Untuk kesekian kalinya sesi durian terjadi, kali ini kedua kalinya sesi durian empat orang. Untuk sesi kali ini aku nyobain durian dengan kelapa. Walau perutku masih tak karuan, hasrat akan durian mengalahkannya.
Obrolan tidak jauh dari perkembangan start up, keterhubungan Islam dengan dunia start up, dan perjodohan. Kebetulan salah satu dari kami akan segera menikah, yang ternyata mereka bertemu dari sebuah aplikasi ta'aruf.
Aku terkejut, dan semua begitu saja. Rasanya kok kayak mudah sekali ya. Minggu depan dia akan menikah dengan orang yang dia kenal via aplikasi untuk menempuh hidup hingga akhir hayat. Rasanya kayak, kok sesederhana itu ya?
Lalu dia cerita, awalnya juga dia berpikiran nggak bisa menikah dengan orang yang tidak ia kenal sebelumnya, tapi kembali lagi ke tujuan pernikahannya, selama satu tujuan ya tak masalah. Ia pun daftar aplikasi ta'aruf milik salah satu ustadz ternama, dan beberapa kali dia mencoba hingga akhirnya untuk kesekian ia mendapati yang sesuai dan tak pakai lama langsung ke jenjang pernikahan.
Aku nyengir heran.
Lalu mereka bahas-bahas soal kajian, jadi dua orang diantara kami mau ikut ke kajian besoknya, mereka bahas keberangkatan, lalu seseorang mengajakku, aku bingung jawabnya, kebetulan jauh, jadi aku bilang aja jauh. Padahal ustadz yang ngisi itu ustadz yang lagi di denger terus oleh ummiku. Tapi entah kenapa aku kurang tertarik, mungkin memang kepikiran jauh banget dan pasti banyak yang datang sehingga akan repot sekali. (Pada dasarnya males)
Lalu seorang nyentilku. "Nikah tuh butuh ilmu, kalau lu mau dapetin dia, harus belajar yang banyak dulu." Jadi tetiba aku kena ledek oleh salah satu temenku, aku diledek dengan seseorang yang emang giat sekali dalam belajar, jadinya dia bilang begitu kepadaku. "Ayo ikut, kita belajar, kalau mau dapetin dia, harus belajar lebih banyak."
Aku tersenyum kecut.
Sebenarnya mau siapapun yang ingin didapat, memang belajar itu penting sekali sih. Ku menyaksikan sendiri ketika seorang istri tidak tahu apa haknya apa kewajibannya. Lantas dia pergi meninggalkan suaminya, padahal kondisi suaminya tidak mendzalimi sang istri. Padahal ridha Allah untuk sang istri berada di suaminya.
Lalu suaminya bilang kepadaku dan beberapa orang lainnya. "Ini anak pertama saya harus ngaji, biar tahu mana yang bener mana yang salah. Biar tahu ibunya salah apa benar berbuat seperti ini (ninggalin suaminya tanpa sebab jelas)."
Aku mengangguk setuju.
Ku sempat terkejut ternyata seorang suami dengan mertuanya adalah partner atau mitra. Kurang lebih mereka bekerja sama untuk membahagiakan/memenuhi hak sang istri. Perpindahan dari orang tua ke sang suami terlintas seperti serah terima tanggung jawab. Walau sesungguhnya lebih besar dari sekadar tanggung jawab, bahkan kepatuhan dan ridhanya pun berpindah dari orang tua ke sang suami.
Bahkan, sang istri harus lebih mendengar suaminya (selama menyerukan kebenaran) daripada orang tuanya.
Aku senyum masam.
Sesi durian berakhir cukup malam, aku beberapa kali kena tegur karena tidur sembari bawa motor, bahkan aku hampir nabrak puteran jalan. Beruntung Allah masih melindungiku.
Malam itu, lelah sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar bagi yang perlu