Sabtu, 17 Juni 2017

Harta, Popularitas, Agama?

  Sebagai manusia, rasanya penyakit hati selalu saja menghampiri tiada hari, jam, menit, bahkan detik. Ada saja hal-hal yang membuat hati tak tenang. Lihat teman bisa jalan-jalan ke luar negeri, hati resah, iri menghampiri, muncul pikiran negatif, bahkan tak jarang mengomentari dengan bilang "Ah paling dia keluar negeri pakai uang orang tuanya, nggak ada yang bisa dibanggai." Atau bahkan "Ah paling nebeng temennya" dan banyak lagi ide negatif muncul seiringnya penyakit hati menggrogoti.

  Selama aku hidup, tak sedikit rasa itu muncul dibenak. Melihat teman sukses lomba. Ah dibantu dosen. Lihat temen dapet nilai bagus. Ah paling kenal sama dosen, atau nyontek. Lihat temen bisnis lancar. Ah, lagi hoki aja dia. Banyak lagi sebab-sebab hati merasa resah dan gelisah. Rasanya tiada habisnya. Bahkan liat temen punya pacar cantik, rasanya, kapan aku punya pasangan wanita secantik dia?

  Well, hati yang tak dilandasi Iman kepada Allah sering kali melandasi sebuah perkara dengan hal tidak semestinya umat Islam berpikir. Sebagaimana kita umat Islam yang senantiasa mengimani bahwasanya apa yang kita lakukan semata-mata karena Allah, jika landasan itu lepas. Maka tak sedikit hati digerogoti oleh penyakitnya seperti iri, dengki, cemburu, bahkan hingga syirik.

  Itu pun yang sering aku alami. Ketika lihat teman sukses, aku selalu berpikir kapan aku bisa seperti itu? Kenapa aku tidak diciptakan seperti itu? Dan aku melupakan kewajiban-kewajiban dan rasa syukur yang amat dalam atas karunia-Nya yang sudah cukup banyak untuk dinikmati.

  Ada pun 3 hal yang sering membuat aku terus iri serta cemburu. Pertama, materi. Sebagai manusia yang hidup membutuhkan materi layaknya uang. Aku sering kali iri lihat temen usahanya sukses di usia semuda itu. Atau lihat temen rasanya hidupnya enak banget, orang tua kaya raya. Sementara diriku dan keluargaku? Kok hidup berat banget, bahkan pesimis bisa menjadi kaya.

  Pemikiran itulah pemikiran tanpa landasan ke Imanan. Seandainya kita menyadari, bahwasanya uang bukanlah tujuan utama kita hidup. Bisa dibayangkan, jika uang adalah tujuan kita hidup. Mungkin orang terkaya di dunia sudah mencapai surga? Atau telah menyelesaikan kehidupannya? Jika semua yang dilakukan semata-mata karena Allah, justru mungkin, orang-orang khendak tak ingin kaya. Sebagaimana dikisahkan sahabat Rasul, Abdurahman bin auf, yang seorang pedagang terkaya namun masuk surga paling belakangan. Karena apa? Karena harta tentu saja, beliau orang yang sangat kaya raya, dan pada saat yaumul hisab, berapa banyak harta yang harus diadili? Sehingga beliau masuk surga dengan merangkak.

  Namun, zaman ini sudah menghapus banyak sejarah Islam yang penuh inspirasi tersebut. Sekarang manusia berlomba-lomba mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Menjadikan dunia sebagai kerajannya, dan melupakan tujuan sesungguhnya mereka hidup. Maka tak sedikit orang yang seperti aku. Ketiak melihat orang lebih kaya, bawaannya iri aja, rasanya selalu mengandai-andai. Tapi tak pernah terpikir, bahwa itu adalah ujian. Harta adalah ujian dunia. Tak sedikit orang beribut karena harta, bahkan anak dan orang tua berkelahi karena harta.

  Jika semua melandasinya dengan ke Imanan terhadap Allah. Maka, kaya dan miskin sungguh bukan masalah bagi mereka. Bemasalah saat kaya dalam kegelapan seperti koruptor, riba, dan merampas harta orang lain. Kelak, mereka akan menyesal ketika semua itu di adili dihadapan Allah SWT.

  Maka dari itu, bahkan dari diriku sendiri. Berusaha untuk tidak merasa iri, dengki, bahkan ingin berbuat jahat terhadap orang lain yang memiliki harta lebih. Terkadang, kita tidak pernah sadar saja bahwa harta yang diberikan pada kita lebih dari cukup. Atau, kita yang tidak pernah mengupayakan harta atau rezeki itu untuk menghampirinya. Dengan niat dilandasi ke imanan terhadap Allah. Mungkin godaan harta tidaklah berarti, karena mereka sudah meyakini rezeki di tangan Allah.

  Kedua, selain terkadang hatiku iri terhadap orang yang memiliki harta, aku pun terkadang iri dengan orang yang populer. Terkadang rasanya ingin menjadi artis-artis, atau setidaknya memiliki wajah ganteng dan digandrungi banyak wanita. Rasanya seperti memiliki banyak bidadari. Begitulah saat melihat orang populer rasanya hidup begitu enak, buka usaha pasti laku oleh fansnya. Bahkan zaman yang semakin modern ini, bisa-bisanya seorang artis sehabis minum, botol atau sedotannya dijual dengan harga yang mahal. Popularitas bahkan bisa membutakan para fansnya. Terkadang itu yang membuatku geleng-geleng.

  Di zaman sekarang, kepopularitasan sangat mudah diraih. Terkadang aku iri di berbagai medsos. Banyak orang upload foto sedikit, likenya berratus ribu. Aku membuat desain sebagus mungkin berhari-hari yang like kurang dari 60 orang. Tanpa aku sadari, aku membuat desain hanya untuk kepuasan popularitasan. Karena aku terkadang berharap bahwa yang aku buat memukau bagi orang lain dan menyanjung diriku. Padahal sebuah sanjungan dari manusia adalah ujian pula. Karena dari sanjungan itu bisa membuat diriku menjadi sombong atau terlena karena merasa sudah lebih baik.

  Tak bisa dipungkiri terkadang aku ingin menjadi orang-orang terkenal dengan banyak fans yang sekali kedip mereka semua kelepek-kelepek. Tapi, jika dilihat lagi, popularitasan yang didapat dari luar jalan Allah jika aku pikir bisa menimbulkan sebuah perkara. Jika kita telusuri, jika kita seorang penyanyi lalu seorang fans mengikuti kita bernyanyi, secara gak langsung kita menjauhkan orang tersebut dari jalan Allah. Padahal ketika mereka bernyanyi, itu sudah waktu shalat. Dan mereka akhirnya mengabaikannya. Walau semua itu tergantung orangnya, tapi orang yang popular bisa saja menjadi contoh bagi orang lain atau fansnya.

  Maka sangat bersyukur dan begitu diriku idamkan ketika orang lain populer karena ke Islamanannya. Betapa inginnya aku menjadi seorang ustadz terkenal yang mengajak kebaikan. Seberapa banyak beliau mendapatkan pahala dari ke populeran yang dilandasi ilmu Islam? Sudah banyak yang mengaguminya, lantas berbuat baik mengikuti nasehatnya. Ah, kalau ini benar-benar iri diriku.

  Terakhir, masih bersangkutan dengan kepopularitasan. Perihal Agama. Ada kata-kata yang bilang, jika kamu tidak bisa melampaui seseorang dari apa-apa yang ada di dunia, maka lampauilah orang tersebut dari agamanya. Aku lupa persis katanya, intinya seperti itu. Dan sering kali aku merasa ini adalah jalan yang sangat harusnya bisa kulalui untuk melampaui orang lain.

  Namun, siapa sangka, dengan niat seperti itu, bahkan tak sedikit hatiku berbesar hati dan menganggap diriku lebih baik dari orang lain. Ketika aku rajin ke masjid, aku merasa ilmu agamaku lebih baik dari orang itu (yang jarang ke masjid). Namun, semua anggapan itu membuat kita merasa lebih suci dari orang lain, dan nyatanya itu adalah bisikan setan. Bahkan ustadzku bilang, itu adalah godaan setan yang paling halus. Ketika kita berbuat baik dan merasa kita sudah lebih baik dari orang lain lantas mengecilkan orang lain tersebut.

  Betapa hebatnya setan bisa mencari celah, bahkan dari hal-hal selintas terlihat baik. Ya, itupun yang sering aku rasakan dan penyakit hati itu sangat mudah terjadi. Apalagi aku cukup sensitif terhadap pemikiran dan perasaan eaaa. Dengan menulis pengalaman ini, aku terus berusaha untuk tidak memendam penyakit hati itu terlalu lama. Karena sungguh menyiksa melihat orang sukses dan pemikiran kita selalu negatif.

  Mungkin, alangkah baiknya, ketika kita mendengar orang lebih hebat dari kita. Kita harus berusaha lebih baik dan berdoa kepada Allah bahwa apa yang kita lakukan, apa yang kita perjuangkan, semua semata-mata untuk mengharapkan ridha Allah. Dengan begitu tidak ada penyakit hati, rasa sedih, dan kecewa akan hasil yang didapat dari segala upaya. Bahkan tidaklah risau melihat orang lebih bahagia dari kita, pada kenyatannya kita yang selalu membuat kita tak merasa bahagia dengan melihat orang lain lebih beruntung daripada kita.