Puing-puing itu menghiasi bayang-bayangku. Tak ada sisa suara yang terdengar selain lagu penuh lara. Semua ucapan orang-orang rasanya seperti... Membisu. Tak bersuara, tak ku peduli, aku benar-benar mati.
Jika kamu lihat langit-langit di luar sana, semua tersikap oleh awan menghitam. Tak ada yang peduli, paling hanya bergumam bahwa bumi mau menghujan. Suara petir hanya seperti pekikan maki yang menyakiti hati.
Telingaku seolah tertancap pendengar suara yang amat dalam, tidak ada suara selain lara. Sedikit saja lara itu mendengarkan gegap gempita suara dirinya--seseorang--, aku mulai muak dan mengerang kesakitan.
Rasanya, amat teramat benci.
Orang banyak bilang kepadaku, kata mereka, hatiku sudah mulai membusuk. Seolah semua salah di mataku, di telingaku, dan mulutku. Aku tahu, tapi kalian sungguh tidak pernah tahu, derita itu. Erangan sakit itu.
Tapi kamu dimana? Saat semua itu menyiksaku, mengajariku, bagaimana membenci kehidupan ini. Membenci kalian semua. Dan tak acuh akan sebuah masa.
Puing-puing itu masih menghiasi bayang-bayangku. Sampai kapan akan seperti ini. Kata orang, lebih baik mati daripada menderita tiada tara tak terhingga. Aku setuju dengan mereka, jadi, biar kuakhiri...
Lara ini...
***
Rasanya keluh saat ingin berbicara.
Rasanya malu saat ingin bertingkah.
Rasanya derita saat ingin mendengarkan.
Rasanya hampa, saat melihatnya.
Seperti lara-lara sebelumnya
Ada angin yang mulanya menyejukan
Lalu menyakitkan
Seperti kisah-kisah pada umumnya
Kata mereka
Ada luka-luka di hati
Atau titik-titik hitam di hati
Atau kebencian yang membekas, di hati
Awalnya ku coba peduli
Ku coba pikir-pikir apa yang tengah terjadi
Namun, nyatanya aku hanya menutupi
Lara-lara yang silih berganti
Tiada henti, tak terhingga mungkin sampai mati
Mungkin juga sampai aku tak merasa hidup lagi
Tidak benar-benar mati
Tapi, hampa.
Kata mereka
Ada pikiran-pikiran yang belum selesai dimengerti
Atau pesan-pesan belum tersampai
Atau kisah-kisah yang belum terurai hingga selesai
Awalnya ku coba menunggu
Tapi, lambat hari aku hanya menjadi seonggok batu di laut mati
Hanya menunggu
Dan menunggu
Air menghempaskanku
Memecahkanku.
Meniadakanku.
Dan dirinya berjalan berlalu.
Bahagianya, saat lara benar-benar tiada habisnya.
Dan keputusasaan adalah teman sejatiku.
***
Pernahkah dirimu dalam keadaan yang antah berantah penuh duka dan lara? Berarti, selamat menikmatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar bagi yang perlu