Rabu, 30 Januari 2019

Tentang Rasa

Suara angin yang mendesir itu seolah saling berbisik.

"Kalian tahu? Mereka akan terpisahkan."

Aku menatap kearah suara itu, termenung, mereka akan terpisahkan?

"Beberapa bulan lagi, mereka akan semakin susah."

Aku tidak yakin, mereka tidak sepayah itu.

"Salah satu diantara mereka akan pergi."

Aku tersenyum, mengingat bahwa aku pun telah pergi.

"Kita lihat saja nanti."

Ya, aku setuju, ku yakin perjuangan mereka lebih dari itu.

*

"Kau tahu? Dia menunggu hingga pria itu pergi." Kata seseorang.

"Tidak, dia tidak sedang menikung, dia menunggu pria itu benar-benar pergi." lanjutnya

"Dan, benar saja pria itu pergi. Saat itu, waktu yang tepat, hingga akhirnya sekarang tinggal menunggu waktu." sambungnya.

"Pengumuman itu akan tiba." tutupnya.

*

Padanan dapat merubah makna, makna merubah rasa, rasa merubah prasangka, prasangka merubah sikap, sikap merubah jawaban.

Muara-muara itu saling terhubung, prasangka-prasangka itu saling bersikap, dan sikap-sikap itu akan memberikan sebuah jawaban.

Mungkin waktu-waktulah yang akan mengungkapkan, tapi setidaknya biarkan aku merayakan sepi. Karena sudah terlalu dalam aku menyelami hingga lupa arah jalan pulang, hingga tak mampu melihat cahaya. Ku ingin tak peduli lagi, diam-diam, tapi tabiatku menyulitkannya. Lantas ku akan mencoba belajar untuk... membenci.


*

"Kau tahu paradoks paling bodoh?"

"Paradoks paling bodoh adalah saat seseorang menunggumu berhari-hari bahkan hingga bertahun-tahun, lantas kamu terus mencari-cari sesuatu yang tak kau ketahui."

"Tapi, siapa yang bodoh disana? Yang menunggumu? Apa dirimu yang terus pergi tanpa sedikit menoleh seorang yang menunggumu?"

"Tentu saja, mereka yang tak pernah menyadari apa-apa adalah hal yang bodoh."

*

Belakangan, ku suka sekali berkata. "Kita menatap langit yang sama, tapi..."

Memang begitu, kita menatap langit yang sama hanya saja terlalu banyak "tapi" di antara kita, terlalu banyak liku yang harus kita lewati. Dan ku juga suka berkata, bahwa malam itu begitu pekat, ku pikir aku takut jika malam terlalu berkepanjangan, walau aku yakin kita terus menatap bintang-bintang itu untuk mencari jawaban dari pekatnya malam. Dengan begitu, kita menatap langit yang sama, walau malam begitu berkepanjangan, walau bintang tak setenang matahari. Kita selalu yakin, fajar akan datang.


*

Kebodohan ini sudah terlalu dalam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu