Kamis, 13 Juni 2019

Inversi

Tidak selamanya kita akan menjadi sesuatu yang kita bangun, ada fase kita akan berhenti sejenak dan seolah/berusaha berbalik sikap. Ah, mungkin itu aku saja.

Hari itu aku menerima sebuah email dari HR sebuah perusahaan unicorn, ada tawaran lowongan yang sesuai dengan bidangku. Aku membuka prasyaratnya, lalu otakku bertanya-tanya, apa aku sudah selevel dengan mereka yang bekerja di perusahaan lebih besar dan terorganisir itu?

Apakah aku mempertimbangkannya? Tentu saja. Tapi bukan karena tawaran lowongan itu, tapi karena aku mulai di titik jenuh. Aku merasa sedang enggan masuk ke circle keseharianku selama setahun lebih ini. Aku merasa, ingin memutar balikkan diriku.

Aku ingin berhenti melangkah sejenak.
Menarik nafas, dan berjalan dengan cara lain.

Aku merasa butuh circle lain, seperti zaman SMK atau Kuliah, aku memiliki beberapa circle pertemanan yang jika jenuh aku bisa berpaling. Sungguh aku bukan orang yang setia semenjak SMP. Aku senang mengenal dan banyak dikenal, walau akhirnya tidak ada yang jadi sahabat dekat.

Mencari circle baru pun bisa banyak jalan, bisa pindah kantor, bisa pindah tim, bisa cari komunitas, bisa ikut tongkrongan, atau bahkan pengajian. Banyak sekali jalan. Tapi, melihat lowongan di perusahaan besar membuatku berpikir, apa coba di kehidupan baru yang lebih besar dan mungkin menantang? Entah.

Aku pun merasa lelah terlalu banyak bicara. Terkadang aku merasa, apa aku mengganggu ya jika di ruangan? Hal itu membuatku urung untuk masuk ke ruangan, aku memilih untuk pulang dan bekerja di kamar sendirian dengan speaker tercintaku--beruntung di kantor ada fitur bekerja remote.

Aku ingin diam, tapi tidak semudah memutar balikan fakta. Aku sulit sekali berdiam diri jika ada orang yang sering aku ajak bercanda atau ngobrol. Aku pun harus mengingat nasehat guru-guru jika ada murid yang berisik. "Keluar sana kalau berisik." Aku pun memilih itu.

Aku, tiba pada tahap jenuh.
Aku ingin menghentikan semuanya, entah sementara atau selamanya.

Aku rasanya lelah menjadi seorang desainer, pertama kalinya aku berpikir seperti ini. Aku merasa tidak kreatif, terlalu banyak meniru sana-sini, atau mungkin waktu yang sempit, atau lagi karena banyak hal yang harus di desain.

Aku kadang malu, apa iya aku orang yang kreatif? Apa iya aku layak dibilang desainer? Apa bukan seorang pecontek ulung? Aku sedang tidak percaya diri. Aku pun berpikir, bagaimana jika aku beralih ke tugas yang lain? Misalnya jadi seorang tester, atau jadi seorang programmer (ini lebih nggak mungkin), atau jadi seorang product owner, atau jadi seorang project manager? Entahlah.

Apa semua sedang baik-baik saja?
Atau aku yang berkutat dengan pikiran-pikiranku saja?

Tidak semuanya bisa diterima dengan baik, walau terlihat semua baik-baik saja. Pagi ini, rasanya semua berantakan, aku tidak tahu apa, rasanya aku tidak nyaman. Beruntung bermain basket bisa membuang peluh dan keluh. Ramai, membuatku bahagia.

Tapi, ternyata sisi introvertku tiba. Aku ingin sendirian di kamar, dan aku pulang. Beruntung, bisa berbincang dengan teman lama dan bertukar kata-kata. Ya, setidaknya bisa menemani dalam heningnya kamar--walau pakai speaker, tetap hening.

Ada beberapa orang lain juga yang muncul di permukaan chat, ributlah kita disana. Orang yang belum lama di kenal, tapi udah benar nebak bagaimana aku bersikap dan bersifat. Sempat terkejut dan malu sih, tapi ya begitu adanya aku.

Katanya, "Apakah efektif my dengan memendam banyak hal dan bersikap seperti seakan tidak ada apa2 dari luar?"

Lalu, "Gatau kamu kan kadang suka beda antara apa yangg ditampakkan dan yangg sebenernya dirasa?"

Aku tertohok saat membaca dua itu. Sebegitunya kah aku? Apakah aku naif? Apakah aku bersembunyi pada sebuah topeng? Topeng yang orang lain ingin liat? Entahlah.

Mungkin aku selama ini berpura-pura.
Bahagia atau sedih, untuk sebuah perhatian?

Aku tahu rasanya melihat orang yang cerewet atau semacamnya ke banyak orang dalam satu circle. Kata yang terlontar dari orang lain adalah, "Sok kenal sok dekat" atau "cari perhatian". Aku tahu memang terlihat seperti itu, tapi jika aku, aku tidak tahu apa memang aku begitu? Rasanya ketika aku yang mendengarnya? Tentu saja sakit.

Dari hal-hal seperti itu, aku banyak menolerir berbagai macam tindakan orang yang kuanggap itu adalah tipikal orang itu yang telah tumbuh dari berbagai macam alasan dengan waktu yang panjang sehingga tidak mudah dihindarkan atau sebenarnya ia bertujuan baik dan kita sinis melihatnya karena hati yang tak lapang.

Apakah aku harus berbalik arah
Mencari-cari jalur yang belum aku tapaki?

Ketika kita sudah menentukan suatu pilihan, kita telah menggugurkan pilihan lainnya. Kita sudah menutup jalan-jalan lainnya. Kita akan terus maju pada pilihan kita, hingga akhirnya kita akan dihadirkan pilihan-pilihan berikutnya, dan begitu terus semua terjadi.

Terkadang, saat kita melewatkan pilihan lain, ada pertanyaan-pertanyaan, "Bagaimana jika kita memilih pilihan yang lain? Bagaimana kisah berikutnya?"

Seandainya hidup ini bisa mencoba segala jalan pilihan, mungkin rasa penasaran itu tidak akan lagi hadir dan membawa kegundahan yang mendesir di relung jiwa.

Inversi, setiap orang punya sisi lainnya
Apa itu?

Aku melihat hasil tes MBTI, sebuah tes kepribadian dengan menjawab soal-soal lalu kita akan tercluster pada sebuah role. Role-ku adalah campaigner atau juru kampanye. Aku melihat disana nilaiku pada bagian introvert atau extrovertku jauh condoh ke extrovert. Aku merasa itu benar, aku mudah sekali mendapatkan energi dari orang lain atau sekitarku.

Tapi, aku tidak melupai sekian persen introvertku. Aku ingat ketika aku senang berjalan kaki di kampus saat malam tiba sendirian. Aku ingat bisa banyak memikirkan apapun sendirian dengan khidmat. Saat itu aku seolah kembali berenergi.

Atau terkadang aku suka berdiam sendiri di kamar, menonton film sendirian, atau berkhayal-khayal. Ah rasanya hidupku kembali terisi. Begitu pun yang aku lakuin sekarang, pulang ke rumah, dan aku berharap bisa sebulan ini bisa bekerja di rumah dengan tenang dan menikmati semuanya sendirian.

Aku senang, di rumah ada orang tua dan adikku, jika aku lelah sendirian aku bisa bercanda dengan mereka. Walau sepertinya tidak setiap waktu bisa karena umi dan abiku harus bekerja dan adik-adikku balik ke sekolahnya.

Begitulah, tipikal, fase, fakta
Semua ada dua sisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu