Rabu, 28 Januari 2015

Terkadang Keinginan...

  Terkadang apa yang kita inginkan sekali, justru didapatkan oleh orang lain. Sehingga aku menanam dalam hati, lebih baik aku berpura-pura tidak ingin akan hal itu dan tiba-tiba hal itu justru kudapatkan.

  Tapi tetap saja, aku tak pernah tahu takdir Tuhan.

Selalu Ada Momen Kecil Yang Pantas Disesali

  Sebuah penyesalan tak selamanya berasal dari sebuah momen besar yang menentukan. Terlebih dibeberapa kisah yang telah ku jalani. Terkadang aku menyesal melewatkan kesempatan-kesempatan emas dan hanya bisa melihat garis takdir hebat orang lain. Disaat itu, aku merenung. Tak memikirkan garis takdir hebat orang lain, tapi betapa banyak penyesalan dalam hidupku.

  Sekali lagi, menurutku, penyesalan tidak selamanya berasal dari sebuah momen besar. Dan aku merasakan itu, disebuah momen kecil dan tak ada orang peduli. Sebuah hal sepele yang mungkin tak ada artinya. Tapi, setelah berwaktu-waktu kulalui, setelah berbagai rangkaian tragedi terjadi. Akhirnya, aku memutuskan telah menyesal. Bagaiman ceritanya? Ah, ini hanya hal sepele kok, mungkin kalian pun juga ogah untuk membacanya lebih lanjut. Tapi, tak apa, aku disini untuk bercerita, entah itu apa, aku pikir aku punya cukup kebebasan berekspresi disini. Bukankah begitu?

  Jadi, mari kita mulai ceritanya. Waktu itu aku berhasil keterima di kampusku sekarang ini. Ya, kalian tahu sendiri. Dan setelah berapa lama, pada akhirnya aku sekeluarga bersama nenek dan kakekku ikut berkunjung ke kampusku sekarang ini.

  Entah apa yang terjadi pada hari itu, tak hujan, tapi suasana hatiku begitu muram. Aku seolah malu atau apalah. Pokoknya aku sedikit malu jika jalan bersama keluarga. Apalagi kakekku yang sangat ambisius saat itu.

  Biar aku gambarkan betapa senangnya beliau--kakekku--saat itu. Jika kau tahu betapa bahagianya seorang anak kecil mendapatkan permen? Ya bisa saja seperti itu. Jika kau tahu jika doamu terkabul? Atau mungkin mimpimu terkabul? Ya, seperti itu juga bisa.

  Rasanya seperti menikmati kedamaian dalam hidupnya. Seolah beliau sudah cukup sukses membesarkanku hingga sejauh ini, dan hingga bisa diterima di perguruan tinggi ini. Walau kampus ini tak seeksis dulu, tapi tetap beliau merasa itu kampus yang cukup mentereng baginya dan begitulah ia rasa, ia merasa bangga dan bahagia saat itu.

  Sejatinya mungkin diberapa pihak, kampus ini biasa saja, tapi jika aku melihat tingkah kakekku saat itu, yang lari kesana kemari, bergumam dan mengangguk. Lalu dengan bahagia menanyakan resepsionis yang bikin aku terlihat malu, apalagi saat bertanya dengan mahasiswa yang kebetulan ada di situ. Aku merasa ada sudut pandang berbeda dari kakekku saat itu. Sebuah hal yang istimewa dan membanggakan, sangat membanggakan.

  Saat itu, aku benar-benar muram, tak ada senyum sedikit pun dibibirku. Aku layaknya paradoks kakekku. Aku tak menikmatinya. Entah ini karena malu atau emang aku tidak ingin kuliah di sini. Aku muram sepanjang hari. Tak mencoba ikut bahagia akan kebahagiaan kakekku saat itu.

  Setahun silam, bahkan tidak sampai setahun setelah kunjungan pertamaku ke kampus. Begitu saja semua terjadi, kakekku meninggal. Dan aku kini semakin terpacu harus mewujudkan mimpi kakekku yang telah tertanam, sebuah mimpi yang sederhana. Menjadikan aku sarjana teknik di kampus yang sempat ia banggakan, iya kunjungi, dan tentu saja dengan rasa bahagianya itu.

  Aku tak pernah berpikir, seharusnya pada momen itu aku ikut bahagia melihat kakekku yang begitu antusias. Seharusnya aku lebih bersikap dewasa. Tidak menjadi pemalu dan bermuram sepanjang hari karena alasan tidak jelas. Tentu saja seharusnya tidak.

  Sudah nyaris setahun silam pula kabar meninggal kakekku terdengar. Dan kini aku masih kuliah di kampus ini, dan kini aku melewati tempat-tempat yang kakekku beri senyumannya. Dan terkadang jika aku berjalan sendirian. Di saat itu aku termenung, membayangkan kakekku yang sedang melihat-lihat dengan antusias dan dijauhnya seorang bocah yang muram tanpa alasan mengikutinya dengan rasa penuh malu.

  Aku rasa aku menyesal telah melakukan hal sepele itu. Bagaimana jika saat itu aku antusias? Seantusias kakekku akan segalanya. Entahlah, aku tak pernah menduganya. Sulit menduga suatu hal di dunia fana ini.

  Setelah kunjungan pertamaku ke kampus bersama keluarga. Tak lama setelah aku kuliah, kakekku untuk pertama kalinya pergi ke kosanku. Ya ke kosanku seorang diri. Dan mungkin hanya ia satu-satunya orang yang mengunjungiku setelah aku menetap di tempat baru ini.

  Saat itu hujan, aku ingat betul. Ia jalan kaki di tengah hujan yang mereda. Dan kalian tahu apa yang ia bawa? Ia membawakan kebutuhan kosanku yang kuminta. Tanpa alasan ia membawanya, kecuali satu hal, kasih sayang dan antusiasnya akan kehadiranku di kampus ini.

  Menjengkelkannya adalah, waktu itu kami sempat ingin makan bersama. Saat itu aku ingin cerita banyak. Tapi, aku mengalami masalah dengan perut. Dan malam itu berlalu, keesokannya beliau pergi. Dan kini aku tak pernah lagi melihat senyuman dan perangai antusias kakekku. Apalagi melihatnya menjumpai ke kosanku. Terkadang aku merindukan hal yang sedikit membuatku malu. Dan tentu saja, terkadang aku rindu akan momen sepele itu.

Selasa, 27 Januari 2015

Ketidakadilan Yang Mengerikan Adalah

  Ketidakadilan yang mengerikan adalah ketidakadilan yang dibuat oleh orang-orang yang sebenarnya baik nan cerdas.

Senin, 26 Januari 2015

Alur Cerita

  Beberapa hal terjadi di semester baru ini, tak lainnya kelas yang kuambil tak semuanya menuju kelas pada sebelumnya yang dimana kelas tersebut asal dari kelasku dari semester-semester sebelumnya.

  Kali ini Tuhan berkata lain, keterlambatanku registrasi memaksa aku harus mengambil kelas lain. Berjumpa dengan orang yang lain. Mengerjakan tugas bersama orang lain. Dan belajar bersama orang lain.

  Aku tak pernah menyesal akan itu, walau pada akhirnya Tuhan memang berkata demikian. Akhirnya aku mendapatkan kelompok tugas besar tak seperti biasanya di kelas-kelas sebelumnya. Apa yang berbeda?

  Ya di kelas asalku, semua terlihat begitu mudah. Beruntung memang selalu mendapatkan orang-orang yang jago dalam bidangnya dan mengerjakan tugas itu bersama-sama. Walau paling banyak porsinya satu poros itu--orang yang jago.

  Tapi, entah kenapa, lama kelamaan, aku merasa sesuatu yang mengganjal. Setelah beberapa tubes bersama orang-orang yang brilian, aku merasa seperti tidak melakukan apa-apa. Dan yang kurasa, aku tidak mendapatkan apa-apa.

  Terkadang aku merasa beruntung satu kelompok dengan orang yang tidak begitu jago, tapi tidak juga malas. Namun memiliki hasrat yang begitu keras untuk belajar. Dan di situ entah kenapa, terbayang nilai pembalajaran yang bakal didapat dari pada mengandalkan satu poros birilian itu.

  Ya, seperti yang pernah kubahas, terkadang keterpaksaan membuatmu menjadi bisa. Dan sepertinya Tuhan sedang memaksaku dengan sebuah kelompok yang menarik. Terkadang suatu buruk bisa terlihat menarik, ya kalian pasti mengerti maksudku.

  Tapi, memang sulit dalam kondisi kesibukkan seperti ini, tapi dengan tujuan yang ingin didapat. Tampak motivasi cukup baik untuk diri sendiri. Keadaan ini telah memaksaku, tinggal bagaimana nanti aku bertindak. Akankah iming-iming nilai pembelajaran yang ingin di dapat akan terlaksana, atau masih iming-imingan.

  Sungguh menarik tampaknya semester ini, dan sekarang aku harus menunggu jadwal kuliah berikutnya di lab. Berdiam diri menatap para teman memadu kasih laptopnya, ada yang bermain dota, menonton, main game online, dan banyak lagi. Dan sepertinya aku sakit perut...

Rabu, 21 Januari 2015

Dampak Menyedihkan Dari Kenaikan BBM

  Setelah harga bbm naik, yang paling menyedihkan adalah, sekarang harga beng-beng satu pack pun ikut naik. Aku turut berduka cita akan bencana ini. Walau sekarang diturunkan. Kupikir harga beng-beng sepack tidaklah turun. Apa daya bagi mahasiswa ini, jika harga beng-beng begitu melejit.

Sabtu, 17 Januari 2015

Keinginan Kecil

  Salah satu keinginan kecilku sejak kecil adalah melayang di udara, melihat seluruh hal layak dari ketinggian yang tak sewajarnya, melihat ujung-ujung gunung dengan keindahannya, melihat kedalaman lautan yang semestinya menganggumkan.

  Mungkin sedikit terwujud dengan menaiki pesawat, itu salah satu keinginan kecilku.

Rabu, 14 Januari 2015

Lama-lama Bokek

  Belakangan ini bulak-balik Bandung-Jakarta dan sebaliknya memaksa ku menggunakan transportasi umum. Dan pantas saja banyak orang memilih menggunakan kendaraan pribadi dibanding transportasi umum. Karena apa? Hem, ada beberapa alasan pribadi sih.

  Bagi mahasiswa sepertiku yang uangnya tipis bingit dan hanyalah pemberian dari orang tua, saat menggunakan transportasi umum rasanya begitu menyengat dibandingkan menaiki kendaraan pribadi seperti motor.

  Ya, mungkin semua ini dampak dari kenaikan bbm tempo hari, padahal bbm sudah turun walau tak seperti harga semula--dari harga sebelum dinaikkan--tapi harga tarif angkutan umum tidaklah turun rupanya. Aku tahu tidak turun ketika seorang ibu-ibu menanyakan biaya tarif yang mahal padahal bensin sudah turun dan sang kondektur hanya menjawab. "Iya Bu, habis dari si boss nya gak turun setorannya."

  Saat situasi seperti itu tidak ada yang bisa disalahkan. Karena semua pengin untung, bukan? Tapi, sekali lagi, untuk mahasiswa seperti aku rasanya cukup sakit di dompet. Bayangkan hanya naik angkutan tak begitu jauh hanya beberapa kilometer paling harus mengeluarkan lima ribu.

  Entah itu mahal atau tidak, tapi melihat uang jajan yang diberikan rasanya itu bisa bikin tiap hari makan nasi sama uapnya saja. Sekarang apa-apa jadi mahal, sementara uang jajan ya segitu-segitu saja. Entah ini pribadinya yang emang dapetnya sedikit atau memang harga sudah mulai menyelekit?

 Sekali lagi entahlah, tapi sungguh tidak terbayang beberapa tahun lalu naik angkutan umum cuman dua ribu dan sekarang limu ribu untuk beberapa kilometer. Pantas saja orang lebih memilih naik motor yang jika dihitung-hitung satu liter seharga tujuh ribu enam ratus bisa mencapai lebih jauh dan sesuka hati daripada angkutan umum.

  Ya, semua ada plus minusnya memang, tapi kalau pergi-pergian gini terus. Bokek juga abang, dek...