Walau adikku terhitung banyak, aku tetap biasa saja saat ibuku (ummiku) lebih perhatian dengan adik-adikku. Mungkin juga itu karena bertahun-tahun aku tidak pernah diberi perhatian sebagaimana ibu pada umumnya. Terkadang jika aku memikirkan kembali, aku masih tidak habis pikir aku tumbuh tidak dengan kedua orang tuaku hingga SMA.
Ya, aku tidak terlalu iri atau peduli jika adikku diberi perhatian lebih sementara aku tidak. Hingga akhirnya aku justru lebih terbiasa tanpa perhatian atau apapun terkait orang tua, aku lebih nyaman apa-apa dengan temanku.
Tapi, rupanya tidak untuk nenekku. Sedari kecil aku diasuh oleh nenek dan kakekku. Rupanya rasa iri dan cemburu itu berpengaruh dari betapa seringnya kasih sayang itu menghampiri. Tidak memandang itu siapa, hemat kesimpulanku saat itu.
Aku selalu senang setiap adik sepupuku main ke rumah nenekku. Aku akhirnya jadi punya temen, aku bisa bercandain orang-orang selain nenekku--karena kakekku galak, aku jadi tidak suka bercandain kakekku. Tapi, rupanya ketika adik sepupuku pada di rumah nenek, nenekku rupanya menaruh perhatian dan kasih sayang kepada mereka. Itu yang membuat diriku seketika hancur lebur seperti di duakan. Hiks.
Aku cemburu dan iri. Rasanya aku tidak rela jika nenekku itu sayang kepada mereka, tidak terima kalau nenekku bermain dengan mereka, tidak terima jika aku disampingkan. Walau sebenarnya tidak disampingkan. Tapi, rasanya diriku menjadi tak acuh, aku jadi mengurung diri dan berharap nenekku menyadari aku sedang ingin perhatian dan kasih sayangnya, atau bisa dibilang aku tidak ingin nenekku memberi perhatian dan kasih sayangnya ke orang lain selain aku.
Betul, aku sungguh egois sekali memang. Karena terlalu lama jadi anak tunggal, sifat apa-apa adalah milikku jadi terbawa-bawa dan rasanya saat aku merasa memiliki lalu apa yang kumuliki itu berpaling, rasanya hancur... Aku berusaha bagaimana menarik perhatiannya lagi, pada akhirnya aku biasanya mengurung diri atau ngambek.
Tentu saja, itu tidak elegan. Tapi, saat itu, aku merasakan kehilangan perhatian dan kasih sayang yang biasa kudapati. Padahal itu lebih tepatnya terbagi sementara. Beruntung, lambat tahun aku mulai menyadari, kalau aku memang bukan cucuk satu-satunya, dan itu hak adik sepupuku juga untuk mendapatkan kasih sayang dari nenekku.
Waktu dulu, aku selalu dibilang anak bontot, alias anak terakhir dari nenek dan kakekku. Anaknya Mbahbu (sebutan nenekku) dan Mbahkung (sebutan kakekku). Atau terkadang aku dibilang anak bersama, karena aku terlalu luwes untuk bisa ikut dan tinggal di rumah siapapun saudaraku. Bahkan aku hampir mau diadopsi oleh adiknya nenekku.
Namun, rupanya rasa-rasa menjadi anak tunggal suka sekali menghampiri. Terlebih akan apa-apa adalah milikiku dan yang lain tidak. Pekerjaan rumah tentang berbagi memang harus terus dibenahi. Semoga Allah memudahkannya.
***
Semalam aku bilang ke ummi. "Mi, masa Mimi dengar suara mbahkung manggil Mimi."
Terus ummiku menjawab spontan. "Itu minta didoain kali."
Aku pun tersadar, iya-ya, sepertinya sudah lama tidak mendoakan kakekku secara khusus. Bahkan sudah lama tidak menengok nenek yang dulu suka aku cemburui itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar bagi yang perlu