Minggu, 18 Maret 2018

Hujan Panah

Aku baru saja melukai diriku sendiri, belum sempat aku melanjutkan cerita pada postingan sebelumnya, kini aku benar-benar jauh dan menjauh dari semua apa yang aku perjuangkan selama ini, dari apa yang aku inginkan selama ini, dari apa yang aku banggakan selama ini.

Aku merasa sepi, aku hampa, aku sudah menghilang dari apa yang aku dapatkan. Ada rasa perih di hati ini, rasanya tidak bisa, tapi aku harus bertahan, ini pasti berlalu bukan? Aku hanya bisa mencurahkannya di sini sekarang. Aku tidak berani, tidak berani melihat dunia itu lagi. Tidak, aku harus segera bergegas.

Namun, ada satu yang aku andalkan dan seharusnya dari dulu aku berpikir seperti ini. Aku masih memiliki Allah, aku berdoa dan memohon kepadanya untuk mengurangi rasa sakit ini, membuat aku kuat disetiap detik teringat kebahagiaan yang telah aku jauhi itu dan semata-mata hanya untuk mendapatkan ridha-Nya.

Aku sedang tak karuan, aku berhari-hari di kamar dengan setumpuk tugas akhir pekan. Aku punya tontonan yang harus aku selesaikan, tapi di setiap jeda, di setiap ada momen aku tidak menyibukkan diri, aku termenung, terbayang, bahkan tidur pun tak nyaman, kebahagian itu menghantuiku, aku sungguh tercabik-cabik, rasanya seperti sedang dihujani anak panah yang melesat kencang. Perih, terasa perih. Maafkan aku, maaf. Ini sungguh menyakitkan.


Bagaimananya melewati semua ini? Aku pikir semua akan berlalu dengan sendirinya, walau terbenam kesedihan mendalam disana, sungguh dalam. Maaf ...

Selasa, 06 Maret 2018

Kita Tidak Selalu Tahu Setiap Kejadian 2

Mimpiku sederhana, salah satunya ialah aku bisa pergi keluar negeri sebelum lulus kuliah tanpa duit sendiri. Saat itu, aku belajar mimpi itu adalah keharusan, tujuan, dan kalian dapat menceritakan ke anak cucu kalian dengan penuh berkaca-kaca.
*

Aku seorang desainer, aku melabeli diriku sendiri seperti itu, karena pada hakekatnya setiap hari aku mengerjakan pekerjaan berbau desain, aku punya cita-cita untuk melanjutkan semua itu ke bangku perkuliahan. Tapi aku gagal, orang tua tidak pernah merestui. Dan kalian tahu apa hikmah dari semua ini? Ridha orang tua membawa keberkahan. Apa jadinya jika aku memaksa kehendak orang tua? Entahlah. Wallahu A'lam.

Pada akhirnya aku masuk di jurusan Informatika. Jauh sebelum masuk kuliah, aku jatuh cinta pada pandangan pertama, seorang wanita yang membuatku berdecak kagum pada akhirnya. Aku tidak pernah salah mengaguminya hingga hari ini.

Aku berusaha menjadi pribadi yang beda saat kuliah, aku ingin lebih aktif dan punya banyak teman. Awalnya aku berhasil, tapi lama kelamaan aku menjadi aku. Tapi, beruntungnya aku, ternyata aku bisa mengenal wanita itu. Kurang lebih setahun kita kenal dan cukup akrab, setelah itu dia menghilang karena sibuk. Dan kalian tahu apa yang dia lakukan? Kesibukan apa yang dia lakukan? Ya, dia ternyata sedang sibuk lomba dicampuri penelitian, saat itu aku tahu dia pergi ke singapura apa malaysia? Aku lupa, dia benar-benar sibuk.

Mulai dari situ aku semakin kagum atau apa lebih tepatnya? Pokoknya dia keren sekali saat itu, aku sempat diminta bantuannya dan aku mendengar mereka berambisi ke Barcelona untuk lomba. Dan kalian tahu? Mereka--dia dan timnya--benar-benar ke Barcelona dan juara 2 dunia. Bagi teman kampusku, kalian pasti tahu siapa itu. 

Baik, dari situ aku terinspirasi. Tapi aku tidak tahu mulai dari mana. Aku cenderung aktif dikelas, orang tahu aku seorang penulis karena pelajaran Bahasa Indonesia memaksaku. Dan aku cenderung suka ngobrol personal dengan teman-temanku. Saat itu, aku tidak menyadari perjalanan mimpiku dimulai.

Aku bertemu dengan orang yang benar-benar introvert, aku tidak tahu bagaimana dia bisa menghabiskan harinya di kamar sendirian. Tapi dia benar-benar orang yang hebat, cerdas, ulet, dan pemikirannya selalu yang aku tunggu-tunggu. Tidak beruntungnya dia bermasalah pada tugas akhir, sehingga belum menyelesaikannya, tapi, aku selalu menunggunya beres dan ingin sekali aku kerja sama dengannya.

Kedua, aku bertemu lagi, dengan orang introvert, anak kelas suka heran dan bingung terkadang menyahuti perkatannya yang terkesan abstrak, atau mungkin tidak sesuai konten, atau punya pemikiran beda, intinya terkadang membuat anak kelas bingung. Namun sekarang dia melanjutkan S2.

Ya, dua orang itu akrab, karena mereka seritme, mereka introvert (bukan berarti memandang rendah mereka), tapi mereka berdua sama-sama cerdas, mereka sama-sama punya ketertarikan dengan game, anime, dan berbau jepang. Paling menariknya adalah, mereka sama-sama programmer handal. Ups ada yang aku lupa sebutkan, temanku yang pertama itu juga jago mendesain, jika diukur, bahkan aku kalah dengannya. Dia multitalent yang handal. Tidak ada keraguan kemampuan yang terlihat di dirinya.

Waktu demi waktu, kuliah berjalan membosankan. Masuk, makan bersama, berbincang, pulang ke kosan, main demi main. Ya semua begitu saja hingga akhirnya liburan tiba. Ketika liburan tiba-tiba--aku lupa detailnya bagaimana--aku diajak bergabung dengan tim mereka yang baru 2 orang. Di situ aku tidak terpikirkan jika ternyata kemampuan desainku akan terpakai, aku tidak pernah terpikirkan aku akan membuat game, sejauh ini aku menikmatinya dan berpikir bagaimana cara buat game, tapi aku tidak ingin pusing untuk tahu lebih detail. Hingga pada akhirnya, aku mengetahui game yang akan aku buat, sebuah game sederhana berbau islami. Sungguh sederhana, tapi mungkin butuh effort yang cukup mati-matian saat itu karena minim pengalaman, kolaborasi, dan kemampuan.

Kami membuatnya sekitar 2 bulan-an, aku menjadi desainer GUI, sementara teman pertamanku sebuh saja Aa, dia menjadi programmer sekaligus desainer keseluruhan dalam permainan, dan terakhir sebut saja Ulil, dia menjadi programmer.

Kita sering bertukar pikiran, tak sering aku dengan Ulil tak sejalan, tapi beruntung terkadang aku didukung oleh Aa dengan selarasnya pemikiran kami. Pada akhirnya terbentuklah game kami dari usaha berhari-hari, berminggu-minggu, hingga berbulan-bulan.

Kami pun mengirim game kami untuk masuk proses pemilihan. Disaat itu aku sudah pasrah, aku hanya berpikir bahwa usaha tidak akan mengkhianati dan tidak ada usaha yang sia-sia. Berminggu-minggu kami menunggu kabar, hingga akhirnya detik pengumuman tiba. Dari sekian banyak peserta, yang terpilih hanya 5 Tim. Menariknya adalah beberapa tim dari kampus besar berstatus negeri buruan para siswa.

Saat menegangkan itu mencair, kami tersenyum melihat hasilnya. Tanpa disangka, usaha pertama kami dilirik dan berhak masuk final dan pergi--atau aku sebut jalan-jalan--ke Universitas Indonesia, aku tak pernah terpikir akan pergi ke sana, terlebih membawa nama kampus. Namun, ternyata aku tak sendirian, aku harus bersaing bersama teman almamaterku sendiri yang tidak pernah aku tahu kisahku berlanjut dengan salah seorang dari tim mereka.

Sebelum jauh kesana, hari itu pertama kali aku pergi ke UI dengan membawa nama kampus, dan rasanya aku sangat bangga, benar-benar bangga. Sayang oh disayang, saat itu aku tidak benar-benar pakai almamater kampus, kami sangat buta birokrasi kampus, kami pun dibantu oleh seorang dosen yang merupakan dosen pembimbingku kelak walau hanya 1 semester.

Perjalanan subuh itu bersama dua tim dari kampusku. Semua berjalan baik-baik saja, karena dua rekanku seorang yang interovert aku akhirnya menjadi presenter ke juri. Jika dulu berhadapan dengan dosen sendiri, kini berhadapan dengan dosen luar yang tak pernah aku tahu backgroundnya apa.

Rasanya? Hmm, mungkin tidak ada bedanya dengan presentasi biasa, tapi malah lebih mudah karena apa yang aku jelaskan adalah apa yang aku buat, benar-benar aku buat, sejatinya tugas kelompok  tidak benar-benar aku pahami, karena tidak benar-benar semua bekerja, berbeda dengan lomba atau proyek, semua harus mengerti apa yang ingin dibuat, semua harus tahu role-nya masing-masing, dan semua harus terhubung, sehingga pemahaman yang satu sangatlah penting disini.

Semuanya terlewati, sekarang menanti pengumuman dengan mempromosikan permainan yang telah dibuat ke hal layak umumnya. Saat itu, aku akhirnya terpikir, seberapa banyak aku ikut kompetisi? Aku yang selalu berpikir, kenapa hidupku tidak pernah berprestasi, tidak pernah mendapatkan juara apapun, apakah sekarang waktunya? Aku tidak tahu, saat itu aku sibuk mencari makan siang.

Tidak berharap, saat itu aku bagaikan buih di lautan, mengombang ambing, tiada harap sedikit pun memenangkan, karena aku pikir kalah sebanyak-banyaknya adalah kemenangan yang akan tiba. Karena ini percobaan pertamaku, aku tidak menaruh tinggi keinginanku. Aku tidak berharap, tapi aku tetap berdoa, berdoa untuk yang terbaik terjadi saat ini.

Momen menegangkan itu tiba, semua peserta berbagai cabang dikumpulkan dalam satu aula yang cukup kecil daripada biasanya tapi sudah cukup untuk membuat jantung berdebar kencang. Begini rupanya sifat manusia, bagaimana otak berusaha untuk tidak berharap, tapi hati selalu berjaga-jaga akan hasil yang mengecewakan.

Saat itu perasaan tidak bisa berbohong, aku rasanya mau meledak. Menanti pengumuman demi pengumuman, lalu hingga kategori permainan dan aku tersenyum mengecut berusaha untuk tidak berharap, tidak berharap, tidak berharap, tapi aku ingin menang, aku tidak mau merasakan kecewa, tidak, itu tidak mudah untuk mengobatinya. Walau aku tahu, kalah sebanyaknya adalah kemenangan yang akan tiba.

Pembawa acara mulai menyebutkan dengan sangat hati-hati, mulai dari urutan belakang. Pembawa acara mulai menyebutkan untuk pemenang juara ketiga pada kategori permainan. Aku berharap, aku mulai berharap, tak peduli juara berapa, setidaknya aku merasakan juara yang selama ini aku pertanyakan dalam hatiku terdalam. Juara tiga pun akhirnya diketahui, pemenangnya adalah anak UGM yang ketika presentasi sangat memukau, dimulai dari dongeng hingga masuk ke permainan yang mereka buat. Saat mereka presentasi aku pikir mereka juara pertama, karena tidak pernah aku membayangkan presentasi dari sebuah dongeng atau cerita seperti itu.

Tim dari UGM pun turun ke panggung, mereka dengan cool berdiri disana. Setelah pembawa acara memberikan selamat kepada mereka, pembawa acara pun melanjutkan pengumumannya, selanjutnya untuk juara kedua pada kategori permainan.

Semenjak juara 3 sudah terlewat, aku tidak benar-benar berharap lagi, karena aku pikir, juara tiga, setidaknya jika aku juara, juara tigalah yang paling tepat. Walau aku tidak sepenuhnya tahu persainganku seperti apa sebenarnya. Tapi, jika aku juara, juara 3 ialah tempat yang tepat.

Juara kedua, pemenangnya adalah ... Ya, aku tersenyum saat itu, aku tida pernah membayangkan, apa yang aku pertanyakan terjawab, timku, dikatakan pantas untuk mendapatkan posisi dua saat itu. Aku tersenyum, lantas aku disuruh maju ke depan, semua orang memberikan selamat. Aku berjalan dengan malu dan bangganya, aku tidak sabar memberi tahu orang tuaku, aku benar-benar tidak sabar, pasti mereka bahagia mendengarnya.

Setelah sesi foto dan sebagainya, akhirnya kami pulang, makan-makan kecil, dari situ aku memulai petualangku dalam perlombaan, dari ketidak sengajaa, dari takdir yang menemukan, dari jahilnya aku mengobrol dengan orang-orang pendiam, tak disangka, kami masuk dalam portal berita kampus, saat itu aku tersenyum melihatnya. Dan suatu saat nanti aku ingin bilang ke anakku, dulu ayah pernah masuk ke dalam berita kampus lho, ya walau cuman sekadar laporan saja.

Terima kasih, sudah membaca sesi awal ini, usaha awal ini lah membuat aku merasa jalan menuju mimpiku semakin terwujud, walau rasanya sangat sulit, jika dilihat dengan temanku yang sudah keluar membawakan produk berupa aplikasi yang sangat berdampak, apa bisa game/permainan melenggang ke kancah internasional?

Aku tertawa, melupakannya, aku tidak berpikir itu memungkinkan jika melihat kompetisi yang ada. Kemudian aku gabung ke proclub, disana, aku menemukan seorang maniak pembuat game, tidak, kami tidak menjuarakan apapun, tapi aku merasa ada momen berarti saat bekerja sama waktu itu.

Lanjutk ke kisah berikutnya.

Jumat, 02 Maret 2018

Kita Tidak Selalu Tahu Setiap Kejadian 1

Dulu aku bermimpi, jauh, jauh sebelum aku menggapainya. Saat itu aku sudah siap memasuki perkuliahan, aku bermimpi, banyak sekali mimpiku. Walau tidak semua berhasil aku gapai, tapi memang selalu menarik jika kita bicara dengan mimpi.

Mimpiku mungkin terlihat sederhana bagi sebagian orang, namun, dulu, aku hanya bermimpi. Apakah aku pernah tahu bagaimana menggapainya? Tidak, tidak sedikit pun terpikir bagaimana aku bisa mewujudkannya.

Beberapa bulan aku kuliah, tidak ada yang menarik, hanya satu hal yang buat aku tertarik, seorang wanita yang tidak bisa aku bohongi. Lepas dari situ, sisanya tidak ada yang menarik, semua seperti masa SMA, hanya berbeda sedikit. Namun, tanpa sadar, aku beruntung tertarik dengan seorang wanita itu. Ternyata dia orang yang hebat, benar-benar hebat. Bahkan semua orang bemimpi bisa menjadi pendamping hidupnya. Aku? Ah, tidak-tidak, aku hanya bergurau jika berkata ingin menjadi pendampingannya.

Lalu, apa yang membuat aku beruntung? Aku tidak pernah tahu apa yang dia lakukan apakah benar-benar mewujudkan mimpinya, atau sebenarnya itu baru langkah untuk menggapai mimpi besarnya. Tapi, apa yang dia lakukan adalah perwujudan salah satu mimpiku, yang mungkin dulu aku pikir ini mustahil, bagaimana caranya?

Mimpiku sederhana, tapi kalian pasti ingin tahu? Begini, mimpiku semasa transisi menuju kuliah salah satunya ialah aku bisa pergi keluar negeri sebelum lulus kuliah tanpa duit sendiri. Sederhana, aku bermimpi seperti itu memang untuk kepuasan diriku pribadi, tapi dari situ, dari perjalanan mimpi itu aku belajar banyak.

Pelajaran yang aku dapat adalah, waktu dan usaha. Kita tidak pernah tahu kapan mimpi itu datang, kita tidak tahu seberapa usaha untuk mendapatkannya. Tidak, tidak pernah tahu. Aku pun tidak pernah terpikir itu terwujudkan dengan segala yang aku bisa saat itu, mungkin sekarang pun belum tentu bisa melakukannya lagi.

Tapi tidak pelak melupakan semua doa dari orang tua terkhsusus ibu dan nenekku atau dari apa yang mungkin terselip dalam doaku juga. Waktu dan usaha terkadang membuatku tertawa jika mendengar seseorang dapat menggapai mimpinya yang tidak pernah disangka, yang dipikir itu mustahil. Aku tertawa, berkaca-kaca. Ya Allah, Maha Besar Engkau.

Bagaimana aku bisa mewujudkannya? Usaha apa? Dan kapan terwujud? Sungguh, aku sangat bersemangat untuk menceritakan ini, semoga tidak ada dalam hati bermaksud ria ataupun sombong. Setiap aku pikir tentang ini, mungkin ini bukti konkrit kenapa kita tidak boleh putus asa.

Kalian tahu? Aku berniat kuliah 3,5 tahun. Tapi aku harus menambah semester karena aku fokus untuk lomba dan akhirnya di final aku kalah, kalah telak, bayangkan, sebuah produk masuk final dan dinyatakan salah tema? Kalian tahu betapa hancurnya saat itu? Tak pelak aku harus menambah satu semester lagi. Saat itu, aku runtuh, aku malu, aku sudah ramai berbicara aku bisa lulus cepat. Mungkin jika aku lulus cepat akhir kisahku tidak semenarik ini.

Kenapa aku bilang menarik? Karena setengah tahun aku menambah semester benar-benar sungguh semester yang membahagiakan. Dan sekarang mataku berkaca-kaca mengingatnya, terharu, bahagia yang tidak bisa diutarakan. Alhamdulillah.

Aku akan menceritakannya, mungkin mulai dari bagaimana aku bisa kesana tanpa aku sadari aku menapak demi setapak ke mimpiku, aku tidak pernah tersadar, tapi aku selalu percaya, usaha tidak pernah mengkhianati dan tidak ada usahha yang sia-sia. Tentunya, aku percaya, mimpiku pasti ada yang terwujud dari sekian banyak mimpi yang aku canangkan, dan salah satunya adalah yang telah aku tulis diatas.

Lanjur bagian berikutnya ya.