Minggu, 25 Agustus 2013

Usaha Itu Gak Salah

  Suatu waktu gue mampi ke blognya Hoeda Manis. Lalu membaca postingan tentang Cara Takdir Bermain. Setelah gue baca, gue merasa itu benar. Terkadang keberuntungan hadir ketika segala usaha telah dilakukan dan keputus asaan sudah diujung tanduk.

  Dari peristiwa itu, gue rasa sering kali mengalami hal serupa. Tapi, baru saat itu gue benar-benar memahaminya. Dan yak, itu gak salah. Gue selalu berpikir di dunia ini gak ada yang sia-sia. Termasuk pula usaha yang terlihat digagal.

  Kita tidak tahu takdir selanjutnya. Tapi, setiap usaha memiliki takdir sendiri. Selalu percaya kalau tak sia-sia, itu cukup penting. Jadi gue selalu merasa,  kalau usaha gue itu membuahkan hasil dan mendapatkan pelajaran sendiri.

  Walau ujungnya usaha itu sia-sia. Tak lama setelah baca posting blog itu. Gue benar-benar merasakan keburuntungan dari usaha itu. Ceritanya begitu simpel. Waktu itu gue lagi ospek. Sebelum hari sidang senat. Gue dapat kabar, dan kabar itu begitu buruk buat gue.

  Jadi, ada perarturan dresscode. Formal satu mengenakan dasi. Lalu formal dua tak mengenakan dasi. Beruntungnya, ketika hari sidang senat. Menggunakan formal satu. Dalam ketentuan harus menggunakan dasi. Tapi, permasalahnnya adalah gue gak punya dasi.

  Gue panik. Gue konak seluruh anak di jejaring sosial. Namun, setelah sejam nyari. Hasilnya masih semu. Gue udah putus asa. Gue keluar dari kamar asrama temen gue. Seorang lewat, kebetulan gue iseng nyapa tuh anak.

  Anak itu berhenti dari langkahnya. Menatap gue penuh dengan tanya. Gue pun berbasa-basi. Menanyakan besok wajib dasi apa enggak. Anak itu dengan mantab menjawab. "Ya, besok mengenakan dasi. Kan Formal satu."

  Gue kembali panik. Lalu mengutarakan keperluan gue. "Aduh, gue gak ada dasi lagi."

  "Gue ada dasi dua!" ujarnya begitu saja.

  So, well. Sekonyong-konyong gue merasa sebuah keberuntungan hadir dalam pertemuan itu. Ya, siapa yang sangka basa-basi ke orang yang lewat mendapatkan sebuah dasi. Namun, apakah itu hanya keberuntung semata?

  Coba bayangkan kalau gue gak menanya ke orang lewat itu. Mungkin gue baru saja melewatkan sebuah keberuntungan. Jadi, keberuntungan itu bukan hadir tiba-tiba. Seperti yang ada artikal di blog Hoeda Manis. Usaha membawa kita kesebuah kata yang bisa disebut keberuntungan.

  Selanjutnya, bagaimana kita siap menyambutnya.

Rabu, 21 Agustus 2013

312

  Sudah seminggu sudah gue menetap di Bandung yang fana ini. Semenjak rabu minggu lalu hingga sekarang. Gue masih belum berjumpa sama yang namanya hujan. Belum berjumpa sama yang namanya ketenangan.

  Sejauh ini gue merasa hidup gue benar-benar berantakan. Badan suka kurang bugar, kelaperan dimana-mana, masuk angin tak pernah tertinggal, dan maag juga selalu menghampiri. Ini memang menyedihkan.

  Gue yakin, semakin kurss gue nanti. Sapu lidi bakal gue kalahin kurusnya. Gue bakal jadi pemegang rekor orang terkurus sedunia. Entahlah. Uang juga menipis. Terlalu banyak keperluan yang tak diduga. Contohnya kaya beli rambut palsu. Eh, tapi engga deng, itu bualan belaka. Halah.

  Sekarang gue punya tempat tinggal dua, kalau gak kamar kost gue, ya asrama gedung E kamar 312 ini. 312 ini menjadi tempat tongkrongan anak IF yang antah berantah keberadaannya. Tapi, cukup gue akui. Baru seminggu berlalu tapi disini udah solid banget--anak-anaknya.

  Namanya makanan di kamar ini pasti jadi milik bersama. Kamarnya walau selalu berantakan tapi selalu ramai. Gue akhirnya gak kesepian lagi. Tapi, ketika mereka semua bermain game dengan laptop keren-kerennya.

  Gue angkat tangan. Pada akhirnya gue nulis blog ini. Ya, mereka sedang asyik game tak terlalu baru. Laptop mereka rata-rata mereknya. As*s yang harganya menengah dan speknya luar biasa buat gaming. Sementara laptop gue? Oh hell.

  Bayangkan saja, laptop gue lahir lima tahun--kurang lebih--yang lalu. Dengan spek biasa-biasa saja, dan merk yang lebih biasa lagi. Sebenarnya lumayan. Dizaman itu. Zaman bahela yang dimana Bahasa Indonesia saja belum ketemu.

  Waktu Ir.Soekarno proklamasi pun sudah tercipta. Oke, ini berlebihan. Tapi, gue sedikit miris dikamar ini kalau melihat mereka dengan laptopnya sedang berasyik ria. Laptop gue paling banter bisa game solitare, itu juga sekali pindah kartu butuh waktu setengah. Jam.

  312 juga ngajarin gue gimana caranya masak nasi. Demi, gue bukan pembuat nasi yang baik. Terakhir buat nasi jadi kacang. Garing. Semenjak itu gue taubat membuat nasi, lalu beralih membuat air panas saja. Karena, ketika gue buat. Airnya menjadi nikmat. Sebenarnya itu lazim ke semua orang sih.

  Selain itu, disini gue juga diajarin menjadi pemalas. Dimana tugas belum pada ngerjain. Begitu menyedihkan ya, memang begitu. Pada dasarnya juga sih gue males ngerjain tugas. Dan test demi test akan gue lampaui. Kemarin, baru test fisika dan matematika sudah terlewati.

  Bicara test itu, demi apapun. Siapa yang ciptain fisika dan matematika sebagai pelajaran sih? Susah banget. Gue paling ngisi lima belas dari enam puluh soal. Gimana? Hebat bukan? Gue yakin gue gak bakal jadi mahasiswa baik. Tapi, baik banget. :p

  Gue bahkan belum sama sekali ngerjain tugas, tugas biodata tepatnya. Tugas ini memang tugas modus. Minta biodata maba-miba. Oke, minta biodata ke miba itu benar-benar modus, banget. Beruntung gue belum. Jadi gue belum bisa dibilang modus.

  Rencananya, malam ini gue mau nongkrong di T-mart. Ngapain? Cari miba-miba untuk dimintai biodata. Eits, bukan modus, cuman ngoleksi kenangan. Loh? Gak kok, itu bercanda. Sedapatnya, mau maba atau miba. Terpenting tugas selesai.

  Satu lagi yang gue dapati di kota pinggira Bandung ini--desa. Bisa bahasa daerah adalah orang yang gaul. Gue hanya tercengang ketika mereka memakai bahasa daerah. Semoga dosa mereka dimaafkan oleh Sang Pencipta.

Selasa, 13 Agustus 2013

Merantau Kesekian Kali

  Tiga tahun itu singkat, tapi untuk dilupakan butuh berabad-abad.

  --

  Bak jarum jam, terus melaju ke depan tanpa sedikit pun mencoba melangkah kebelakang.

  --

  Jangan mencoba membaca kembali keatas, karena kamu akan memperlambat langkahmu.

  --

  Cukup, sekarang adalah waktunya, menghilangkan jejak bak ninja.

  --

  Tiga tahun taklah lama. Sekarang gue harus berpindah dari tempat yang gue huni selama mengenal dunia SMA/SMK. Rasanya gak sedih, gak juga senang. Tapi, luar biasa seneng. Iya, gue males banget gak punya temen setiap harinya. Jauh dari mana-mana. Termasuk dari hatinya... Aaaa...
  
  Sekarang gue ngetik dalam kondisi memperhatinkan. Lu bayangkan, setitik debu masuk ke mata bisa buat lu merasa buta sementara. Perih. Itu baru setitik debu. Gue lagi ngebayangin sama orang yang pernah bilang. "Ada wajahmu, dibola mataku."

  Perihnya semana coba? Semana!? Gilak, sakit banget itu pasti. Gara-gara mata gue kena debu dan keperihan. Gue besok harus pergi dari tempat tinggal ini. Gue akan melanjutkan kehidupan gue yang baru. Yak, gue akan pergi ke Bandung.

  Asek, jadi anak Bandung gue.

  Tulisan di atas tadi bukan gue yang ngetik. Itu, tangan gue yang begitu noraknya. Dari dulu memang sih gue jarang ke Bandung. Walau sebenarnya di rumah orang tua gue sekarang juga di Bandung. Tepatnya, Jl. Bandung 1.

  Lupakan intermezzo itu, kembali ke permasalahan. Setelah empat belas tahun lebih gue di Jakarta. Tiga tahun lebih gue di Bekas-Bogor sepuluh ribu-sepuluh ribu, yok angkut yok. Sekarang gue harus mengadu nasib dan mencari ilmu di kota yang dari tadi kita perbincangkan--Bandung.

  Yak, waktunya telah tiba. Gak bakal ada pendamping lagi dari orang tua. Tersisa hanyalah nasihatnya, ilmu-ilmunya, dan Agama yang telah dititiskan kedalam rohani ini. Bahkan, gue akan jauh dari teman-teman dan sahabat gue yang nggak selalu ada buat gue dahulu. Tapi, selalu di hati gue.

  Beberapa akhir ini gue sempat nonton film persahabatan. Rasanya saat mau pisah kayak begini dan sulit ketemunya lagi. Gue bakal kangen berat sama mereka. Mereka yang sering ngajarin gue hal baru entah itu positif atau positif. Semoga aja negtifnya gak gue ambil ilmunya.

  Well, empat tahun gue akan berguruh di Bandung. Itu juga kalau gue langsung lulus. Semoga pulang gak jadi ahli debus. Semoga menjadi ahli nembus. Nembus mimpi-mimpi gue yang antah berantah tapi gue yakin adanya. Karena, mimpi itu gue sudah bersiap untuk mencari ilmu sebanyak mungkin.

  Gue baru saja selesai persiapkan barang. Berasa kayak mau pindahan. Tapi, apa boleh buat. Gue orangnya begitu males, jadi penginnya semua tersedia. Repot kalau harus beli-beli lagi. Walau sebenarnya banyak barang yang belum gue beli.

  Tepat tiga tahun lalu, sebelum gue mengarungi dunia pendidikan tingkat atas. Gue mulai mengarungi dunia perblog-an. Gak sangka sudah tiga tahun gue cerita ditempat seperti ini. Rasanya sedih, karena sepi pengunjung.

  Akan tetapi banyak yang gue dapati. Dikala hati sedang berantakan, ketika gue menitikan kata disini. Rasanya sedikit tenang. Walau suka antah berantah nulisnya. Oke, ini posting terakhir sebagai anak Bekasi-Bogor sepuluh ribu yo...

  --

  Segenap rasa kupersembahkan. Untuk embun dipagi hari. Debu disiang hari. Senja disore hari. Dirimu sepenuh hati.

  --

  Abaikan mimpimu. Bila tak ada aku. Goreskan hatimu. Bila kita tak berjumpa lagi.

  --

  Karena, kamu harus tahu. Aku akan kembali. Walau pergi kejauh dilain hari. Tapi, itu pasti. Aku kembali.

Senin, 12 Agustus 2013

Hang Out Terakhir

  Di malam yang buta, begitu saja gue dan temen gue janjian. Gak butuh setengah jam untuk nentuin, tujuan kami adalah Mal Bekasi baru. Dimana kalau mau kesana harus melewati fly over yang keren dibanding fly over di Jakarta.

  Saking kerennya, tentu, banyak sekali orang yang berhenti disana dan mencoba mengambil gambar dengan background tersebut. Miris gue ngelihatnya. Sebenarnya gue pengin, habis itu share instagram bikin hashtag, #FlyOverSummarecon #Badai #AntiMainstream #NoAlay #Simalakama #Loh #Kok #Simalakama #Payah

  Tapi, gue urungin tuh niat. Karena, sebelum gue melewati itu Fly over. Gue harus nunggu setengah jam. Seperti biasa, kalau ngumpul sama anak-anak ini gue jadi korban menunggu. Dikira menunggu itu enak? Mending menunggu jodoh, ini, ah sudahlah.

  Beruntung insting gue untuk tetap bertahan, mengatakannya. Coba kalau gue pulang, gue gak bakal jadi ngumpul sama mereka. Permasalahannya gue ketika itu gak bawa ponsel. Jadi, buta komunikasi. Karena, gue memang gak punya ponsel. Punya ponsel juga gak punya pulsa. Punya pulsa juga gak punya ponsel.

  Ketika gue menunggu, gue sempet minta tolong sama sepasang kekasih yang berhenti dihadapan gue. Kendaraan mereka Satria baja hitam F, keluaran baru lagi. Tapi, pas gue numpang online di ponsel mereka, karena kebetulan gue gak hafal nomor temen gue.

  Keduanya memiliki ponsel yang tak terhubung internet. Oh, God. Mending jual tuh motor terus beli paket Internet. Zaman semodern begini gak paket internet. Gue dong, gak punya ponsel. Punya ponsel juga gak punya pulsa.

  Abaikan sepasang kekasih itu. Setelah gue bertemu temen gue dan tiba di Mal baru itu, walau sempet beberapa kali salah jalan. Akhirnya gue tiba di foodhall. Tempat itu ternyata laknat. Gilak, habis enam puluh ribu cuman beli eskrim, sama kopi. Pahit lagi tuh kopi. Kayak kisah asmara gue aja.

  Saking pahitnya tuh kopi, kayaknya kopi hitam yang ampasnya secangkir penuh tanpa gula pun lebih manis dari pada tuh kopi. Ok, ini lebay. Tapi, serius. Tiga puluh ribu demi kopi pahit. Tahu, gitu milkshake deh.

  Karena, kami tak mau rugi. Pada akhirnya kami berlama-lama disana. Sampai yang tersisa hanyalah kami. Tengah malam telah tiba, toko-toko sudah bubaran. Kami dikejar kantib. Oh, enggak ya. Beruntung, yap, beruntung kami masih punya gengsi kami pun pulang.

  Sialnya, kami melihat parkiran moge. Kampret, segala dikhususin. Tahu gitu gue bawa moge gue. Yak, Motor gembel. Motor boyband yang sudah usang dan perlu dimuseumkan. Beruntung gue cuman bercanda. Tapi, fix, keki segala parkiran khusus moge.

  Lupakan moge. Setiba di pom bensin. Ya, karena motor gue perlu isi makan. Gue ke toilet. Gue pencet tombol airnya. Sial, gak keluar semua. Gue udah pipis lagi. Dengan terpaksa, gue gak cebok. Gak lama, dengar suara orang di dalam toilet buat pup.

  Gue cek semua keran, dan bener. Gak nyala semua air. Gue keluar dengan penuh keheranan. Itu orang pup gimana ceboknya? Air gak ada sama sekali! Gimana dia bisa menyalamatkan diri? Tolong! Panggil kantib! Kasihani dia!

  Ya, ini cerita memang gak jelas. Tapi, bodo amat. Mungkin ini hari terakhir masih bisa berkeliaran di bekasi dan sekitaranya. Cem adzan aja. Oke, sekarang gue lagi ngiler macbook. Bye!

Kamis, 08 Agustus 2013

Masa Sebuah Keharusan Beranjak

  Perasaan kehilangan bukankah sebuah kewajaran? Setitik kenangan terikat dengan sarat. Kukira masa itu telah tiba. Kita berdiri dari jauh tempat dimana kita harus menggapai mimpi. Ini seperti awal kita beranjak pergi. Sudah saat memang tiba. Kita berpisah dan jumpa lagi.

  Bak titipan. Kisah itu seakan hanya gurauan. Dimana kita bersanding tawa dan canda. Alir mengalir seiring pergantian hari. Malam itu kita melewati bersama. Penuh harapan dan impian. Kau dan kita selalu bersama. Walau hanya sejenak imajinasi.

  Sebuah tempat kita mengakhiri cerita. Kita memang harus pergi. Melewati jalan hidup yang telah kita pilih. Semoga kelak kita akan berjumpa. Jangan harap kita tak kenal lagi, karena kita akan semakin paham. Bahwa hati ini telah memilih kalian.

  Akhirnya. Akhir. Benar-benar berakhir. Kita jauh tak menentu. Melewati perangkat sosial kita berinteraksi. Saling berbagi tawa walau tak kasat mata kita menangis. Seperti kehilangan sesuatu yang pernah membahagiakan kita.

  Masa itu memang sudah berakhir, tapi mimpi dan janji kita belumlah usai. Walau tekad terombang-ambing keabadian dan masa lain. Selama teguh ini tetap dikalbu. kita pegang erat lalu tiba. Sewaktu badai menerjang, kita akan tertawa dibalik kembang api yang meluncur dan meledak.

  Warna-warni. Begitulah rasanya, warnanya, keindahannya, segala-gala yang pernah kita buat, kenangan. Arah berbeda tapi semua harus tiba ditempat pemberhentian yang sudah kita duga. Mimpi yang tak boleh tertunda, sahabat akan selalu ada. Selama kita masih percaya.

  -- Masa itu

  Inget kita berdendang bersama? Menyulutkan kabar gembira ke udara. Semua terlihat takut melihat kita bahagia. Karna itu, kita semakin bersama. Bertahun-tahun kita mengikat, sebuah coretan kenangan yang kelak kita ukir.

  Satu lagu terdengar saat waktu berputar begitu cepat. Kebahagian hanyalah sepintas, kesengsaraan begitu lama. Namun, kita telah memilih. Menghabiskan waktu dengan sepintas. Kebahagian yang menyaru tangis yang tak kita sangka.

  Waktu telah tiba. Kita diuji oleh dirinya--Waktu. Jangan salahkan, itulah mimpi kita. Melewati semua ini. Waktu mulai merangkak. Kita masih berbagi cerita. Hanya sesaat dimana semua sudah ditentukan. Takdir dan pilihan kita.

  Pulang, bukan kata yang ingin kita kumandangkan. Ketika waktu mencekik perasaan bahagia ini. Tolong, jangan coba ganggu kehidupan ini. Waktu. Jerami sudah menumpuk dan meluap dari gubuk. Air mata itu terkikis dipipi. Semua telah berakhir.

  Terima kasih, waktu. Besok atau kapan kita berjumpa lagi. Kenangan. Sahabat.

Selasa, 06 Agustus 2013

Selamat Datang 18

  Adzan shubuh berkumandang. Tepat bersamaan, 18 tahun yang lalu, tibalah saya di dunia yang fana ini. Tanpa sebalut bahan. Dengan tangis menjerit. Semua masjid mendengarkan adzan kepada saya.
 
  Segala harap terpanjat. Menjadi apa kelak, mereka semua menginginkan yang terbaik. Entah itu hanya setitik. Setidaknya baik. Karena, baik adalah pilihan. Maka, tak sulit mendapatkannya hanya sulit menjalankannya.

  Lambat tahun terlewati entah kelewatan kebaikan apa saya. Segenap rasa sedih betabur bahagia tiba di hari ini. 6 Agustus. Dimana mereka (teman, shabat, keluarga) banyak berdoa terbaik buat saya.

  Pada akhirnya saya harua mengakui, doa mereka adalah sebuah peringatan. Karena, umur saya semakin pendek. Hidup saya belum tentu bisa sejauh sepersekian detik berikutnya.

  Tapi, apa boleh buat. Ibadahlah yang harus saya taatkan. Mengingat apa yang ada setelah kematian. Tak bisa dipungkiri doa mereka membuat saya merinding.

  Senyuman bertabur ketakutan. Itu terjadi ketika adzan shubuh berkumandang di pagi itu. Banyak orang bertanya, jika besar jadi apa anak ini? Seorang baik atau sebaliknya?

  18 tahun telah berlalu, hanya kalian yang tahu. Apa saya sebenarnya? Siapa saya sebenarnya? Kalianlah yang mengerti akan hal itu. Dan segenap rasa syukur harus saya panjatkan kepada Sang Pencipta.

  Terima kasih atas hari ini dan hari sebelum-sebelumnya. Berharap masih ada kehidupan di detik berikutnya. Agar apa yang salah dapat saya benahkan. Semoga saja menjadi sebuah kebaikan.

  Dibalik doa mereka. Ada kepedulian buat saya. Dan sebaliknya, saya peduli denga mereka. Sukses untuk saya maka sukses pula untuk mereka. Jika tak ada mereka, apalah seorang saya? Lemah tak berdaya dengan pemikiran yang masih antah berantah.

  Dari mereka saya pun belajar banyak. Perjuangan. Kedamaian. Kehidupan. Mimpi. Syukur. Sabar. Cinta. Sayang. Bahagia. Sedih. Dan segala rasa bak permen nano-nano.

  Untuk mereka. Terima kasih banyak!