Rabu, 13 Februari 2019

Pertanyaan-Pertanyaan Sebelum Meninggalkan

Aku duduk pada sebuah kursi di pelataran rumah, memandang langit-langit yang bertabur bintang. Cerah, malam ini cerah. Tidak ada hujan seperti kemarin-kemarin. Aku tersenyum, lalu membuka botol minuman bersoda.

Seseorang ikut duduk di sebelahku, tak lain seorang pria tua yang sering ku sebut "Ayah".

Aku menyodorkan minuman sodaku, beliau menolaknya. Aku menengguknya dan ber "ah". Sungguh nikmatnya minum bersoda pada malam yang cerah ini. Hatiku benar-benar sedang sangat-sangit baik.

"Jadi..." Kata ayah tiba-tiba.

Aku menoleh, ayah tidak menatapku rupanya, ia seperti... sedang termenung. "Apa kamu sudah menjawab seluruh pertanyaannya?"

Aku memincingkan mataku, heran, apa yang dimaksud oleh ayah? "Hmm... Pertanyaan yang mana ya, Yah?"

Ayah tersenyum, mengambil botol minuman yang sedang kupegang. Lalu ayah menengguknya dan ber "ah" juga. "Setiap orang akan pergi meninggalkan, setiap orang akan tumbuh dan berubah, setiap orang tidak akan menjadi dia yang hari ini terus." Ayah menengguk minumanku lagi.

Aku mengangguk.

"Tapi, orang yang pergi meninggalkan atau berubah yang baik adalah yang sudah menjawab segala pertanyaan-pertanyaan kepergiannya."

Aku mulai tahu kemana arah pembicaraan ini. "Jadi, apa pertanyaannya, Yah?"

Ayah tersenyum, menepuk bahuku. "Pertanyaannya..." Ayah menoleh ke arah langit-langit. "Kemana kamu akan pergi? Apakah tempat itu akan mendekatkan kamu dengan Sang Pencipta? Apakah yang kamu lakukan disana adalah bentuk penghambaan kepada Sang Pencipta?"

"Itu masih sangat dasar." Lanjut ayah. "Setiap perpindahan, setiap meninggalkan, kamu harus menjawab pertanyaan itu terlebih dahulu. Baru kita berpindah ke pertanyaan berikutnya."

"Apa pertanyaan berikutnya?" tanyaku lagi.

"Kapan kamu akan menemui ayah dan ibu ketika kamu telah pergi meninggalkan?"

Mataku berlinangan begitu saja dan memeluk ayah lalu berusaha menjelaskan. "Yah, aku hanya akan menikah, dan aku hanya pergi tak jauh dari sini, aku pun pasti tidak akan lupa kembali ke sini. Tentu saja, kesini bersama pria yang akan menyayangi ayah dan ibu juga."

Ayah mengelus kepalaku dengan lembut dan tersenyum. "Kebahagiaanmu, adalah kebahagiaan ayah."

Tangisku, semakin tak kuasa.

***

Tiba-tiba di kepalaku terbayang-bayang pertanyaan, seberapa yakin kamu bisa membuat simpul senyuman di bibirnya seperti apa yang ayahnya sering lakukan?

Pertanyaan lainnya, apa kamu bisa membayar jarak yang memisahkan mereka dengan mimpi-mimpi yang hebat? Atau cerita-cerita yang menawan? Atau kesederhanaan yang mengesankan? Atau-atau paling tidak, kata-kata yang terus menghadirkan tawanya?

Pertanyaan terakhirnya, apa kamu bisa membimbingnya? Tetap pada syariatnya? Bahkan lebih dari itu, menyiapkan prajurit-prajurit peradaban yang tangguh?

Tentu saja, sang ayah selalu ingin anak wanitanya terus bahagia. Tidak hanya di dunia, begitu pun akhirat.

Dan itu, sungguh indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu