Senin, 27 Oktober 2014

Es Krim

Beruntung berkhayal masilah gratis. Sungguh beruntung.

*

  Ceritanya bermula dari pembahasan tentang pernikahan. Saat itu temanku bercerita sedang ingin menghadiri pernikahan temannya. Sungguh tak menyangka memang jika mempunyai teman yang esoknya sedang ingin menikah. Tapi, topik utamanya bukanlah itu. Cerita itu berkembang biak hingga akhirnya, es krimlah yang mendominasi.

  Entah kenapa, belakang ini aku sangat addict dengan es krim, mungkin karena kebetulan aku sudah jarang menikmati butiran cokelat atau rasa lainnya yang memadat dan sungguh nikmat jika dijilat hingga muka cemong karenanya.

  Rasanya memang sungguh nikmat, begitulah definisi es krim bagiku. Dan aku serta temanku itu sering membahas tentang es krim. Ketika topik pada tentang pernikahan, aku pun bertanya. 

  "Ada Es Krim di resepsinya?"

  Temanku membalasnya. "Tidak, tidak ada. Tapi, makanan lainnya enak."

  Saat itulah aku mulai berkhayal. Aku langsung mengutarakan khayalanku itu kepadanya. "Bagaimana jika nikahan isinya hanya es krim?"

  Temenku sepertinya kebingungan saat itu. Aku langsung menjelaskannya. "Ya, tidak ada lauk pauk. Semua digantikan dengan es krim. Jadi nanti bakal ada es krim rasa rendang, es krim rasa sayur bayam, es krim rasa sambal, dan es krim rasa kerupuk. Kupikir itu cukup untuk hidangan para tamu."

  Dan saat itu temenku tertawa, ya memang terdengar aneh. Tapi, itu sungguh menarik. Apalagi jika dicoba. Tak terbayang jika semua dijadikan es krim. Hingga akhirnya kami membahas tentang es krim yang dibuat dengan nitrogen.

  Oh tidak, es krim, kenapa kau begitu lezat? Apakah sekarang ini, ya, detik ini aku bisa mendapatkan es krim? Please, satu es krim untukku. Sepertinya aku harus segera ke minimarket.

Minggu, 26 Oktober 2014

Dingin Menyesap Dalam Darah

  Waktu itu menjelang senja, beranjak dari kasur dan bersiap-siap menuju tempat tujuan. Seiringnya berjalan waktu, aku terus melangkah di atas bebatuan jalanan yang tak menentu. Melewati kebulan debu melayang diudara.

  Setibanya di kampus, aku iseng menepuk telapak tanganku ke baju, alih-alih membuang rasa bosan berjalan sendirian. Tapi, saat itu, aku merasakan sesuatu yang aneh dan begitu unik. Saat aku menepuk tanganku, seolah tanganku basah. Seolah tanganku menyentuh ke air. Pokoknya tanganku merasakan hawa dingin.

  Ketika aku memeriksanya, tanganku tak lembab, cukup kering untuk tidak merasakan hal seperti itu. Dan ketika aku memeriksa beberapa tempat yang aku pukul dengan telapak tanganku. Aku tak mendapati bagian yang lembab atau basah. Semua tampak tak ada yang berbeda.

  Aku mencoba menepuk tanganku beberapa kali. Dan aku merasakan hal yang sama. Sungguh luar biasa. Aku merasa ada hawa sejuk berada dalam kulit telapang tanganku. Jika aku sangat sotoy, mungkin aku akan bilang seolah darahku mengalir seperti air.

  Beruntung aku bukan dokter atau semacamnya. Jadi aku tak tahu apa yang sedang terjadi. Jika diumpamakan aku seperti memakai sarung tangan lalu menyelupkannya ke air. Saat itu aku merasa hawa dingin dan ketika kutarik serta melepas sarung tangannya. Aku tak merasa apa-apa. Bahkan terlihat kering.

  Ini sungguh memutar otakku, aku sangat malas untuk mencari tahu ke mbah google. Tapi, aku menikmatinya. Rasanya lucu, seperti ada rasa mint dalam darahku. Ya, semoga saja ini bukan bertanda hal buruk. Karena kupikir, sudah cukup buruk akhir-akhir ini. Ya, semoga saja.

Jumat, 24 Oktober 2014

Berhenti Berharap

  Terkadang aku ingin berhenti berharap. Saat melihat yang diharapkan merangkak menjauh dan mungkin saja berlari kencang tanpa sepengetahuanku. Terkadang aku ingin berhenti berharap, saat tak punya lagi dalih untuk menahan rasa malu ini.

  Jutaan kata, jutaan cerita. Semua berkata tentang mimpi. Tentang harapan. Sayangnya aku terlalu percaya. Aku terus mengutarakannya. Terus bermimpi dan berandai-andai. Dan aku terus melakukan itu tak peduli itu hanya sebatas isapan jempol.

  Sempat aku tertegor, saat bilang butuh langkah nyata untuk semua itu. Hem, terkadang aku berusaha mencoba tapi nyatanya aku gagal. Dan satu hal yang sulit dihilangkan adalah menahannya, menahan rasa malu akan kekalahanku itu.

  Walau jutaan film memotivasi, jutaan musik mengiringi. Tetap rasa piluh selalu hadir dalam kegagalan yang memeras jiwa dan otak. Terkadang aku berpikir dunia telah berakhir, saat semua menjadi berantakan dan lebih parah lagi.

  Terkadang aku ingin berhenti berharap. Saat melihat orang lain yang tak perlu berharap mendapatkan sesuatu yang aku harapkan. Dan aku yang begitu mengharapkannya seolah dicampakkan begitu saja.

  Kecewa? Memang begitu adanya. Terkadang aku ingin berhenti berharap. Tapi, nyatanya ku tak bisa. Setelah itu aku berpikir. Jika aku berhenti berharap, lalu apa yang akan ku tuju dalam dunia yang fana dan begitu menyumpakkan ini.

  Sejauh apapun harapanku berlari meninggalkanku. Kehidupan ini sudah dirancang seepic mungkin. Melebih film-film hollywood yang membuatku terkagum-kagum. Aku percaya itu, dan kini aku sedang berharap. Setelah catatan ini, aku tak pernah berpikir lagi bahwa harapan itu pasti tiba. Di waktu yang telah disediakan. Di kebahagiaan yang membanggakan.

  Ah, sudahlah. Sepertinya aku butuh istirahat setelah pelik-pelik yang semakin bertambah dan begitu mengusik jiwa.

Kembali dan Kupikir Aku Lelah

  Sudah lebih dari seminggu aku merasakan begitu berantakan. Rasanya aku ingin meledak. Aku seperti orang yang tak tahu lagi arah. Berkelakuan tak menentu, rasanya ingin bertindak sesuka hati. Aku benar-benar kacau saat itu.

  Ya, begitulah aku. Dan pada akhirnya, semua itu menunjukkan jati dirinya. Kasus lama bersemi kembali. Mungkin itu ceritanya. Dan kupikir aku mulai lelah dengan semua ini. Ingin benar-benar menyelesaikan semua ini dan melupakannya. Terlebih tidak mau berjumpa dengan hal ini lagi.

  Sekian kekesalan ini. Mungkin akan terus menggerogoti pikiran hingga waktu tak menentu. Entah kapan, aku pikir ini begitu lama. Sampai menemukan pengganti dan membuang jauh kisah ini. Kuharap ada jalan yang bisa menghantarkan aku ke sana. Tujuanku sekarang.

Kamis, 16 Oktober 2014

Nebula



Untuk mereka yang masih percaya akan mimpi setinggi langit.
Untuk mereka yang masih percaya semua itu kian jadi nyata.
Untuk mereka yang tak pernah lelah.
Untuk mereka yang bersyukur akan nikmat yang ada.



***

Disaat keterbatasan menahan semua mimpi
Di sinilah aku berlabuh
Tak tahu siapa yang ada
Kucoba menerka sedalam-dalamnya

Waktu berguguran
Semi telah menghilang
Hujan menghantar hari
Detik demi detik

Semua itu memberiku makna
Arti sebuah perjalanan yang akan kutempa
Mulai percaya dengan jati diri
Pelabuhanku sungguh berarti

Waktu mengajarkanku akan kedamaian
Mengenal perlahan dan kian saling mengenang
Perjalanan indah yang ingin kita genggam
Walau sekarang masih sekadar angan, tapi bukanlah halangan

Bisik demi bisik
Awalnya aku dan kita ragu
Mimpi ini seolah tabu
Kian hari kian kelabu

Tapi, siapa gerangan?
Mencari alasan akan keterbatasan
Padahal mimpi tak pernah salah
Saat kita mencoba meraihnya dan tak pernah lelah

Kian waktu yang menyuarakan
Membuka mata dan semua terang benerang
Mimpi itu menjadi nyata
Saat kita mengembang senyum gembira

Dan akhirnya dunia pun tahu
Tak peduli apa yang menghalangimu
Pelabuhanku bukanlah perhentianku
Melainkan sembuah peluncur hebat yang siap melonjak

Terbang, tinggi, menuju cakrawala tak terhingga
Merobek orbit yang ada
Kita bagaikan planet tiada dua
Bertengger diangkasa, dengan bangga dan melepas derita

Dan ketika saat itu tiba
Kupikir, itulah saatnya
Bercerita pada orang tua
Aku tersesat di pelabuhan nirwana.

Rabu, 15 Oktober 2014

Senin, 13 Oktober 2014

Terkadang Berpikir Demikian

  Terkadang omong kosong adalah:

  "Yuk ikut aja, nggak bisa nggak apa-apa. Kita sama-sama belajar." 

  Pada akhirnya kita semua di tes akan hal itu, padahal kan nggak bisa. Kan bilangnya nggak apa-apa. Katanya mau sama-sama belajar. Gimana mau sama-sama belajar, tapi nggak bisa ikut belajar.

  Terkadang aku berpikir demikian...

  Suka kasihan juga, sama diri sendiri dan orang yang terkena php. Ada kata-kata yang rancu disana, mungkin niat dan usaha bisa mengalahkan semua perihal itu. Tapi, bagaimana mungkin bisa, jika kita belum diperbolehkan mencobanya. Ya, mau tak mau, belajar sendiri lalu menawarkan diri ke publik tersebut.

Berharap Semesta Menghukumnya

  Terkadang hawa nafsu seenaknya jidat. Ingin ini ingin itu, tak pernah tahu apa itu situasi dan kondisi. Sesekali ingin kuberi ia hukuman akan itu, tapi nyatanya tak bisa. Selalu berharap semesta menghukumnya. Agar ia sadar diri, bahwa yang ia lakukan tak selamanya tepat dan tak selamanya kuinginkan.

Minggu, 12 Oktober 2014

17:23

  Kalau tidak salah, ya, sepertinya itu benar. Tepat pada waktu itu. Rasanya sejuta mimpi yang dulu diotak, kini seperti migrasi ke ujung bibir yang ketar-ketir namun terus terpanjat doa. Segala upaya seolah telah dikerahkan. Mimpi itu kini tinggal menghitung waktu untuk menjawabnya, apa sudah layak aku menggapainya, atau masihkah harus kurasakan ketar-ketir luar biasa di setiap detiknya.

  Seperti ayam yang baru menetaskan telurnya. Bahagia, berharap anaknya menjadi orang yang hebat layaknya para orang tua. Begitu pula kenyataan ini. Tepat di waktu itu, semua menjadi tak terbayangkan. Seolah sejuta warna hanya ada putih atau hitam. Menang atau kalah. Bahagia atau sedih.

  Tapi, peduli setan. Keesokannya, waktu untuk berjuang di lain hal telah dimulai. Perang ini tak menyisakan luka, tapi menyisakan rasa yang tak terdefinisikan. Maka dari itu, tak ada hal yang tak patut diperjuangkan. Sejenak aku berseru akan waktu itu, dan kini aku harus berkutat mempersiapkan perang selanjutnya.

  Biarkan aku menyelesaikan urusanku dan tak semua orang tahu, biarkan mereka melihat apa yang kuraih. Agar mereka tahu, hidup ini nyatanya tak sesulit sebagaimana orang menganggapnya. Tentu saja, ada masa semua harus jelas serinci mungkin. Kuharap itu hal yang terjadi.

Sabtu, 11 Oktober 2014

Menanti Dari Persembunyiannya

  Orang bilang aku sepertinya harus lembur malam ini. Dan begitu saja aku setuju. Anggapan mereka benar-benar masuk diakal. Aku sepertinya memang harus menghabiskan malamku dengan hal-hal ini. aku setuju, benar-benar setuju.

  Dan beberapa saat kemudian...

  Apa yang harus aku lakukan? Apa yang perlu kukerjakan? Terlihat banyak, tapi seolah kabur. Berbayang, sulit kugenggam. Aku berusaha melukisnya, tapi nyatanya hal-hal ini masih juga tak keluar dari persembunyiannya.

  Jadi apa yang harus aku lemburkan? Sepertinya aku harus menunggu. Segelas susu sepertinya membantu malam ini sedikit lebih padat.

Waktu Sudah Melebihi Kapasitasnya

  Waktu sudah melebihi kapasitasnya. Kembali menuju nol, layaknya hidup baru. Dan hari baru memang sudah tiba. Namun, akar pikiran serta embel-embelnya terus memusat pada perkara kemarin-kemarin. Saat itu aku berpikir keras.

  Seandainya aku amuba, kuharap bisa membelah diri.

  Seandainya aku naruto, kuharap aku bisa memiliki seribu bayangan.

  Tapi, apa daya. Pujangga pun bukan. Aku hanya orang rakus akan mimpi, dan berharap tak membuang waktu hanya karena tak ada yang peduli. Lalu aku berhenti sejenak, dan berpikir lagi. Kupikir aku sudah melangkah begitu jauh, tapi sayangnya, langkahku tidak di satu jalan. Seolah kakiku banyak, aku tersesat di semua kesempatan hebat ini.

  Oh Tuhan, Engkau terlalu baik, memberiku banyak kesempatan. Hingga aku enggan untuk menolak, dan pada akhirnya aku curiga. Ini semacam godaan seperti layaknya Nabi Adam memakan buah yang dilarang. Apakah kesempatan ini sebenarnya dilarang? Hanya Engkau yang tahu.

  Dan aku siap terlelap. Mungkin bukan pemikiran yang terus kulakukan, tapi tindakan pasti akan semua masalah yang semulanya adalah kegemilangan yang bertubi. Terkadang aku takut dianggap, saat kuyakin mereka akan melupakannya. Terkadang berpikir tak dikenal, tak perlu ada kesedihan di dalam situ.

  Biarkan, biarkan aku terlelap malam ini. Bermimpi layaknya para bocah ingusan di tengah sawah dan berteriak. Di tengah angin sepoi-sepoi, ditengah usapan halus dari para padi yang bergoyang beriringan. Kuharap aku masih bisa bermimpi, saat ini dan setelahnya. Setidaknya seperti yang kubayangkan barusan.

Rabu, 08 Oktober 2014

Obral Kepercayaan

Saat semua orang mempercayaiku
Di situlah aku mulai sibuk dengan urusanku
Saat semua orang mempercayaiku
Aku mulai bingung untuk menampiknya

Dan pada akhirnya
Aku tak bisa dipercaya
Karena apa?
Aku terlalu dipercayai saat itu, dan pada akhirnya aku kebingungan
Urusanku memang urusanku, tapi seketika aku terlalu polos untuk mengiyakan segalanya

Dan saat mereka tak percaya padaku
Aku mulai kebingungan untuk kesekian kalinya
Apa yang harus aku lakukan agar mereka percaya padaku?
Dan saat itu pula, cerita ini tak pernah berakhir

Berulang, mengulang, dan diulang
Kepercayaan ini datang dan pergi
Bersemi dan gugur
Rotasi bumi seolah membantu mengalunkan
Nada-nada kehidupan serta kematian itu

Kepercayaanku seolah diperkosa saat itu
Dan pada akhirnya kepercayaan kepadaku mulai habis
Semua orang bosan
Dan aku pun juga.

Hukum Sepuluh Ribu Jam

Lakukan 'itu' sepuluh ribu jam, maka kamulah sang ahli.
*  


  Beberapa dosenku bilang, kamu akan menjadi ahli saat melakukan hal itu sebanyak 10 ribu jam. Dan saat itu, aku merasa berdosa. Begitu berdosa. Saat ketertarikan suatu bidang melebihi hawa nafsu akan harta. Saat peluang selalu menampilkan jati dirinya ditengah kehampaan, seolah aku menjadi orang yang linglung, tersesat, dan benar-benar payah.

  Di dunia itu terlalu banyak hal, terlebih lagi banyak hal menarik yang ingin sekali ditelusuri, dipelajari, dan dinikmati. Terlalu banyak, sangat banyak, bahkan aku tak bisa membedakan, mana yang diminat atau sekadar ingin tahu. Semua terlalu hebat.

  Ini menjadi beban yang begitu berat, saat peluang yang hadir memberimu harapan. Terkadang aku berdiam diri, ya, kembali di tengah pekat malam. Terkadang pun misuh-misuh ke seseorang. "Aku begitu tak fokus, bayangkan, setiap hari yang kulakukan berbeda-beda." Setelah itu aku lalu menasehati temanku yang lain dengan sotoynya, bahwa hidup jangan statis.

  Tapi, setelah ditilik, hidup dinamis, terlalu dinamis memang asyik. Namun, ada efek samping. Apa yang bisa aku jadikan sebuah keahlian? Jangankan 10 ribu jam, seratus jam saja aku tak mampu. Terkadang aku ingin melepas segalanya dan fokus terhadap satu hal. Tapi, seperti ibu yang menyayangi semua anaknya tanpa memikirkan anak pertama hebat atau kedua begitu. Aku ingin mengasuh mereka semua.

  Hukum 10 ribu jam itu terus menghantui, sialnya begitu. Sekarang aku menulis ini dengan hati yang bimbang. Apa bisa aku merelakan sesuatu untuk sesuatu yang lebih hebat? Seharusnya bisa, tapi... Ah sial, peluang itu hadir lagi, ia menggodaku. Dan akhirnya, aku terjerembat lagi. Lagi, dan lagi.

  Ketikda konsistenan ini kuyakin bakal menikamku diam-diam saat aku tak berdaya dan seolah tak berguna, karena tak ada satu pun yang kusebut ahli. Entah, itu hanya presepsi semata. Tapi, aku benar-benar kesal dengan diri ini saat ini. Tolong, fokus... Fokus!

Selasa, 07 Oktober 2014

Dolog

  Apa itu Dolog? Saat itu ruangan senyap, beberapa orang menanti satu orang untuk menjawabnya. Sementara satu orang itu sibuk mengetik kata 'Dolog' di papan keyboardnya. Jeda beberapa detik, semua kembali berbincang.

  Jadi Dolog adalah... Dan malam itu diakhiri dengan berpusing dan pekerjaan yang siap menikam.

Minggu, 05 Oktober 2014

Efek Manipulasi Tulang Rawan

  Apa ada yang memperhatikan detail kecil itu? Ya, ada perbedaan postur tubuh saat siang hingga malam hari dengan pagi hari. Apa yang membuatnya berbeda? Beberapa hari ini, aku menjadi doyan baca hal-hal seperti ini. Dan akhirnya aku mendapati jawabannya.
  
  Sebenarnya inti permasalahannya adalah tulang rawan kita. Pada saat siang hingga malam hari kita banyak melakukan aktivitas sehingga tanpa disadari kita mengkompres atau menekan tulang rawan kita saat kita berjalan, berlari, atau aktivitas lainnya.

  Hal tersebut yang mengakibatkan kita terlihat lebih pendek saat malam hari. Berbeda dengan pagi hari, di pagi hari kita telah melewati proses hebat yaitu, tidur. Saat tidur tubuh kita menjadi lebih rileks dan tidak mendapati tekanan terhadap tulang kita, sehingga tubuh kembali mengembang dan seolah-olah memanjang.

  Dan sekarang aku memikirkan, tepatnya saat aku menatap cermin lamat-lamat. Aku merasa, hidungku terkadang membesar dan ketika mencermin di lain waktu aku merasa hidungku baik-baik saja. Apakah ini ada sebab sehingga berakibat seperti itu? Oh hidungku.

Sabtu, 04 Oktober 2014

Apresiasi Kaula Muda

  Ketika itu waktu sedang senggang, selepas melepas keringat, mengorbit kesana-kemari mencari sebuah kemenangan yang tak kunjung pasti. Dan pada akhirnya, keringat itu membuahkan hasil. Hasil yang sebanding dengan usaha yang cukup giat. Dan di saat senggang itu, aku sejenak terdiam. Melepas karbondioksida dan terus bertukar dengan oksigen, detik demi detik.

  "Hello... Kaula Muda." ujar salah satu pembawa acara salah satu radio yang terdengar dari salah satu laptop temanku. Saat itu aku terbangkit dari terdiam. Dan tiba-tiba saja kata-kata kaula muda itu mengganggu diriku. Seolah-olah aku terus dibisiki kata-kata itu. Sungguh laknat memang, kata-kata itu memintanya untuk mengaitkan dengan perihal lain. Ya, ini yang cukup menarik.

  Beberapa waktu sebelumnya, di malam yang ramai. Aku dan beberapa orang hebat berdiskusi renyah, dengan sajian ala kadarnya dariku. Kami tenggelam dalam berbagai opini, fakta, dan cerita pengalaman yang tak kalah menariknya.

  Perbincangan yang terjadi sebenarnya tak terlalu penting, tapi tak cukup hebat untuk diabaikan. Saat itu salah seorang dari kami bilang. "Kalian tahu perbedaan bangsa ini dengan bangsa maju diluar sana?" pertanyaan itu seolah mengundang seribu tanya dalam sel-sel otakku. Menstimulus bekerja lebih giat, pada akhirnya aku mendapati buku hampa dalam otakku. Aku tak tahu menahu akan perbedaan yang ia tuju.

  "Apresiasi." saat itu aku tenggelam. Beberapa hari setelah diskusi itu, aku menjadi seorang panitia di sebuah acara. Di sana, aku mencoba lagi hal baru. Aku menikmatinya, tapi aku bukanlah apa-apa. Tak terlalu hebat performaku saat itu, dan sebenarnya sebuah apresiasi sedikit menarik. Setidaknya atas usaha itu.

  Tentu saja, apresiasi itu melayang. Walau lebih terlihat, banyak hal yang harus diperbaiki. Malam itu menjadi sedikit bahan renunganku, bahwa waktu memang begitu implikasi terhadap semua hal. Tak jauh seperti pengalaman, butuh waktu untuk membuatnya menjadi hebat.

  Keesokannya, setelah aku mencari kemenangan dan mendengar pembawa acara radio berkata "Kaula Muda." Saat itu juga aku merasa, semua ini berhubungan. Ya, apa yang membedakan kebiasaan masyarakat kita dengan negara lain? Ya! Bentuk apresiasi.

  Jika kalian percaya tentang sugesti, apresiasi merupakan sebuah bentuk sugesti berkonotasi positif yang luar biasa menarik. Jika ditilik, memang benar, di negara kita yang hebat ini banyak hal-hal menarik yang dilakukan. Tapi, terkadang entah kita terlalu sibuk atau apa, kita memilih tak peduli. Sekalinya peduli, bahkan kita sering kali menyela daripada memuji.

  Banyak anak muda melakukan hal hebat, tapi mereka lebih sering dicecar, dikritik habis-habisan, dan banyak lagi bentuk yang membuat para pemuda kita enggan berinovasi atau berkreasi. Berbanding terbalik di negara-negara hebat di luar sana.

  Di negara hebat sana, bentuk apresiasi adalah sebuah tradisi. Bentuk apresiasi bisa berupa apa aja, dan dampaknya memang luar biasa. Seolah menstimulun perasaan serta otak menjadi begitu gembira dan dihargai.

  Hidup ini memang menarik, satu kata bisa membuat bahagia atau sedih. Apresiasi kaula muda, para pemuda butuh apresiasi untuk lebih percaya diri akan apa yang dilakukan dirinya. Apresiasi tak perlu ditunjukkan secara langsung, setidaknya jangan terlalu membuatnya merasa berdosa akan kreatifitas yang mereka lakukan.

  Halo kaula muda, jangan takut berkarya. Ini hidup bukan remah-remah roti, kita adalah susu yang berada di tengah-tengah roti. Membuat roti menjadi begitu nikmat, manis, dan bermanfaat. Seolah roti tersebut bak dunia yang akan menjadi berwarna dengan adanya karya-karya kita. Kuharap ini apresiasi untuk kita semua.

Kamis, 02 Oktober 2014

Tak Semudah Itu Mie Instan

  Kini aku berharap gagal. Karena aku yakin, dibalik gelap akan ada terang. Seperti pepatah-pepatah bijak berkata. Ya, seperti inilah cara kerja semesta. Dibalik kesusahan ada kemudahan. Dan di sinilah aku berharap, dibalik segala kegagalan ini terbitlah kesuksesan.

  Dan sekarang aku berharap gagal sebanyak mungkin, membuatku merasa sedih dan ingin menyerah. Membuatku merasa telah melakukan berbagai hal yang sia-sia. Tapi, angkatlah kepalaku saat itu terjadi, dan ingatkan tulisan ini. Bahwa aku yang meminta kegagalan besar itu, untuk apa? Untuk keberhasilan yang besar pula.

  Tak ada yang instan, sekalipun mie instan, tentu saja ada prosedur pembuatannya. Bagaimana bisa mie instan itu enak? Karena usaha mereka membuatnya. Mudahkah? Tentu saja tidak, seperti teorema-teorema dan aksioma di mata kuliah, semua harus dipahami dan dipelajari. Dan kegiatan tersebut bukanlah hal yang instan, butuh proses dan butuh waktu untuk mendapati mie instan yang nikmat.

  Memang hidup terlihat tak serumit itu, bahkan simpel, seperti artis yang tiba-tiba naik daun karena gosip-gosip yang melecit di televisi. Tapi, mereka pun sejatinya berusaha. Berusaha terlihat buruk atau baik di mata dunia, agar apa? Setidaknya mereka dibicarakan, dikenal. Walau menyedihkan atau membanggakan. Ya, itu usaha mereka untuk menggapai keinginan mereka.

  Tapi, sekali lagi, kegagalan yang kuinginkan adalah sebuah telur yang sedang ingin menetas. Orbit yang ingin menghancurkan cakrawala. Membuat dobrakan hebat, untuk mengguncang dunia. Dan suatu saat aku akan bercerita layaknya para motivator dunia. Bahwa aku dulu adalah seorang pecundang, gagal ini gagal itu. Dan sekarang berdiri di sini, dengan jatuh bangun tiada tara.

  Mungkin terdengarnya membosankan dan mulai mainstream, tapi memang begitu cara kerjanya semesta. Kita harus tiba di tidak tahu untuk menjadi paling pintar. Karena ketika berada di paling pintar, kita akan terpentok. Dan sejatinya itu seperti penurunan, layaknya pergerakan umur dan pertumbuhan. Dari kecil hingga besar badan kita, lalu ketika sudah mentok, badan kita menciut.

  Proses dan waktu. Kesakitan dan mimpi. Itu satu paket menuju kegagalan yang berbuah keberhasilan. Walau masih banyak aspek-aspek penunjang lainnya. Tapi, ingatlah, kegagalanmu adalah keberhasianmu. Sekarang aku mencoba menjadi motivator gadungan, ah, peduli setan. Aku sedang bicara dengan diriku sendiri.