Kamis, 26 September 2019

Sisi

Tak selamanya berpisah itu buruk dan bersama itu baik.
Atau pun sebaliknya.

Rabu, 25 September 2019

Jalan Pulang

Waktu. Ada sebuah entitas bernama waktu. Terkadang kita yang menentukan, terkadang kita ditentukan.

Sudah berapa lama aku sibuk teralih dengan perangkat yang semakin canggih. Kehidupan sudah mulai terenggut untuk berpikir. Beruntung akhirnya keadaan memaksaku pulang dari kesibukan. Di jalan, meledak-ledak kepalaku dibuatnya. Banyak sekali yang aku pikirkan dan ingin sekali aku tuangkan. Walau disayangkan, aku lupa bawa perangkat untuk mengekspresikannya.

Aku hanya berpikir, terhadap berapa lama aku tidak berpikir? Merenungi banyak hal, mencoba menelisik pikiran-pikiran yang tertutup riuhnya kehidupan. Sepanjang perlajanan pulang, akhirnya aku menemukan kembali, pikiran-pikiran yang telah hilang.

Aku berpikir, saat itu aku berpikir, tentang waktu, tentang sifat dan ego yang setiap orang miliki, tentang pemakluman, penempatan, dan menyalahkan diri sendiri.

Pemakluman dan Penempatan

Jadi bagaimana? Setiap orang pasti punya sifat yang tidak disukai orang lain. Apakah kita harus mencari yang bisa mengimbanginya? Apakah kita harus mencari yang bisa meredamnya? Ataukah kita yang harus pandai-pandai menempatkannya?

Keterkaitan satu orang dengan orang lain tidak lepas dari intrik-intrik perasaan, ego, pikiran, keinginan, dan banyak lagi yang bisa jadi sama dan bisa jadi beda. Tidak ada cara menyatukannya selain mengkomunikasikannya. Ada hal yang bisa kita lakukan ada yang tidak bisa kita lakukan.

Saat kita berpikir ingin melakukan sifat, ego, dan semacamnya, yang bisa kita lakukan adalah menempatkannya. Misal jika kita terlalu dominan di mata orang lain, coba tengok sedikit, apakah saatnya mengeluarkan dominan itu saat berinteraksi atau berkaitan dengan orang lain? Apakah sudah menempatkan dominan itu di keadaan yang tepat? Atau hanya nafsu?

Lantas bagaimana jika kita berada di posisi korban dari ego, sifat, atau semacamnya dari orang lain yang tidak kita sukai. Dari hal yang tidak bisa selalu kontrol penuh? Pemakluman. Mungkin mengalah orang sebutnya. Ini pun bisa dikatakan menempatkan juga, tapi menempatkan diri. Berupaya untuk mengerti, atas segala tindak laku dan ambisi darinya.

Menyalahkan Diri Sendiri?

Menyalahkan diri sendiri yang kurasa adalah sebuah alibi. Setiap aku menyalahkan diri sendiri aku hanya beralasan pada dunia kalau memang aku payah dan tidak bisa. Menutup dan menahan diri. Membuat pemakluman pada seluruh orang kalau aku payah dan tidak bisa. Seolah aku paling menderita dan memaki diri sendiri.

Kalian tahu hanya harap apa?

Hanya harap sebuah perhatian. Saat dunia memperhatikanku, memaafkan atas kepayahanku yang sesungguhnya alibi, aku merasa berjalan lagi, karena semua sudah dimaklumkan, sudah dimaafkan.

Bukankah semua itu menghambat diri? Menjadikan diri belenggu diri sendiri dan orang lain, seolah mereka jadi paham kalau aku tidak bisa dan layak dikasihani?

Ketika aku menyalahkan diriku sendiri, aku seperti meminta kasih sayang. Lihat, betapa payah dan deritanya aku menjalani hidup ini. Tolong kasih aku, sayang aku. Tidakah itu hanya sebuah alibi.

Apakah benar-benar kita tidak bisa? Atau sedang beralibi?

Aku itu lemah sekali dalam membaca buku, aku nggak bisa belajar lewat buku, aku ingin muntah jika baca buku, aku payah banget deh soal buku.

Dari kata di atas, kalian bisa lihat, kalau aku ingin ditoleransi terhadap apapun yang berkaitan dengan buku, ingin diperhatikan kalau apa-apa yang ada buku jangan diberi ke aku. Semua itu adalah alibi, atas ketidakinginan berubah dan pemakluman dari orang-orang.

Senin, 23 September 2019

Pencarian

Setiap kali sedang berupaya, aku selalu ingat kisah Ibunda Siti Hajar yang terus berupaya dalam mencari air, dan akhirnya hasil itu didapatkan dari sesuatu yang tak terduga.

Sedari pagi hingga menjelang sore kemarin, mencari kain yang ingin dibeli tak kunjung dapat. Rasanya sudah letih dan ingin sekali menyerah. Hari minggu toko-toko tutup lebih cepat. Aku semakin panik. Menyusuri lorong demi lorong, tirai-tirai besi sudah merapat ke daratan.

Langkah kakiku berjalan tak bertujuan. Hanya menyisir jalan-jalan lorong, bertanya sembarang. Hingga akhirnya tak sengaja terhenti dengan seorang penjual kain. "Pak, ada kain ini?" tanya ayahku.

Bapak penjual kain yang berketurunan cina itu sedang beberes, ia berdiri di atas gulungan-gulungan kain penuh warna. Ia melihat kain yang di tunjukkan ayahku. Bapak penjual itu melanjutkan beberesnya sambil menunjuk ke ujung tokonya, tepatnya ke gulungan kain yang berdiri tersusun di atas lantai. "Coba cek di sana."

Aku dan ayahku langsung mengikuti instruksinya, dan benar saja. Aku tersenyum saat itu, mungkin aku merasakan apa yang Ibunda Siti Hajar rasakan, setelah lelah berlali dari bukit Shafaa ke bukit Marwa akhirnya mendapatkan air zam-zam. Kain itu, seperti air zam-zam. Menyegarkan kepercayaanku, bahwa terpenting adalah ikhtiar saja.

Pun sebenarnya di masa toko-toko mau tutup dapat kain serupa juga dengan yang aku cari, tapi karena banyak pertimbangan akhirnya urung beli. Entah kenapa, kain-kain sulit dicari ini ketemu di akhir? Memang berjuang itu harus sampai akhir ya.

Selasa, 17 September 2019

Teralih

Selalu, entah bagaimana ini selalu, selalu ada sebuah pertanyaan. Apa di dunia ini aku saja yang tidak pernah sibuk? Atau aku mudah teralih?

Minggu, 15 September 2019

Lelah

Aku kira aku adalah orang yang mudah beradaptasi, mudah mengerti orang lain, mudah mentolerir orang lain.

Namun, lambat waktu bergulir, ternyata aku adalah anak bayi yang meraung-raung ketika ibu tidak ada untukku. Ketika ibu sibuk dengan ayah, ketika ibu sibuk dengan kakak atau lainnya. Aku merasa tercampakan, aku merasa tidak disayang.

Sampai aku di sebuah titik. Apa bisa aku hidup bersama dengan orang lain? Digantungkan oleh orang lain? Sementara kepalaku saja mentok pada kesedihan akan kasih sayang yang terbagi.

Aku seolah selalu ingin dimengerti tapi tak mau mengerti orang lain. Pun aku berpikir, sepertinya hidup sendiri, tidak merepotkan orang lain, mengganggu orang lain, mengharapkan kasih sayang orang lain adalah tindak laku yang sesuai dengan permasalahanku.

Aku ternyata tidak terlalu mengerti diriku, sendiri. waktu demi waktu, semua asumsiku runtuh. Begitu pun perasaanku. Akankah aku melangkah lebih jauh, lagi? Atau akhirnya menyerah dengan segala kondisi, lagi?

Aku tak tahu. Apakah aku hanya akan menjadi sumber masalah orang yang kusayangi? Hanya akan menjadi beban orang yang menyayangiku? Atau, aku menjadi kekuatan bagi mereka?

Aku tak tahu.

Dan rasanya, lelah untuk mencari tahu.

Selasa, 10 September 2019

Berntakan

Hidup berantakan, yang negur bukan siapa-siapa. Diri sendiri.