Rabu, 13 Februari 2019

Seorang Ibu Tanpa Anak

Saat itu aku menatap matanya, mata yang penuh harap. Dia mengambil jeda sejenak, lalu bertanya. "Kenapa kamu ingin menikahi anakku?"

Aku menelan ludah, aku sudah tahu pertanyaan itu akan keluar, tapi tetap saja rasanya seperti dikejutkan. Aku berusaha membuka bibirku yang terkatup rapat ini. "Karena aku melihat seorang ibu dari matanya."

Dia memandangku heran.

Aku lebih jauh menjelaskan. "Matanya yang teduh, senyumnya yang tulus, dan suaranya yang lembut. Aku seperti bertemu dengan kapas. Kapas yang akan menutup luka-luka. Aku pikir, dia seorang ibu yang akan menjadi pelipur lara anak-anakku kelak. Begitu pun kesedihanku."

Dia terdiam. Berganti pertanyaan lain. "Lalu, apa mimpimu?"

Aku semakin kikuk, kakiku bergoyang-goyang resah. Aku berpikir, apa? Apa yang harus aku katakan? Ah, sepertinya aku belum selesai dengan diriku sendiri. Benakku sepintas. Lalu aku kembali membuka bibirku.

"Menjadi pembimbing anak-anakku nanti. Aku punya berjuta masa lalu yang bisa menjadi pelajaranku. Aku terlalu sulit menemukan mimpiku, aku terjebak oleh kedilemaan pilihan. Banyak, terlalu banyak. Bahkan aku tak sanggup melangkah lagi."

"Tapi..." Sambungku sebelum dibalas oleh dia. "Bukan berarti aku belum selesai dengan diriku sendiri, aku hanya ... ingin memiliki anak yang ahli, sangat ahli. Tidak perlu pusing dengan banyak pilihan. Biarlah tidak pandai akan lainnya, tapi satu saja sangat cukup bagiku. Ah tentu saja, perihal agama, si anak itu harus pandai." Aku melepas senyum, lega.

Aku menikah.
10 tahun berlalu.

Aku mendapati istriku termenung di tepi jendela, mengusap-usap kaca yang tertutup embun. Matanya berkaca-kaca. Hampir setiap pagi dia seperti itu, selepas berkata. "Ayo anak-anak, kita sarapan dulu, ibu telah menyiapkan."

Sementara itu, hanya aku yang datang menghampiri, yang hatinya selalu teriris bingung. Dia tertawa saat menemani sarapan, seolah berbicara dengan banyak orang, sejatinya hanya aku yang mendengarkan.

Hampir 2 tahun ini berlalu.

Semenjak keguguran--setelah kami menunggu bertahun-tahun untuk sebuah kehamilan--mata teduh nan lembutnya itu berubah. Berubah menjadi mata yang selalu menitikkan air mata. Sesekali terisak, sesekali bersama senyum tulusnya. Tapi, tak lama senyum tulusnya berubah menjadi murung tak berkesudahan.

Ujian ini, sungguh menyakitkan kami. Mimpi-mimpi kami.

Sesekali aku cerita kepada ayahnya, soal apa yang pernah aku katakan jauh sebelum menikah. Ayahnya menepuk bahuku, memaafkan diriku atas mimpi yang belum terwujud, atas kebahagiaan yang tertunda untuk anaknya.

Lalu ayahnya berkata. "Teruslah bermimpi, teruslah mengejarnya. Hingga putus asa lelah menyambangi kalian berdua."

Saat itu, aku tergugu dan mataku tak bisa berbohong. Aku, pria yang menangis. Dipeluklah diriku.

***

Hanya usaha yang dapat memberikan jawaban terindah. Sayangnya jawaban terindah itu terkadang sungguh menyakitkan. Sakit yang menguatkan. Tapi, seperti apa yang sering kita dengar. Hanya usaha yang baiklah yang akan berakhir baik.

Akhir cerita bukanlah berkata soal kematian. Kehidupan ini tidak sependek itu. Dan perjuangan kita tak secemen itu.

Karena, kita kan terus saling menguatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu