Selasa, 30 September 2014

Konversi Rasa

Seperti ada percikan api pada sumbu peledak
Sungguh rasanya ku ingin meledak
Terbakar, membara, melahap segala asa
Dan membuktikan, bahwa dunia tak selamanya kesusahan.
*


 Sepertinya aku mulai kebingungan, saat menetapkan satu tujuan dan aku sendiri yang melanggarnya. Tapi, setiba di dunia yang benar-benar berbeda. Seperti satu dimensi pada satu vektor ke vektor lainnya. Terkadang dunia berbeda itu saling menghubungkan. Sebagaimana para riset dengan tulisannya. Para pengembang dengan prototipenya.

  Keindahan tak selamanya dari hal yang manis. Apakah rindu itu selalu manis? Di sini, kutelan mentah-mentah pil pahit. Dari segala keegoan akan penolakan tentang yang aku lakukan. Di sini aku sungguh mulai merasakan kenikmatan yang pahit itu, ya, setidaknya ia berasa. Tidak hambar.

  Seolah ada semacam alat konversi rasa, pahit itu berbuah menjadi manis. Menjalar keseluruh tubuh memberikan keindahan yang tersirat dalam kebahagiaan. Rasanya aku ingin meledak sekarang, walau kutahu. Kebahagiaan dan keindahan serta semua rasa terkonversi ini hanyalah semu, semua akan menghilang. Itulah yang harus aku pikirkan.

  Namun, peduli setan! Ah sudah lama aku tak menggunakan kata itu, tapi sungguh nikmat. Seperti memendam dendam dari tahun ke tahun, saat dendam terbalasan sungguh nikmatnya. Ya, seperti itu ungkapan akan kata 'Peduli setan' tapi, yang kutuju bukan itu. Sekarang, penyorotan mimpiku adalah tujuanku. Kenikmatanku akan membawa kedamaian pada diriku yang selalu berkecamuk saat dosen berkata, bahwa banyak algoritma, banyak bahasa, banyak hal di dunia ini yang harus kamu kuasai. Terutama yang berurusan dengan bahasa pemograman.

  Memang, nyatanya semua ini sulit. Sungguh sulit menjadikan berbagai hal menjadi satu kegiatan. Waktu dua puluh empat jam kurasa hanya ilusi, nyatanya waktu berdetak lebih cepat, beriringan dengan nada-nada sumbar yang mengarungi. Aku merasa, hidup tersiksa. Tapi, sekali lagi. Konversi rasa benar-benar akan menjadi buah bibir dunia kelak. Ini yang kurasa, saat mencoba menikmati, seperti menjilat es krim. Manis, tapi bikin haus. Ingin lagi, walau membuatmu sakit. Itulah kecanduan.

  Kecanduan dapat berpotensi banyak tergantung dari berbagai sudut pandang. Hal-hal positif bisa mengubah kecanduan itu menjadi sebuah proyeksi akan prestasi yang membanggakan, walau orang lain berpikir kita sedikit autis dan mengerikan. Berambisi dan menjijikan. Terkadang ada orang yang melihat seperti itu.

  Tapi, inilah kehidupan penuh dengan tampikan dan muslihat tak kasat mata. Peduli setan, mereka semua hanya iri dan tak pernah peduli, atau terlalu peduli? Sekali lagi, konversi rasa benar-benar mengubah sejuta mata yang ada. Bagaimana kalau semua itu kita nikmati? Rasa apa yang dirasa? Sungguh ini perlu mental, konversi rasa ini membutuhkan hal tersebut. Dampaknya sungguh luar biasa. Kuharap ini sedikit berguna untuk hidup yang berkecamuk akan rasa-rasa aneh itu.

  Aku tak tahu harus mengakhiri tentang konversi rasa ini, tapi di sinilah aku. Mencintai dari apa yang kubenci. Rasa ini bertolak belakang sebagaimana pasangan muda baru memutuskan kekasihnya, mengkonversi kecintaan mereka menjadikan sebuah kebencian. Konversi rasa mereka sungguh ironis.

Nyenyaknya Raksasa Laut Dalam Kegelimpangan Harta Karun


  Indonesia secara geo-politik, historis, dan budaya merupakan sebuah negara maritim yang memiliki jumlah pulau terbanyak serta garis pantai terpanjang dunia. Bahkan Indonesia bisa digadang menjadi poros maritim dunia. Akan tetapi, semua itu suli terjadi. Ada beberapa aspek yang menghalangi hal tersebut, antara lain Pergeseran karakteristik bangsa Indonesia yang terpengaruh kolonialis, dimana pemahaman didominasi oleh dasar pemikiran kontinental yang kemudian mengikis sifat asli bangsa Indonesia yaitu, negara maritim. Pada sektor pemerintahan, jika saja pembangunan yang menunjang sektor kelautan mampu diproyeksi dengan baik, sektor itu mampu memberi dampak ekonomi yang dikira bisa mendapati sekitar USD 1,2 triliun per tahun. Di samping aspek-aspek itu, pertahanan dari sektor kelautan menjadi hal yang ideal untuk sebuah bangsa maritim. Pertahanan dapat menunjang keamanan komoditas di sektor transportasi kelautan yang bisa mengurangi kerugian sekitar 300 triliun pertahun termasuk pencurian ikan, penyelundupan, dan perampokan.

  Terkadang kita terlalu mengabaikan hal kecil yang jika dirinci adalah suatu besar yang tertimbun. Tak tersadarkah semua itu adalah lumbung keniscahayaan untuk pergerakan ekonomi jauh lebih baik. Selain membantu perekonomian, menjadi salah satu poros maritim dunia bukan lagi sekadar ancang-ancang. Pergerakan kultur yang meliput seluruh masyarakat bangsa, menjadi awal mula kesadaran akan betapa kayanya bangsa ini di sektor kelautan. Dengan begitu, kebijakan-kebijakan pemerintah bisa disetir dengan indah untuk pembangunan serta pengembangan negara ini di sektor kelautan.

  Jika semua itu terlaksana dengan sedemikian rupa, satu hal yang perlu dilakukan untuk menjaga hal-hal tersebut yaitu pertahanan di sektor kelautan. Sebuah angkatan laut merupakan sorotan utama dalam hal ini. Dimana kerugian yang dialami ole pencurian ikan, ilegal perdagangan, pembajakan kapal, dan bahkan pencurian pulau. Hal itu bisa diatasi tentu saja dengan menyoroti pengembangan angkatan laut bangsa yang seharusnya melebihi bangsa lain. Karena apa? Karena, bangsa yang memiliki penduduk sekitar 250 juta jiwa dan kepulauan yang beribu-ribu bukan sesuatu yang biasa, bangsa ini sungguh luar biasa, nyata kita punya sumber daya manusia yang banyak untuk panjang garis pantai yang bisa dicangkup untuk keamanan serta pemerataan pembangunannya.

 Hal-hal yang tak terlalu dianggap penting ini sejatinya bisa menghadirkan decak kagum akan keuntungan yang akan diperoleh bangsa ini. Kesadaran sedikit dengan hal kecil memang terlihat biasa. Tapi, jika kita tahu seluk beluknya dan terus mengapresiasi hal yang ada. Masalah seperti ini seharusnya tak terjadi lagi, dan bahkan membuat negara yang kaya ini menjadi benar-benar kaya secara harfiah. Tidak kehabisan sumber daya, yang sejatinya lahir di tanah kita dan dinikmati di tanah nan jauh sana.

  Bangsa ini hebat, namun tak beruntungnya. Bangsa ini selalu terlelap. Begitu mendayu tiupan angin, entah berapa sekala hertz hingga bisa membuat bangsa ini nyenyak akan tidurnya. Tidurnya melupakan kita akan sesuatu, bahwa bangsa ini sudah kaya sejak lahir.

Senin, 29 September 2014

Menjadi Orang Lain

  Sejujurnya aku ingin menjadi orang lain lantas mencibir diriku ini. Setidaknya aku akan mengatakan. 

  "Jangan selalu menganggap dirimu yang hanya bisa, di dunia ini, semesta ini, bulan saja bergantung kepada bintang-bintang untuk cahayanya. Percayakan sesuatu kepada orang lain. Kepercayaan seperti cahaya itu, jika dirimu percaya, kamu akan bersinar bersamanya."

  Namun, pada akhirnya aku hanya bisa mencibir atau menghujat diriku sendiri. Sungguh miris. Keegoisan yang terdeteksi layaknya boomerang, terkadang di lempar jauh-jauh namun nyatanya balik lagi. Sekuat apa pun, tapi itulah manusia. Percayakan orang lain untuk mengikis ego dalam diri ini.

  Jangan abaikan nasihat.

  Setidaknya dengarkan saja.

Jumat, 26 September 2014

Bicara Soal Waktu

  Saat waktu dua puluh empat jam saja tidak cukup untuk semua ini. Kurasa, aku butuh membayar wasit untuk perpanjangan waktu.

Senin, 22 September 2014

Berjalan di Pekat Malam

  Saat yang kunikmati, kesendirian di tengah keramaian. Ketenangan yang kudambakan, tersembunyi dari pekat malam. Kepuasan yang segera kurasakan, setelah semua itu terlaksanakan. Tentu saja. Itu hal yang sungguh-sungguh membuatku berpikir.

  Bukan sebuah hal yang penting, tapi berjalan di tengah malam dan sendirian itu mempunyai kenikmatan sendiri bagiku. Selain bisa melihat hiruk-pikuk dunia luar yang begitu berkecamuk, aku bisa melihat bagaimana seorang penyendiri memandang dunia yang begitu mengerikan dan mencekam.

  Berjalan di pekatnya malam, aku bisa berpikir lebih baik. Entah kenapa aku bisa menyebutnya seperti itu, terkadang aku benar-benar menikmatinya. Saat melihat kesenangan di tengahnya malam, saat melihat keramaian yang mereka buat. Dunia ini sungguh menyenangkan. Berwarna, begitu penuh dengan hiburan.

  Dari sanalah terkadang aku mulai berpikir, entah apa hubungannya. Tiba-tiba selaksana bintang jatuh, pikiranku terbayang akan diriku. Betapa jauh aku melangkah, betapa hebat aku terus berjuang. Nyatanya semua penuh dengan kesalahan. Sebagaimana yang kurasakan, saat dunia mulai mengucilkanku, saat dunia mulai aneh kepadaku.

  Saat itu, berjalan di tengah keheningan dan pekatnya malam, aku merasakan ada yang salah dengan diriku. Tak ada yang lebih buruk kepadaku, selain perbuatan burukku kepada orang lain. Di saat itu, kata-kata intropeksi diri melumuti pikiranku. Aku terus berpikir, apa saja yang sudah kulalui, apa saja yang membuatku bisa tiba di sini--berjalan di tengah pekat malam.

  Itu sebuah hal yang indah, betapa hebatnya semua ini, betapa hebatnya jalan cerita ini, bagaimana bisa aku melewati segala masalah itu? Bagaimana bisa aku bisa menghabiskan kebahagiaan itu? Bagaimana bisa aku tak peduli dan kini itulah yang kurindu?

  Ketenangan ini, membuatku damai sedamai-damainya dalam perjalanan yang kulalui. Aku bisa tersenyum di balik kegelapannya. Aku bisa bersedih atau menangis di balik kegelapannya. Tanpa ada yang harus melihat dan peduli. Dan dari sana, akulah yang beraksi. Menebar kebaikan yang seharusnya tertanam.

  Walau terkadang, setelah pemikiran hebat itu ada, saat cahaya mengorbitkan dirinya. Pemikiran itu suka punah, oleh gemerlapnya kehidupan. Keramaian itu, keseruan semua itu. Semua pemikiran yang timbul dari ketenangan jiwa seolah lenyap.

  Tapi, di sinilah aku. Kembali berjalan di tengan pekat malam. Saat kumerasakan, ada yang tak beres dengan hidup ini. Saat itu pula aku mulai berpikir dengan kesendirian dan menatapi kehikmatan orang bergerombol dengan keasyikannya. Aku merasa, itu sungguh kenikmatan.

  Ketenangan...

  Terkadang itu yang kubutuhkan.

Jumat, 05 September 2014

Hampa

Disaat memiliki waktu
tapi, tak dapat mempergunakannya.

Disaat mempergunakannya
tapi, tak dapat memenangkannya.

Disaat memenangkannya
tapi, tak dapat bahagia.

Disaat bahagia
tapi, hanya sendiri.

Disaat sendiri
tapi, memiliki waktu.

Disaat memiliki waktu
tapi, ah sudahlah.

Semua ini hampa.

Selasa, 02 September 2014

Pengemis Ilmu

Biarkanlah aku jadi budakmu, Tuan
Sepenuh hati akan kulakukan
Semua perintah yang ada
Asal satu imbalan yang ku dapat, Tuan.


Bukan, bukan harta yang ku mau
Bukan cinta yang ingin ku genggam
Bukan wanita memikat yang ingin ku perdaya
Sekadar ilmu bermanfaat, Tuan. Hanya itu.


Biarkanlah aku menjadi pengemis, Tuan
Biar aku tak pernah menjadi buta, buta yang menyedihkan
Aku tetap di sini, mengemis akan ilmu
Terserah apa kata mereka. Ini perjuanganku, Tuan.


Terkadang, aku lirih
Melihat diriku sendiri
Dibodohi sejuta umat
Mereka tertawa bak nirwana, berkelakuan layaknya neraka


Aku hanya ingin, tak dibodohi, Tuan
Aku hanya pria ingusan yang detik ini terjatuh dan berikutnya berusaha bangkit
Aku bukanlah apa-apa dibanding Tuan
Tapi, di sinilah aku. Bermimpi menjadi apa, walau orang mencela.

Di sinilah aku, Tuan.
Kumohon, biarkanlah aku jadi budak ilmumu.