Minggu, 03 Maret 2019

Pria yang Menghancurkan Dindingnya

Saat itu mataku setengah terpejam karena lemburan semalam, kantung mataku amat tebal. Tapi, selalu ada senyum tersimpul saat orang itu terlihat dari bayang-bayang jalanan.

Pria itu dengan penuh percaya diri, dengan khidmat, mendorong gerobak yang berisikan bola-bola daging yang orang bilang itu adalah bakso. Tidak seperti pendorong gerobak bakso lainnya, pria itu mengenakan pakaian para pegawai, dengan kemeja putih, terkadang pakai dasi atau jas, pakai celana bahan, dan jika kalian lihat sepatu pantofelnya, kalian bisa bercermin disana.

Aku tersenyum, ada hal yang mungkin tidak benar-benar aku rasakan. Seperti seseorang yang berhasil menghancurkan tembok penghalangnya, menghancurkan kesenggangan kehidupannya, dan merasakannya dengan penuh nikmat, penuh syukur.

Pria itu menatap ke arahku dan menyapa. "Assalamu'alaykum, Mas. Belom berangkat kerja, Mas?"

Ah, bagaimana bisa dia menikmati hidupnya seperti itu, yang mungkin orang akan memincingkan mata dan menganggap remeh serta bertanya, apa enaknya cuman jadi tukang bakso? Tapi, jika orang yang memincingkan matanya itu berjumpa dengan pria ini, dia pasti akan bertanya dan ingin merasakan, bagaimana tukang bakso ini menikmati hidupnya?

Aku menjawab. "Wa'alaykumussalam. Ini mau berangkat, Mas. Jam segini udah sampai sini aja, Mas."

Pria itu tersipu malu, tapi ia tidak malu dengan apa yang ia kerjakan, apa yang ia upayakan, apa yang menjadi jalan hidupnya. "Iya, Mas. Belum ada yang beli, Mas. Jadi cepet deh sampai sini. Hehe..."

Aku merasa getir, apa boleh kita berbahagia dan menertawakan kesedihan kita sendiri? Apa pria ini tidak tahu arti sedih? Atau memang pandai menyimpan keluh kesahnya untuk ia sampaikan hanya kepada-Nya?

"Wah pas banget, Mas. Saya belum makan nih, pesan satu ya..."

Pas sekali adzan berkumandang saat itu. Lantas pria itu bertanya. "Mau saya siapkan makan dulu apa kita shalat dulu, Mas?"

Aku tersenyum lagi. "Shalat dulu saja, Mas. Biar kita sama-sama bisa dapat shalat sunnahnya."

Pria itu lantas meninggalkan gerobaknya di depan rumahku. Ia tidak menaruhnya di dekat masjid, dahulu aku sempat terheran dia sering meninggalkan gerobaknya sembarangan--tapi tidak menghalangi jalan--namun sekarang aku tahu kenapa ia bisa tenang meninggalkan gerobaknya saat ingin berangkat ke masjid.

Baginya, tidak ada kekhawatiran akan dunia ini, kecuali hal-hal terkait dunia setelah ini.

Aku pun yakin, jika ada yang berani mengambil gerobak pria itu, seluruh warga di sini tidak tinggal diam, pasti akan ramai-ramai meluluhlantakkan pencuri-pencuri itu. Pria itu, dicintai seluruh warga ini. Aku pun yakin, ada kisah pria ini di setiap keluarga di warga ini, minimal mereka akan menceritakan pria gerobak dengan pakaian formal-nya itu.

***

Saat itu, oh tepatnya malam itu, sangatlah panjang, amat teramat panjang. Berawal dari obrolan kerjaan, lalu banyak sekali bincang dari berbagai topik dan sub topik yang menyenangkan kita bincangkan.

Salah satunya adalah terkait orang-orang yang menikmati hidupnya, orang-orang yang tidak khawatir akan apa yang mereka kerjakan, akan penilaian manusia-manusia yang terkadang tidak tahu diri bahwa mereka tidak pantas menilai pekerjaan seseorang. Sungguh, ada nilai yang tidak terlihat dari sebuah pekerjaan, dan kita tidak bisa mengukur hanya dengan materi yang di dapat saja.

Lain halnya, perkara-perkara tentang kehidupan ini, tentang bagaimana menjadi manusia, bagaimana menjadi seorang ayah, bagaimana menjadi seorang anak, bagaimana menjadi seorang kakak, atau pun bagaimana menjadi seorang yang menemukan kebenaran itu--Islam.

Ada rasa-rasa yang mungkin tidak kita dapatkan, sebagaimana rasanya mendapatkan hidayah tumpah ruah yang menghancurkan dinding ketidakpercayaan. Bagaimana orang-orang yakin untuk memeluk agama Islam, bagaimana mereka berjuang mencari kebenaran itu.

Terkadang aku malu, aku mendapatkan Islam karena orang tuaku, aku mendapatkannya lebih dahulu dari mereka-mereka--para muallaf--tapi Islamku belum seindah mereka, belum sekuat mereka, bahkan tak sedikit mereka menegurku yang membuatku... Entahlah, rasanya sulit dideskripsikan, intinya kelu.

Dan akhirnya tubuh-tubuh kita tidak kuasa, waktu sudah menentukan dirinya pada pukul 03.20 WIB. Kita pun tertidur, malam itu panjang, tapi rasanya masih kurang, masih banyak yang perlu dibincangkan.

Untuk pertama kalinya aku melihat ayahnya Ayyash dan Hana ini menginap di kantor. Hehe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu