Jumat, 11 Juni 2021

Langit Tetap Sama

 Langitnya tetap itu saja, tidak pernah berubah. 

Tapi tidak dengan cuaca di masing-masing kita.

***

Setiap waktu, terkadang kita tak luput dari memimpikan kehidupan orang lain. Ah benar, mungkin itu aku saja. Tapi tak apalah. Terkadang kita terdiam, menatap orang-orang berseliweran, entah di dunia riil atau maya. Semua berlalu dan kita melihat sekejap dan sesekali berandai-andai.

Kehidupan memang terasa sangat membosankan, sekalipun itu adalah kehidupan yang kita impikan. Jenuh itu seperti susunan kehidupan yang tak terelakan. Saat jenuh itu tiba, kita pun mudah sekali terguncang. Melihat sedikit, langsung berandai, membayangkan, walau pada akhirnya kita tahu, semua akan sama.

Tiba pada kejenuhan yang lain.

Seolah kehidupan itu adalah pelarian dari satu jenuh ke jenuh lainnya. Tapi, apa boleh buat, tak sedikit orang melakukan seperti itu, mencari sesuatu yang baru karena jenuh. Mencari keadaan baru karena jenuh. Mencari kedamaian yang baru karena jenuh.

Ketika menginjak SMA, rasanya jenuh sekali, semua begitu saja, kurang menantang, tidak ada kebebasan. Sementara itu dunia perkuliahan sangat luar biasa, indah dan menawan rasanya. Kebebasan, tantangan, relasi, harapan, seolah disana adalah sumber kehidupan yang tak menjenuhkan.

Tapi, seandainya anak SMA itu tahu betapa membosankannya mengerjakan tugas yang tak kunjung berhenti, mengerjakan tugas akhir yang pada akhirnya terbuang begitu saja lembarannya di tong sampah. Mungkin anak SMA itu akan mengurungkan impiannya atau setidaknya tidak ingin terburu-buru.

Menginginkan sesuatu yang tidak kita miliki itu memang wajar, sepertinya naluri manusia seperti itu. Mencari dan mencari yang belum dimiliki, dan akhirnya lupa merasa cukup akan yang dimiliki. Semoga kita tidak.

Berpindah dari suatu keadaan ke keadaan lain, mencari peruntungan, kedamaian, kebahagiaan, dan banyak hal. Walau pada akhirnya jenuh tetaplah jenuh. Semua itu tak terbendungkan lagi.

Satu-satunya yang penting dalam hidup ini adalah sesuatu yang sederhana namun susah sekali. Menikmati segala keadaan. Ya, itu tidak mudah, sementara nafsu menggebu-gebu ingin ini itu, berandai menjadi ini itu. 

Menikmati keadaan sungguh terdengar menjenuhkan, bukan?

Tapi terkadang kita memang lupa, untuk merasa sadar, hadir, dan serius dalam menjalani waktu kita sekarang ini. Karena otak kita sudah berlari jauh ke dunia yang selalu kita andai-andai. Sehingga yang ada adalah kegelisahaan.

Jadi, mungkin ini nasihat untuk aku sendiri, nikmatilah yang ada. Apapun yang aku inginkan, ketika aku dapatkan tidaklah berbeda dari keadaanku sekarang atau sebelum-sebelumnya, merasa jenuh dan berandai ke lain tempat lagi.

Rabu, 09 Juni 2021

Manajemen Orang Lain

Kita tidak bisa mengendalikan sepenuhnya apa yang orang lain pikirkan, ekspetasikan, dan akan lakukan. Tapi sayangnya, kita harus berkecimpung terhadap itu seumur hidup. Salah satu fakta yang aku masih tak terima, bagaimana bisa seumur hidup harus berhadapan dengan ketidakpastian itu?

Dahulu aku mengira menjadi seorang desainer adalah pekerjaan yang menyenangkan, berkarya lewat visual dengan segala rasa, cerita, dan pesan di baliknya. Menjadi desainer sangat menyenangkan karena bisa memperlihatkan pada dunia sesuatu yang sarat makna dengan prespektif dan penyampaian yang berbeda.

Itulah pikiranku ketika pertama kali belajar menggambar di buku tulis bagian belakang, yang biasanya ku corat-coret ketika guru sedang menyampaikan materinya. Menggambar adalah yang ku tahu dari bagian desain. Saat itu yang ku tahu dari definisi desain adalah membuat sesuatu dengan visual, singkatnya, menggambar adalah sebuah desain.

Beranjak menjadi profesional desainer, ternyata pengertian kecilku masih kurang. Desain bukan sesuatu yang eksklusif hanya mengenai visual. Desain sebagaimana sinonimnya, rancang. Ya, mendesain berarti merancang, merancang apa? Banyak hal, termasuknya adalah hal-hal visual seperti komik, poster, pakaian dan banyak lagi.

Selain mengetahui definisi desain itu luas sekali, aku juga baru tahu desain itu erat sekali dengan berbicara, diskusi, dan mengatur ekspetasi orang lain. Itu adalah kenyataan yang ku rasa sangat pahit. Pekerjaanku tidak hanya membuat rancangan visual atau semacamnya, tapi harus berkordinasi banyak hal dengan orang lain agar rancanganku sesuai, entah sesuai dengan kemauan orang lain, atau pengguna, atau penikmat.

Kenapa aku bilang ini adalah hal yang pahit? Sederhananya, aku memiliki trauma yang tanpa ku sadari bersemayam dalam diri ini. Sesuatu yang lahir dari ketidaksukaan, dari hal yang benar-benar aku tidak bisa kontrol saat itu, karena aku benar-benar tidak tahu.

Sewaktu kecil, aku terhitung jarang berbicara. Di rumah aku tinggal bersama nenek dan kakekku, gap kami sangat jauh, kami tidak terlalu banyak berbincang, kerjaanku juga kebanyakan bermain dengan teman, memainkan permainan yang tidak perlu banyak bicara, selain itu aku menghabiskan waktu hanya menonton televisi.

Aku perlahan menjadi malas untuk berbicara, tapi mau tidak mau aku harus bicara, banyak hal yang tidak bisa aku lakukan sendiri. Rupanya, cara bicaraku sangat tidak bagus. Intonasi yang tidak ada, kecepatan yang sangat cepat, dan banyak temanku berkomentar kalau aku bicara sangat tidak jelas, atau tidak becus. Mereka mulai memanggilku bicos, karena tidak becus dalam berbicara.

Rasanya di kepalaku semua kata berjalan bergitu cepat, hingga mulutku tidak mampu mengejarnya.

Tanpa sadar trauma ledekan itu melekat ke barbagi segmen kehidupanku, termasuk dalam pekerjaanku yang nyatanya harus sering berkomunikasi dengan orang lain. Aku yang tidak suka berbicara banyak, terpaksa harus berkomunikasi dengan banyak orang, terlebih harus memastikan, mengatur, dan meyakinkan orang lain.

Itu bukan level komunikasi sederhana. Hah...

Bagiku, komunikasi adalah salah satu permasalah umat manusia. Banyak sekali masalah terjadi dari kesalahpahaman komunikasi, sederhananya dalam rumah tangga pasti salah komunikasi, salah memahami, akan ada percikan-percikan keributan yang seharusnya tidak perlu jika hidup dalam kesendirian.

Ya, begitulah.

Sunahtullah-nya manusia tidak bisa hidup sendiri, bersosialisasi memang sesuatu yang melancarkan rezeki, asal dalam koridor positif, tidak banyak orang bisa terbantu oleh relasinya, entah terkait kerjaan atau pinjaman. Aku pun setuju, relasi atau jaring pertemanan sangatlah penting, tapi komunikasi itu terlalu rumit, hingga-hingga aku tidak ingin melakukannya.