Aku tidak mengerti lagi cara kerja manusia, lebih khususnya diriku sendiri. Terkadang manusia tahu itu buruk, tapi terus tetap menghampirinya dan bahkan melakukannya. Sebagaimana banyak orang tahu narkoba adalah hal mengerikan tapi banyak sekali pecandunya. Sebagaimana banyak orang tahu riba adalah jeratan, tapi orang berlomba-lomba melakukannya. Dan juga sebagaimana banyak orang tahu jatuh cinta adalah menyakitkan, dan aku pun melakukannya.
Aku masih menyesap rokokku, di hari yang mulai tampak menggelap. Matahari telah runtuh dari peraduan, dan aku di sini, duduk di tengah cafe setelah dua bulan lalu aku memutuskan untuk menghentikan semua ini.
Tapi, sekali lagi, aku tidak mengerti cara kerja manusia, dan aku menjebak diriku sendiri lagi.
Akhirnya temanku datang. Namanya Jo. Biasa kupanggi Ji, kalian bayangkan dengan logat makasar. Dia memang orang makasar, tapi dia dari kecil sudah tinggal di ibukota. Dan dialah penyebab aku kembali lagi duduk di tengah cafe dan mengulangi semua ini.
Ketika aku memutuskan untuk mengulangi semua ini, aku pikir aku adalah pesakitan. Aku tahu ini akan menjadi suatu yang rumit dan menyakitkan lagi, tapi herannya kakiku tergerak dan viola, aku di sini menanti senyum seseorang yang belum untukku. Tapi senyumnya masih untuk teman pria-pria yang selalu membersamainya, dan aku hanya melihat dari kejauhan. Kalian pikir itu menyenangkan? Tentu saja itu sangat menyakitkan bagiku.
"Coffee?" tanya Ji sesampainya dan ingin segera menuju tempat pemesanan.
"Cukup, aku ingin tidur malam ini." sahutku.
Akhirnya Ji berlalu, mengantri untuk memesan. Aku masih menunggu dan menatap sebuah meja yang telah dipesan. Aku akan kembali melihatnya, bersama dengan teman-temannya. Benakku.
Beberapa menit pun berlalu. Ji telah duduk di hadapanku dan berkata. "Kamu tahu?"
Aku mengepulkan asap rokokku dan bertanya lewat gerakan kepalaku.
"Kamu pria bodoh yang tidak mengerti apa-apa."
Aku memincingkan mata. "Jadi, kenapa dirimu kembali menyuruhku ke sini?"
Ji mendekatkan kepalanya ke arahku. "Sekarang, sudahi semua asumsimu. Tutup semuanya, dan jangan kamu terjatuh lagi oleh namanya cinta."
"Ha?" tanyaku semakin heran.
Dia semakin mendekatkan kepalanya dan sekarang berbisik. "Beberapa lama setelah kamu menghilang, wanita itu bertanya kepadaku."
Ya Tuhan, jantungku berdegub kencang. "Lalu?"
"Kita mulai dan kita akhiri segera."
Aku terdiam sejenak, mengingat-ingat kembali waktu-waktu pahit itu. "Tapi, bagaimana mungkin dia menanyakan aku? Sementara aku bisa melihat betapa bahagiannya dia dengan teman pria yang ada di sekelilingnya? Bahkan tak sedikit ia bilang temannya itu lucu, gemas, menyebalkan, atau apalah itu." Tanyaku dengan sedikit jengkel, ah tentu saja mengingat momen itu sungguh menyakitkan kawan.
Ji tertawa. "Karena manusia itu terbatas sekali tahu akan dunia ini."
Aku memukul ringan bahu Ji. "Itu bukan jawaban yang aku inginkan, aku pun tahu itu."
Ji semakin tertawa. "Maka dari itu, aku pun tidak mengerti. Terkadang kita memang tidak mengerti jalan pikir wanita. Seolah menyukai A tapi memendam rasa ke B--"
"Menyebalkan sekali." kataku memotong perkataan Ji.
"Dan asumsi-asumsilah yang membuat semuanya runyam. Sebagai pria, kita harus memastikan asumsi-asumsi itu, agar tidak menjadi balon udara yang siap meledak hebat."
"Aku setuju." Kataku seraya mengepul asap, dan itu kepulan terakhir hari ini. "Tapi, hmm, aku tidak yakin dengan wanita yang terlalu terbuka seperti itu, maksudku, mudah bicara dengan pria lain. Kamu sendiri bisa lihat, senyumku telah habis hanya semalam karena itu. Dan setiap malam itu, hatiku berkeping."
"Hei-hei, sudah kubilang, asumsi akan membuat semuanya runyam." katanya.
"Itu fakta bukan? Kamu melihatnya sendiri, setiap malam selama 30 hari. Jika memang dia tidak seperti itu, seharusnya..."
"Hei, kamu tidak boleh egois. Bisa jadi memang itu melalui waktu yang panjang. Siapa tahu mereka adalah teman yang sudah bersama belasan tahun. Kamu bayangkan, tidak mungkin kita akan menutup diri dengan orang terdekat kita bukan? Walau tentu saja ada batasannya."
Aku mengehela napas, pembicaraanku sudah tercampur dengan kisah lampau. "Baiklah, aku tidak akan berasumsi seperti itu. Walau aku tetap tidak mengerti di kepalaku."
Ji tersenyum, pesanannya telah datang. Ia menyeruput kopinya dan ber-ah seperti biasanya. "Oke, kita tenangkan pikiran dulu. Jangan terjatuh oleh cinta oke? Kita tutup dulu kisah yang berlalu, kita mulai dari nol, dan kita bangun itu cinta."
Aku tersenyum kecut.
"Kamu tahu apa rahasia membangun cinta?" tanya Ji dengan gaya-gaya orang sedang berteka-teki.
"Apa?"
"Mulai karena Allah."
Aku tertawa terbahak-bahak. "Whoo, ada apa dengan Ji sekarang?"
Ji memasang wajahnya serius. "Aku serius. Begini pun, aku sudah tiga bulan menikah. Aku rela menemanimu, karena kamu sudah terlalu lama membujang dan aku ingin segera kamu menikah. Bukan bermain-main seperti dahulu."
Aku menelan ludah, mukaku pasti terlihat pucat. Wajah Ji menjadi menakutkan. Terkadang pun aku heran, kenapa Ji mau menemaniku 30 hari untuk duduk di sini, sementara istrinya di rumah. Ada hal-hal yang tidak bisa kumengerti, salah satunya seperti itu.
Saat itu pintu cafe terbuka, beberapa orang masuk bersamaan dengan senda gurau mereka. Pandangku dan Ji pun beralih ke arah pintu masuk, dan itu dia... telah datang.
***
Lanjutan dari kisah Tidak Ada Senyumku Lagi Untuknya.
Hei pria, berhenti terus berasumsi dan mulai lah mencari jawaban. Dari diri-Nya hingga dari mahluk-mahlu-Nya. Sebenarnya aku sedang bicara ke diri sendiri... ha ha ha ha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar bagi yang perlu