Rabu, 09 Januari 2019

Tentang Ahmad

"Mad, Ahmad betah nggak di sekolah?" Tanyaku.

Malam itu cukup dingin, aku sedang menjemur pakian di lantai 3 yang cukup terbuka ruangannya, sehingga hembusan angin begitu terasa. Ahmad menemaniku, tapi tidak membantu menjemur. Dia sibuk mencari benda-benda bekas untuk mainan dinamonya itu--Dinamo yang ia dapat dari membongkar mainan mobil-mobilannya.

"Ahmad nggak betah." jawabnya.

"Kenapa, Mad?" tanyaku terheran, karena sejauh ini aku merasa dia nyaman berada di tengah teman-temannya, bahkan dia tidak terlalu suka di telepon.

"Mereka jahat-jahat. Suka gangguin Ahmad."

Aku menatap Ahmad yang sedang sibuk dengan dinamonya. "Gangguin gimana?"

"Kira aja sendiri." Jawab Ahmad jutek.

Aku sebel sebenarnya digituin sama Ahmad, tapi ya namanya juga anak kecil. "Tapi, kok kalau di telepon kayak nggak suka gitu, dikira Ahmad memang sukanya di sekolah aja."

"Habis kalau di telpon putus-putus, Ahmad males jadinya." Ahmad melanjutkannya. "Ahmad ingin pindah sekolah biasa yang deket aja."

"Sayang dong tahfidznya."

"Iya, yang tahfidz juga gak apapa."

Lalu aku bertanya-tanya, kenapa anak-anak suka saling membully ya? Apakah itu bercanda? Ah aku pun dulu juga suka dibully dan akhirnya memutuskan untuk membully biar dianggap. Ah, iya anggapan, mungkin orang yang membully akan lebih disegani dan dihormati.

Dulu aku sering dibully, hingga akhirnya di tempat baru, di tempat orang yang tidak tahu satu pun aku suka dibully, aku pun membully orang, alih-alih biar disegani dan dihormati. Tapi, lama kelamaan, aku merasa semua itu bukan lagi soal segani dan hormati, tapi menjadi tabiat membully orang, bahkan walau konteksnya bercanda, aku merasa, keluh.

*

Obrolan malam itu adalah malam sebelum Ahmad pulang. Esoknya Ahmad pulang, aku dan Ahmad main seharian, entah apapun yang kita mainkan--dari merakit rangkaian listrik untuk dinamonya hingga main kartu. Aku bahkan dikerjain saat bikin mie goreng, aku disuruh-suruh sama itu anak. Dia tertawa puas, tapi kita jadi bekerja sama pada akhirnya.

Walau sebelum pulang ditutup dengan drama yang mana akhirnya Ahmad marah kepadaku. Perkaranya sepele, gara-gara aku nulis namanya di pakaian dalamnya pada bagian luar. Dia nangis kejer, karena tulisannya jelek dan di bagian luar. Hiks, terima kasih jujur tulisanku jelek. Aku udah bilang pada umi kalau tulisanku jelek, tapi umi tetep maksa.

Akhirnya perpisahan dengan Ahmad ditutup dengan baikan sejenak. Padahal dari pagi kita bercanda-canda, ah aku tahu, itu Ahmad sebenarnya sedih harus pulang dan meninggalkan kakaknya ini hehe, jadi dia cari alasan biar bisa bersedih, hehe

*

Hari senin kemarin Abi ambi rapor Ahmad di sekolahnya, lalu memberi kabar yang membuatku terharu... hiks...

Kabar itu pun yang membuat umi terheran dengan ketiga anak lakinya. Umi selalu ngelihat ketiga anak lakinya itu suka tidur, suka main game, suka berantem, suka main sama temennya, suka keluar-keluar, suka jajan, pokoknya malasnya pooool lah.

Tapi, tahu hasil-hasil dari ketiga anak lakinya, umi suka terkejut, kok bisa ya? Aufa dan Ahmad memang luar biasa setelah tahu hasilnya di sekolah, sementara aku? Ah umi aja gak tahu aku jago dalam menyontek hehe

Senen itu abi bilang bahwa Ahmad juara 2 di kelas tahfidznya, nilanya Mumtaz dan hapalannya sudah hampir 1/3 Alquran, sementara itu kelas biasanya Ahmad juara 4. Lalu aku lihat nila-nilainya, hanya Bahasa Inggris nilainya di bawah 50.

Kalau aku membayangkan apa yang dilakukan oleh Ahmad di rumah, itu rasanya kayak berbanding terbalik. Tapi, mungkin memang itu dinamakan butuh istirahat ya... ah entahlah, terkadang aku juga begitu setelah lelah berkepanjangan rasanya ingin melakukan apa saja yang aku sukai.

Kalau Aufa, dulu sempet mencengangkan juga ketika tahu dia juara 2 juga di kelasnya, terus hapalannya hampir 2/3 Alquran. Terus aku merasa kalah telak oleh dia. Bahkan sekarang sama Ahmad juga. Aish... Terima kasih ya Allah telah memudahkan urusan adik-adikku. Semua itu adalah Kuasa-Mu. :")

Semoga ini bukan kebanggaan duniawi semata tapi menjadi salah satu titik membangun peradaban Islam ya Aufa dan Ahmad. Hehe

*

Sedih, rasanya pasti sedih melepaskan anak sekecil Ahmad untuk hidup jauh dari orang tua, jauh dari pantauan, ah aku pun tak tahu rasanya seperti apa jika jadi Ahmad. Tapi, aku yakin Ahmad tidak akan menyesal dengan masa kecil penuh sedih ini, suatu saat insya Allah aku yakin Ahmad akan sangat bersyukur ditempatkan oleh umi dan abi ke sebuah tempat yang membimbingnya dekat dengan Allah.

Masa kecil benar-benar pondasi, kehidupan setelahnya akan mengiang ke masa itu terus--masa kecil. Dan ilmu yang didapatkan akan menjadi dinding kokoh untuk menghadapi masa depan. Semoga dimudahkan segalanya, Aamiin.

3 komentar:

  1. :"""")

    Selalu penasaran sama keputusan orang tua ketika masukin anaknya ke sekolah asrama. Bersama dengan harapan2nya dan dialog ke anaknya sehingga anaknya mau :)

    Salam hormat tuk keputusan2 besar yang diambil :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener banget, Ahmad kayaknya ndak akan menyesal nanti besarnya :") malah bisa jadi bikin iri yang lainnya (lha aku aja yg sudah besar ini iri sama yg hafalanya banyak :' )

      Hapus
  2. iiya ya fit, kujuga lupa terus nanya gitu, gimana ya sampai anak itu mau berpisah jauh gitu haha

    dan aku pun juga iri... ya sekarang support mereka dan berusaha jadi lebih baik juga fufufu :D

    BalasHapus

komentar bagi yang perlu