Minggu, 26 Juni 2016

Satu untuk Semua? Semua untuk Satu?

  Bulan puasa ini memang penuh berkah. Dimana kita harus berpikir jernih ditengah tantangan dalam menahan segala hal yang bersifat buruk, termasuk menahan emosi. Saat puasa entah kenapa emosi itu gampang sekali lahir, mungkin karena hawa lapar yang menyudutkan tubuh dan pikiran ini.

  Layak halnya waktu itu, aku dan teman kelasku sudah merencanakan buka puasa bersama di sebuah tempat yang cukup jauh. Tapi, seperti biasanya, ketika janjian untuk berkumpul, layaknya istilah untuk jam Indonesia, ialah jam karet.

  Saat berkumpul, ada beberapa anak yang benar-benar telat hingga kami terpaksa mengundur jam keberangkatan. Dan parahnya lagi, sudah nyaris sejam kami menunggu, dan satu orang lagi belum juga tiba. Padahal dalam pesan terakhirnya, dia bilang untuk balik ke kosan sebentar.

  Well, kata sebentar membuat kami menunggu. Benar-benar menunggunya. Tapi, sebentarnya nyatanya tak kunjung datang dan memaksa kami semua terus menunggu. Pada akhirnya, temanku menceletuk. "Dah, yuk, kita berangkat." Katanya dengan optimis. Dalam pikiranku, kok jahat sih orang ini ninggalin temannya, tapi semua dalam pikiranku langsung terbantahkan oleh perkataan selanjutnya. "Kita menunggu untuk satu orang membuat semua orang jadi telat berangkatnya." Aku terdiam, dan berpikir kembali.

  Apa yang dikatakannya benar, di Indonesia ini menurutku, setidaknya diriku, memiliki pola pikir yang keliru. Terkadang, ketika mengadakan rapat, aku bilang, tunggu yang lain dulu, padahal waktu janjiannya sudah berlalu. Dan itu pun dimana kita berpikir menghargai yang telat, dan melupakan yang sudah tepat waktu. Pada akhirnya, seperti kita menyalamatkan satu orang, untuk membunuh semua orang.

  Dan itu yang terus terjadi, semakin itu terus terjadi. Orang bakal berpikir untuk lebih baik telat, toh ditunggu ini sama yang lain. Lalu bagaimana nasib yang tepat waktu? Yasudah, mereka hanya menunggu hingga yang telat tiba.

  Begitulah, aku dapat pencerahan setelah itu. Dan aku terus berpikir, benar juga apa kata dosenku. Pola pikir menunggu yang telat hanyalah membuat kemalasan adalah suatu yang bagus, dan ketepatan atau kerajinan adalah hal yang biasa. Semua ini kebalik.

  Mungkin, sekarang kita harus merubah pola itu. Menghargai yang tepat waktu, bagaimana? Tentu saja, dengan mengabaikan yang telat. Atau menghukum yang telat. Jika kita menunggu yang telat, berarti kita menghukum yang tepat waktu dengan menunggu yang telat.

  Setelah hari itu, ketika aku membuat janji aku akan berkata. "Kalau aku tidak dateng di waktu yang dijanjikan, tinggalin saja." Ya, jangan menunggu satu orang, ini bukan masalah persahabatan atau apa, ini masalah disiplin. Negara ini sudah jauh dari kata disiplin. Sangatlah jauh, terkadang aku sendiri kesal dengan orang yang seenaknya tidak tepat waktu. Apalagi tanpa konfirmasi, mereka pikir waktu 24 jam hanya untuk menunggunya?

  So, teman-teman. Waktu itu sangat penting, persahabatan juga penting, tapi jika sudah berjanji, usahakan perjanjian itu ditegakkan, jika perjanjian sering kali diabaikan, walau sepele sekali pun. Bukan tak mungkin, di masa yang mendatang, perjanjian hanyala sebuah simbolis.

  Yuk, kita datang tepat waktu, dan menghukum yang telat. Apresiasi orang yang berbuat baik, Indonesia ini miris akan apresiasi pada orang baik. Indonesia ini agak terbalik, orang jahat di apresiasi, orang baik diabaikan. Dari situlah timbul, lebih baik jahat karena diagungkan, daripada baik terabaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu