Kamis, 14 Februari 2019

Tak Ada Senyumku Lagi Untuknya

Hari ke tiga puluh satu.

Aku duduk di kursi seperti biasanya. Laptop di depanku, segelas kopi di sebelahnya. Hari ini aku menggunakan dua jaket, satu jaket hoodie polos berwarna biru tua dan diluarnya jaket parka cokelat yang amat tebal.

Hari ini sungguh dingin.

Aku menyesap rokok yang mungkin beberapa kali sesap lagi habis. Ku mengepulkan asapnya, disaat bersamaan temanku akhirnya datang, ia menyapaku seperti biasanya. "Lagi?" Tanyanya.

Aku mengangguk dengan senyum yang dibuat-buat.

Tepat pukul 20.00.

Wanita itu datang, duduk di seberang sana seperti biasanya. Sendirian pada awalnya, lalu tak lama teman-temannya datang. Teman-teman yang kubenci. Mereka berkumpul untuk bekerja, mereka awalnya sangat serius, amat serius, hingga akhirnya terdengar gelak tawa yang beragam. Termasuk wanita itu.

Aku melihatnya dari kejauhan. Senyum dari ketika ia datang mulai memudar. Aku sudah kehabisan senyumku. Aku menutup laptopku dengan cukup keras, membuat temanku terkejut. "Hari ke tiga puluh satu, aku gagal. Kita lupakan semua ini." Kataku sambil menaruh laptopku ke dalam tas, lantas beranjak pergi.

Saat itu, aku tak sadar, wanita itu memperhatikanku dan memasang wajah murungnya ketika aku beranjak meninggalkan kafe itu.

Temanku menyusulku, bertanya. "Kenapa kamu merasa gagal? Padahal kamu hanya mengamatinya dari kejauhan? bahkan kamu tak tahu siapa namanya?"

"Sudah tiga puluh satu hari. Aku sudah kalah."

"Kalah dari siapa?" tanya temanku heran.

Aku berhenti melangkah. "Aku telah kalah oleh diriku sendiri.."

"Kok? Bagaimana bisa? Bahkan kenalan pun belum pernah terjadi, bagaimana kamu sudah kalah?"

"Aku bilang, aku sudah kalah oleh diriku sendiri. Seandainya aku tidak kehilangan senyumku semalam saja, aku yakin, hatiku memang untuknya. Dan kini, sudah tiga puluh satu hari. Tak ada sisa senyumku."

"Tapi..."

Aku tersenyum. "Dengar, jauh sebelum aku masuk ke kehidupannya, aku harus bisa menerima kehidupannya sebelum adanya aku. Dan sekarang, aku tidak bisa menerimanya. Jika aku masuk ke dalam kehidupannya, aku hanya... Merusak segalanya."

Temanku mengangguk mengerti.

"Jadi, aku sudah kalah oleh diriku sendiri. Tak ada senyum lagi, untuknya." tutupku lantas pergi.

Tiga puluh satu hari.

Hal ini terjadi lagi, malam yang mulai memudar. Aku telah kalah lagi, dan sudah kuputuskan malam itu, bahwa tak ada senyumku untuknya.

***

Ya begitulah, sungguh tidak ada yang penting. Bukankan hidup ini hanya persinggahan sejenak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu