Senin, 01 April 2019

Ummi



Saat itu aku bilang. "Mi, Mimi mau menikah kayaknya."

Wajah ummiku langsung berubah masam, dahinya mengkerut, bibirnya manyun. Tidak ada kata beberapa detik. Lalu menjawabnya dengan kecut. "Nikah-nikah, Belajar dulu yang bener!"

Ummi adalah sosok yang selalu menginspirasiku. Bukannya melebihkan karena beliau ibuku, tapi menatap kehidupan ini dari sudut pandangannya begitu menyenangkan. Bagi ummiku hidup ini selalu menyenangkan, maka tak sedikit aku melihat ummiku tertawa berseri-seri. Apapun keadaannya, apapun beratnya.

Sejauh dalam kehidupanku, ummiku hanya memarahi anaknya jika itu berkaitan dengan hukum Islam, sisanya? Terserah pada anak-anaknya. Ketika membahas pernikahan dan ummiku menutup senyumnya, berarti pernikahan sungguh penting baginya, seperti hukum-hukum Islam lainnya.

Mungkin, seorang ibu tidak mudah melepas anaknya begitu saja. Apalagi baru kembali dari perantauan, baru bisa sedikit sekali membahagiakan. Walau pada awalnya aku sangat menolak harus berbakti kepada kedua orang tua, karena hal itu sungguh tidak logis.

Bagaimana bisa aku berhutang sementara aku tidak menginginkannya? Bagaimana bisa aku harus berbuat baik kepada kedua orang tua karena mereka telah melahirkanku dan merawatku hingga sekarang? Padahal sungguh aku tidak sedikit pun memintanya untuk dilahirkan dan dirawat.

Tapi, pikiranku terbuka, bahwa perkara berbakti kepada kedua orang tua bukan perkara hutang budi. Tapi, syariat yang telah di tetapkan-Nya. Sebuah perintah yang tidak perlu dipertanyakan lagi kebenarannya, sebuah perintah yang tidak diragukan lagi keberkahannya.

Tebakku, mungkin ummi ingin merasakan hari-hari bersama anak sulungnya sambil menikmati sedikit kehidupan ini yang tak sedikit kepahitan menghampirinya--ummi. Masih ingin dijadikan satu-satunya ratu oleh anak sulungnya ini.

Perlahan waktu, aku mulai terbuka dengan ummi yang sudah kuanggap seperti kakak sendiri.  Karena dulu banyak yang mengira ummiku adalah kakakku, aku sebenarnya sebal saat dengar itu, pasti setelah itu ummiku menyombongkan diri kalau dia awet muda.

Aku mulai banyak cerita, dari kenapa dulu aku diam hingga hal-hal berbau asmara. Aku kira aku sudah diumurnya untuk membicarakan hal berbau asmara dan pernikahan. Ummi pun menyambutnya dengan baik, tapi ketika bicara pernikahan. Ummiku terus menegaskan. "Belajar dulu yang bener, bantu dulu ummi abinya."

Benar saja, semakin ke hari, semakin banyak pembahasan soal pernikahan, rupanya pernikahan sungguh mengerikan. Pernikahan bukan sekadar mencintai dan dicintai. Tapi, penerimaan dan pemberian, tapi juga kelayakan dan melayakkan. Dan semakin ke hari pun aku semakin tidak percaya jika aku harus menikah dan menjalani fase itu.

Semakin banyak yang aku dengar dan aku baca, aku semakin menutup senyum-senyumku. Aku merasa di fase ini aku sepertinya tidak bisa banyak bercanda atau bermain lagi. Sepertinya di fase ini aku akan menjadi Hilmy yang lain, yang mungkin membosankan.

Dan aku pun berharap bisa mendapatkan pasangan seperti ummiku, tidak persis, maksudku selalu menunjukkan wajah berserinya apapun keadaannya untuk menguatkan suaminya. Selalu mendukung dan memberi saran atas setiap keputusan-keputusan sulit, selalu taat dan menangkan.

Dari dulu, saking senangnya aku dengan ummi. Aku benar-benar berharap memiliki istri seperti ummi, mungkin dengan begitu fase kehidupanku selanjutnya tidak semenegangkan apa yang aku dengar dan baca. Mungkin masih banyak tawa-tawa dan canda yang membuat wajah-wajah berseri. Tapi selalu tegas terhadap hukum Islam.

Aku senang beberapa hari belakangan bisa pergi-pergi dengan ummi. Walau tidak sehebat orang-orang. Berpergian sederhana, melewati perjalanan yang terik dan tetiba hujan. Berbicara dari A sampai Z, hingga koreksi hafalan-hafalan yang mulai ditatih ini.

Ummi sebenarnya tipikal tidak suka berpergian, tidak suka ke mall, tidak suka makan makanan mahal. Ummi paling suka pergi ke kajian bahas kitab-kitab para ulama, atau mengajar tentang agama. Sesederhana itu sebenarnya, tapi tetap saja aku tidak bisa begitu membahagiakannya.

Ketika aku bertanya, "Mi, kalau Mimi beneran menikah, mau punya menantu seperti apa?"

Ummiku terdiam lagi. "Nggak gimana-gimana, intinya baik sama ummi dan nggak ngelarang-ngelarang suaminya untuk berbakti sama umminya, nggak pelit juga." Kata ummi sambil ketawa-tawa.

Mendengar itu, aku kembali berpikir keras. Sepertinya baru saja aku dirawat ummi, apa sekarang harus pergi lagi? Hanya beberapa tahun aku tinggal dengan ummi, mungkin belum genap 8 tahun, tapi aku harus pergi lagi?

Aku masih ingat semasa SMA, setiap pulang sore kita nonton drama korea bareng, terus nebak-nebak ceritanya. Terkadang abi marah-marah karena disangka kerjaan kita nonton doang, tapi cerita drama korea itu memang bagus-bagus untuk dijadikan inspirasi menulis... Hehe.

Aku sangat ingat ketika saat kumpul, ummi seolah hanya punya memori tentang aku, tepatnya aku ketika kecil. Ia selalu mengulang kelakuanku ketika kecil, dari lucu sampai nyebelin. Sedikit sekali membahas tentang adik-adikku. Aku pun sudah hafal nasihat-nasihat ummi dan ujungnya bakal kemana. Terkadang aku langsung menebak ujungnya, dan ummi tertawa begitu saja.

Aku tidak akan bisa melupakan, bagiku, hanya ummi yang suka tertawa dengan jokes-jokes receh yang kubuat, bahkan tak sedikit terbahak-bahak hingga terkencing-kencing. Lega? Sangat lega sekali aku melihat itu, rasanya membahagiakan ummi sesederhana itu.

Entah bagaimana, tapi orang bilang hanya aku yang mirip dengan ummi. Dan perlahan aku merasa menjadi anak yang paling merasa begitu dekat dengan ummi, begitupun sebaliknya. Kesukaan makanan kita sama, kita sama-sama suka pasta, sementara yang lain tidak. Jadi kadang kita asyik sendiri bikin pasta terus makan-makan sendiri, yang lainnya hanya menyisakan untuk kita--aku dan ummi--untuk memakan lagi jatah mereka.

Dan aku sangat yakin, semua kebaikan yang aku dapatkan hingga hari ini pasti tak terlepas dari doa ummi yang sangaaaaaaaat lama. Dari bangunnya di sepertiga malam. Dari nasihat-nasihatnya yang benar adanya. Seperti nasihat untuk belajar dulu baru menikah.

Dan sekarang aku merasa, jauh dari kata layak untuk menikah.

Karena itu, selama kuliah aku selalu ingin menunjukkan sesuatu untuk ummiku, entah itu dari akademisi kuliah atau lomba-lomba. Walau tidak bisa membanggakan dari sisi keilmuan agama, rupanya tidak sia-sia perjuangan itu dan beberapa kali bisa membuat ummi sedikit bangga dengan anak sulungnya ini.

Dan tua nanti, mungkin yang terpenting dari semua ini adalah waktu untuknya--selain perkara agama. Beberapa hari ini nenek-nenekku--dari ummi atau abi--merasa sangat kesepian. Mereka sudah ditinggal mati oleh suami tercintanya. Di penghujung usia seperti ini, terpenting bagi mereka adalah kehadiran anak-anaknya.

Beberapa kali nenek dari abiku sakit dan meminta untuk dijenguk atau setidaknya ditelpon. Aku paham, rasanya saat tua benar-benar kesepian, rasanya ingin dimengerti atau diperhatikan oleh anak-anaknya yang sudah memiliki keluarga masing-masing.

Itu ... ketakutan yang wajar.

Aku pun membayangkan jika ummiku sudah tua nanti. Lalu ummi bilang. "Makanya, kalian jangan punya rumah jauh-jauh dari ummi." Aku hanya tersenyum, aku cukup beruntung karena tempat tinggal ummi dan abi tidak jauh dari pusat perkotaan, dari kantorku sekarang.

Mungkin, selain menjadi anak yang sholeh dan penyejuk hati mereka. Waktu adalah kata yang penting untuk mereka. Sekadar tanya kabar mungkin adalah belaian lembut yang mereka rasakan--walau ini bagian dari kesholehan juga.

Saat ini, ummi hanya tertawa setiap bicara soal pernikahan. Sudah mulai ikhlas untuk membiarkan anak sulungnya melanjutkan ke fase berikut dalam hidupnya. Walau anak sulungnya ini sedang merasa di tengah ketakutan yang amat luar biasa. Karena sekali lagi, fase berikut terasa amat-amat serius. Dan aku harap aku bisa melewati dan menjalaninya dengan berseri-seri seperti ummi.

Dulu, waktu pisah dengan ummi serta abiku, aku selalu sedih setiap nonton Hachi atau dengar lagu ummi. Bahkan tak jarang aku menangis. Rasanya, aku senang sekali bisa mengulet di sebelah ummi, atau cium pipi ummi setiap mau berpergian. Karena mungkin, waktu ini tidak banyak. Aku harus merelakan, apapun itu, perkara dunia ini, karena semua ini hanya sementara. Dan semoga disaat itu, aku bisa terus mengiri dan membahagiakan ummi. Dengan caraku sendiri.

2 komentar:

komentar bagi yang perlu