Jumat, 22 Februari 2019

Pria-Pria Selasar

aku duduk, di tempat ternyaman di dunia.

Sebuah selasar, dimana terik matahari yang menusuk seolah tumpul, dimana derasnya bulir-bulir hujan tertamengkan dengan baik, angin yang mendayu-dayu, lelah yang luntur. Orang bilang, ini adalah selasar Masjid.

Aku tak sendirian, di sekelilingku banyak sekali orang. Ada yang serius memegang ponselnya, ada yang duduk termenung, ada yang tertidur pulas, ada juga yang tertidur dengan wajah seperti orang berpikir.

Apa yang kamu pikirkan tentang selasar Masjid? Tentu saja, jawabanmu tidak salah. Tapi, bagiku selasar Masjid adalah sebuah pertunjukan karnaval kehidupan seorang ayah. Jika kamu ingin melihat para pria--ayah--yang sedang berjuang untuk anak istrinya, sesekali mampirlah ke selasar Masjid. Kamu bisa melihat raut wajah lelah mereka, yang tentu saja, tak akan mereka tampilkan di hadapan kalian...

Wahai anak dan istri.

Aku melihat, pria yang tertidur itu. Aku yakin, dia tidur untuk memastikan pada dirinya untuk bekerja lebih giat, lebih lama lagi. Atau agar ia bisa begadang semalam suntuk nanti malam, maka itu ia perlu energi siang ini.

Guratan wajahnya terlihat jelas, seperti sedang berpikir dan lelah. Keningnya mengkerut. Apa yang sedang kamu pikirkan di tengah tidurmu? Wahai ayah dari anak-anakmu.

Belum genap aku melihat banyak pasang mata perjuangan, seseorang berbicara kepadaku. "Mas, mau beli remote teve-nya?" tanyanya bisik-bisik sambil memperlihatkan berbagai macam remote teve di tasnya.

Aku pikir ia akan memaksa dengan memberikan kisah-kisah menyedihkan, ia hanya menunggu jawabanku. Aku hanya berpikir saat itu, seberapa orang yang membutuhkan remote teve dalam sehari? Jika ada yang membeli remote teve, seberapa untungnya pria itu? Apakah cukup untuk makan anak dan istrinya? Logika sederhanaku, untuk makan siang atau malam sendiri saja mungkin masih ketar-ketir.

Aku tersenyum. "Berapaan, Mas?"

"Tergantung mereknya, Mas. Teve Mas-nya apa?" tanya pria itu, wajahnya terlihat riang, tapi dia tidak bisa berbohong. Kantung matanya begitu tebal, matanya sudah sayup kelelahan.

Aku bingung, aku tidak punya teve sebenarnya. "Saya tidak punya teve, Mas." Sahutku, bibirku rasanya keluh, aku tidak berniat menolak orang itu, tapi aku tidak bisa berbohong. "Tapi, mungkin aku bisa beli satu?"

Pria itu tersenyum. "Ndak apa-apa, Mas kalau memang tidak sedang membutuhkannya. Jangan dipaksa. Hehe." ia menutup tas berisikan remotenya itu.

"Tapi, Mas--"

"Saya bukan hanya butuh uang, Mas. Tapi, saya juga ingin punya manfaat untuk orang lain. Kalau Mas pada akhirnya nggak pakai remote-nya, saya merasa tidak memberi manfaat apa-apa, Mas. Maaf, Mas, bukan maksud saya apa-apa." kata pria itu, menunduk, merasa tidak enak untuk bicara seperti itu.

Aku terdiam. Bekerja bukan hanya bekerja, bukan hanya perkara uang, tapi juga perihal kebermanfaatan. Saat itu, aku yang jadi termenung. Sementara pria itu sudah beranjak ke tempat wudhu, lalu masuk ke dalam Masjid.

Tapi, tempat (sekadar) ternyaman di dunia ini rupanya tak ada apa-apanya, dalam Masjid adalah tempat terbaik di dunia--tentu saja selain tanah suci.

Pria itu berbisik kepada bumi, dan langit mendengarnya. Pria itu mengadu kepada Sang Pencipta. Entah apa yang ia katakan, yang aku tahu, istri dan anaknya adalah orang yang beruntung. Tak ada yang lebih indah dengan meninggikan Sang Pencipta, dan menyerahkan akan apa yang terjadi di muka bumi kepada-Nya. Lantas percaya, tak ada satu pun mahluk-Nya yang akan kekurangan rezeki.

Aku lantas melihat tiap-tiap wajah para pria-pria di selasar ini. Pria-pria yang penuh dengan luka dan derita, tapi tak sedikit pun ia sampaikan pada anak dan istrinya. Pria-pria yang mungkin ditolak ratusan kali oleh para calon pembelinya, tapi terus meminta kepada-Nya, bahwa rezeki sudah diatur oleh-Nya. Pria-pria yang mungkin... Tidak semanis ibu, tak seperhatian ibu, tak selalu ada seperti ibu.

Tapi, pria-pria ini bak awan. Awan selalu ada, entah pagi atau malam. Walau tidak ada yang begitu peduli, kecuali saat awan-awan itu sedang dalam masalah seperti mendung menggelap, petir menyambar-nyambar, atau hujan isak hatinya.

Jadi, kapan terakhir kali kalian bercanda dengan ayah kalian? Memang susah sekali rasanya, mereka terlalu kaku, sampai aku lupa kapan bisa mengajaknya bicara lebih dulu.

Lalu, kapan terakhir kali kalian bilang sayang kepada ayah kalian? Ah, aku mungkin tidak pernah seumur hidupku. Rasanya keluh, rasanya malu, tidak bisa, karena tidak terbiasa juga. Mereka terlalu tangguh, mereka terlalu kuat walau di baliknya tersimpan kasih sayang dan cinta yang jarang dijamah oleh kita.

Pria-pria selasar ini tak lain yang tengah berjuang mengumpulkan nafkah untuk keluarganya. Melipir untuk istirahat setelah berkeliling jauh. Melipir untuk berdoa walau rasanya masih banyak yang perlu dikerjakan. Melipir untuk menikmati, sedikit saja rehat.

***

Kemarin, aku melihat motor salah satu rekan kantorku di parkiran masjid. Aku sebenarnya ingin minta bareng dengan beliau untuk berjalan ke kantor menggunakan motornya. Tapi, aku tidak menemui beliau di dalam masjid. Aku akhirnya menelusuri selasar. Aku akhirnya mendapati beliau yang sedang tertidur.

Saat itu, aku tersenyum. Aku membayangkan ketika dia harus selalu terlihat bahagia di depan kedua anaknya yang sedang aktif-aktifnya, namun di samping itu ia harus bekerja pagi, siang, dan malam agar memastikan keluarganya telah ia lindungi. Lindungi dari apapun, rasa lapar, kekurangan harta, kekurangan pendidikan, ancaman-ancaman, dan lainnya.

Bagiku, beliau adalah role model ayah yang aku impikan. Aku pernah menyampakan itu kepadanya, ia hanya tertawa. Dalam benakku, aku membayangkan betapa beruntung anak-anak beliau punya ayah yang pintar, sholeh, dan menyenangkan seperti ini.

Lalu aku bertanya kepada diriku sendiri, ayah seperti apa ya yang bisa aku tunjukkan?

Setelah mendapati beliau tertidur, aku duduk di seberang beliau tertidur--masih di selasar Masjid. Aku termenung lalu akhirnya tidur-tiduran. Menatap daun-daun yang tumbuh bermekaran menutup jari-jari matahari yang berusaha menyelusup. Saat itu, aku memikirkan orang-orang yang melipir ke selasar Masjid ini. Seperti apa ya rasa lelah mereka?

Aku hanya tahu, begini ya, rasanya, lelah bekerja.

Akhirnya aku benar-benar tertidur, hingga akhirnya beliau--teman kantorku--terbangun. Aku saat itu sadar, aku pun langsung bangun sebelum ditinggalkan. Akhirnya kita pulang bersama, dan aku cerita banyak ke dia.

Dia orang yang menyenangkan, sungguh Allah sayang kepadaku, memberikan teman kantor seperti dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar bagi yang perlu