Jumat, 28 Juni 2019

Kisah Yang Telah Berakhir

Jika cerita sudah berakhir, terkadang aku rindu dengan nuansa yang digambarkan. Bagaimana jika kalian tambah sedikit cerita itu? Aku masih ingin menikmatinya. Tapi tentu saja ku tidak berharap cerita yang memaksa dan konflik yang entah apa-apa.

*

Beberapa hari ini, aku masih ke bayang-bayang sebuah novel yang bikin senyum dan gemas sendiri. Salah satunya Aku, Kamu, dan Sepuncuk Angpau Merah-nya Tere Liye. Aku tidak membayangkan jika aku jadi si Borno yang harus menunggu Mei berbulan-bulan. Entah sebelum Mei menjadi tidak jelas, atau setelah Mei pergi begitu saja tanpa penjelasan.

Apa kata Pak Tua? Aku lupa persisnya, tapi intinya jangan memaksakan kisah cinta itu. Bagaimana Borno mengimplementasikannya dengan bersabar menunggu dan menunggu. Melewati hari-hari dengan pertanyaan yang belum terjawab. Aku pembacanya gemas, jika aku jadi Borno aku mungkin sudah marah-marah dan susul Mei untuk penjelasan itu.

Tapi, Borno tidak. Ia terus menikmati harinya menunggu hari itu tiba. Hari dimana semua kisah cintanya terungkap. Walau aku sedikit terkejut bahwa Mei ternyata memang sengaja mendekati Borno karena merasa bersalah akan ibunya pada keluarga Borno. Tapi, menikmati kisah cinta yang dibangun Borno dan Mei itu sungguh menyenangkan. Sebuah kesederhanaan.

Kesabaran dan berbaik sangka. Begitu kata Pak Tua menasehati Borno saat Borno berpikir yang tidak-tidak terhadap prilaku Mei. Begitu kata Pak Tua meredam jiwa muda Borno.

Bukankah cerita itu banyak sekali yang harus dipahami?

Aku rasa banyak berhutang pada kisah Tere Liye yang satu ini, karena awal aku membacanya aku sempat mengeluh karena alur yang sangat lambat. Tapi, seperti novel Rindu-nya. Aku tidak merasa kecewa setelahnya.

Dan sekarang, aku harap bisa menikmati kisah Borno dengan sepit atau bengkelnya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu