Waktu. Ada sebuah entitas bernama waktu. Terkadang kita yang menentukan, terkadang kita ditentukan.
Sudah berapa lama aku sibuk teralih dengan perangkat yang semakin canggih. Kehidupan sudah mulai terenggut untuk berpikir. Beruntung akhirnya keadaan memaksaku pulang dari kesibukan. Di jalan, meledak-ledak kepalaku dibuatnya. Banyak sekali yang aku pikirkan dan ingin sekali aku tuangkan. Walau disayangkan, aku lupa bawa perangkat untuk mengekspresikannya.
Aku hanya berpikir, terhadap berapa lama aku tidak berpikir? Merenungi banyak hal, mencoba menelisik pikiran-pikiran yang tertutup riuhnya kehidupan. Sepanjang perlajanan pulang, akhirnya aku menemukan kembali, pikiran-pikiran yang telah hilang.
Aku berpikir, saat itu aku berpikir, tentang waktu, tentang sifat dan ego yang setiap orang miliki, tentang pemakluman, penempatan, dan menyalahkan diri sendiri.
Pemakluman dan Penempatan
Jadi bagaimana? Setiap orang pasti punya sifat yang tidak disukai orang lain. Apakah kita harus mencari yang bisa mengimbanginya? Apakah kita harus mencari yang bisa meredamnya? Ataukah kita yang harus pandai-pandai menempatkannya?
Keterkaitan satu orang dengan orang lain tidak lepas dari intrik-intrik perasaan, ego, pikiran, keinginan, dan banyak lagi yang bisa jadi sama dan bisa jadi beda. Tidak ada cara menyatukannya selain mengkomunikasikannya. Ada hal yang bisa kita lakukan ada yang tidak bisa kita lakukan.
Saat kita berpikir ingin melakukan sifat, ego, dan semacamnya, yang bisa kita lakukan adalah menempatkannya. Misal jika kita terlalu dominan di mata orang lain, coba tengok sedikit, apakah saatnya mengeluarkan dominan itu saat berinteraksi atau berkaitan dengan orang lain? Apakah sudah menempatkan dominan itu di keadaan yang tepat? Atau hanya nafsu?
Lantas bagaimana jika kita berada di posisi korban dari ego, sifat, atau semacamnya dari orang lain yang tidak kita sukai. Dari hal yang tidak bisa selalu kontrol penuh? Pemakluman. Mungkin mengalah orang sebutnya. Ini pun bisa dikatakan menempatkan juga, tapi menempatkan diri. Berupaya untuk mengerti, atas segala tindak laku dan ambisi darinya.
Menyalahkan Diri Sendiri?
Menyalahkan diri sendiri yang kurasa adalah sebuah alibi. Setiap aku menyalahkan diri sendiri aku hanya beralasan pada dunia kalau memang aku payah dan tidak bisa. Menutup dan menahan diri. Membuat pemakluman pada seluruh orang kalau aku payah dan tidak bisa. Seolah aku paling menderita dan memaki diri sendiri.
Kalian tahu hanya harap apa?
Hanya harap sebuah perhatian. Saat dunia memperhatikanku, memaafkan atas kepayahanku yang sesungguhnya alibi, aku merasa berjalan lagi, karena semua sudah dimaklumkan, sudah dimaafkan.
Bukankah semua itu menghambat diri? Menjadikan diri belenggu diri sendiri dan orang lain, seolah mereka jadi paham kalau aku tidak bisa dan layak dikasihani?
Ketika aku menyalahkan diriku sendiri, aku seperti meminta kasih sayang. Lihat, betapa payah dan deritanya aku menjalani hidup ini. Tolong kasih aku, sayang aku. Tidakah itu hanya sebuah alibi.
Apakah benar-benar kita tidak bisa? Atau sedang beralibi?
Aku itu lemah sekali dalam membaca buku, aku nggak bisa belajar lewat buku, aku ingin muntah jika baca buku, aku payah banget deh soal buku.
Dari kata di atas, kalian bisa lihat, kalau aku ingin ditoleransi terhadap apapun yang berkaitan dengan buku, ingin diperhatikan kalau apa-apa yang ada buku jangan diberi ke aku. Semua itu adalah alibi, atas ketidakinginan berubah dan pemakluman dari orang-orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar bagi yang perlu