Jumat, 15 Februari 2019

Cerita Lain Dari Kasih Sayang

Saat itu aku duduk, jantungku berdebar-debar. Seorang dosen sedang memeriksa tugas secara bertahap. Satu demi satu mahasiswanya di tanyakan, ia berkeliling dari bangku ke bangku. Pergerakannya pun mulai mendekat ke arahku, dan ah, akhirnya tiba di hadapanku.

"Mana tugasmu?"

Aku yang sudah tak karuan menyerahkannya.

"Jadi, ini bagaimana prosesnya bisa sampai dapat jawaban segini?" tanyanya.

Sialnya aku, dari sekian baris hanya aku yang ditanya amat detil. "Saya... Hmm..." Aku tidak bisa menjawabnya dan menunduk.

"Kamu nyontek?"

Aku mengangguk. Pikiranku sudah jauh ke depan. Pasti aku dimarahi, pasti aku dapat hukuman, atau aku ditandai sebagai anak yang tukang menyontek terlebih lagi di cap nakal. Keringatku bercucuran, rasanya ruangan amat panas.

Dosen itu menaruh tugasku di mejanya. Lalu duduk kembali di tempatnya--di depan kelas. "Nanti kita ngobrol ya sepulang sekolah." Pinta dosen itu dengan nada yang datar.

Aku yang menatapnya penuh takut hanya bisa mengangguk. Suasana benar-benar lengang, aku yakin semua sudah menaruh rasa kasihan terdalam kepadaku. Ini benar-benar hari yang sial, kenapa dari sekian banyak yang menyontek hanya aku yang diminta menjelaskan jawabannya? Kenapa?

Kelas berjalan seperti biasanya. Hingga akhirnya para mahasiswa mulai berguguran dari ruangan, dan aku mendatangi dosen itu.

"Ambil kursi." Pinta dosen itu.

Aku menarik sebuah kursi paling dekat dengan meja dosen, lalu duduk dengan perasaan tak karuan.

"Kamu nyontek dari mana?" Akhrinya pembicaraan dimulai.

Aku bingung, aku tidak bisa menjawab jika aku mendapat contekan dari temanku. Masalahnya akan berbuntut panjang. Temanku akan terseret ke sini, dan bisa jadi pertemanan kita akan berantakan. Karena sejatinya ini salahku, meminta jawabannya dengan embel-embel persahabatan.

"Dari grup, Bu." Jawabku begitu saja.

Dosen itu menatapku. "Boleh ibu lihat grupnya?"

Rasanya jantungku ingin keluar dari dadaku. Beruntung memang jawabannya itu dibagikan pada sebuah grup. Jadi aku memberikan ponselku kepada dosen itu dengan cemas. Lalu sebuah pertanyaan menyembul di kepalaku, apakah dosen itu akan mempermasalahkan siapa yang membagikannya?

Dosen itu melihatnya dengan seksama, satu demi satu chat. "Apa kamu tidak mempelajarinya lagi?" tanyanya.

Aku yang menunduk ketakutan menatapnya dan menggeleng. "Waktu itu, saya sudah kepepet bu, tidak sempat." Jawabku penuh bersalah.

Lalu dosen itu tersenyum. "Ibu tidak mempermasalahkan kamu menyontek." katanya, membuatku terkejut. Dia kembali melanjutkan kata-katanya. "Tapi, ibu hanya minta kamu tetap mempelajari lagi jawaban yang kamu dapat, cari tahu bagaimana prosesnya, cari tahu tahap demi tahap, berdiskusi aja sama temannya ini."

"Ibu senang..." katanya lagi.  "Melihat ada grup belajar seperti ini. Ibu tidak mempermasalahkannya, terpenting kata ibu tadi. Kamu pelajari lagi jawaban kamu hingga mengerti." tutup dosen itu.

Aku, tercengang. Rasanya amat sesak, sesak haru, apakah benar ini seorang dosen yang dikesankan amat jutek itu?

Setelah itu, orang-orang bertanya tentang nasibku. Aku hanya tersenyum, kata-kata dari dosen itu amat menancap di kepalaku.

Keesok-esokannya, setiap pelajaran dosen itu, aku benar-benar belajar sendiri dan lebih serius. Tak jarang ketika penjelasan dosen itu usai, dosen itu bertanya kepadaku. "Kamu sudah mengerti?" tanyanya dengan lembut, bukan maksud memojokki atau membuatku malu.

Lalu saat aku menjawabnya dengan ragu, dosen itu menghampiriku, ia menurunkan pandangannya hingga sejajar denganku. Ia setengah jongkok. Aku masih di kursi kelas, lalu dia melihat catatanku atau terkadang tugasku, dia menjelaskan kepadaku secara langsung hingga aku merasa benar-benar...

Dihargai, dan akhirnya mengerti.

Itu terjadi beberapa kali, dan semua mahasiswa pada heran. Apa yang terjadi? Sampai dosen itu rela setengah jongkok untuk mengajariku?

Jika ada pertanyaan seperti apa pengajar yang baik itu? Aku pikir jawabannya ada di cerita ini. Dia yang tak lelah mengajari tuk anak-anaknya mengerti, bukan memberikan tugas lalu pergi dan melihat setiap hasil anak-anaknya.

Pada penghujung semester, kami berpisah dengan simpul senyum di wajah kami.

Aku mendapatkan indeks tertinggi.

***

Setelah membaca ini. Aku jadi mengingat kenangan pahit berbuah manis di masa kuliah. Ya, cerita di atas hampir sepenuhnya adalah salah satu cerita di kehidupan perkuliahanku. Beberapa kali aku ingin menulisnya di sini, tapi baru kesampaian saat ini.

Aku sudah tidak tahu kabar dosen itu, tapi karenanya aku bisa menaklukan mata kuliah yang mungkin agak menjelimet tapi asyik. Aku suka berbau matematika sebenarnya, dari SD, sebelum akhirnya pelajaran matematikaku dihancurkan oleh seorang guru yang menuntut uang dari para muridnya dengan cara ikut les untuk nilai bagus, tidak ada proses pengajaraan yang sebagaimana mestinya.

Saat itu, aku membenci matematika hingga akhirnya aku privat matematika untuk mengejar ketertinggalan. Alhamdulillah, walau tidak sempurna, tapi nilai matematika pada ujian nasionalku tidak begitu buruk.

Dan ketika kuliah, aku berjumpa dengan lebih banyak matematika. Salah satunya kuliah bersama dosen itu. Dosen yang menghargai betul mahasiswanya, berusaha menumbuhkan bukan memangkas atau bahkan menjatuhkan.

Mungkin, jika saat itu beliau--dosen itu--memaki-makiku karena menyontek, memberi hukuman kepadaku, atau lainnya yang lebih mengerikan, mungkin hatiku akan membeku untuknya, mungkin aku akan membencinya begitu pun pelajarannya.

Tapi, beliau berhasil meluluhkan hatiku, beliau berhasil merubah sudut pandangku. Darinya, menjelaskan bahwa semua ini bukan bicara hasil, tapi sebuah proses.

Itulah bentuk kasih sayang yang aku rasakan dari seorang pengajar kepada muridnya.

Asal kalian tahu, beliau sangat amat cantik. Hanya saja sudah cukup berumur, kerutan di wajahnya mulai sedikit terlihat. Wajahnya yang terkesan jutek itu amat mempesona. Hampir seluruh pria di kelas kami setuju akan pertanyaan soal wajahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu