Sore itu seseorang menepuk pundakku dengan wajah amat berserinya. Memuji-mujiku dengan maksud bercanda, aku pun tak lupa balas memujinya dengan maksud bercanda juga. Dia sungguh terlihat amat berbahagia, senyumnya merekah, matanya sampai tertutup kelopak dan pipinya.
"Gue nanti sekantor sama temen lu, Adi (nama samaran)."
Aku berhenti melangkah sejenak. "Serius? Wah parah ninggalin gue." Kataku sambil mengusir tangannya dari pundakku, seolah kecewa.
"Iya, paling nanti gue sampaikan mengundurkan dirinya."
Aku agak sedih sebenarnya, tapi ya bagaimana pun itu pilihan dia. Tapi, jauh dari kesedihan itu kepalaku berpikir perihal email dari HR kemarin itu. Ada apa ini? Kenapa semua seperti bersamaan? Apa tanda yang sedang ingin disampaikan?
Setiba sore, aku mengajak diskusi dengan seorang teman. Kita bertukar pandangan, bicara soal masa depan. Akan apa yang sebenarnya jadi hasrat untuk dilakukan, atau menimbang-nimbang kemungkinan.
Aku yang sebenarnya tidak tahu apa selanjutnya atas semua ini, aku tidak tahu mau jadi apa, banyak sekali hal-hal tentang masa depan terpampang di hadapanku belakangan ini. Banyak impian-impian orang yang mempengaruhi pola pikirku.
Bicara hitung-hitungan pendapatan dan kehidupan setelah fase membujang yang sepertinya butuh perhatian khusus. Masalah value-value kehidupan yang perlu dipegang. Ataupun skema-skema pekerjaan. Pembicaraan itu belum menemui ujungnya.
"Saya tidak merasa cocok sama pekerjaan ini kayaknya." Ujar teman diskusiku.
"Gak cocok? Selama ini ngelakuin padahal?" Aku kaget.
"Iya, belakangan ini saya sadar tidak menikmati pekerjaan ini."
Aku mengangguk. "Mungkin, sekarang kita bebas menentukan apapun karena tidak ada tekanan, mungkin kalau sudah nikah dan banyak tanggung jawab banyak yang harus diperhitungkan." kataku jika menghubungkan ke pembahasan sebelumnya--tentang kehidupan setelah membujang.
Kali ini dia mengangguk.
Lalu, sekarang aku berpikir, apa ya yang dipikirkan oleh anak-anak yang tinggal di desa? Yang mungkin seperti tidak punya pilihan pekerjaan dalam hidupnya? Atau anak desa yang bertanam, atau nelayan, atau pekerjaan semacamnya, apa yang ia pikirkan masa depan dan keluarganya? Apa ya?
Aku menutupnya. "Mungkin, aku akan berdiam diri, hingga nanti aku bisa berdiskusi dengan seseorang yang akan menemaniku dalam mengarungi hidup ini. Untuk merencanakan hidup dari awal lagi, seperti novel ayat-ayat cinta." sebenarnya diksinya tidak seperti itu sebenarnya, haha.
Nyatanya, pertanyaan-pertanyaan saat diskusi akan masa depan dan apa yang harus dilakukan belum menemukan jawaban, tapi tak apalah, kita memang perlu khawatir akan masa depan agar kita terus memikirkannya dan menjalankannya sebaik mungkin. Semoga begitu harusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar bagi yang perlu