Kamis, 22 Mei 2014

Keberuntungan

  Setelah aku melihat hasil tes. Sekarang aku baru paham, mana yang beruntung dan tidak. Sepertinya aku tergolong yang terakhir. Semoga saja itu awal keberuntungan yang tertunda. Semoga.

Kantuk Tak Beda Cinta

"Terkadang sesuatu datang disaat yang tak tepat, lalu pergi disaat yang tak tepat pula."

*

  Entah kenapa aku berpikir bahwa rasa kantuk itu semacam rasa cinta, terkadang menyebalkan. Tapi, saat terlena, bikin perasaan terkadang lebih baik. Bagaimana tidak? Mereka itu virus yang...hmm... oke, aku sulit mendefinisikannya.

  Sebenarnya aku bukan ngebahas kenapa cinta itu bisa membuat lebih baik. Aku ingin membahas. Akhira-akhir ini, aku sulit sekali tidur. Sangat sulit. Mungkin karena terpanah layar lcd sepanjang waktu bikin mata tak karuan.

  Mencoba untuk tidur tak pernah bisa. Tapi, apa yang terjadi? Saat sudah menuai janji nonton X-Men: Days of Future Past, yang terbaru. Dengan sekonyong-konyongnya aku terlelap tidur diboskop. Oh, men, padahal film itu--setelah aku bangun--katanya seru banget. Beberapa scene terlewat. Hanya bagian saat Jenifer Lawrance aja tiba-tiba terbangun. Mungkin insting.

  Kuakui, Jenifer Lawrance cantik ya. Dan entah kenapa, aku berpikir kantuk datangnya disaat yang tidak pas. Saat mencoba tidur, ia seolah melarikan diri. Atau bersembunyi entah kemana. Sementara saat aku tak ingin rasa kantuk itu, ia datang menggoda dan membuat mataku tak tahan olehnya. Bukan, Jenifer Lawrance.

  Begitu pula terkadang rasa cinta, usaiku masih muda. Terkadang cinta itu datang, disaat yang belum tepat. Tapi, karena aku manusia, aku bisa memakluminya. Sekarang belum mendapatkan solusinya, bukan, bukan tentang cinta. Peduli setan dengan itu. Rasa kantuk ini yang kumaksud.

  Sudah dua kali aku nonton di bioskop dan terlelap tidur. Sungguh payah tapi nyata, sesuatu yang tak diinginkan terkadang datang disaat yang tak pernah kita duga. Contoh saja musibah, suatu waktu, kantuk itu terlihat seperti musibah. Bagaimana dengan cinta (?) Eh...

  Kurasa aku harus segera move, ya, banyak pekerjaan menanti. Walau tak ada uang yang kudapati. Tapi, yowes, hidup memang perlu uang. Tapi, tak semerta-merta demi uang. :)

Selasa, 20 Mei 2014

Apa Daya

  Semua sudah berusaha. Tapi, apa daya. Ini semester yang buruk. Aku bisa memastikan itu.

Senin, 12 Mei 2014

Sedihnya Seorang Bodoh

"Dan sekarang aku mengerti, kenapa banyak orang bijak takut bodoh daripada miskin."

*

  Mungkin, menurutku mungkin sebagian besar orang tua malu jika anaknya seorang yang bodoh. Mungkin bodoh terdengar kasar, jika kita tilik, setiap orang tidaklah bodoh. Terhadir adalah rajin dan malas.

  Semua orang tua benci kepada anak yang pemalas. Anak yang tak pernah ingin memahami, belajar, atau apapun namanya agar ia memiliki ilmu yang banyak dan bermanfaat kelak. Maka dari itu semua orang tua menyolahkan anaknya. Untuk tak menjadi orang bodoh.

  Sekolah memang memaksa kita untuk rajin, tapi tak sebagian besar hanyalah tempat bermain paling asyik sepanjang muda kita. Jika tidak sekolah, kurasa kehidupanku datar saja. Tak ada cerita di mana aku bertengkar, melirik wanita, atau bahkan meledek beberapa teman.

  Tapi, setelah itu semua. Setelah aku mendapati diriku kehilang sebuah tugas saat praktikum kuliah. Lalu sang asisten memberikan tugas untukku. Kemudian, apa yang aku lakukan? Aku tak bergeming. Aku hanya memandang layar berpendar dan kesal pada diriku sendiri.

  Mungkinkah ini yang dimaksudkan bodoh? Akibat ketidak rajinanku, aku merasa tak mengerti untuk menyelesaikan permasalahan ini. Berkutat dengan modul serta internet. Tak sedikit pun membuahkan hasil.

  Mata kuliah ini tak pernah peduli seberapa banyak kau membaca, namun bagaimana kau menyelesaikan sesuatu itu dari yang apa yang kau baca dan mengerti. Beginilah aku, terpaku dan terus kebingungan hingga beberapa jam.

  Akhirnya aku meminta beberapa temanku yang ahli akan hal tersebut. Di minggu yang genting menjelang uas ini sudah pasti pada sibuk dengan tugas-tugas mereka. Dengan egoisnya aku bertanya beberapa cara, dan ini tak makan waktu sebentar.

  Bahkan, ada temanku hingga mengerjakannya sendiri, ia mencobanya, walau hasilnya tak di dapatkan. Tapi, ia sudah berusaha untuk membantuku. Membagi waktunya untuk tugasku yang taklah penting baginya. Sementara aku? Bolak-balik lembar modul, berpikir keras, dan bum, hanya pening yang kudapatkan.

  Setelah beberapa orang kutanya, akhirnya ada yang memberikan pencerahaan bagiku. Hingga terlibat begitu jauh, dan akhirnya aku mendapati menyelesaikan tugas itu. Dengan sukses aku kirim tugas itu ke asprak.

  Tapi, aku mendapati. Aku layaknya orang bodoh. Aku tak bisa berbuat apa-apa, padahal itu materi yang seharusnya aku kuasai. Bahkan, bodoh ini ternyata tidak hanya menggangguku. Bodoh ini membuat orang lain ikut terganggu.

  Pantas saja, kenapa orang takut akan kebodohan. Kebodohan ini dapat membuat orang lain terkena imbasnya. Kebodohan ini layaknya kulit pisang di jalanan. Terabaikan, tapi jika terinjak. Ia bisa menjatuhkanmu hingga membuatmu koma. Mungkin saja.

  Rasanya sedih jika aku mengingat detik-detik itu. Oh, Tuhan. Aku tahu hambamu tidak ada yang bodoh. Ini masalah sudah atau belum. Masalah waktu dan usaha. Tapi, betapa hinanya hambamu ini tadi. Tak mengerti sedikit pun, justru merepotkan orang lain.

  Mungkin jika orang tuaku tahu, ia akan membenciku. Tapi, beruntungnya orang tuaku bisa memaklumi. Ada beberapa hal yang bisa di lakukan seseorang dan ada yang tidak. Tapi, betapa menyenangkannya bisa melakukan hal-hal penting, bukan?

  Terkadang aku sungguh benar-benar iri kepada temanku. Ya, dia pendiam. Tapi, jika di tanya hal. Ia cepat mengerti. Bahkan tugasku ini, yang aku pikirkan selama dua jam berkutat dan tak menemukan jalan keluar. Ia hanya butuh sepuluh menit untuk bilang, itu 'gampang'.

  Aku pun tak kalah iri dan kepinginnya ketika melihat seorang sukses dengan kehebatannya, dengan kepintaraanya. Kepandaiannya di suatu bidang, membuatku terus bertanya pada diriku sendiri. Apa yang sudah kulakukan selama delapan belas tahun ini? Sementara mereka sudah menuai kata 'sukses'.

   Kalau kata beberapa dosen. Sepuluh ribu jam untuk menuai kata ahli. Dan sekarang, aku tak tahu sepuluh ribu jam untuk apa? Terkadang aku merasa rakus ingin pintar semua. Dan jatuhnya, aku seorang yang bodoh. Karena, tak ada suatu bidang yang bisa kujalani dan mendapatkan predikat memahaminya lebih dari yang lain. Tidak ada. Atau mungkin, ya semoga saja, belum.

  Oh, sedihnya menjadi orang bodoh. Apakah sekarang diantara kalian ada yang ingin menjadi orang bodoh? Kurasa semua menolaknya. Penyakit ini harus dibasmi hingga keujung perut bumi. Tak peduli, seberapa tebal lapisan bumi. Inilah asal mula, kenapa sebuah negara bisa runtuh atau bangkit.

  Kepintaran tak pernah merugikanmu. Ia selalu menolongmu dan teman-temanmu. Tinggal bagaimana kamu pintar untuk berbijak.

Senin, 05 Mei 2014

Jika Hidup Rentetan Masalah

"Terkadang hidup hanyalah rentetan masalah."

*

  Begitulah bagaimana aku memandang, melihat, dan memahami bahwa hidup hanyalah rentetan masalah yang tak pernah ada habisnya sebelum aku membunuh diri ini atau seseorang membunuhku atau malaikat maut mencabik-cabikku dengan jijik.

  Sebenarnya tak selamanya aku menata hidup seperti itu. Semua pandangan itu hanya muncul ketika aku mengalami masalah paling berat, kalau pada sebuah konflik, ini bagian klimaks. Di mana aku seolah nggak pernah tahu apa itu kata bahagia.

  Saat konflik menuju klimaks. Emosi seperti sampah, kotor, tak guna. Bahkan lebih hina dari sampah. Sekarang harus apa? Aku nggak pernah tahu. Hanya satu yang aku tahu, aku dalam masalah yang kuyakin tak akan berakhir sampai sini, aku ada masalah-masalah berikutnya.

  Entah kenapa, akhir-akhir ini populasi masalah semakin banyak. Walau beribu cara aku membasmi, hidup ini seolah mengatakan itulah aksioma. Setiap langkah adalah pilihan. Ya, itu benar, tapi setiap pilihan itu akan memulai sebuah masalah baru.

  Jadi, bisa aku simpulkan pilihan adalah masalah. Setiap yang kita lakukan pasti akan menuai masalah. Ya, walau itu hanya pandang ketika aku sedang berada di ujung tebing tertinggi dan diberi dua pilihan. Terus di sana hingga napasmu habis, atau melompat dan merasakan kematian lebih cepat.

  Bisa dikatakan, bertahan pada masalah itu atau melarikan diri. Kalau bodohnya, bunuh diri. Ya seperti itulah sampah ini terjadi. Emosi yang beraduk, ingin sedih tapi seperti orang bodoh. Ingin marah tapi pada siapa?

  Dan sekarang itulah aku. Di ujung tebing tertinggi dan menjadi bodoh. Tapi, sepertinya ada satu jalan turun. Ya, menuruni gunung itu dengan berjalan kaki. Hanya saja, aku tak tahu ke mana arah yang harus kutuju agar tak tersesat?

  Persetan dengan masalah. Terkadang kamu diam saja kamu mendapatkan masalah. Kamu berusaha, kamu malah dapat masalah. Kamu bersyukur, kamu juga akan diberikan masalah.. Aku akan menuai tawa, masalah ini tak akan pernah habis dan saling beruntut.

  Ah, sebenarnya aku tak mau mengeluh. Hanya saja ini sepertinya cukup meluapkan apa yang kupusingkan. Mungkin setelah ini aku harus bersujud syukur. Karena aku masih bermasalah. Berarti aku masih hidup. Dan tak penting seberapa banyak masalah yang aku dapati, terpenting seberapa banyak yang aku selesaikan.

  Ya, maaf saja mencoba menghibur diri. Sujud syukur deh ya. Terkadang orang mati menyesal, ia telah mati saat ia hanya menghabiskan waktunya untuk suatu masalah dan terus mempermasalahkannya. Bukannya, menyelesaikannya.