Jumat, 28 Maret 2014

Porsi Dalam Hidup

"Terkadang kita ingin semuanya, namun apa daya. Kita sebatas manusia biasa."

*

  Waktu kemarin, aku pernah mengatakan di postingan sebelumnya. Bahwa ilmu tak ada yang sia-sia. Semua sama pentingnya. Semua sama bergunanya. Ya, begitulah harfiah ilmu. Mereka merupakan bagian yang penting di kehidupan ini.

  Dan aku bukan ingin menarik kata-kata itu. Hanya saja, ada yang perlu aku tambah. Malam itu, aku dengan giat melakukan sebuah proyek desain, sampai menahan kantuk dan aku tak peduli. Ketika aku membuat sebuah desain entah itu apa, aku pasti lupa waktu bahkan perut lapar pun terkadang tak peduli.

  Mungkin itu yang di maksud melakukan pekerjaan yang disuka. Atau bisa dibilang passion. Ya, seperti itulah. Jadi pada malam itu, akhirnya aku mendapat jawaban atas pemikiran kenapa saya begitu bodoh di sejumlah hal? Sebut saja kalkulus dan fisika.

  Nyatanya memang begitu, aku begitu payah dalam dua hal itu. Bahkan sering cerita dengan teman, kenapa saya begitu bodo?. Tapi, malam itu aku mendapatkan jawaban. Mendapatkan hal yang seharusnya sudah aku tahu, namun kini terasa lebih ngena.

  Ya, semua ilmu memang penting. Tapi, kita tak perlu menguasai semuanya. Maksudku, fokus. Mungkin ada orang yang ahli kalkulus atau fisika atau bidang akademik lainnya. Ada juga yang ahli ngegambar atau menulis. Dan masih banyak orang yang ahli dalam bidang lain.

  Ini yang terjadi pada hidupku, ketika aku memikirkan orang lain yang pintar kalkulus dan fisika. Aku sering berkecil hati, minder dan ragu untuk minta diajarin. Tapi, setelah malam itu. Aku bertanya untuk apa aku minder? Mungkin aku lemah di situ, dan ahli di hal lain.

  Mungkin saja orang yang ahli kalkulus dan fisika itu tidak bisa melakukan apa yang aku bisa. Ya, begitulah. Kita terkadang harus menerima semua ilmu. Tapi, harus menentukan, mau jadi apa kita? Kita hanya manusia biasa. Tak mungkin semua kita lakukan, bukan?

  Namun, bukan berarti aku bilang bahwa aku mengabaikan saja kalkulus dan fisika. Aku akan menghadapinya, terus berusaha, walau berat. Itu adalah kewajiban sekarang. Mungkin setelah melewati masa ini, ilmu itu dapat berguna di bidang yang aku sukai. Siapa yang tahu?

   Ilmu memang tak ada yang sia-sia. Tapi, kita perlu menentukan. Ilmu apa yang kita butuhkan untuk kedepan. Dan terkadang kita perlu rasa suka akan sesuatu. Agar semua berjalan lebih mudah. Atau bisa saja menyukai yang ada dihadapan kita, walau itu sulit. Semua selalu butuh waktu.

Kamis, 27 Maret 2014

Ilmu Tak Sia

"Tak ada ilmu tak penting." - unknown

*

  Sejak aku membenci beberapa pelajaran. Terkadang aku bertanya. Apa pentingnya pelajaran itu? Apa berguna untuk kehidupan? Tentu saja, aku membencinya karena aku belum memahami dan memang sulit dipahami.

  Begitulah ilmu. Semakin susah di dapat, semakin besar manfaatnya. Namun, aku terkadang membenci ilmu-ilmu sulit seperti itu. Sebut saja kalkulus, pertama-tama saya bertanya pada diri saya sendiri dan tak pelak ke orang-orang.

  Apa sih untungnya belajar itu--kalkulus? Apa gunanya bagi kehidupan ini? Gak berefek banyak sepertinya dan pelajaran itu rumit sekali. Sesekali bahkan menjadi beban, rasanya tak dapat ilmu itu pun tak apa. Hidupku pun tak akan menjadi berantakan atau apapun yang berubah.

  Malah dengan belajarnya ilmu itu, malah hidup sepertinya menjadi payah. Apa-apa nggak ngerti, apa-apa minta ajarin. Seolah-olah menjadi bodoh. Sering kali aku pun mengeluh, menghujat dan terus bertanya. Apa sih pentingnya pelajaran itu? Bahkan di kampus ini mendapati perhatian lebih pada pelajaran itu.

  Hingga sekarang pun aku belum menemukan jawabannya. Belum menemukan jawaban yang bisa membuatku puas. Tapi, suatu waktu aku mendapatkan sebuah jawaban. Namun, di konteks yang lain. Bukan persoalan kalkulus yang tampak menjijikkan. Bukan.

  Ini menyangkut sebuah ilmu yang bagiku, taklah penting juga, taklah berpengaruh pada kehidupan, dan membosankan. Sejatinya aku tak pernah menaruh peduli terhadap pelajaran itu. Tapi, setelah membaca-baca berita dan artikel-artikel. Saya mengangguk-angguk terkejut.

  Ya, ternyata reaksi-reaksi kimia itu penting. Contoh saja saat kita meniup air yang panas, akan terjadi reaksi kimia yang mengakibatkan pengkristalan di perut nanti. Mungkin jika tidak percaya, kalian bisa cari tahu sendiri di google.

  Dan belakang ini aku mendapatkan berita tentang memakan buah sehabis makan cukup berbahaya. Malah lebih baik makan buah ketika perut kosong atau sebelum makan. Katanya, jika makan buah sesudah makan akan terjadi reaksi antara buah dengan makanan itu sendiri yang berefek buruk.

  Setelah membaca itu, aku benar-benar menarik kembali kata-kata tentang ilmu kimia. Tak disangka, pada akhirnya aku mengakui bahwa ilmu kimia layak untuk dipahami, malah wajib. Jika kita tak tahu, mungkin saja banyak reaksi kimia yang membahayakan kita.

  Maka dari itu, Islam mengajarkan wajib hukumnya untuk menuntut ilmu. Mungkin saja, karena ilmu itu sangatlah penting. Tak ada ilmu yang diibaratkan sampah. Tak ada ilmu yang pantas diremehkan.

  Bukankah kita harus bersyukur mendapatkan ilmu yang sulit dipahami? Mungkin saja kelak sangat berguna untuk kita. Dan menurutku karena di dunia ini tak ada yang pernah sia-sia. Dan sekarang, aku sendiri pun mencoba untuk menerima ilmu itu. Walau terkadang membuat saya bertanya, apakah saya bodoh?

  Jadi, ada yang mau mencela sebuah ilmu? Coba nikmati dulu, sampai kita bisa merasakan. Pentingnya sesuatu itu. Walau kita anggap taklah penting sedikit pun untuk kehidupan kita. Waktu akan menjawab semuanya.

Sabtu, 08 Maret 2014

Melewatkan

"Runtuh semakin runtuh."

*

  Mungkin aku percaya yang namanya sugesti. Terlebih percaya yang namanya ucapan adalah doa. Ketakutan di kepala yang memaksa menjadi sebuah kenyataan. Hidup semakin berat saat semua hal yang kita takuti itu benar-benar terjadi.

  Ini hari yang berat, terlebih sebelum-sebelum ini sudah banyak hal yang bikin semua semangat serasa hambar. Dan sekarang di tambah melewatkan sebuah hal penting. Sebuah hal yang tidak tahu bagaimana mengantisipasinya.

  Awalnya, hujan lebat benar-benar menyelimuti Bandung dari segala penjuru. Terjebak di luar sana membuat celana menderita. Badan menggigil tak tertahankan, dan larut semakin menjadi. Hujan tak membiarkan celahnya terlihat, dan hingga pukul dua belas. Semua terjebak olehnya.

  Setelah benar-benar menyerah, hujan-hujanan di jalanan kota Bandung. Setiba dengan kuyup yang amat parah. Setelah mengganti pakaian, aku sempat chat dengan seseorang dan bilang kalau aku takut besok kesiangan.

  Orang itu sempat bilang, "Bagaimana kalau nggak tidur saja?"
  
  Ya, itu sebuah pilihan menarik dan nekat. Tapi, meyakinkan. Namun, apa boleh buat. Kantuk tak bisa memaksa. Aku sudah menyetel alarm sekenceng mungkin. Sudah niat untuk bangun pagi. Namun, semua terjadi diluar kendali.

  Ketakutan yang aku pikirkan benar-benar terjadi. Aku bangun pukul delapan, sementara praktikum di mulai pukul enam tiga puluh menit. Apa dikata, susulan pun sulit. Semua semakin berantakan, lebur, tak terkira.

  Jika aku cengeng mungkin aku akan nangis, ini semua karena nilai. Ya, seandainya setiap praktikum nggak langsung ke nilai. Tapi, rasanya pahit banget saat prospek ke depannya bakal lebih suram. Dan semangat yang semakin runtuh ini, benar-benar sudah menghilang. Ya, semangatnya yang menghilang.

  Dunia serasa telah selesai saat itu terjadi. Perasaan yang selalu khawatir, kekecewaan yang tak ingin tersampaikan. Mungkin saja semua ketakutan itu akan benar terjadi. Sekarang mau salahin siapa? Tak ada yang bisa disalahkan selain diri sendiri, tak ada yang bisa dilakukan selain menanti. Seolah keajaiban masih ada.

  Beginilah, rasanya ingin muntah dari dunia kuliah ini. Apalagi saat tahu praktikum jam 6.30. Seolah hidup semakin mencekik. Satu-satunya jalan untuk memperbaiki adalah berbohong. Tapi, aku pikir berbohong untuk susulan bukanlah sebuah jalan. Jika iya--sebuah jalan--itu adalah jalan yang semu, sesat.

  Mungkin keajaiban masih ada. Aku mencoba menunggunya. Semoga.

Jumat, 07 Maret 2014

Arti Februari

  Jika ini sebuah irama, mungkin ini irama yang begitu fales. Begitu serak, begitu hancur tak membentuk sebuah irama yang banyak orang bilang, merdu. Ini irama yang mengerikan, bahkan lagu-lagu pengisi soundtrack horor saja kalah seramnya.

  Bukan sebuah bulan yang indah dengan mudah dijalani sepenuh hati dengan senyum terukir di bibir dan pipi menggelembung merekah menceritakan kisah indahnya. Bukan pula sebuah perjuangan penuh darah, penuh luka, penuh sendu.

  Februari kali ini terasa seperti permukaan lantai yang dilihat dari beberapa sudut sebuah jajaran yang saling terhubung dan datar. Beginilah, Februarinya datar, walau dari kesatuan cerita seolah berhubungan dan memberikan sebuah tanda.

  Kalau bisa disebut, pahit. Februari ini pahit. Tak seperti obat, tapi mungkin saja ini lebih mujarab. Entah apa esensinya, tapi aku percaya sebuah hal di balik semua ini. Sebuah kisah di balik kisah. Hah, entahlah aku bukan cenayang.

  Semua berawal dari kakek. Bukan kakek yang menjadi sumber masalah, tapi kakek yang sedang mengalami masalah. Penyakitnya semakin parah, bahkan hingga sekarang beliau tak bisa membuka mata, apalagi bicara. Hanya mendengkur di tengah baringannya.

 Lalu, betapa pahitnya ketika kehilangan sendal satu-satunya, bukan karena sendal itu mahal, bukan. Bukan juga hilang pas shalat jum'at. Entah bagaimana ceritanya, ketika sendal di sektretariat masjur, sendal lenyap begitu saja.

  Setelah merana karena kehilangan sendal, hingga sekarang aku pun nggak punya sendal. Ini bukan masalah uang sekali lagi, entah kenapa untuk beli sendal saja rasanya males minta ampun. Apa lagi kuliah? Ya belakangan ini aku pun merasa tak bersemangat untuk kuliah.

  Tak berhenti di sendal, kini bola basket tiba-tiba lenyap. Dengan tempat kejadian yang sama seperti sendal. Entah takdir apa, sepertinya mereka mencoba untuk melarikan diri dari aku. Oke, itu masih belum terlalu bermasalah.

  Paling besar dan menyedihkan adalah kehilang harddisk eksternal. Satu hal yang sama, tempat kejadiannya. hanya butuh selang berapa waktu untuk semu itu terjadi. Rasanya sedih minta ampun, bagaimana tidak? Semua file serta semua foto kenangan musnah begitu saja.

  Tapi, kalau kata orang harus syukuri. Mungkin ada maksud dari semua ini, aku masih mencoba sabar. Tapi, untuk kehilangan yang terakhir ini. Ya, kehilangan semangat untuk kuliah. Rasanya membuat pikiran buyar berkeping.

  Sesaat aku berpikir bahwa aku orang yang cukup beruntung hingga bisa kuliah sejauh ini. Bisa menjalani sebaik ini. Tapi, jika menilik beberapa hari lagi mau UTS. Rasanya lebur bukan main. Rasanya ingin minta seseorang untuk hancurin kepala ini, oke itu memang lebay.

  Setelah runtutan semua itu, ada satu hal yang hilang lagi di bulan februari ini. Ya, kehilangan semangat nulis. Walau sempat datang ke roadshownya #KampusFiksi tapi seolah semua tak menegur hati ini untuk menulis sesuatu. Bahkan setelah banyak hal terjadi, baru sekarang aku mencoba untuk menuangkannya di sini.

  Entah apa maksud arti Februari ini. Aku tetap peduli, semua memang terjadi cepat. Tapi, semua pasti memiliki esensi yang memuat arti dan kebaikan di lain waktu. Ya, harus percaya saja.