Senin, 08 April 2019

Hai, Dik



Hai dik, ayah ingat ketika kamu bisa menyebut ayah pertama kali. Gigimu yang baru tumbuh itu terlihat amat lucu. Apalagi ketika bunda memakaikan kamu kerudng abu yang menyelimuti kepala mungilmu itu. Saat itu, ayah merasa, tidak ada hidup ini yang lebih penting selain melihatmu berbahagia terus.

Hai dik, kamu sudah mulai beranjak menjadi kanak-kanak sekarang. Ayah ingat ketika kamu pertama kali ayah antar untuk masuk ke taman bermainmu, rumah barumu, cerita yang akan kamu ukir disana. Ayah ingat ketika kamu malu-malu, bahkan kamu menangis memeluk ayah. Ayah ingat tangismu dan enggannya kamu ditinggal oleh ayah. Ayah senang sekali dik, ayah seperti orang terpenting dalam hidupmu. Ayah sungguh senang. Tapi, ayah tahu ini tak akan selamanya.

Hai dik, sekarang kamu sudah remaja awal. Kamu sudah punya banyak teman, kamu yang sibuk belajar ini itu. Sesekali mungkin kita berbincang, tapi waktumu rupanya tidaklah cukup. Perbincangan kita hanya sebatas di perjalanan-perjalanan. Sesekali ayah mengantarmu ke tempatmu kursus, dan perjalanan itu selalu ayah tunggu. Karena di situ, ayah bisa cerita dan kamu pun begitu.

Hai dik, ayah tidak menyangka kamu secepat ini. Sekarang kamu sudah di remaja akhir. Kamu sudah jauh dari rumah. Kamu memutuskan kuliah di perguruan terbaik yang kamu impikan. Kamu sudah tahu akan apa yang harus kamu lakukan. Kamu sudah... Tidak perlu ayah tuntun lagi atau ayah antar lagi. Kamu sudah tahu jalan hidupmu. Ayah paham, waktu kamu sangatlah sedikit, sesekali sapamu tetap ayah tunggu. Ayah beruntung, kamu selalu menyapa ayah sesibuk apapun kamu.

Hai nak, ayah tahu memanggilmu dik sudah tidak relevan lagi. Sekarang, kamu mengabari ayah bahwa ada pria yang akan datang ke ayah untuk meminta dirimu dari ayah. Saat ayah tahu itu, ayah patah hati namun bahagia, nak. Ah tentu saja ayah tidak akan menyulitkan pria itu, ayah tahu pilihanmu adalah yang terbaik. Tapi bukan begitu saja ayah biarkan. Ayah tidak sudi jika dirimu diambil oleh pria yang tidak bertanggung jawab, atau pria yang tidak jelas kehidupannya dan membuat putriku selalu menangis. Walau saat dirimu lulus kuliah dan berkerja ayah harap kamu pulang serta menetap di rumah lebih lama, tapi waktunya ternyata begitu singkat. Kamu akhirnya pergi dengan pria pilihanmu, menjalani kehidupan baru. Pembicaraan kita pun semakin sedikit. Ayah tahu, sekarang, semua telah berpindah. Biarkan pria itu yang menggantikan ayah untuk menajagamu, mengantarmu, mengisi perbincangan di perjalanan, atau saling menunggu sapa. Ayah tidak bersedih, ayah bahagia, saat kamu bahagia. Bukankah dulu ayah pernah bilang bahwa tidak ada di hidup ini yang lebih penting selain melihatmu bahagia? Jadi ayah pun bahagia, nak.

Hai nak, ayah senang mendengar anak pertamamu. Ayah tidak menyangka bahwa rambut ayah sudah mulai beruban. Ayah merasa lucu, rasanya seperti mewarnai rambut. Badan ayah pun mulai sakit-sakitan. Tapi, tidak apa, kamu tidak perlu khawatir, bunda selalu merawat ayah dengan baik. Ayah hanya berharap kamu tengah baik-baik saja sekarang dengan anak mungilmu itu. Sesekali ayah akan berkunjung ke rumahmu. Atau mungkin jika kamu berkenan ke rumah ayah dan menjumpai bundamu yang selalu merindukanmu, nak. Ayah rindu, menimang anakmu, cucu ayah yang lucu itu. Jaga dia baik-baik ya, nak. Biar hari esok dia tumbuh menjadi anak yang hebat seperti dirimu.

Hai nak, ayah sudah sulit sekali mendengar kabarmu sekarang. Apa kamu baik-baik saja? Ayah tidak sedang kecewa, tapi semakin menua ayah merasa semakin rindu semua anak ayah. Termasuk kamu, nak. Jika ada waktu bisakah kamu melipir sejenak ke rumah ayah yang sudah mulai memudar catnya, retak temboknya, bocor gentengnya? Atau, bisakah kita bertukar sapa lewat pesan singkat elektronik? Ayah rindu juga pada cucu ayah yang sudah beranjak remaja itu.

Hai nak, ayah sudah berada di penghujung hidup. Ayah bukannya takut mati, tapi ayah tahu tugas ayah sudah berakhir di bumi yang indah ini. Sungguh indah, apalagi ketika melihatmu tumbuh menjadi wanita yang mengagumkan. Wajahmu selalu menyenangkan dipandang, ayah selalu tenang jika melihatmu tertawa lepas. Ayah tahu, mungkin ayah tidak sepenuhnya bisa menjadi ayah yang baik. Menjadi ayah yang selalu mengiringi tumbuh kembangmu. Tapi, inilah yang terbaik dari ayah. Di penghujung hidup ayah, ayah tidak mau merepotkan dirimu dan lainnya. Biarkan ayah pergi dengan tenang, doakan ayah, ayah hanya meminta itu. Oh ya satu lagi, jaga bunda serta hidup rukun dengan semua saudaramu ya.

Karena, bagi ayah, kalian adalah harta berharga ayah. Ayah akan sedih, jika kalian bertengkar saat ayah tidak ada. Ayah pun akan merasa gagal saat itu terjadi. Ayah mohon, sekali lagi, hidup dengan akur kalian semua ya. Salam untuk pasangan hidup kalian ya.

Ayah pamit.

14 April 1924 - 10 Maret 2014. (Almarhum Kirlan Hadi Susanto)

Mungkin ini bukan tentang ayahku sepenuhnya, tapi disitulah mungkin yang ayahku rasakan.
Mungkin juga ini bukan tentang kakekku sepenuhnya, tapi disitulah mungkin yang kakekku rasakan.

Terima kasih, kalian, para ayah yang telah menjaga selalu anak-anaknya, berkorban waktu untuknya--anak-anaknya, berlelah dan berjuang.

Terima kasih menjadi penentram di kala malam tiba.
Terima kasih telah percaya pada anak-anaknya untuk melanjutkan fase kehidupan. Mungkin, itu adalah momen terberat ayah. Bagaimana tidak? Bertahun dibesarkan lalu hidup dengan orang yang baru dikenal beberapa tahun. Mungkin bulan. Mungkin minggu. Mungkin juga hari.
Terima kasih yang terus menjadi penunjuk arah kehidupan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu