Kita tidak bisa mengendalikan sepenuhnya apa yang orang lain pikirkan, ekspetasikan, dan akan lakukan. Tapi sayangnya, kita harus berkecimpung terhadap itu seumur hidup. Salah satu fakta yang aku masih tak terima, bagaimana bisa seumur hidup harus berhadapan dengan ketidakpastian itu?
Dahulu aku mengira menjadi seorang desainer adalah pekerjaan yang menyenangkan, berkarya lewat visual dengan segala rasa, cerita, dan pesan di baliknya. Menjadi desainer sangat menyenangkan karena bisa memperlihatkan pada dunia sesuatu yang sarat makna dengan prespektif dan penyampaian yang berbeda.
Itulah pikiranku ketika pertama kali belajar menggambar di buku tulis bagian belakang, yang biasanya ku corat-coret ketika guru sedang menyampaikan materinya. Menggambar adalah yang ku tahu dari bagian desain. Saat itu yang ku tahu dari definisi desain adalah membuat sesuatu dengan visual, singkatnya, menggambar adalah sebuah desain.
Beranjak menjadi profesional desainer, ternyata pengertian kecilku masih kurang. Desain bukan sesuatu yang eksklusif hanya mengenai visual. Desain sebagaimana sinonimnya, rancang. Ya, mendesain berarti merancang, merancang apa? Banyak hal, termasuknya adalah hal-hal visual seperti komik, poster, pakaian dan banyak lagi.
Selain mengetahui definisi desain itu luas sekali, aku juga baru tahu desain itu erat sekali dengan berbicara, diskusi, dan mengatur ekspetasi orang lain. Itu adalah kenyataan yang ku rasa sangat pahit. Pekerjaanku tidak hanya membuat rancangan visual atau semacamnya, tapi harus berkordinasi banyak hal dengan orang lain agar rancanganku sesuai, entah sesuai dengan kemauan orang lain, atau pengguna, atau penikmat.
Kenapa aku bilang ini adalah hal yang pahit? Sederhananya, aku memiliki trauma yang tanpa ku sadari bersemayam dalam diri ini. Sesuatu yang lahir dari ketidaksukaan, dari hal yang benar-benar aku tidak bisa kontrol saat itu, karena aku benar-benar tidak tahu.
Sewaktu kecil, aku terhitung jarang berbicara. Di rumah aku tinggal bersama nenek dan kakekku, gap kami sangat jauh, kami tidak terlalu banyak berbincang, kerjaanku juga kebanyakan bermain dengan teman, memainkan permainan yang tidak perlu banyak bicara, selain itu aku menghabiskan waktu hanya menonton televisi.
Aku perlahan menjadi malas untuk berbicara, tapi mau tidak mau aku harus bicara, banyak hal yang tidak bisa aku lakukan sendiri. Rupanya, cara bicaraku sangat tidak bagus. Intonasi yang tidak ada, kecepatan yang sangat cepat, dan banyak temanku berkomentar kalau aku bicara sangat tidak jelas, atau tidak becus. Mereka mulai memanggilku bicos, karena tidak becus dalam berbicara.
Rasanya di kepalaku semua kata berjalan bergitu cepat, hingga mulutku tidak mampu mengejarnya.
Tanpa sadar trauma ledekan itu melekat ke barbagi segmen kehidupanku, termasuk dalam pekerjaanku yang nyatanya harus sering berkomunikasi dengan orang lain. Aku yang tidak suka berbicara banyak, terpaksa harus berkomunikasi dengan banyak orang, terlebih harus memastikan, mengatur, dan meyakinkan orang lain.
Itu bukan level komunikasi sederhana. Hah...
Bagiku, komunikasi adalah salah satu permasalah umat manusia. Banyak sekali masalah terjadi dari kesalahpahaman komunikasi, sederhananya dalam rumah tangga pasti salah komunikasi, salah memahami, akan ada percikan-percikan keributan yang seharusnya tidak perlu jika hidup dalam kesendirian.
Ya, begitulah.
Sunahtullah-nya manusia tidak bisa hidup sendiri, bersosialisasi memang sesuatu yang melancarkan rezeki, asal dalam koridor positif, tidak banyak orang bisa terbantu oleh relasinya, entah terkait kerjaan atau pinjaman. Aku pun setuju, relasi atau jaring pertemanan sangatlah penting, tapi komunikasi itu terlalu rumit, hingga-hingga aku tidak ingin melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar bagi yang perlu