Sebuah penyesalan tak selamanya berasal dari sebuah momen besar yang menentukan. Terlebih dibeberapa kisah yang telah ku jalani. Terkadang aku menyesal melewatkan kesempatan-kesempatan emas dan hanya bisa melihat garis takdir hebat orang lain. Disaat itu, aku merenung. Tak memikirkan garis takdir hebat orang lain, tapi betapa banyak penyesalan dalam hidupku.
Sekali lagi, menurutku, penyesalan tidak selamanya berasal dari sebuah momen besar. Dan aku merasakan itu, disebuah momen kecil dan tak ada orang peduli. Sebuah hal sepele yang mungkin tak ada artinya. Tapi, setelah berwaktu-waktu kulalui, setelah berbagai rangkaian tragedi terjadi. Akhirnya, aku memutuskan telah menyesal. Bagaiman ceritanya? Ah, ini hanya hal sepele kok, mungkin kalian pun juga ogah untuk membacanya lebih lanjut. Tapi, tak apa, aku disini untuk bercerita, entah itu apa, aku pikir aku punya cukup kebebasan berekspresi disini. Bukankah begitu?
Jadi, mari kita mulai ceritanya. Waktu itu aku berhasil keterima di kampusku sekarang ini. Ya, kalian tahu sendiri. Dan setelah berapa lama, pada akhirnya aku sekeluarga bersama nenek dan kakekku ikut berkunjung ke kampusku sekarang ini.
Entah apa yang terjadi pada hari itu, tak hujan, tapi suasana hatiku begitu muram. Aku seolah malu atau apalah. Pokoknya aku sedikit malu jika jalan bersama keluarga. Apalagi kakekku yang sangat ambisius saat itu.
Biar aku gambarkan betapa senangnya beliau--kakekku--saat itu. Jika kau tahu betapa bahagianya seorang anak kecil mendapatkan permen? Ya bisa saja seperti itu. Jika kau tahu jika doamu terkabul? Atau mungkin mimpimu terkabul? Ya, seperti itu juga bisa.
Rasanya seperti menikmati kedamaian dalam hidupnya. Seolah beliau sudah cukup sukses membesarkanku hingga sejauh ini, dan hingga bisa diterima di perguruan tinggi ini. Walau kampus ini tak seeksis dulu, tapi tetap beliau merasa itu kampus yang cukup mentereng baginya dan begitulah ia rasa, ia merasa bangga dan bahagia saat itu.
Sejatinya mungkin diberapa pihak, kampus ini biasa saja, tapi jika aku melihat tingkah kakekku saat itu, yang lari kesana kemari, bergumam dan mengangguk. Lalu dengan bahagia menanyakan resepsionis yang bikin aku terlihat malu, apalagi saat bertanya dengan mahasiswa yang kebetulan ada di situ. Aku merasa ada sudut pandang berbeda dari kakekku saat itu. Sebuah hal yang istimewa dan membanggakan, sangat membanggakan.
Saat itu, aku benar-benar muram, tak ada senyum sedikit pun dibibirku. Aku layaknya paradoks kakekku. Aku tak menikmatinya. Entah ini karena malu atau emang aku tidak ingin kuliah di sini. Aku muram sepanjang hari. Tak mencoba ikut bahagia akan kebahagiaan kakekku saat itu.
Setahun silam, bahkan tidak sampai setahun setelah kunjungan pertamaku ke kampus. Begitu saja semua terjadi, kakekku meninggal. Dan aku kini semakin terpacu harus mewujudkan mimpi kakekku yang telah tertanam, sebuah mimpi yang sederhana. Menjadikan aku sarjana teknik di kampus yang sempat ia banggakan, iya kunjungi, dan tentu saja dengan rasa bahagianya itu.
Aku tak pernah berpikir, seharusnya pada momen itu aku ikut bahagia melihat kakekku yang begitu antusias. Seharusnya aku lebih bersikap dewasa. Tidak menjadi pemalu dan bermuram sepanjang hari karena alasan tidak jelas. Tentu saja seharusnya tidak.
Sudah nyaris setahun silam pula kabar meninggal kakekku terdengar. Dan kini aku masih kuliah di kampus ini, dan kini aku melewati tempat-tempat yang kakekku beri senyumannya. Dan terkadang jika aku berjalan sendirian. Di saat itu aku termenung, membayangkan kakekku yang sedang melihat-lihat dengan antusias dan dijauhnya seorang bocah yang muram tanpa alasan mengikutinya dengan rasa penuh malu.
Aku rasa aku menyesal telah melakukan hal sepele itu. Bagaimana jika saat itu aku antusias? Seantusias kakekku akan segalanya. Entahlah, aku tak pernah menduganya. Sulit menduga suatu hal di dunia fana ini.
Setelah kunjungan pertamaku ke kampus bersama keluarga. Tak lama setelah aku kuliah, kakekku untuk pertama kalinya pergi ke kosanku. Ya ke kosanku seorang diri. Dan mungkin hanya ia satu-satunya orang yang mengunjungiku setelah aku menetap di tempat baru ini.
Setelah kunjungan pertamaku ke kampus bersama keluarga. Tak lama setelah aku kuliah, kakekku untuk pertama kalinya pergi ke kosanku. Ya ke kosanku seorang diri. Dan mungkin hanya ia satu-satunya orang yang mengunjungiku setelah aku menetap di tempat baru ini.
Saat itu hujan, aku ingat betul. Ia jalan kaki di tengah hujan yang mereda. Dan kalian tahu apa yang ia bawa? Ia membawakan kebutuhan kosanku yang kuminta. Tanpa alasan ia membawanya, kecuali satu hal, kasih sayang dan antusiasnya akan kehadiranku di kampus ini.
Menjengkelkannya adalah, waktu itu kami sempat ingin makan bersama. Saat itu aku ingin cerita banyak. Tapi, aku mengalami masalah dengan perut. Dan malam itu berlalu, keesokannya beliau pergi. Dan kini aku tak pernah lagi melihat senyuman dan perangai antusias kakekku. Apalagi melihatnya menjumpai ke kosanku. Terkadang aku merindukan hal yang sedikit membuatku malu. Dan tentu saja, terkadang aku rindu akan momen sepele itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar bagi yang perlu