Minggu, 09 Juni 2019

Membaca Fiksi

Selama di kampung halaman, seperti yang ku bilang sebelumnya, aku tidak kemana-mana dan tidak ada hal yang aku kerjakan secara khusus. Laptop sengaja ku tinggalkan, aku hanya membawa satu novel saat itu.

Satu-satunya novel pun mau tidak mau akhirnya yang menemaniku karena aku tidak kemana-mana dan tidak ada laptop. Aku tenggelam ke dalam novel itu. Ada beberapa yang aku dapati selama membaca saat itu.

Pertama, memang beda rasanya baca novel non-fiksi dan fiksi. Jika non-fiksi walau memiliki pembahasan yang menarik, tapi aku tidak merasa penasaran, aku tidak merasa jika belum sampai habis rasanya bacaanku belum tuntas. Itu yang membuat aku terseok membaca kisah non-fiksi.

Aku bahkan kaget ketika ketemu seseorang yang sudah menulis non-fiksi sebanyak 25 buku dan tidak suka baca buku fiksi, dia katanya bacanya buku non-fiksi terus. Aku ingin berdiri dan memberi tepuk tangan kepadanya.

Jika aku tarik ke sudut pandang diriku terhadap aku, itu seperti paradoks. Aku seperti yang mas Salingga bilang, tidak bisa menjiwai jika sebuah tulisan tidak memiliki tokoh dan kisah yang bergerak.

Emosi tokoh, latar tokoh, sikap tokoh, hingga membangun kisah yang runut dan terkadang menyebalkan atau membuat haru selalu berhasil membuatku penasaran dan tenggalam ke dalam ceritanya.

Aku selalu membayangkan jadi tokoh utama dengan segala karakternya, seperti aku nonton drama korea, terkadang aku merasa ingin berpenampilan seperti orang korea dengan segala ke kerenannya. Tokoh utama pun terkadang berhasil merubah jalan pikir dan sudut pandangku selama ini, pengaruh dari "kenapa" dia melakukan itulah yang berhasil merebut perhatian dan penasaranku.

Aku akan merasa berdosa jika membaca sebuah kisah fiksi dan tidak mengakhirinya. Ada rasa penasaran yang menghantui, walau terkadang novelnya itu agak monoton yang tidak tahu dimana klimaksnya.

Tapi, aku tidak serajin yang kalian bayangkan. Itu kesimpulan sederhana yang aku temukan saat membaca novel satu-satunya itu.

Beruntungnya lagi, novel yang kubaca adalah novel yang amat-amat luar biasa menarik dan teladannya. Banyak ilmu yang bisa kudapat disana, banyak penggiringan alur yang sederhana tapi ngena, aku pun bisa merasakan emosi tokoh-tokoh yang ada, bahkan aku sampai iri-lah sama tokoh utamanya.

Membaca pun membuat rasanya diri ini harus bisa berpikir lebih tenang dan lebih bijak. Rasanya, banyak sekali dampaknya. Kerennya, aku bisa menghabisinya dengan 5 hari kurang kayaknya. Itu rekor tercepat terbaru baca novel fiksiku. Walau dulu pernah cuman 6 jam doang hehe :)

Saking asyiknya, setelah selesai baca novel itu, aku pun cari-cari novel bagus lainnya yang genrenya dan kisahnya sama seperti novel itu.

Semua proses membaca kisah fiksi itu pun rasanya membuat sebuah dorongan kuat untuk diriku menulis kisah fiksi juga. Ketika baca, rasanya aku juga ingin menulis seperti apa yang aku baca dengan sudut, tokoh, kisah dariku.

Tapi apa daya, ketika di depan laptop bukannya nulis, malah nonton film-film atau melakukan hal lainnya. Ini mungkin tantangannya kali ya?

Lainnya yang membuatku terdorong kuat dalam membaca fiksi ini adalah kebutuhan. Aku merasa butuh sesuatu dan alternatifnya adalah membaca kisah fiksi. Alhamdulillah ada yang sesuai apa yang aku cari, dan rasanya lebih ngena ketika membacanya. Sempurna rasanya.

Mungkin poin-poin berantakan di atas bisa menjadi pelajaran pendekatan seseorang dalam membaca. Memang menarik bicara "Kenapa?" melakukan itu agar kita tahu "Apa" yang didapat. Sama seperti membaca, kenapa sih kita mau membaca? Lalu apa sih yang kita dapat dari membaca? Bagiku, semua telah terjabar di atas, dan ku harap semakin membaik dalam membaca.

Bismillah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu