Selasa, 09 Juni 2015

Ketika Senggang

  Hari-hari berlalu, sudah kurang lebih lima hari aku bekerja. Dan tanpa terasa, sudah hampir satu semester aku membaca novel Tere Liye yang Rindu dan akhirnya selesai. Semua berlalu tapi tak begitu saja terjadi, ada proses menarik di dalam semua itu.

  Bicara pekerjaan, aku sungguh menikmatinya, berbeda dengan waktu SMK, pekerjaanku terbilang lebih ringan, dan bahkan aku lebih banyak tidak ada kerjaannya atau biasa anak muda bilang gabut. Maka dari itu, akhirnya aku bisa benar-benar menyelesaikan bacaanku yang satu semester aku lalui.

  Setiap pagi, aku sengaja masuk setengah jam lebih cepat, walau ngantuk melanda, tapi pendirian teguh terhadap penyelesaian pembacaan novel itu membuatku terus berupaya membaca selama kerjaan belum menghampiri.

  Beratus-ratus halaman kubaca, pada awalnya aku pikir aku akan membaca sebuah cerita perjalanan orang-orang di atas kapal untuk pergi haji. Ceritanya begitu sederhana, tidak ada konflik berat yang terlihat, aku kesal sendiri. Apalagi setelah empat ratus halaman berlalu dan aku tidak menemukan sesuatu yang membuatku setuju tentang sandangan Best Seller di novel ini.

  Karena rasa penasarannya, aku mau tidak mau harus menyelesaikannya. Maka dari itu segala upaya aku lakukan agar novel ini terlampaui. Perlahan demi perlahan, aku sedikit menikmatinya, ketika beberapa konflik bermunculan dan pertanyaan-pertanyaan besar di keluarkan.

  Aku terus membacanya, lembar demi lembar, aku mencoba memaknainya. Dan, sungguh ajaib rasanya, setiap aku membaca jawaban-jawaban dari lima pertanyaan di atas kapal itu, aku seolah tersihir. Aku terdiam, aku merenung, aku mengangguk, dan terus memikirkannya.

  Sungguh, semua itu mungkin sering kudengar, sering kupahami, tapi yang menakjubkannya, seolah aku dituntun lebih dalam, dan aku pun meresapinya. Setiap pertanyaan sederhana tentang kehidupan, membiat aku terus mengangguk. Dan membuatku terus membalikan halaman demi halaman.

  Aku seolah kesal sendiri, bukan, bukan karena butuh empat ratus halaman lebih untuk menemukan permasalahan yang kuinginkan. Tapi, dari semua cerita sederhana itu, aku seolah menemukan berbagai macam tipe dan makna kehidupan. Aku sungguh menikmatinya.

  Terkadang aku kesal dengan Tere Liye, bahkan setiap orang bertanya padaku siapa penulis favoritmu, aku tidak perlu jauh-jauh membicarakan orang diluar sana. Tere Liye terus terlintas di pikiranku, dan terucap dimulutku.

  Entah penulis seperti apa dia, begitu produktif, Islam yang kuat, pembawaan yang sederhana dan bermakna, berbagai genre ia tulis, dan tentu saja, berpuluh buku yang terbilang semuanya best seller. Terkadang aku kesal dengannya, bagaimana bisa? Bagaimana bisa?

  Mungkin Tere Liye tidak terlalu umum didengar oleh orang-orang layaknya Andrea Hirata yang booming karena novel Laskar Pelanginya, tapi, tulisan-tulisan Tere Liye seperti ada ruang sendiri di hati pembaca. Sederhana dan berkelas.

  Jika aku ingin bermimpi, kuharap, aku bisa menjadi rivalnya. Tentu saja, aku akan berusaha. Seberapa besar niatku? Mungkin nanti akan terjawab. Jika besar, mungkin itu terjadi, jika tidak, aku akan menjadi penikmatnya seperti lalu-lalu.

  Dan satu orang juga yang sering kuucap walau aku tak pernah membaca novel atau tulisan cetaknya. Tapi sering kusebut di blog ini juga, ya, dia, Hoeda Manis, aku tak tahu siapa dia, info yang minim terhadap dia, membuat seperti sosok misterius dengan kata-kata yang tenang namun penuh makna juga.

  Dan ketika senggang, merekalah yang menemani hari-hariku. Membuatku terus  terpacu dalam merangkai kata, walau entah orang berkata apa. Entah menganggap apa. Tapi, kuharap aku menjadi rival mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu