Rabu, 27 Januari 2016

Menulis Berbulan-bulan

  Ketika aku menulis berbulan-bulan, lalu terhenti dalam jangka waktunya begitu lama. Kemudian aku mulai malas melanjutkannya, dan disaat itulah aku merasa sia-sia dalam berbulan-bulan yang aku lalu sebelumnya. Sial.

  Tapi, apa boleh buat. Saat merasa tidak enak, daripada membuatnya menjadi sebuah kejahatan. Lebih baik berhenti dan membuat yang lain, entah kenapa aku percaya, semua ini akan berlalu dan berakhir bahagia. Semoga saja. Tapi, tetap saja itu menjengkelkan.

Jumat, 22 Januari 2016

Adikku Disleksia dan Aku Bangga Padanya

  Sekiranya libur hari raya idul fitri tahun kemarin, ketika itu aku diajak oleh temanku Salim jalan-jalan di kota Solo. Ya, Salim orang solo, tapi ia tinggal di wilayah Sragen, tidak jauh katanya. Hanya perlu setengah jam.

  Tapi, hari itu, aku tidak hanya berdua dengan Salim. Adikku yang kecil ikut denganku. Usianya sekitar enam tahun, namanya Ahmad Dieno Mustaniro, panggilannya Ahmad. Ya, akhirnya aku bertiga bersama Salim dan Ahmad keliling kota Solo yang indah dan cukup sejuk saat itu.

  Tak jauh perjalanan kami, pada akhirnya berlabuh ke sebuah Gramedia yang cukup besar di Solo. Aku lupa letaknya dimana, bagiku, ketika bertemu Gramedia, seolah menemukan banyak harta karun di sana. Tidak hanya aku yang senang saat itu, tanpa di sadari Ahmad begitu ceria dan ambisius.

  Sesampainya kami di sana, kami lihat buku masing-masing sesuai minat. Tak terkecuali Ahmad, dia hilir mudik ke sana kemarin dan akhirnya dia berkata padaku. "Mas, ada komik Naruto mas." Ucap dia sambil menunjuk-nunjuk. "Ada Avengers dan yang lain juga, Mas." lanjutnya sembari menyengir.

  Saat itu aku tidak membelikannya, ya karena aku tahu, dia tidak bisa membaca. Lalu aku berkata. "Nanti, kalau kamu sudah bisa baca, nanti mas belikan." Saat itu, aku menyadari aku tidak tahu apa-apa tentang adikku. Yang aku tahu bahwa di usia enam tahun ia masih belum bisa baca. Dan ibuku biasa saja menanggapinya.

  Tak lama, setelah kejadian komik Naruto itu. Ayahku yang aktif di sosial media bercerita, ya, ternyata adikku menderita disleksia. Kalian bisa cari tahu sendiri apa itu disleksia, intinya ia sulit mengingat sebuah tulisan atau sejenisnya.

  Dan saat aku tahu itu, aku merasa, aku benar-benar bukan kakak yang tepat untuknya. Aku tertawa sendiri. Tapi, bagaimana ia tahu mengenali itu komik naruto itu komik avengers atau lainnya? Bahkan untuk mengeja huruf saja ia kesusahan.

  Apalagi sebelumnya, tanpa ia membaca sedikit pun kata--karena ia tidak bisa membaca. Ia sudah sangat pandai sekali berbicara, jangan salah. Bahkan bukan bahasa Indonesia sehari-hari saja ia pandai. Bahasa Indonesia yang baku sampai Bahasa Malaysia saja ia bisa ucapkan dengan fasih.

  Bagaimana mungkin? Padahal dia belum bisa membaca apa-apa. Ya, seperti pribahasa-pribahasa umumnya. Dibalik kekurangan ada kelebihan. Saat Ahmad kesulita dalam memahami tulisan. Nyatanya ia sangat pandai menyerap kata-kata yang ia dengar. Dan ia paham dengan kata-kata yang dimaksud.

  Contoh saja bahasa melayu yang ia sering katakan, dari mana ia mendapatkannya? Kalian pasti tahu Upin dan Ipin kan? Ya, Ahmad sangat hobi menonton film kartun anak-anak itu. Dari situlah ia menyerap bahasa melayu. Ia bahkan hafal dan tahu penggunaan kata-katanya.

  Tak hanya bahasa melayu, ia pun cepat menghafal lagu-lagu yang ia dengar. Padahal ia tidak tahu liriknya. Itulah Ahmad, adik terakhirku yang tak pernah aku tahu seunik itu dia. Ia belajar dari apa yang ia dengar. Ia belajar dari apa yang ia lihat, bukan membacanya tapi melihatnya.

  Bagaimana aku tahu? Begini ceritanya, waktu bulan puasa aku pulang ke Jakarta. Waktu itu, aku sedang ingin menamatkan film Lord of The Rings. Film buatan luar negeri tersebut tentu saja memerlukan subtitle untuk mengerti alur ceritanya.

  Waktu itu aku nonton sendirian, lalu, Ahmad meminta untuk menontonnya. Akhirnya kami nonton berdua. Ahmad seperti anak kecil lainnya, bertanya-tanya ini itu. Lalu, tak lama, mengejutkannya, ia tahu alur cerita yang terjadi, ia tahu ini memiliki masalah dengan ini. Lalu sedikit berusaha mengasumsikan apa yang terjadi.

  Padahal, ia tidak bisa membaca subtitlenya, tapi dengan khidmat ia menonton tanpa teralih fokusnya. Ia menonton dan bahkan aku tidak perlu lagi menjelaskan cerita kepadanya. Seolah-olah dengan gerak-gerik dari film itu, ia sudah bisa membaca alur cerita yang sedang terjadi. Walau tidak sesempurna yang kalian bayangkan, tapi menurutku itu menakjubkan.

  Bahkan, ketika aku ketiduran menontonnya, ia masih menontonnya terus hingga jatuh tertidur. Esokannya, ia bilang ceritanya seru. Entah itu hanya dibuat-buat, atau ia memang mengerti ceritanya? Aku saja jika tidak ada subtitlenya malas untuk menonton film yang cukup rumit. Tapi, ia dengan khidmat menontonnya tanpa peduli bahasanya. Ia menikmati gambarnya.

  Dan kenyatannya begitulah, dia kesulitan membaca. Tapi, dari usia ia bisa berbicara, kata-katanya sudah sepadan dengan ucapan orang dewasa. Ia selalu membuatku rindu rumah. Kata-kata bijak di usianya itu membuatku tertawa dan tersenyum-senyum. Dan kurasa, aku perlu membelikannya komik Naruto. 

Kamis, 07 Januari 2016

Komik Strip Sapimen

  Aku mudah sekali bosannya, sekarang bagaimana jika kalian menikmati diriku dari sisi lainnya? hmm, maksudku, ya, aku sekarang lagi belajar membuat komik strip. Hihi, penasaran? boleh follow Instagramnya saja, sapimen. Ya semoga kalian tidak menyesal.