belum genap membuka pintu aku teriak, tidak terima. "Janganlah! Kita bakar lilinnya. Susah-susah ibu kasih kuenya, kita harus beri kesan, tidak hanya pesan aja." Kataku sok yakin gitu.

Akhirnya kita bagi tugas, Indah--teman kerjaku--ke dapur ambil lilin untuk dibakar disana yang disambungkan ke lilin kue ulang tahunnya, sementara aku pura-pura diskusi desain dengan Arya. Setelah berhasil, semua anak Skydu masuk ke ruangan, lalu ka Amri keluar dari kamar mandi ruangan sambil membawa kue.

Sungguh, terjadi momen awkward gitu. Semua terdiam, tapi akhirnya berusaha diceriakan sebagaimana semestinya. Hingga akhirnya doa terpanjat dan lilin tertiup, kue pun dipotong-potong. Aku pun baru ingat belum ambil bagianku hiks.

Akhirnya di tutup dengan foto-foto, aku yang memfotonya dari ujung ruangan.
Semua terjadi begitu cepat. Tapi aku masih takjub sampai segitunya ibu Arya mengingat ulang tahun anaknya, lalu di kuenya tertulis. "Kue Ulang Tahun dari Ibu." kalau nggak salah seperti itu tulisannya.

Aku mengingat diriku, sepertinya hampir tidak pernah ulang tahunku diingat oleh umi. Haha. Ya berharap tidak berharap sih. Aku hanya ingin menjadi spesial aja dalam satu hari, tidak maksud merayakan atau bagaimana, karena perhatian itu lebih dari penting bagiku.

Jika sehari ku dapat perhatian penuh dari orang sekitarku, aku merasa sangat hidup kayaknya. Tapi, yasudahlah, semua masih bisa dinikmati hehe.

Minggu, 16 Juni 2019

Trauma

Basket minggu pagi ini menelan korban. Temanku, Ayyash, cedera, aku lupa detil mananya yang bermasalah. Tapi, aku jadi ketakutan, aku memandang lututku. Lututku sudah mau 8 tahun bermasalah. Aku pun takut jika di masa tua lagi kakiku tidak berfungsi dengan baik.

Kalian tahu, harga operasi cedera-cedera ini tidak murah, rata-rata di atas 70 juta. Aku mendengar dari saksi hidup yang pernah mengalami dan kembali ke dunia perbasketan. Beruntung jika aku atlet yang memang itu risiko pekerjaanku, aku hanya mencari keringat agar tubuh tetap bugar.

Pernah ku coba rontgen, Alhamdulillah tulang tidak ada yang bermasalah. Tapi sepertinya entah syaraf atau apalah bermasalah. Jelas sekali perbedaan kaki kanan dan kiriku saat digerakan. Terkadang jika lututku bertekuk susah untuk diluruskan, sakit sekali, seperti menyangkut.

Semua ini berawal dari bercandaan dorong-dorongan di lumpur, yang ku kira keseleo dua tiga hari. Aapakah aku harus memintai tanggung jawab pada orang yang mendorongku? Tapi, ini sudah 8 tahun. Setelah kejadian itu, aku hanya mengurut-urut dan semua tampak baik-baik saja. Sampai akhirnya dampaknya terasa, mungkin dulu tidak begitu tampak tapi ketika kuliah itu sungguh menderita.

Aku hanya terbingung dan menjadi pikiran, semoga kamu baik-baik saja ya lutut.

Menyalakan Hati

Alamak, ternyata hidup ini tidak bisa lempeng-lempeng saja. Kupikir akan ada pilihan hidup yang penuh damai, hati yang tentram, kisah-kisah sederhana menyelimuti dari hari ke hari. Tapi, beringsut menuju dunia maya, rasanya dunia sungguh mengerikan.

Aku membayangkan, zaman dunia itu--dunia maya--tidak ditemukan. Menyeduh teh dan menyantap pisang goreng menjadi awal pagi yang mendamaikan. Tentu saja tanpa embel-embel memainkan ponsel, menggeser atas bawah kanan kiri melihat-lihat kehidupan seberang sana, yang belum tentu benar adanya, yang membuat terkadang hati tidak nyaman.

Penyakit hati itu mudah sekali terjadi, saat merasa dunia perlu dikejar setengah mati. Sialnya, kita tidak selalu bisa untuk merasa dunia ini hanya perlu digenggam, janganlah masukkan ke hati. Ya, terkadang kita pun bisa merasa dunia ini apalah, tak perlu pusing-pusing. Begitulah, semua naik turun, semua bisa saja terjadi bergiliran dalam hitungan seperkian detik.

Melihat dunia itu--dunia maya, aku bertanya, siapa yang dimaksud orang hebat itu? Kenapa mereka semua terasa hebat? Terkadang hati kecilku meringkih, apalah aku di dunia ini? Hebat-hebat sekali orang di luar sana, ada yang bisa menginspirasi orang lain, ada yang bisa menjadi tren kehidupan, ada yang bisa menghasilkan uang dengan mudah, bisa membuat karya begitu mengagumkan, ada yang bisa berbuat baik nan sholeh tidak ketolongan, bisa dicintai dan dikagumi banyak orang, rasanya sungguh mereka itu manusia terbuat dari apa? Kok bisa sehebat itu?

Titik kecil hatiku menyeruak, mengusik ketenangan pisang goreng dengan teh hangat dipagi hari. Apa yang bisa aku lakukan? Apa aku bisa seperti mereka? Ah, siapalah aku, tenang saja, dunia ini tidak dibawa mati. Benakku, yang berusaha keras untuk menyenangkan hatiku menghadapi kenyataan kalau aku bukanlah siapa-siapa.

Siapalah aku? Boro-boro bisa menginspirasi, ketika menulis di dunia itu--dunia maya--bingung setengah mati. Niat yang tidak lurus, ingin dikenal banyak orang, ingin dikagumi banyak orang, ingin-ingin yang jijik sekali jika kalian ketahui.

Aku pun mencari pelarian, dunia tidak dibawa mati, tenang saja tenang. Walau hati meringis, ingin sekali aku seperti mereka-mereka. Aku tidak ingin membohongi diri sendiri, tapi, ada yang lebih penting dari itu.

Melihat orang lain. Manusia amatlah unik, aku tidak mengerti terkadang. Bicara dengan A seolah dunia ini begitu penuh perasaan, lalu bicara dengan B seolah dunia ini tidak harus dipedulikan. Ada yang berobsesi, ada yang tidak peduli, ada yang dilema di persimpangan.

"Aku ingin menjadi Buya Hamka, bisa memiliki banyak kemampuan. Menulis, pejuang, pendakwah, berpolitik, dan banyak kehebatannya lagi. Aku tidak ingin menjadi manusia yang fokus satu kemampuan saja, aku ingin bisa melakukan banyak hal walau tidak mahir." Kata seseorang di hadapanku dengan yakinnya dan bersemangatnya.

Aku tersenyum kecut. Lucu sekali kata-kata itu bagiku. "Kau tahu? Aku justru ingin melepaskan banyak hal yang pernah aku geluti untuk fokus dengan satu hal saja hingga mahir. Aku merasa bisa banyak hal tidak membuat diri ini menjadi sangat amat berarti, yang membuat diri ini tidak tergantikan oleh orang lain gitu Tapi, kau malah memilih apa yang aku dapati sekarang."

Aku tertawa. Dia terdiam. Kita tidak memiliki kesepakatan, dan siapa peduli atas apa yang benar akan semua ini.

Melihat orang lain membuat hatiku sedikit tenang, apalagi orang yang tidak peduli dengan kehebatan-kehebatan orang-orang di dunia maya. Bagi mereka, urusi saja dirimu sendiri. Menjadi bermanfaat akan apa yang bisa dilakukan. Bagi mereka, kehebatan dan ketenaran bukanlah segalanya dan bukan satu-satunya bukti bahwa kita hebat atau berguna atau apalah namanya.

Berimbang. Dunia ini memang tidak sedamai air di bak mandi, tidak ada riak, tidak ada ombak. Tapi melihat dari banyak sudut, memberikan pemahaman yang berimbang. Membuka pikiran bahwa, semua memang tentang pilihan hidup masing-masing. Ada yang melewati gemerlapnya kehidupan, ada yang diam-diam menusuk musuh dari belakang. Ada banyak cara, namun tujuanlah yang amat penting.

Apa tujuan hidupmu?
Perbincangan malam yang kurasa masih belum tuntas.

Semua hal di dunia ini, atau maya, atau manapun, terpenting adalah meletakkan tujuan. Membuat jalan apapun memiliki arah, membuat cara menjadi pijakan menggapainya--tujuan. Banyak orang tahu, hidup di dunia ini satu tujuannya, mendapatkan ridha-Nya, diganjar surga-Nya, dan hidup kekal di dalamnya.

Tapi, banyak orang masih gelisah. Ah, tentu saja, salah satunya aku. Banyak sekali yang bisa dilakukan untuk tujuan itu. Oleh karena itu, terbingunglah diri ini. Hal seperti apa yang cocok dan pantas aku terima untuk dilakukan. Berdasarkan latar belakang karakteristik, kemampuan, dan banyak lagi yang sudah diri ini bentuk dari waktu ke waktu. Aku merasa perlu sesuatu yang tepat untuk diperjuangkan agar tercapai tujuan mulia itu.

Semua itu bisa berubah-ubah seiringnya waktu, bisa jadi cara hari ini yang kudapati berbeda dengan besok. Bisa jadi pemahaman hari ini bisa berubah dengan besok. Tapi, semoga tujuan kita taklah berubah. Terpatri jauh, sangat jauh dalam hati. Walau terkadang ada ombak menghujam tajam, tapi tetaplah ia terpatri dengan susah payahnya.

Alamak, kemana arah pembicaraan ini? Aku sendiri pun bingung. Benar kata ustadz kondang Aa Gym, jagalah hati.

Jagalah hati jangan kau kotori
Jagalah hati lentera hidup ini
Jagalah hati jangan kau nodai
Jagalah hati cahaya illahi

Bila hati kian bersih, pikiran pun kian jernih
Semangat hidup kan gigih, prestasi mudah diraih
Namun bila hati busuk, pikiran jahat merasuk
Ahlak kian terpuruk, jadi mahluk terkutuk

Bila hati kian suci, tak ada yang tersakiti
Pribadi menawan hati, ciri mukmin sejati
Namun bila hati keruh, batin selalu gemuruh
Seakan dikejar musuh, dengan Allah kian jauh

Bila hati kian lapang, hidup sempit tetap senang
Walau kesulitan datang, dihadapi dengan tenang
Tapi bila hati sempit, segalanya makin rumit
Seakan hidup terhimpit, lahir batin terasa sakit

Bila hati kian benci, tutur kata penuh benci
Perilaku tak terpuji, bisa jadi mahluk keji
Namun bila penuh sayang, hati pun akan disayang
Hidup pun terasa lapang, hidup bersama kan senang

Bila hati bertawadlu, hidup indah semanis madu
Ahlak menawan qalbu, berpisah pun slalu dirindu
Tapi bila hati takabur, bathin pun slalu berdebur
Merasa sehebat guntur, akhirya masuk kubur

Bila hati penuh dendam, bagai api dalam sekam
Penuh bara kehancuran, hidup jadi mengerikan
Tapi bila memaafkan, bathin tentram menyejukan
Asal lawan jadi kawan, hidup damai kita rasakan

Bila hati iri dengki, tak rela orang dapat rizki
Tak pernah mau memuji, hanya bisa mencaci maki
Namun hati yang bersyukur, kebaikan tak pernah kendur
Apalagi bila kita akur, negeri ini akan segera makmur

Bila hati bermusuhan kedamaian hanya impian
Hidup saling melumpuhkan, negeri ambruk memilukan
Namun bila hati bersatu, kekuatan kan terpadu
Kita bangkit untuk maju, bangun negeri yang kita rindu

Ya Allah, jagalah hati-hati kami akan apapun yang sedang atau akan terjadi di dunia ini. Semoga senantiasa terus menapaki jalan yang Engkau Ridhoi, menuju tujuan yang sebenar-benarnya tujuan.

Jagalah hati, hidup ini mungkin akan berdamai seperti segelah teh hangat dan pisang goreng di pagi hari. Semua hal sedang dan akan terjadi, entah dunia ini atau maya, tapi seperti apa yang pernah kubilang di berbagai postingan sebelumnya. Sisanya, bagaimana kita menyikapinya, dan menyikapi itu tidak mudah, butuh hati yang bersih, hati yang terus menyalakan cahaya illahi.



Sabtu, 15 Juni 2019

Berkata Masa Depan

Sore itu seseorang menepuk pundakku dengan wajah amat berserinya. Memuji-mujiku dengan maksud bercanda, aku pun tak lupa balas memujinya dengan maksud bercanda juga. Dia sungguh terlihat amat berbahagia, senyumnya merekah, matanya sampai tertutup kelopak dan pipinya.

"Gue nanti sekantor sama temen lu, Adi (nama samaran)."

Aku berhenti melangkah sejenak. "Serius? Wah parah ninggalin gue." Kataku sambil mengusir tangannya dari pundakku, seolah kecewa.

"Iya, paling nanti gue sampaikan mengundurkan dirinya."

Aku agak sedih sebenarnya, tapi ya bagaimana pun itu pilihan dia. Tapi, jauh dari kesedihan itu kepalaku berpikir perihal email dari HR kemarin itu. Ada apa ini? Kenapa semua seperti bersamaan? Apa tanda yang sedang ingin disampaikan?

Setiba sore, aku mengajak diskusi dengan seorang teman. Kita bertukar pandangan, bicara soal masa depan. Akan apa yang sebenarnya jadi hasrat untuk dilakukan, atau menimbang-nimbang kemungkinan.

Aku yang sebenarnya tidak tahu apa selanjutnya atas semua ini, aku tidak tahu mau jadi apa, banyak sekali hal-hal tentang masa depan terpampang di hadapanku belakangan ini. Banyak impian-impian orang yang mempengaruhi pola pikirku.

Bicara hitung-hitungan pendapatan dan kehidupan setelah fase membujang yang sepertinya butuh perhatian khusus. Masalah value-value kehidupan yang perlu dipegang. Ataupun skema-skema pekerjaan. Pembicaraan itu belum menemui ujungnya.

"Saya tidak merasa cocok sama pekerjaan ini kayaknya." Ujar teman diskusiku.

"Gak cocok? Selama ini ngelakuin padahal?" Aku kaget.

"Iya, belakangan ini saya sadar tidak menikmati pekerjaan ini."

Aku mengangguk. "Mungkin, sekarang kita bebas menentukan apapun karena tidak ada tekanan, mungkin kalau sudah nikah dan banyak tanggung jawab banyak yang harus diperhitungkan." kataku jika menghubungkan ke pembahasan sebelumnya--tentang kehidupan setelah membujang.

Kali ini dia mengangguk.

Lalu, sekarang aku berpikir, apa ya yang dipikirkan oleh anak-anak yang tinggal di desa? Yang mungkin seperti tidak punya pilihan pekerjaan dalam hidupnya? Atau anak desa yang bertanam, atau nelayan, atau pekerjaan semacamnya, apa yang ia pikirkan masa depan dan keluarganya? Apa ya?

Aku menutupnya. "Mungkin, aku akan berdiam diri, hingga nanti aku bisa berdiskusi dengan seseorang yang akan menemaniku dalam mengarungi hidup ini. Untuk merencanakan hidup dari awal lagi, seperti novel ayat-ayat cinta." sebenarnya diksinya tidak seperti itu sebenarnya, haha.

Nyatanya, pertanyaan-pertanyaan saat diskusi akan masa depan dan apa yang harus dilakukan belum menemukan jawaban, tapi tak apalah, kita memang perlu khawatir akan masa depan agar kita terus memikirkannya dan menjalankannya sebaik mungkin. Semoga begitu harusnya.

Rahasia Kecil Pak Tua

Rahasia kecil dari Pak Tua, "Bicara perasaan, sembilan dari sepuluh kecemasan muasalanya hanyalah imajinasi kita. Dibuat-buat sendiri, dibesar-besarkan sendiri. Nyatanya seperti itu? Boleh jadi tidak. "

*

Bicara teori. Banyak sekali teori-teori yang kudapati, atau bahkan lebih dari itu, pengalaman orang yang benar-benar baru terlewati atau lazim orang-orang rasai.

Saat mengetahui semua teori itu, aku mengangguk takzim. Paham betul bagaimana semua teori itu terjadi dan bagaimana penyelesaiannya. Lalu, tibalah aku di masa-masa itu. Semua berantakan, sungguh, aku selalu tidak yakin jika bicara. "Aku bisa menerima semuanya." karena aku pikir, saat bicara itu aku dalam kondisi terbaik. Bagaimana jika aku sedang kalut atau mengacau, apa aku bisa berkata dengan yakin "Aku bisa menerima semuanya."

Kondisi, bisa mengacaukan teori dengan segala hasilnya. Salah satunya adalah kondisi perasaan. Sungguh, rahasia kecil dari Pak Tua itu nyata sekali. Berapa kali aku hadapi? Tak terhitung mungkin. Sedihnya, aku tahu masa itu, aku tahu harus bagaimana tapi nyatanya aku tidak melakukannya.

Kalah, kalah dengan imajinasi-imajinasi yang belum tentu nyatanya. Kalah akan kondisi yang menyelimuti dan membuat diriku lupa dengan teori dan segala penyelesaiannya.

Apakah itu bisa disebut tidak bisa memegang omongannya?
Sungguh, memegang janji itu sangat berat. Saat berkata terasa itu mudah sekali, saat mengalami? Hanya pertolongan dari Allah yang dapat memudahkannya.
Jika aku boleh meminjam satu julukan dari kisah roman, aku akan memanggilnya, Sendu Menawan. Ah, aku bisa membayangkan kecocokkannya.

Dan aku setuju dengan perkataan mas Salingga.

"Kisah atau novel yang gue sukain adalah kisah roman."

Jumat, 14 Juni 2019

Jangan biarkan aku, jangan, hilang.
Melewati batas hari, sirna akan harapan.
Berharap pelukan, melepas rindu.
Menjadi tenang, dan tenang.

Kamis, 13 Juni 2019

Aku Tidak Suka Telepon

"Karena kamu yang butuh, jadi kamu yang menentukan. Jangan menggantungkan hidupmu ke orang lain." Kata orang itu.

Aku tertegun, sebelumnya aku cerita kalau aku tidak bisa apa-apa dengan sendirian. Aku selalu mengandalkan orang lain untuk menjadi orang yang menemaniku. Lalu dia benar-benar menekankan untuk tidak memasukkan peran orang lain dalam jalan kehidupan yang diperjuangkan.

"Kalau kamu menunggu ada temennya, bagaimana jika kamu mau S2? Apakah jika tidak ada temennya akhirnya kamu tidak S2?"

Sekali lagi, jalan hidupmu adalah kamu yang menentukan, bukan orang lain.

"Oke, jika kita bertemu jelaskan via obrolan langsung jika tidak chat pun tidak apa-apa, asal jangan telepon." Kataku memutuskan.

"Kenapa jangan telepon?" Dia heran.

"Aku tidak suka."

"Kenapa tidak suka?"

Aku tidak punya alasan. "Intinya setiap ada hal yang harus diobrolkan, aku paling enggan membahasnya melalui telepon."

Lalu aku jadi bertanya sendiri, kenapa ya aku tidak suka di telepon?

Inversi

Tidak selamanya kita akan menjadi sesuatu yang kita bangun, ada fase kita akan berhenti sejenak dan seolah/berusaha berbalik sikap. Ah, mungkin itu aku saja.

Hari itu aku menerima sebuah email dari HR sebuah perusahaan unicorn, ada tawaran lowongan yang sesuai dengan bidangku. Aku membuka prasyaratnya, lalu otakku bertanya-tanya, apa aku sudah selevel dengan mereka yang bekerja di perusahaan lebih besar dan terorganisir itu?

Apakah aku mempertimbangkannya? Tentu saja. Tapi bukan karena tawaran lowongan itu, tapi karena aku mulai di titik jenuh. Aku merasa sedang enggan masuk ke circle keseharianku selama setahun lebih ini. Aku merasa, ingin memutar balikkan diriku.

Aku ingin berhenti melangkah sejenak.
Menarik nafas, dan berjalan dengan cara lain.

Aku merasa butuh circle lain, seperti zaman SMK atau Kuliah, aku memiliki beberapa circle pertemanan yang jika jenuh aku bisa berpaling. Sungguh aku bukan orang yang setia semenjak SMP. Aku senang mengenal dan banyak dikenal, walau akhirnya tidak ada yang jadi sahabat dekat.

Mencari circle baru pun bisa banyak jalan, bisa pindah kantor, bisa pindah tim, bisa cari komunitas, bisa ikut tongkrongan, atau bahkan pengajian. Banyak sekali jalan. Tapi, melihat lowongan di perusahaan besar membuatku berpikir, apa coba di kehidupan baru yang lebih besar dan mungkin menantang? Entah.

Aku pun merasa lelah terlalu banyak bicara. Terkadang aku merasa, apa aku mengganggu ya jika di ruangan? Hal itu membuatku urung untuk masuk ke ruangan, aku memilih untuk pulang dan bekerja di kamar sendirian dengan speaker tercintaku--beruntung di kantor ada fitur bekerja remote.

Aku ingin diam, tapi tidak semudah memutar balikan fakta. Aku sulit sekali berdiam diri jika ada orang yang sering aku ajak bercanda atau ngobrol. Aku pun harus mengingat nasehat guru-guru jika ada murid yang berisik. "Keluar sana kalau berisik." Aku pun memilih itu.

Aku, tiba pada tahap jenuh.
Aku ingin menghentikan semuanya, entah sementara atau selamanya.

Aku rasanya lelah menjadi seorang desainer, pertama kalinya aku berpikir seperti ini. Aku merasa tidak kreatif, terlalu banyak meniru sana-sini, atau mungkin waktu yang sempit, atau lagi karena banyak hal yang harus di desain.

Aku kadang malu, apa iya aku orang yang kreatif? Apa iya aku layak dibilang desainer? Apa bukan seorang pecontek ulung? Aku sedang tidak percaya diri. Aku pun berpikir, bagaimana jika aku beralih ke tugas yang lain? Misalnya jadi seorang tester, atau jadi seorang programmer (ini lebih nggak mungkin), atau jadi seorang product owner, atau jadi seorang project manager? Entahlah.

Apa semua sedang baik-baik saja?
Atau aku yang berkutat dengan pikiran-pikiranku saja?

Tidak semuanya bisa diterima dengan baik, walau terlihat semua baik-baik saja. Pagi ini, rasanya semua berantakan, aku tidak tahu apa, rasanya aku tidak nyaman. Beruntung bermain basket bisa membuang peluh dan keluh. Ramai, membuatku bahagia.

Tapi, ternyata sisi introvertku tiba. Aku ingin sendirian di kamar, dan aku pulang. Beruntung, bisa berbincang dengan teman lama dan bertukar kata-kata. Ya, setidaknya bisa menemani dalam heningnya kamar--walau pakai speaker, tetap hening.

Ada beberapa orang lain juga yang muncul di permukaan chat, ributlah kita disana. Orang yang belum lama di kenal, tapi udah benar nebak bagaimana aku bersikap dan bersifat. Sempat terkejut dan malu sih, tapi ya begitu adanya aku.

Katanya, "Apakah efektif my dengan memendam banyak hal dan bersikap seperti seakan tidak ada apa2 dari luar?"

Lalu, "Gatau kamu kan kadang suka beda antara apa yangg ditampakkan dan yangg sebenernya dirasa?"

Aku tertohok saat membaca dua itu. Sebegitunya kah aku? Apakah aku naif? Apakah aku bersembunyi pada sebuah topeng? Topeng yang orang lain ingin liat? Entahlah.

Mungkin aku selama ini berpura-pura.
Bahagia atau sedih, untuk sebuah perhatian?

Aku tahu rasanya melihat orang yang cerewet atau semacamnya ke banyak orang dalam satu circle. Kata yang terlontar dari orang lain adalah, "Sok kenal sok dekat" atau "cari perhatian". Aku tahu memang terlihat seperti itu, tapi jika aku, aku tidak tahu apa memang aku begitu? Rasanya ketika aku yang mendengarnya? Tentu saja sakit.

Dari hal-hal seperti itu, aku banyak menolerir berbagai macam tindakan orang yang kuanggap itu adalah tipikal orang itu yang telah tumbuh dari berbagai macam alasan dengan waktu yang panjang sehingga tidak mudah dihindarkan atau sebenarnya ia bertujuan baik dan kita sinis melihatnya karena hati yang tak lapang.

Apakah aku harus berbalik arah
Mencari-cari jalur yang belum aku tapaki?

Ketika kita sudah menentukan suatu pilihan, kita telah menggugurkan pilihan lainnya. Kita sudah menutup jalan-jalan lainnya. Kita akan terus maju pada pilihan kita, hingga akhirnya kita akan dihadirkan pilihan-pilihan berikutnya, dan begitu terus semua terjadi.

Terkadang, saat kita melewatkan pilihan lain, ada pertanyaan-pertanyaan, "Bagaimana jika kita memilih pilihan yang lain? Bagaimana kisah berikutnya?"

Seandainya hidup ini bisa mencoba segala jalan pilihan, mungkin rasa penasaran itu tidak akan lagi hadir dan membawa kegundahan yang mendesir di relung jiwa.

Inversi, setiap orang punya sisi lainnya
Apa itu?

Aku melihat hasil tes MBTI, sebuah tes kepribadian dengan menjawab soal-soal lalu kita akan tercluster pada sebuah role. Role-ku adalah campaigner atau juru kampanye. Aku melihat disana nilaiku pada bagian introvert atau extrovertku jauh condoh ke extrovert. Aku merasa itu benar, aku mudah sekali mendapatkan energi dari orang lain atau sekitarku.

Tapi, aku tidak melupai sekian persen introvertku. Aku ingat ketika aku senang berjalan kaki di kampus saat malam tiba sendirian. Aku ingat bisa banyak memikirkan apapun sendirian dengan khidmat. Saat itu aku seolah kembali berenergi.

Atau terkadang aku suka berdiam sendiri di kamar, menonton film sendirian, atau berkhayal-khayal. Ah rasanya hidupku kembali terisi. Begitu pun yang aku lakuin sekarang, pulang ke rumah, dan aku berharap bisa sebulan ini bisa bekerja di rumah dengan tenang dan menikmati semuanya sendirian.

Aku senang, di rumah ada orang tua dan adikku, jika aku lelah sendirian aku bisa bercanda dengan mereka. Walau sepertinya tidak setiap waktu bisa karena umi dan abiku harus bekerja dan adik-adikku balik ke sekolahnya.

Begitulah, tipikal, fase, fakta
Semua ada dua sisi.

Peduli

Peduli setan.

Sudah sangat lama ku tidak berkata itu, dan kini ingin saja menulis kata itu.

Rabu, 12 Juni 2019

Konsep 99

Ada seorang raja yang merasa gelisah tidak tenang, lalu dia melihat seorang pekerja kebunnya yang terlihat bahagia. Sang raja heran. Keheranan itu membut penasihatnya penasaran.

"Ada apa raja?" tanya penasihat.

"Aku ingin seperti pekerja kebun itu, ia terlihat bahagia."

Sang penasihat tersenyum. "Jadi karena itu raja terlihat gelisah, mari kita coba si tukang kebun itu apakah dia akan tetap bahagia atau tidak."

Sang raja heran, tiba saja sang penasihat meminta sebuah peti yang berisi dinar sebanyak 99, sementara di atas petinya tertulis 100 dinar. Sang penasihat pun meminta anak buahnya untuk membawakannya ke rumah si tukang kebun.

Si tukang kebun itu pun terkejut ketika membuka pintu rumahnya, ia melihat sebuah peti bertuliskan 100 dinar dari raja. Si tukang kebun begitu antusias, ia membawa peti itu ke dalam rumahnya. Ia pun tidak perlu disuruh lagi untuk menghitung jumlah dinarnya. Ia hitung satu demi satu keping lalu dia terbingung, kok cuman ada 99 dinar? Herannya.

Ia merasa ada yang hilang, pikirnya bisa jadi satu kepingnya terjatuh, atau mungkin raja melupakan satu kepingnya? Si Tukang kebun pun hilir mudik hingga ke istana untuk mencari satu kepingnya itu, wajahnya terlihat gelisah, rasanya sungguh tidak lengkap sekali jika tidak menemukan 1 keping itu.

Dari kejauhan, sang raja dan penasihat melihatnya. "Anda lihat wahai raja? Begitulah, kehidupan ini."

Sang raja tersenyum seraya mengangguk.

"Kita sudah diberikan banyak sekali, tapi kita justru gelisah akan satu hal yang tidak kita miliki." Tutup sang penasihat.

***

Konsep 99 yang diceritakan mas Salingga setelah melepas jumpa di hari pertama kerja. Banyak sebenarnya yang kita bahas, dan ia menekankan kisah itu.


Memutuskan

Tidak bisa sendiri. Selain apa-apa maunya bareng-bareng sama orang lain. Untuk memutuskan keputusan aku kesulitan jika itu hanya buah pemikiranku sendiri. Rasanya tidak percaya diri saja memegang tanggung jawab penuh atas memutuskankan suatu perkara.

Bukan, bukan berarti tidak berani bertanggung jawab penuh. Tapi, adanya diskusi untuk memutuskan sesuatu hal menjadi energi sendiri untuk berani memutuskan. Begitulah, kehidupan yang tidak bisa terlepas dari kehidupan orang lain.

Bersyukur dan senang ada banyak orang yang mau meluangkan waktunya untuk berpikir bersama hingga akhirnya, keberanian dalam diri ini tiba dan memutuskannya.

Selasa, 11 Juni 2019

Fase dan Sikap

Entah bagaimana aku merasa fase adalah kata-kata penting diriku untuk menyikapi sesuatu. Bagiku, banyak sekali hal yang kupikir itu adalah sebuah fase. Sebuah kewajaran jika terjadi dan menimpaku, bahkan, aku pikir semua yang ada adalah fase yang pasti akan menimpaku cepat atau lambat, entah dalam bentuk berbeda atau sama.

Sirkulasi kehidupan sebenarnya tidak jauh dari ini itu yang kita alami keseharian, dari orang tua kita sering ceritakan, tidak, tidak jauh berbeda. Mungkin, sekali lagi, hanya berbeda bentuk. Akhirnya ku merasa ya semua itu adalah fase.

Berawal dari kisah bahwa kegagalan itu adalah sebuah fase yang pasti dilewati untuk mendapati keberhasilan. Well, kegagalan berarti itu bukan hasil? Itu hanya fase? Hanya jalan-jalan pijakan? Apakah berhasil itu pun adalah hasil? Apa tidak itu sebuah fase juga?

Mungkin bagaimana kita melihatnya. Jika di fase kegagalan kita berhenti, mungkin itu menjadi sebuah hasil. Tapi, kalau kita terus menitih ikhtiar kita, kegagalan bisa jadi hanya fase yang dilewati sesaat lalu tiba pada keberhasilan.

Tidak, tidak ada masa atau fase yang abadi di dunia ini. Semua silih berganti, ujian Allah itu selalu adakan? Dikala kita senang atau sedih? Bayangku, tidak ada yang dinamakan hasil di dunia ini. Mungkin satu-satunya hasil adalah surga atau neraka atas amalan dan dosa kita.

Di dunia ini, semua terasa seperti fase, setiap fase kita perlu perjuangkan dengan sebaiknya dan tidak perlu pusing apa yang dialami karena fase itu akan pasti terjadi cepat atau lambat dalam bentuk berbeda. Intinya, bagaimana kita menyikapi fase itu sehingga membuahkan hasil di alam kekal nanti--akhirat.

Fase-fase kehidupan yang amat besar seperti pertumbuhan manusia, dari balita, playgroup, TK, SD, SMP, SMA, Kuliah, Kerja, Menikah, Punya Anak, Menikahkan Anak, Punya Cucu, dan banyak lagi. Semua itu pada umumnya akan di lalui setiap manusia, walau tidak selalu sama urutan atau bentuknya.

Lalu yang berbeda adalah fase detil setiap fase besar itu, seperti lelahnya menjemput jodoh, capeknya skripsi, pusingnya ujian masuk perguruan tinggi, fase-fase itu tidak perlu kita pusingkan, karena jika ingin menikah ya kita harus menjemputnya, ingin lulus ya harus selesaikan skripsinya, ingin masuk perguruan tinggi diinginkan yang ujian dengan baik. Semua akan di lalui, semua hanyalah fase yang perlu kita sikapi dengan baik.

Sikap adalah amalan. Setelah banyak perbincangan beberapa bulan terakhir, aku merasa fakta adalah soal dalam ujian tertulis, sikap kita adalah jawaban yang akan di nilai oleh seorang guru. Sikap atau jawaban itulah yang amat penting dalam kita. Mudah? Tentu saja tidak, terkadang kita harus menjawab dengan keadaan tenang, dengan gusar, dengan ketidaktahuan, dengan banyak keadaan yang merumitkan.

Kehidupan adalah pelajaran kehidupan yang baik. Banyak sekali analogi-analogi kehidupan yang sederhana dalam perkara besar. Tapi semua hampir sama, mekanismenya sama. Seperti analogi ujian tertulis di atas, walau tidak semua terakomodir baik, intinya kurang lebih begitu.

Fase, semua akan terjadi, entah bentuknya seperti apa. Tidak perlulah kita terlalu cinta dengan dunia ini. Sekarang bisa jadi dalam fase mencintai seseorang yang begitu indah dan yang telah dinanti, tapi kelak bisa jadi ia meninggalkan kita lalu hidup kita terasa hancur berantakan. Jemari-jemari menggenggam pasir erat itu tidak akan pernah mendapatkan pasir yang banyak, hanya membuat kecewa.

Bercukuplah dengan dunia, di sini, memang semua seolah tidak cukup dan puas, seolah semua masih bisa untuk lebih dan lebih. Bagus jika berlebih itu adalah sikap baik, amalan baik. Merugilah jika itu keserakahan akan memiliki di dunia ini.

Sikap, semua fase atau fakta penting kita sikapi dengan baik, dengan iman dan Islam. Semua sikap kita adalah ikhtiar kita yang kelak dipertanggungjawabkan, keadaan diri memang terkadang menyulitkan, tapi itu adalah ujian yang diberikan-Nya. Tenang, sikapi semua dengan baik.

Tidak perlu gusar akan keadaan, lelah, sedih, pusing, karena itu fase yang kelak disikapi akan menjadi semangat, bahagia, menyenangkan.

NB: Memang jika bicara mah mudah, jika ditimpa dan mengalami mungkin tidak semudah omongan-omongan di atas.

Minggu, 09 Juni 2019

Ngeteh

Bukan sekadar meminum teh, tapi seperti alarm untuk bercengkrama dan berbincang hangat.

Membaca Fiksi

Selama di kampung halaman, seperti yang ku bilang sebelumnya, aku tidak kemana-mana dan tidak ada hal yang aku kerjakan secara khusus. Laptop sengaja ku tinggalkan, aku hanya membawa satu novel saat itu.

Satu-satunya novel pun mau tidak mau akhirnya yang menemaniku karena aku tidak kemana-mana dan tidak ada laptop. Aku tenggelam ke dalam novel itu. Ada beberapa yang aku dapati selama membaca saat itu.

Pertama, memang beda rasanya baca novel non-fiksi dan fiksi. Jika non-fiksi walau memiliki pembahasan yang menarik, tapi aku tidak merasa penasaran, aku tidak merasa jika belum sampai habis rasanya bacaanku belum tuntas. Itu yang membuat aku terseok membaca kisah non-fiksi.

Aku bahkan kaget ketika ketemu seseorang yang sudah menulis non-fiksi sebanyak 25 buku dan tidak suka baca buku fiksi, dia katanya bacanya buku non-fiksi terus. Aku ingin berdiri dan memberi tepuk tangan kepadanya.

Jika aku tarik ke sudut pandang diriku terhadap aku, itu seperti paradoks. Aku seperti yang mas Salingga bilang, tidak bisa menjiwai jika sebuah tulisan tidak memiliki tokoh dan kisah yang bergerak.

Emosi tokoh, latar tokoh, sikap tokoh, hingga membangun kisah yang runut dan terkadang menyebalkan atau membuat haru selalu berhasil membuatku penasaran dan tenggalam ke dalam ceritanya.

Aku selalu membayangkan jadi tokoh utama dengan segala karakternya, seperti aku nonton drama korea, terkadang aku merasa ingin berpenampilan seperti orang korea dengan segala ke kerenannya. Tokoh utama pun terkadang berhasil merubah jalan pikir dan sudut pandangku selama ini, pengaruh dari "kenapa" dia melakukan itulah yang berhasil merebut perhatian dan penasaranku.

Aku akan merasa berdosa jika membaca sebuah kisah fiksi dan tidak mengakhirinya. Ada rasa penasaran yang menghantui, walau terkadang novelnya itu agak monoton yang tidak tahu dimana klimaksnya.

Tapi, aku tidak serajin yang kalian bayangkan. Itu kesimpulan sederhana yang aku temukan saat membaca novel satu-satunya itu.

Beruntungnya lagi, novel yang kubaca adalah novel yang amat-amat luar biasa menarik dan teladannya. Banyak ilmu yang bisa kudapat disana, banyak penggiringan alur yang sederhana tapi ngena, aku pun bisa merasakan emosi tokoh-tokoh yang ada, bahkan aku sampai iri-lah sama tokoh utamanya.

Membaca pun membuat rasanya diri ini harus bisa berpikir lebih tenang dan lebih bijak. Rasanya, banyak sekali dampaknya. Kerennya, aku bisa menghabisinya dengan 5 hari kurang kayaknya. Itu rekor tercepat terbaru baca novel fiksiku. Walau dulu pernah cuman 6 jam doang hehe :)

Saking asyiknya, setelah selesai baca novel itu, aku pun cari-cari novel bagus lainnya yang genrenya dan kisahnya sama seperti novel itu.

Semua proses membaca kisah fiksi itu pun rasanya membuat sebuah dorongan kuat untuk diriku menulis kisah fiksi juga. Ketika baca, rasanya aku juga ingin menulis seperti apa yang aku baca dengan sudut, tokoh, kisah dariku.

Tapi apa daya, ketika di depan laptop bukannya nulis, malah nonton film-film atau melakukan hal lainnya. Ini mungkin tantangannya kali ya?

Lainnya yang membuatku terdorong kuat dalam membaca fiksi ini adalah kebutuhan. Aku merasa butuh sesuatu dan alternatifnya adalah membaca kisah fiksi. Alhamdulillah ada yang sesuai apa yang aku cari, dan rasanya lebih ngena ketika membacanya. Sempurna rasanya.

Mungkin poin-poin berantakan di atas bisa menjadi pelajaran pendekatan seseorang dalam membaca. Memang menarik bicara "Kenapa?" melakukan itu agar kita tahu "Apa" yang didapat. Sama seperti membaca, kenapa sih kita mau membaca? Lalu apa sih yang kita dapat dari membaca? Bagiku, semua telah terjabar di atas, dan ku harap semakin membaik dalam membaca.

Bismillah.

Kampung Halaman

Pulang kampung bagiku tidak sekadar pergi ke suatu tempat yang dinamakan kampung, tapi tempat dimana kecil hingga besar kita tersimpan, dan banyak orang yang bisa kita sapa serta mengenang di dalamnya.

Apa mungkin memang pulang kampung maksudnya itu ya?

Selama pulang kampung diri ini tidak ada agenda khusus yang amat penting seperti Tom Cruise di film Mission Impossible-nya. Lebih banyak di rumah, memang karena tidak ada yang mengajak keluar dan tidak tahu mau mengajak siapa keluar.

Walau terbilang pulang ke kampung halaman dimana banyak kenangan di dalamnya, tetap saja waktu yang terus berganti membuat orang-orang yang dahulu dekat kini berjarak. Tapi, bukan berarti hilang, tegur siapa menanya hal-hal klise yang memang sudah tidak kita tahu lagi.

Dimana sekarang?
Kerja dimana?
Kapan rencana nikah?
Atau pertanyaan sederhana lagi.

Bagi banyak orang mungkin itu pertanyaan klise yang basa-basi, tapi setelah aku pikir itu bisa lebih dari sekadar basa-basi. Bagiku itu adalah pintu-pintu obrolan panjang yang bisa dibahas bersama. Contohnya kemarin bicara soal kerjaan teman kecilku, Ali. Lalu akhirnya aku tahu bagaimana susahnya menjadi guru di negeri ini. Tahu betapa mengerikannya birokrasi dan menyedihkannya upah seorang guru. Semua dari satu pintu, yaitu, "bagaimana kabar kerjaan?"

Aku senang tiba di kampung halaman yang terbilang kota. Nama daerahnya komplek walikota, tepatnya di Jakarta Utara. Walau orang sudah banyak yang sepuh, tapi aku senang ketika berjabat tangan lalu mereka bilang. "Ini Hilmy yang dulu suka buntutin Eyangnya ya? Ya ampun sekarang udah besar banget."

Aku senyum, senang sekali. Bagiku, sebuah penghargaan saat orang mengingatku, apalagi mengingatku dalam jangka waktu yang lama. Aku senang saat berkunjung rumah-rumah di sepanjang jalan rumah nenekku berada. Jika tidak ada yang pindah, aku yakin semua mengenalku dan aku mengenal mereka. Ah bagiamana tidak, kecilku terkadang diurus mereka.

Walau aku tidak kemana-mana, tidak ke desa, tidak melihat hamparan sawah, tidak macet sepanjang keluar tol, tidak berhenti shalat di rest area, tapi hatiku sudah berpulang pada kampung yang tak tergantikan, pada kenangan yang diucap ulang untuk dikenang.

Aku puas.

Bahkan aku terkadang dipeluk-peluk bagai anak kecil, hey, aku sudah besar. Tak sedikit juga yang ngasih THR, aku memang sudah besar, tapi sepertinya karena ada Aufa aku jadi terlihat lebih muda hehe. Terima kasih yang telah memberi uang lebih ini, ku merasa muda lagi.

Tokoh utama, benar, rasanya lebaran ini aku sedikit menjadi tokoh utama. Banyak kabar dariku yang membuat orang-orang di kampungku terkejut dan bertanya-tanya. Aku hanya bisa menyengir tak berkomentar, kecuali ketika disodorkan pertanyaan yang amat memaksa.

Semoga semua dilancarkan. Atas doa-doa yang terpanjat di hari itu atau sebelumnya, atau setelahnya. Ah mungkin semuanya, untuk setiap orang yang berharap pada-Nya.

Keberadaan yang dianggap memang salah satu kebahagiaan tersendiri sebelum bicara kepedulian yang menghangatkan. Semoga semua ini terus berlanjut, terus menyambung ikatan sederhana ini. Aku harap kelak memiliki tetangga yang hidup tahun-menahun dan lekat seperti di kampungku.

Oh ya, sebelum pulang ke rumah akhirnya kumpul sama Dhieka dan Septian. Menyenangkan, banyak sekali yang kita bahas dan membuatku berpikir bahwa "Kita sudah tua ya, sudah banyak hal-hal hebat menanti kita yang mungkin kita tidak tahu akan seperti apa menghadapinya."

Makan di food court MKG pun merupakan menjaga kenangan. Banyak sekali waktu yang kita habiskan di tempat itu, karena keterbatasan uang, karena banyaknya pilihan makanan. Sebelum tiba aku sudah menebak akan bertemu teman SMP, eh benar saja aku bertemu teman SMP kita berbincang sebentar, saling bertukar kabar dan rencana-rencana mengumpulkan anak-anak. Aku tersenyum saja.

Obrolan pun pindah ke loteng rumah nenekku.

Di bawah langit-langit yang langsung memayungi kita, angin semilir yang menyejukan, bintang yang berkelap-kelip nan jauh di mata, serta obrolan hangat yang sudah kemana-mana. Bahkan bahasnya pun sambil ngantuk-ngantuk. Akhirnya obrolan pun kita sudahi karena banyak nyamuk, dan waktu sudah mulai pagi.

Hal-hal sederhana itu, obrolan-obrolan dosa lama itu, mengenang banyak hal itu, yang terkadang ku rindu dan itu adalah waktu yang sangat berharga.

Terima kasih, hari idul fitri 2019.
Kesederhanaan memberi kelapangan yang menenangkan.
Walau terkadang banyak nafsu yang menderu-deru.
Ah, begitulah manusia.