Senin, 04 Maret 2019

Sapaan Yang Tertahan

Saat itu aku menatap ke langit, terlihat bintang-bintang bertaburan. Sebelumnya, aku pikir akan hujan,  tapi aku salah. Rintikan yang sempat menetes ternyata hanyalah air-air yang sempat berlabuh di dedaunan yang rindang itu.

Perjalanan itu membuatku mendadak teringat salah seorang yang tidak pernah ku kenal--dalam artian kita tidak pernah bertegur sapa atau pun sama-sama saling tahu--saat wisuda waktu itu, saat kita semua heboh dengan keluarga masing-masing, saat-saat terindah atas perjuangan panjang.

Waktu pelaksanaan wisuda telah berakhir, setiap wisudawan/wisudawati langsung dihampiri atau menghampiri para orang tuanya dengan suka cita.

Termasuk diriku. Aku berjumpa dengan ibu dan ayahku, kita sama-sama saling berbagi haru, lantas membuka ponsel untuk merekam sekilas, kebahagiaan-kebahagiaan yang menapak jelas. Satu, dua, tiga kali kita merekam diri.

Para wisudawan banyak yang meninggalkan gedung, aku melihat dengan jelas orang-orang yang tersisa. Aku berjumpa dengan teman kelasku, teman jurusanku, dan lainnya lantas bertegur sapa dan tertawa bahagia.

Sederhana, wisuda itu sederhana sekali.

Lalu aku beserta ayah dan ibu pun berjalan menuju luar gedung, kita menyisiri kursi-kursi yang telah sepi, dan mungkin ini terakhir kali, kita-kita--wisudawan/wisudawati--menduduki. Namun, belum genap aku meninggalkan gedung, aku mendapati...

Orang itu, beserta keluarganya.

Aku melihatnya, dia melihatku. Seperti... kita ingin menyapa, lalu kita sama-sama sadar kalau kita tidak saling mengenal. Kita bahkan tidak tahu kenapa kita bisa saling menatap lantas tertahan seperti ini.

Begitu pun yang aku rasakan, bibirku terus terkatup, susah sekali membisikan satu atau dua kata. Bahkan anggukan pun tidak. Tapi, aku yakin, kita sama-sama ingin berbalas sapaan sederhana.

Beberapa bulan setelahnya.

Aku sedikit mengomentari kegiatannya di sebuah media sosial. Lalu dia membalasnya dan akhirnya berkata.

"Ngomong-ngomong, maaf ya pas wisuda nggak menyapa, kirain nggak kenal. Hehe."

Aku tergelak saat itu dan menjawabnya. "Memangnya kita kenal?"

Dia pun menyetujui. "Nah, haha. Emang nggak kenal kan, okedeh nggak jadi minta maaf."

Kita sama-sama menertawakan ini.

Dan akhirnya kita pun, dengan formal, berkenalan. "Kalau gitu, salam kenal ya." Kataku.

"Iya, salam kenal ya hehe." balasnya.

Pandangan dan bibir yang terkatup ketika wisuda itu, tidak berbohong, kalau nyatanya kita memang ingin saling menyapa sekilas saat itu. Hanya saja, ada sebuah pertanyaan di kepala-kepala ini. Tentu saja pertanyaan itu "Memangnya kita saling kenal?"

Aku pun menertawai semua itu. Mungkin dia pun menertawakan ini.

***

Aku pikir 24 jam adalah waktu yang singkat, tapi aku salah, aku yang tidak tahu bagaimana memanfaatkan waktu-waktu itu dan masih saja ada waktu yang kugunakan untuk memikirkan hal yang tidak penting untukku, hal yang tidak menambah kebaikan untukku.

Sementara itu, masih ada hal yang harus aku kerjakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu